Kalau soal kapan merdeka,
kita punya tanggal yang sama
Tetapi soal jiwa-jiwa yang merdeka,
Kita harus lihat dulu,
satu-satu orang punya jiwa
Bahwa penjajahan adalah kezaliman
Kita semua sudah tahu itu
Bentuk perbudakan besar-besaran
sebuah bangsa atas bangsa lainnya
Penindasan dan eksploitasi
Hak-hak asasi dikebiri
kemanusiaan yang adil dan beradab
terang-terangan diinjak-injak
Yang jarang kita sadari adalah
Jiwa-jiwa merdeka tak pernah bisa dijajah
Para pendiri bangsa, pejuang kemerdekaan
Mereka yang kini kita sebut pahlawan
Adalah orang-orang yang tak pernah dijajah
Mereka adalah para pemberani
Orang-orang dengan jiwa merdeka
Yang menjunjung tinggi kemanusiaan
Yang mengedepankan keadilan
Yang karenanya tak bisa menerima
Segala bentuk penindasan
Segala apapun yang namanya penjajahan
Kemerdekaan bagi mereka
Bukan ditandai dengan proklamasi
Proklamasi hanyalah bentuk tanggungjawab dari jiwa-jiwa yang merdeka
untuk juga memerdekakan jiwa-jiwa lainnya yang masih terjajah
untuk membawa bangsanya menjadi bangsa yang merdeka
Di masa kini kita tidak bicara lagi
kemerdekaan sebagai sebuah bangsa
Tetapi kemerdekaan dari tiap-tiap jiwa
Berapa banyak jiwa-jiwa yang resah
Melihat kantong pemilik modal bertambah tebal
Sedangkan buruh tetap diupah dengan murah
Berapa banyak jiwa-jiwa yang gelisah
Melihat kekayaan alam negeri berlimpah
Namun masih banyak rakyat yang hidup susah
Berapa banyak jiwa-jiwa yang peduli
Pada kebutuhan dasar yang masih belum bisa terpenuhi
Pada pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan
bagi rakyat di negeri yang gemah ripah lohjinawi ini
Berapa banyak jiwa-jiwa yang geram
Melihat uang negara di korupsi
Sementara masih banyak rakyat butuh subsidi
Berapa banyak orang-orang yang masih mau setidaknya berkata
Soal perlakuan tidak adil dan beradab yang dialami sesama manusia
Jiwa-jiwa yang merdeka tak akan tenang
Jika prikemanusiaan dan keadilan tidak ditegakkan
Mereka akan bicara, mereka akan bertindak
mereka akan berdiri di depan untuk memperjuangkan
Seperti para pejuang kemerdekaan yang ada dibarisan terdepan
memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan
Mereka adalah para pemberani yang dengan lantang mengatakan kebenaran
meski di bawah ancaman amunisi
Sudahkah kita mewarisi jiwa-jiwa merdeka para pendiri bangsa
Para pejuang kemerdekaan dan pahlawan
Beranikah kita bicara, beranikah bertindak kita
Mari kita bertanya seberapa merdeka kita punya jiwa
Jika hanya untuk sekedar bicara saja kita tidak berani
meski konstitusi menjamin dan melindungi
Pada jiwa-jiwa yang merdeka kita berhutang kemerdekaan bangsa
Pada jiwa-jiwa yang merdekalah kita boleh berharap akan adanya perubahan
Pada merekalah semangat juang dan kemajuan patut kita sandarkan
dimana kemanusiaan dan keadilan berdiri menempati tempat yang tinggi
Tanpa semangat juang dan pengorbanan,
tanpa penghormatan pada prikemanusiaan dan prikeadilan
Jembatas emas kemerdekaan bisa hilang maknanya, bisa menjadi tak ada artinya
Kita bisa saja akan menjadi bangsa yang merdeka hanya karena stempel proklamasi
Namun gagal memenuhi esensi dari merdeka itu sendiri
Jakarta, 16 Agustus 2022
Refleksi Merdeka
I Wish ...
Suatu sore,
Awal bulan Mei 2022
“Ren, ih malah ngelamun, udah kerjaan kantor jangan dipikirin mulu ….”, Nina mengibaskan tangannya di depan mukaku.
“Maklum pejabat negara, udah bagus bisa juga akhirnya meet-up, jadi harap maklum kalo Rendra gak fokus, Nin …”, Siska berseloroh menimpali ucapan Nina.
Aku tergelak membalas ucapan mereka. Nina dan Yuli adalah temanku di SMP dan SMA yang juga sudah tinggal di ibu kota ini.
“Lu mau makan apa? Pesen dulu … ini ada ….. bla, bla, bla …” Nina menyodorkan buku menu sambil sibuk menjelaskan pilihan makanan yang menurutnya enak di kafe itu.
Aku memandangnya sekilas. Nina, seorang istri, ibu pekerja yang masih terlihat cantik dan menarik di usianya yang menjelang angka 50. Cara bicaranya ceplas ceplos dan agak sedikit manja. Dia pandai menjaga bentuk tubuhnya, sehingga masih terlihat seksi. Mungkin jika baru mengenalnya, aku akan termasuk salah satu laki-laki yang jatuh hati pada Nina.
“Ya udah lu pilihin deh, apa yang menurut lu oke pasti gw suka”, aku sedikit menggodanya.
“Bisa aja deh ….,” Nina melayangkan cubitan kecilnya ke tanganku dengan semburat wajahnya yang sedikit memerah.
Tuhan, tiba-tiba sosok Hani, kekasih gelapku beberapa tahun lalu melintas. “I wish you were here, hun …”hatiku berbisik.
“Han, nanti kalo Nina udah mulai nyubit-nyubit atau tiba-tiba pindah duduk ke samping aku trus nyender-nyender gitu, kamu jangan ngambek ya,” ujarku saat dalam perjalanan kami menuju tempat yang disepakati untuk reuni kecil-kecilan bersama Nina.
“Oya? Emang dia seagresif itu?”, Hani balik bertanya.
“Yaaa biasanya sih dulu-dulu gitu, aku gak tau ya apa masih gitu juga, makanya aku bilang dulu nih, daripada ntr kita yang berantem,” aku mengusap kepala Hani dengan sayang.
Seketika Hani diam. Aku melihat ekspresi tidak nyaman di raut wajahnya. Hani dan Nina dua sosok yang sangat berbeda. Hani sosok wanita yang bisa dibilang agak pendiam, kamipun berasal dari SMP dan SMA yang sama. Di SMA dulu, meskipun aku berteman juga dengan Hani, tapi kami tidak pernah akrab. Hani adalah sosok remaja berkecukupan, cantik, punya prestasi akademik yang cukup baik, aktif dalam berbagai kegiatan, dan terkesan menjaga jarak dan pilih-pilih dalam berteman.
“Hun … udah donk, kok jadi diem-dieman gini? Atau kita cancel aja ga usah ketemuan? Dari awal juga kan aku udah bilang gak usah pake acara ketemuan juga. Nina itu sudah berkali-kali ngajakin ketemu aku gak pernah mau. Tapi kamu yang kekeuh bilang sesekali jaga silaturahmi. Sekarang, kamu pasti punya pikiran yang nggak-nggak kan? Aku gak pernah ada hubungan apapun lho sama dia. Tapi dia kalo ke aku emang gitu, karena ngerasa deket kali, emang dari dulu ke aku tuh kaya manja banget …”, aku berusaha menenangkan Hani yang masih bergeming.
“Hey … look at me, I am yours, no doubt, ok?”, aku meraih tangan Hani lalu menggenggamnya penuh sayang. Ya, aku begitu mencintai wanita ini. Saat itu, aku seperti baru menemukan kembali bagaimana rasanya mencintai dan menyayangi seorang wanita padahal Hani bukanlah kekasih gelap pertamaku sejak aku menikah.
Pun beberapa bulan lalu ketika aku mencoba menyapa dia di salah satu akun media sosial, lalu mengajak makan siang, lebih karena aku ingin tau kehidupannya saat ini dan sedikit pamer dengan kehidupanku. Makan siang saat itu berlanjut dengan beberapa pertemuan untuk sekedar makan, ngopi atau ngobrol di mobil sambil berkeliling Jakarta. Aku menemukan banyak hal yang tidak pernah aku bayangkan dari sosok Hani beberapa puluh tahun yang lalu. Ada rasa nyaman yang membuatku betah berlama-lama ngobrol selepas kepenatanku di kantor atau suntuk karena sedang bertengkar dengan istri. Hani, teman masa remajaku dulu, memiliki cerita hidup jauh dari apa yang pernah aku bayangkan. Hingga suatu waktu, aku semakin tak mampu menahan rasa yang semakin kuat dan membiarkan Hani mengusik hatiku.
Hani membalas genggamanku, mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepalanya di pundak kiriku. Aroma parfumnya yang khas menelisik hidungku. Hani bukan sosok yang banyak bicara, dia mengekspresikan setiap rasa lewat pandangan mata, belaian, pelukan atau sentuhan-sentuhan kecil tulus dan inilah membuatnya berbeda dengan wanita lain yang pernah dekat denganku.
“Jadi, gimana kabar lu? duh, gw tuh kangen banget pengen ketemu elu susahnya udah kaya apaan tau …”,tiba-tiba Nina sudah beranjak duduk disampingku, menyentuh tanganku dan memandang wajahku lekat dengan senyuman yang menggoda.
Di tempatnya, Hani sedang menatap lekat foto pertemuan kami bertiga sore ini, diam, dan bergumam dalam hati, “I wish I were there, hun …”, rasa sesak yang tiba-tiba dia rasakan menjadi terasa ringan ketika matanya basah.
LUGU
Di pasar, berjajar pedagang
menjajakan kebenaran
dengan suara kencang
Para langganan berbondong datang
memborong kebenaran
tanpa bertanya, langsung percaya
sesuai selera
Aku, orang baru
coba menawar satu persatu
berharap bertemu yang benar-benar benar,
Dasar lugu!
FILM NGERI-NGERI SEDAP, SEBUAH RENUNGAN
Kepada yang terhormat
kepada yang terhormat,
kalau pangkat
dan kedudukan yang engkau jabat,
menjadikanmu
merasa paling hebat
hingga semena
mena mengikuti hasrat dan syahwat
mungkin ada
baiknya sesekali kau ingat
bahwa
kekuasaan mengenal kata tamat
ada ujung
dan akhir dari semua riwayat
Apakah kau pikir kelak kematian adalah sebuah istirahat?
sedang beribu teka teki tersimpan di tangan malaikat
menghitung tunai setiap lembar amanat
(kaki gunung slamet, 26 juni 2022)
ndablek
Cuacamu,
tak tentu,
benderang, menggelap,
kerontang, melembab,
tentangmu,
tak jemu,
menjelang terlelap
menjerang harap
(Kaki Gunung Slamet , 26 Juni 2022)
Pergi Rapat ke Baturaden
Pergi rapat kerja ke baturaden,
Lewati hamparan pinus dan nanas
Sinergi DJA DJAPK semakin keren
Wujudkan anggaran berkualitas
badan lungkrah ingin istirahat
Menjadi terlupa indahnya lokasi
Belanja daerah dan belanja pusat
Dirancang harmoni tak duplikasi
Di bawah panglima nan perkasa
DJA DJPK berpadu seiring sejalan
Di sini Pak Prima di sana Pak Isa
Kami dipandu mencapai tujuan
(12 Mei 2022)
Sistem Penganggaran (1)
Penganggaran Terpadu
orang orang pintar itu, bicara tentang menyatukan DIP dan DIK menjadi DIPA, menjadikan anggaran rutin dan pembangunan menjadi satu, menghindari anggaran mendua, di sini iya di sana iya,
kata mereka melahirkan DIPA adalah prasasti pencapaian perjuangan panjang, kemenangan atas perang melawan gaung kemustahilan yang membahana pada awalnya
tak perlu heran, seperti pepatah menyebut, "keberhasilan mempunyai banyak saudara, dan kegagalan yatim piatu", banyak yang berebut
mencatatkan namanya, mengulang ulang cerita tentang peran seolah paling pahlawan
Jangan kau tanya apa pendapatku? mungkin saja semua benar begitu, di kepalaku justru tengah riuh menjalar perumpamaan, andai DIK itu seperti ku, DIP itu seumpama kau, kalau keduanya menjadi DIPA, kelak aku dan kau bisa saja menjadi kita,meski sekarang muskil adanya
(ujung harapan, 12062022)