Pengakuan
Mungkin
Melasti,
Jimbaran,
Badung
dan Bali
Serta engkau
Negeri yang teramat indah dikunjungi,
tapi tetap saja,
padaku telah ada dia,
yang hadirnya seumpama rumah,
ruang dimana aku,
akan selalu merindukan pulang
(Ujung harapan, 220222 )
@tetehnumaketiung
Bali dan G20
Catatan Perjalanan
BALI dan G20
Deru roda pesawat perlahan berhenti. “…para penumpang yang terhormat, saat ini kita telah mendarat di Bandara Ngurah Rai….suara renyah seorang petugas maskapai melalui microphone pesawat, terdengar berkumandang.
Alhamdulillah, syukurku dalam hati, sepanjang penerbangan tadi, cuma satu yang kuharapkan yaitu pesawat yang kami tumpangi cepat mendarat di bandara tujuan. “Udah sampe, De,” ujarku pada si bungsu yang menemani perjalananku kali ini.
Setelah mengikuti prosedur yang ada, langsung saja kami bergegas keluar menuju mobil yang sudah kami sewa. Sopirnya, orang Bali asli, Bli Wayan, dengan sigap memasukkan koper ke dalam bagasi dan siap mengantar kami ke penginapan. Aku sangat menikmati sepanjang perjalanan, terbersit perasaan senang dalam hatiku, mengingat sudah lama aku tak menginjak tanah ini.
Tanah Bali yang cantik dan menyenangkan.
“Kesini dalam rangka apa, Bu?” tanya Bli Wayan
membuka percakapan.
“Berlibur saja, Bli, sedang cuti beberapa hari,
lumayan buat refreshing” jawabku,
Bli Wayan mengangguk, “Gimana Bli situasi
disini, apakah sudah aman?” tanyaku melanjutkan percakapan,
“Yah, sekarang sudah mulai rame sedikit, Bu.
Banyak rombongan dari kantor yang datang ke Bali. Ada juga rombongan pejabat
atau delegasi yang datang, tidak seperti
sebelumnya, waktu masih PSBB, sepi.. Bu,” suara Bli Wayan terdengar berat.
“Oh iya Bli,” kataku sambil melihat sisi kanan
kiri bandara dengan spanduk G20 yang berkibar-kibar, megah.
“Bagaimana ya Bu, Bali ini sangat tergantung
sekali pada pariwisata, jadi kalau seperti ini terus, terasa sekali imbasnya
pada kami, coba Ibu lihat sekarang ini di jalan sudah mulai ramai, kalau
sebelumnya sepi sekali Bu, semoga saja Bali bisa kembali ramai dikunjungi
wisatawan” ucapnya lagi.
Aku mengiyakan kata-kata Bli Wayan, dan
mengingat kembali agenda Indonesia sebagai presidensi G20 periode ini. Delegasi
dari 19 negara dan Uni Eropa hadir untuk
membahas berbagai masalah finansial dan yang lebih luas dari itu, dan mencari solusinya bersama-sama.
Nuansa presidensi G20 ini sudah mulai terasa, sejak di bandara yang dipenuhi
pernak-pernik publikasi sampai jalan-jalan di Bali. Dalam hati aku merasakan juga
kebanggaan negeriku bisa terpilih menjadi tuan rumah perhelatan dunia, dengan
20.988 delegasinya akan mengunjungi beberapa kota di Indonesia termasuk Bali, dan
tak lupa mengaminkan juga ucapan Bli Wayan yang mencerminkan harapan paling
tidak sebagian masyarakat Bali.
Dan setelah beberapa hari… kami kembali lagi dalam
kabin pesawat yang mengudara meninggalkan tanah Bali di kejauhan..
Aku teringat lagi pertemuan dengan mbok-mbok di
pantai Kuta yang berebut menawarkan memijat bahu, kaki, dan mengoles kuku,
trenyuh pada sinar mata yang mengiringi percakapan dan terngiang kalimat lugu mereka "kalo gak ada yang ke Bali lagi, bagaimana ya, padahal kami perlu ke dapur.. “
Dan... terasa
agak melegakan hati untuk bisa sedikit saja membesarkan hati mereka dengan berkata bahwa dengan adanya program vaksinasi dan penurunan level PPKM,
insyaAllah, Bali akan kembali meriah apalagi dengan terpilihnya Indonesia untuk
presidensi G20 dan rencana penyelenggaraan KTT G20 yang akan dilaksanakan di
Bali, semoga bisa menjadi sebuah oase yang menyejukkan di tengah gigihnya
perjuangan melawan pandemi, dan berhasil menarik kembali para wisatawan kesana.
Dari sisi jendela pesawat, disamping awan putih
yang melayang tanpa beban, terucap lirih “recover together, recover stronger, semoga dapat segera terwujud”. Go Bali, Go Indonesia.
CINTA RUBI
Malam itu, Pukul 20.30
“You want me to stay here this night?”
Rubi menatap laki-laki itu dalam, tersenyum, lalu menggeleng dan menjawab,”No, you gotta go home”.
Laki-laki itu membelai wajahnya lembut, mengecup keningnya sebelum kemudian merengkuh tubuh mungilnya. Pelukan hangat itu tidak pernah bisa Rubi lupakan.
Sisa hujan malam itu terasa amat dingin. Sosok laki-laki itu sudah menghilang ditelan tangga yang menuju lantai dasar kamar kost-nya. Namun Rubi masih mematung, berharap laki-laki itu menghentikan langkahnya dan kembali. Lalu, Rubi mendengar suara deru mesin kendaraan yang semakin menjauh dan menghilang. Dia menarik nafas dalam, beranjak membuka pintu kamar lalu bersandar pada dinding yang sejuk.
Sepengingat Rubi, ini adalah bulan ke 5 dia menjalani hari-harinya bersama laki-laki itu. Semakin hari, Rubi merasakan rasa cinta yang semakin luar biasa. Namun Rubi sadar, dia tidak akan pernah bisa memiliki laki-laki itu seutuhnya. Rubi sudah berusaha berkali-kali menguatkan hatinya, meyakinkan perasaannya bahwa hubungan mereka tidak baik-baik saja. Namun mimpi yang laki-laki itu bagikan dan hayal yang dia angankan selalu jauh lebih besar dari rasa takut akan kehilangan laki-laki itu suatu saat nanti.
Rubi gamang. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan bersama laki-laki itu berganti dengan rasa yang dia sendiri tidak dapat uraikan. Rubi bergegas membersihkan diri, tidur menjadi jalan keluar terbaik untuk melarikan apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
Rubi baru akan memejamkan mata ketika dia mendengar ketukan halus di pintu. Dia melirik ke jam dinding sejenak, pukul 21.20. “Mba Mini ya?”, dia bertanya sambil berjalan menuju pintu. Cuma mba Mini, penjaga kost yang suka mengetuk pintu malam-malam sekedar mengantarkan pakaian dari laundry atau menawarkannya makanan.
“Hey, It’s too late to say good bye!”, laki-laki itu tersenyum. Rubi terpana sejenak lalu memeluknya erat.
Azan shubuh baru saja terdengar, Rubi membangunkan laki-laki itu pelan, lalu berbisik: “It’s time to go home”. Sedikit tergesa laki-laki itu merapihkan pakaiannya, lalu menatap Rubi dalam. “I’m sorry. I can’t stay any longer. Kamu istirahat ya, kalo mau jalan, gak papa jalan aja, ntr kalo bisa, aku pasti telp.”
Rubi mengangguk, tersenyum. Kali ini, dia menguatkan dirinya bahwa laki-laki itu telah dinanti oleh orang-orang yang juga mencintainya. Dia mengecup pipi laki-laki itu lembut lalu berbisik, “Thank you, for being here, and for all”. Laki-laki itu memeluknya hangat lalu menatapnya dengan penuh rasa sayang, “I’m gonna miss you soon”.
Rubi melepas laki-laki itu dalam kesejukan pagi yang masih menyisakan dingin, sedingin hatinya.
**There were nights of endless pleasure,
It was more than any law allows,
Baby,
If I kiss you like this,
And if you whisper like that,
It was lost long ago,
But it’s all coming back to me now
If you touch me like this,
And if I kiss you like that,
It was gone with the wind,
But it’s all coming back to me now
**It's all coming back to me now, Celine Dion
Kalau ....masih manusia biasa
kalau pemimpinmu,
masih manusia biasa,
mereka,
bisa saja salah
bisa saja lupa
kalau bawahanmu,
masih manusia biasa
mereka,
bisa saja salah
bisa saja lupa
kalau temanmu
masih manusia biasa
mereka,
bisa saja salah
bisa saja lupa
kalau dirimu
masih manusia biasa
dirimu,
bisa saja salah
bisa saja lupa
kenapa kepada dirimu, sendiri
kau begitu maklum
kau begitu pemaaf
sedang kepada yang lain tidak?
(21012022)
mungkin kita telah lupa
(kado perpisahan untuk sahabat yang berangkat
Teh Ika, Mas Aran, Mas Idub, Mas Bagyo dan Mbok Merrin)
mungkin kita telah lupa,
bagaimana cara kita
pertama berjumpa
mungkin saja waktu itu,
duhai Ika teman perempuanku
aku salah satu yang terpaku
melihatmu memasuki pintu
dengan wajah ayu dan tersipu malu
dan menghampiri pegawai satu persatu
sambil mengeja pelan namamu
Ika kartikawati dari warung jambu
mungkin saja waktu itu
duhai kawan aran
aku orang yang penasaran
tentang siapa kah kau pemilik
wajah yang menebarkan
aura persahabatan,
senyum dan wajah nan tampan
yang tak lekang oleh zaman,
hingga terjawab ketika kau mengulurkan tangan
sambil menyebut namamu Aran
mungkin saja waktu itu ,
wahai mas budi dan mas bagyo
lelaki rendah hati dalam banyaknya ilmu
aku salah satu yang ragu
untuk memulai menyapa dulu,
takut membuatmu merasa terganggu
oleh semua tingkah lakuku
dan baru mulai bersapa setelah berminggu minggu,
dan menjadi tahu
mas bagyo dan Mas Idub namamu
mungkin saja waktu itu,
wahai Mpok Merrin kawan mainku
orang orang melihatmu cewek pemalu
hingga akhirnya semua tahu
kau penari hebat saat diputarkan lagu melayu
dan semua sepakat dangdut adalah nama tengahmu
mungkin aku telah lupa,
bagaimana cara kita pertama berjumpa,
tapi kita pasti sepakat bahwa kita tak lupa
waktu waktu selanjutnya memyatukan kita seumpama keluarga
bekerja bahu membahu bersama,
makan, minum, bercanda tawa bersama
atau terdiam menunggu senja
saat dimana kita akan pulang ke keluarga sebenarnya
kita pasti sepakat,
masa telah mematangkan rasa
hingga seolah
sakit ku adalah sakit mu
sakit mu adalah sakit ku
senang mu, senamg ku
senang ku, senang mu
meski gajimu tetap gajimu
dan gajiku tetap gajiku
seperti keluarga lain,
kadang kita pun menjalani hubungan yang lucu,
dekat berseteru,
tapi saat jauh merindu
kawan kawan,
kita akhirnya tiba pada kenyataan,
hidup tak selalu seperti yang kita inginkan,
kerelaan atau ketidak relaan tidak pernah menganulir keputusan,
kita hanyalah bidak yang dimainkan menuju tujuan,
tak tertolak, tak juga tertahan
selamat jalan, kawan
mungkin kita akan bertemu entah kapan,
kalau hidup memberi jeda,
kita akan berbincang untuk mencoba mengingat
apa yang hari ini telah kita lupa
(Sutikno Slamet, 14 Jan 2022)
Critical Pedagogy
“Biasa ‘kan ganti pejabat ya ganti kebijakan”, celetuk bu Doktor Anita pada salah satu grup WhatsApp yang sedari pagi riuh beberpa waktu yang lalu ketika menanggapi program MBKM-nya om Nadiem.
MBKM, Mahasiswa Belajar Kampus Merdeka. Terobosan pak Menteri yang ternyata tidak sesederhana nama yang digaungkan. Banyak komponen yang harus dikaji, dievaluasi dan direvisi sehingga memaksa para pelaku pendidikan untuk benar-benar paham esensinya sebelum ikut serta dalam implementasi kebijakan tersebut agar tujuan yang diharapkan tercapai maksimal.
Dari filsafat ilmu Pendidikan, kata ‘merdeka’ merupakan salah satu implementasi teori Paulo Freire tentang ‘critical pedagogy’ atau ‘pedagogi kritis’. Pelajar distimulasi agar dapat berpikir kritis terhadap perkembangan sosial dalam bidang pendidikan, khususnya pada sistem, kebijakan, dan atau metode pengajaran (pedagogi) dalam arti luas. Pendidikan yang mengajarkan keadilan, kesejahteraan sosial dan demokrasi yang tidak membenarkan sikap opresif.
Lalu, apakah pemahaman akan teori pedagogi kritis ini telah dimaknai demikian? Jika masih ditemukan banyak kecurangan yang justru dilakukan oleh orang-orang yang merasa bangga dengan berderet gelar akademik, masih hangat pemberitaan tentang ‘sex predator’ kampus? Masih ada saja mahasiswa atau pelajar yang terpaksa berhenti melanjutkan studi mereka karena kendala biaya? Serta beragam fenomena kompleks yang perlu dibenahi lebih dari sekedar menghabiskan anggaran untuk sosialisasi, mengadaptasi kurikulum, menyelenggarakan berbagai pelatihan, seminar dll bagi para pendidik.
Kalaupun 4 atau 5 tahun ke depan para generasi muda ini (baca: mahasiswa) terjun ke dunia kerja, apakah bekal pedagogi kritis yang mereka dapatkan di kampus akan sejalan dengan institusi ataupun perusahaan yang mempekerjakan mereka? Bukankah masih marak kolusi dan korupsi? Implementasi talenta manajemen yang masih sebatas wacana? Sistem birokrasi yang bersifat subjektif dalam beberapa hal? Serta berbagai masalah lain yang terkadang salah dibenarkan dan yang tidak lazim menjadi lazim?
Siapapun pejabat atau pimpinannya, tidak mudah untuk mereformasi satu bidang dalam waktu yang cepat dan memuaskan semua pihak. Kebijakan baru pasti dibuat berdasarkan hasil analisis dan evaluasi yang valid dan reliable. Pemikiran “ganti pejabat pasti ganti kebijakan” akan lebih terdengar positif ketika disugestikan menjadi, “ganti pejabat pasti kebijakannya menjadi lebih baik”. Lalu membuka diri untuk menerima hal-hal baru, berusaha mengatur langkah agar tidak tertinggal, melihat hal-hal sulit menjadi sebuah tantangan yang menyenangkan. Dan diatas itu semua, mengasah kemampuan berpikir kritis dari hal-hal kecil di lingkungan terdekat seperti keluarga, pekerjaan, kehidupan sosial dengan mempertajam empati. Memulai dari diri kita sendiri sepertinya merupakan jalan terbaik ketika kita menjadi bagian dari ekosistem yang menurut kita ‘salah’.
DESEMBER: CERITA DAN AIR MATA
Senin sore di penghujung Desember 2021,
Hujan masih menyisakan aroma sejuknya …
Hari-hari yang cukup melelahkan, dengan berbagai tenggat akhir dan awal tahun.
Aku beranjak dari meja kerjaku; Laptop yang masih menyala, tumpukan kertas, peralatan tulis, air es pada 2 botol beling dengan masing-masing tersisa setengahnya, kudapan dan gawai yang tersambung pada saklar listrik dalam posisi ‘charging’
Aku melirik ke jam dinding sejenak, pukul 17.25 … lalu mendekat ke jendela, menyibak tirai putih tipis yang sedari tadi bergerak mengikuti irama angin …
Ah … bau tanah tersiram hujan selalu mampu menenangkan penat …
Aku membuang pandang ke luar, menghadiahkan netra dengan tanaman-tanaman hijau yang berjejer rapi pada pot-pot keramik besar di teras …
Sudah dua lustrum berlalu, namun cerita di penghujung Desember satu dasawarsa yang lalu masih tetap bergala.
“You know what? I can’t stop thinking of you here! I really miss you, hun … miss you soooo bad!”
Suaramu kencang diujung telpon,
“Lagian jalan-jalan sendiri, ngga ngajak-ngajak”, aku menjawab setengah merajuk yang langsung disambut gelak tawamu yang khas.
“Yep, someday! Asik banget ya ngebayangin kalo nanti kita bisa berdua kesini, kemana-mana pake train, honey-moon, hmmm … always pray for our best, ok?” suaramu terdengar parau.
Saat itu aku hanya mengangguk, ikut masuk ke dalam hayalanmu.
Aku tersentak merasakan semburan angin kencang yang tiba-tiba menerpa, awan menggelap, bersiap mencurahkan rebas …
Tiba-tiba ada rasa sakit yang kembali menyelinap, rasa sakit yang sama yang belum juga bisa mereda.
Sayup terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an dari masjid menjelang Magrib.
Aku mengusap ujung mataku yang terasa basah, menghela nafas dalam, mengeluarkan sesak, lalu bergumam dalam hati, “It’s past! That best prayer had been answered … Tuhan tidak pernah salah. Dia menitipkan luka pada kita karena tau kalo orang-orang yang kita sayang lemah, tak seberdaya kita ketika harus menentang norma. Dia juga mematrikan rasa agar kita berhenti ‘mencari’ dengan cara yang salah. Berdarah dan bersimbah air mata sesaat setelah melalui perjalanan yang indah sangatlah menyiksa. Menyesali pertemuan yang pernah ada sama dengan memaksa takdir memutar masa. “Just pray for our best, ever and after …” Karena, tidak ada yang bisa menerka hilir dari rasa yang masih terus ada …
** Can you hear me? Can you hear me?
Through the dark night, far away
I am dying, forever crying
To be with you, who can say
**Sailing, Rod Stewart