Setelah sebulan
aku dan suamiku sembuh dari penyakit sejuta umat, kami berdua akhirnya memiliki
kesempatan untuk mengunjungi Usman di kampung. Damar, suamiku, ingin memastikan
kondisi Usman.
Aku hanya berdiri di depan pintu rumah
sederhana milik ibunya Usman. Rupanya setelah keluar dari rumah sakit, Usman
dibawa ke rumah ibunya yang tinggal sendiri. Ia seolah sudah tak punya lagi mempunyai
keluarga setelah bercerai dengan isterinya beberapa tahun yang lalu.
Tercium olehku bau pesing dari dalam rumah itu.
Kudengar juga dari saudaranya bahwa Usman sering membuka pampers-nya dan buang
air kecil di atas kasur. Mungkin Usman juga tak sadar apa yang dilakukannya.
Usman duduk di atas kasur yang digelar di
lantai. Tenggorokanku tercekat melihat kondisi Usman. Mukanya pucat bak mayat.
Matanya cekung dan pandangannya kosong. Ia tak memiliki daya untuk sekedar
menopang tubuhnya yang kurus kering. Berbeda dengan Usman yang kulihat beberapa
bulan sebelumnya.
Kulihat Bulek Tansah, ibunya Usman,
tertatih-tatih menyambut kami. Tak bisa kubayangkan bagaimana repotnya seorang
ibu yang sudah renta harus mengurusi anaknya yang sakit. Penyakit Bulek Tansah
pun sebenarnya tergolong berat tapi ia tetap bersemangat merawat anaknya.
Untungnya saudara-saudara kandung Usman tinggal berdekatan dengannya, sehingga
mereka bisa bergiliran menjaga Usman.
“Man, apa kabar?”
Damar duduk di depan pintu. Badannya
membelakangi Usman. Sepertinya ia tak tega melihat kondisi Usman yang
mengenaskan.
“Ya aku begini, Mas. Aku bingung sakit apa. Aku
nggak bisa nelen makanan. Setiap mau makan aku selalu muntah. Makanku hanya
susu kambing dan air tajin saja ….”
Kudengar suara Usman parau. Rupanya sakit juga
merubah suaranya.
“Ya harus makan, Man. Satu-satunya cara untuk
sembuh ya makan,”ujar Damar.
Kudengar Usman membalas dengan penjelasan
panjang dan lebar. Rupanya kecerewetannya tidak berkurang walaupun ia sakit.
Itu yang patut disyukuri. Satu kebiasaannya yang berkurang adalah tertawa. Usman
selalu tertawa setiap kali menyelesaikan kalimatnya. Aku sangat tidak menyukai
bunyi tertawanya. Aku sempat berpikir bahwa ada syaraf tertawa di otaknya yang
bocor sehingga Usman tidak bisa menahan untuk tidak tertawa di setiap kalimat yang
diucapkannya.
“Ini mending, Mas. Udah bisa duduk. Tadinya
nggak bisa. Udah bisa ngobrol juga. Tadinya sering bengong dan berhalusinasi.
Segala hal yang tidak mungkin diucapkannya. Sering bicara nggak jelas juga.
Mending ini nyambung diajak ngobrol,” terang Ima, adik perempuan Usman.
Aku kembali mendengar kembali keluhan Usman
tentang kondisinya. Sepertinya memorinya pun terganggu karena Usman bercerita
hal yang sama berulang-ulang.
“Dia sering memanggil nama anaknya yang bungsu,
tapi tak pernah datang menjenguk bapaknya. Anak sulungnya sih sesekali datang
menjenguk, itu pun nggak lama. Usman ini sepertinya juga depresi menahan rindu
kepada anak-anaknya. Dokter juga meresepkan obat penenang,”sambung Ima.
Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Entahlah
apa kesalahan Usman sehingga ia harus menjalani hidup di masa senjanya seperti
ini. Tak memiliki apa pun selain penyakit dan kesulitan. Aku juga tak tahu apa
yang terjadi selama sepuluh hari Usman terkurung sendiri di kamar kost-nya
tanpa makan dan tak ada seorang pun yang bisa diajak berbicara untuk sekedar mengeluhkan sakitnya.
Akhirnya kami pamit. Kutitipkan sedikit uang
kepada Ima untuk membeli makanan yang layak untuk Usman.
“Untuk saat ini kamu harus fokus dulu buat
sembuh, Man. Setelah itu, kita pikirkan nanti saja,”pinta Damar.
“Iya, Mas.” Air mata sepertinya menggenang di
mata Usman. Matanya menerawang jauh.
Mungkin ada hal yang sedang dipikirkannya.
Kami
berdua berjalan menjauhi rumah Bulek Tansah dalam hening. Berbagai pikiran
berkecamuk di kepalaku. Satu hal yang kuharapkan adalah Usman tidak putus asa
dan tetap berusaha untuk pulih secara fisik dan mental. Semoga.
(Masih) Bersambung