Gadis kecil Itu menutupi kuping dengan rambutnya ketika beberapa temannya menutup hidungnya. Ia meletakkan bola bekel yang sedang dipegangnya. Ia berdiri dari duduknya dan berpamitan kepada teman-temannya bermain. Mukanya bersemu merah menahan rasa malu di hatinya.
Dalam beberapa langkah, ia mendengar teman-temannya berbicara satu sama lain. Pembicaraan yang membuat gadis kecil Itu merasa tersisih dari pergaulan anak-anak seusianya.
“Kenapa tadi baunya nggak enak sekali ya? Ampun deh, aku nggak sanggup berdekatan dengannya. Lain kali jangan diajak bermain lagi, bikin jijik aja.”
“Bukan aku yang ajak, kok. Dia sendiri yang pengen gabung,” timpal yang lainnya.
Gadis kecil Itu terus melangkah menjauhi tempatnya bergaul bersama teman-temannya. Rasanya tak ada harapan baginya untuk kembali bermain bersama.
Sesampainya di rumah ia langsung masuk kamar. Perasaannya sungguh terluka. Ia ingin sekali bercerita tapi ia tak sanggup bercerita karena merasa tak ada gunanya.
Ditatapnya cermin dengan pandangan nanar. Ia memegang rambut di sebelah telinganya. Rambutnya lengket dan mengering. Tercium olehnya bau yang menyengat. Pantas saja teman-temannya tak mau ia berada di dekat mereka.
Gadis kecil itu semakin murung. Tak terbayangkan bagaimana kalau ia pergi ke sekolah dengan keadaan seperti itu. Tiba-tiba telinganya terasa hangat, ada cairan yang keluar dari telinganya. Diambilnya lap dapur untuk mengusap telinganya. Setelah itu, diam-diam ia mencuci lap Itu.
Kejadian hari itu bagaikan mimpi buruk bagi seorang gadis kecil yang baru berusia delapan tahun. Pikirannya bekerja keras untuk menyelesaikan masalahnya sendiri agar ia bisa menjaga harga dirinya di harapan teman-temannya.
***
Keesokan harinya
Gadis kecil itu membuka lemari pakaian orang tuanya di saat ayahnya sedang bekerja dan ibunya sedang ke pasar. Saat itu ia kebagian masuk sekolah pada siang hari. Diambilnya sebuah kartu dari laci lemari.
Dengan perasaan deg degan gadis kecil Itu naik angkot menuju suatu tempat yang sebenarnya asing baginya. Tubuhnya yang mungil memasuki sebuah bangunan yang sering dikunjungi banyak orang. Kebanyakan orang dewasa yang datang ke sana. Kalau pun ada anak kecil, pasti ada orang dewasa yang mendampinginya.
Gadis kecil itu sempat ditolak di bagian pendaftaran. Orang dewasa yang berada di situ, memintanya datang dengan orang dewasa. Tak habis akal, ia menampakkan mimik kesakitan sambil memegangi kupingnya. Akhirnya, karena kasihan melihat gadis kecil itu, ia diperbolehkan mendaftar.
Tak lama namanya dipanggil. Ia disuruh menimbang badan dan menunggu dipanggil kembali. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit ia dipanggil masuk. Seorang laki-laki dewasa berbaju putih menyambutku dengan senyum yang ramah.
“ Mana orang tuamu, Nak?” tanya laki-laki Itu dengan ramah.
“Aku datang sendiri, orang tuaku sedang sibuk.” Lelaki berbaju putih Itu mengeryitkan kening heran. Mana mungkin tubuh mungil itu bisa datang sendiri ke tempat orang biasa menyembuhkan penyakitnya.
“Kamu kenapa?” Akhirnya lelaki Itu menyerang.
“Teman-teman meninggalkanku karena kupingku bau,” jawab gadis Itu dengan sedih.
Laki-laki berbaju putih Itu berdiri. Ia memeriksa kuping gadis kecil itu.
“Apa yang kamu lakukan terhadap kupingmu?”
“Aku tidak melakukan apa-apa, paling kalau kupingku gatal, kukorek pakai peniti atau kertas, atau jepit rambut hitam,” jawab si gadis kecil.
Di wajah laki-laki itu tergambar senyum yang ditahan ketika mendengar jawaban si gadis kecil. Setelah itu ia mengambil alat dan memasukkannya ke telinga si gadis kecil tanpa perasaan jijik seperti teman-teman si gadis kecil.
“Tahan sebentar, ya! Kotoran di kupingmu akan dibersihkan agar kamu bisa bermain kembali dengan teman-temanmu.” Si gadis kecil mengangguk dan mencoba menahan rasa sakit.
“Setelah ini jangan sekali kali pakai alat alat yang kamu sebutkan tadi untuk mengorek kupingmu. Kan bisa jadi jepit atau penitimu karatan. Kertasmu juga kan kotor. Minta tolong ibumu untuk membersihkan kuping. Jangan masuk terlalu dalam kalau membersihkan kuping, ya!” Gadis kecil Itu mengangguk.
“ Ambil obat di apotek, di sebelah tempatmu mendaftar tadi. Lain kali datang ke sini bersama orang tuamu, ya.” Lelaki itu menyodorkan kertas yang telah ditulisinya. Si gadis kecil mengambil kertas itu dan keluar dari ruangan.
“Jangan lupa minta ibumu memotong rambutmu, ya.”
Gadis kecil itu mengangguk dan berkata lirih, “Terima kasih, Dok.”
Laki-laki yang ramah itu selalu memiliki tempat di hati si gadis kecil itu karena dialah orang dewasa pertama yang mempercayai dan tidak menertawakan kesedihan yang dialaminya.
PS:
Gadis kecil yang ‘conge’-an Itu adalah aku. Tempat yang kudatangi adalah Puskesmas Pasundan yang ada di Jl. Pungkur Bandung....
Depok, 4 Desember 2020