Suasana
malam semakin hening. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus bernyanyi di
gelapnya malam Desa Kemuning. Aku menunggu kata pertama yang akan diucapkan
oleh Mahmud, saudara sepupuku walaupun dalam hati aku sudah bisa menebak apa
keperluan Mahmud mendatangi rumahku malam-malam begini. Upaya Mahmud membelah
sepi dan gelapnya malam dari Desa Melati menuju Desa Kemuning adalah perjuangan
yang lumayan berat.
“Anak-anak
sudah tidur?” tanya Mahmud berbasa-basi. Ia sudah tahu kalau isteri dan
anak-anakku sudah tidur semua di jam seperti ini.
“Sudah,”
jawabku pendek.
“Mau minum
apa? Kopi, teh?” Aku mencoba menawarkan minuman sebagai basa-basi untuk
kepantasan percakapan dengan tamu.
“Nggak usah,
Mas. Aku sudah ngopi tadi di rumah,” tolak Mahmud.
“Tumben
malam-malam ke sini. Ada apa, nih? Keluarga sehat, kan?” tanyaku lagi.
“Alhamdulillah,
sehat semuanya.”
Mahmud
terdiam. Pandangannya menerawang ke atas langit-langit rumah. Aku pun terdiam,
menanti ucapan Mahmud selanjutnya. Suara jangkrik terdengar semakin keras.
“Sebentar
lagi kan tahun ajaran baru, Mas ….
Mahmud
kembali terdiam. Sepertinya ia ragu untuk melanjutkan pembicaraannya. Aku masih
menunggu ucapan Mahmud.
“Si Nabil
dan Mitha harus daftar ulang, sedangkan jualanku lagi sepi ini karena ada toko
perabot baru yang lebih lengkap di dekat Kantor Kecamatan. Banyak pelangganku
yang pindah ke toko itu,” terang Mahmud.
“Berapa yang
kamu butuhkan?” tanyaku akhirnya.
Kulihat
wajah Mahmud berseri mendengar pertanyaanku. Mungkin pertanyaan itu yang
diharapkannya keluar dari mulutku.
“Kalau
boleh, aku mau pinjam tiga juta saja, Mas. Nanti kalau tanah warisanku terjual,
aku akan segera mengembalikannya. Sekarang sih sudah ada beberapa peminat yang
serius, Mas. Aku tinggal menentukan saja mau dikasih ke siapa tanah itu.”
Aku terdiam
sejenak. Kupandangi wajah Mahmud yang sepertinya berharap sekali aku memenuhi
keinginannya.
“Lagi pula
kenapa sih kamu nggak nurut aja sama aku. Kamu itu harusnya memasukkan anak ke
sekolah negeri, jadi kamu nggak bingung bayar SPP. Kalau setiap semester
begini, kan kamu juga yang repot,” ujarku setengah mengomel.
Mahmud
menunduk mendengar ucapanku. Melihat Mahmud seperti itu membuatku iba. Walaupun
aku sering kesal dengan perilaku Mahmud, tapi aku sering merasa tak tega
terhadap saudara sepupuku yang satu ini.
“Kalau soal
uang, aku harus tanya isteriku dulu. Semua uang kami dia yang simpan. Jadi, aku
nggak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu. Belum lagi, kemarin isteriku nanya
pinjaman kamu sebelumnya belum dibayar. Waktu itu kamu juga janji akan segera
dibayar kalau motor kamu terjual. Sayangnya, motor kamu entah ke mana, utangmu
ke aku nggak terbayar juga. Aku harus bilang apa sama Ranty? Padahal kami juga
punya anak yang harus masuk kuliah nih bulan depan,” sambungku. Aku berusaha
menolak secara halus permintaan Mahmud.
“Tolong
banget, Mas. Kepada siapa lagi aku harus datang kalau bukan ke Mas,” ujar Mahmud
dengan wajah dibuat memelas.
“Gini deh,
aku bilang dulu sama Ranty. Nah kalau Ranty setuju, baru aku bisa kasih kabar.
Sekarang pulang dulu, aku ngantuk. Besok aku harus pergi pagi-pagi, ada rapat
guru di sekolah,”usirku.
“Iya, Mas.
Aku pamit dulu. Sekali lagi aku minta kebaikan hati Mas untuk menolongku. Kali
ini aku nggak ada ingkar janji,” ujar Mahmud.
“Jangan
kebanyakan buat janji!” ujarku sedikit kesal.
Kalau
kuingat entah berapa kali Mahmud melakukan hal yang sama kepadaku. Padahal dia
tahu kalau aku itu tak memiliki banyak harta apabila dibandingkan dengan kakak
kandung dan adik kandungnya. Ia lebih sering meminta bantuanku daripada kepada
mereka.
Kulepas
Mahmud di kegelapan malam. Setelah itu, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci
pintu depan. Entah apa lagi alasan yang harus kusampaikan kepada Ranty agar ia
bisa mengeluarkan uang tabungan kami. Terlebih yang meminjam uang itu adalah
Mahmud, yang sering ingkar janji dan seringkali tidak mengembalikan uang yang
dipinjamnya kepada kami.
***
“Siapa yang
bertamu malam-malam, Mas?”
“Lho, kirain
udah tidur,” ujarku mendengar pertanyaan Ranty.
“Aku agak
sulit tidur nih. Mahmud, ya? Mau minjem uang, kan? Tiga juta kan?” tanya Ranty
seolah menerorku
Dugaan Ranti
jarang meleset apabila ada tamu datang ke rumah. Ia bisa menebak apa maksud
kedatangan tamu itu ke rumah. Terlebih kalau yang datang Mahmud, Ranty bisa
memperkirakan apa keperluan Mahmud bahkan beberapa hari sebelum kunjungannya.
“Kok tahu?”
tanyaku pura-pura kaget.
“Ya tahu
aja. Soalnya aku ngecek berapa biaya daftar ulang di sekolah Nabil dan Mitha,”
jawab Ranty.
“Hehehe,
kamu itu tapi bener kok, tadi dia datang ke sini mau minjem uang sejumlah tiga
juta. Kita ada uang segitu?” pancingku.
“Ada sih,
Mas tapi kan kita juga butuh untuk biaya Amira daftar-daftar ke perguruan
tinggi,” jawab Ranty.
“Kalau gitu,
kasih aja separuhnya,” pintaku.
“Mahmud itu
masih punya utang sama kita sejumlah empat juta rupiah lho. Kita belum ada
deklarasi mengikhlaskan. Ini masih mau nambah utang lagi, gimana sih, Mas? Oke
lah kita kasih setengahnya tapi kan sama aja nambah utang dia lagi. Kita ini
bukan orang kaya, Mas. Nggak bisa lho dia terus menggantungkan pemenuhan
kebutuhannya kepada kita. Kakak sama adiknya kan bisa juga dimintain tolong,”
ujar Ranty dengan suara agak meninggi.
“Kasian lho
si Mahmud itu. Usahanya lagi sepi.” Aku mencoba membujuk Ranty. Bagamana pun,
Mahmud adalah saudaraku juga.
“Mas selalu
begitu.”
Ranty
membaring di tempat tidur dan membelakangiku. Akhir-akhir ini ia memang sering
tak ramah kalau ada kunjungan dari saudara-saudaraku. Aku akui, banyak
saudaraku selain Mahmud yang sering meminta bantuan kepadaku. Menurutku itu
wajar karena aku dianggap orang yang paling bisa diandalkan. Sayangnya, itu
membuat Ranty agak kesal.
“Jangan
gitulah. Kalau kita bisa bantu, ya dibantu saja. Siapa tahu suatu hari kita
yang butuh bantuan mereka,” bujukku.
Tak ada
sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ranty. Aku tak tahu apa yang ada di
dalam pikiran Ranty mendengar ucapanku.
“Mas,
sebelumnya kita udah ngasih pinjaman ke Fauzi lho.” Ranty membalikkan badannya
dan menghadap ke arahku.
“Lho Fauzi
kan adik kandungku, wajar dong kita bantu. Waktu Si Neneng, sepupumu itu minta
bantuan aja kita kasih, kan?” Aku agak kesal juga mendengar Ranty mengungkit
bantuan yang diberikan kepada adik kandungku.
“Lho kok
jadi bawa-bawa si Neneng, Mas?” tanya Ranty dengan kesal. Ia bangkit dari
tidurnya.
“Kamu sih
yang pertama bawa-bawa Fauzi,” timpalku.
“Mas itu
hitung-hitungan kalau sama keluargaku.”
“Bukannya
kamu yang sering hitung-hitungan kalau ada saudaraku yang butuh bantuan?”
Aku mulai
marah dengan sikap Ranty. Kenapa ia bisa mengungkit apa yang sudah kuberikan
kepada saudaraku sendiri.
“Berapa banyak
kukeluarkan uang yang kusimpan sedikit demi sedikit untuk keperluan kita
sendiri yang akhirnya diberikan kepada saudara-saudaramu. Apa pernah aku
mempermasalahkannya?” tanya Ranty. Mukanya terlihat marah kepadaku.
“Lha barusan
apa namanya kalau bukan mengungkit-ngungkit? Kamu itu memang perhitungan kalau
sama keluargaku. Beda kalau yang minta bantuan keluargamu pasti kamu akan
berikan walaupun jumlahnya banyak. Belum lagi sikap kamu yang sering nggak
ramah sama keluargaku.”
Akhirnya aku
tak tahan lagi. Aku mengeluarkan unek-unekku kepada Ranty. Kulihat wajah Ranty
memerah. Air mata mulai jatuh di pipinya. Saat itu aku agak menyesal juga
mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati Ranty tapi rasa ego mencegahku
meminta maaf kepada Ranty.
“Mas kok
gitu sama aku? Gara-gara si Mahmud kenapa Mas jadi marah sama aku?”
Tangis Ranti
pecah. Ia kembali berbaring dan membalikkan badannya membelakangiku. Aku
bingung harus berbuat apa. Ketika tanganku hendak membelai rambutnya, egoku
mencegahnya.
Akhirnya aku
juga membalikkan badan saling memunggungi. Percakapan selesai sampai di situ.
Aku cegah diriku membalas ucapan Ranty. Malam itu berlalu dengan perasaan
dingin di hatiku. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Ranty. Kemarahan kami
berdua terbawa ke alam mimpi.
***
Pagi-pagi
ketika aku hendak berangkat ke sekolah, Ranty sudah tak ada di kamar. Kucari ke
seluruh sudut rumah, tak kutemukan sosok yang telah menemaniku selama dua puluh
tahun itu. Kubuka tudung saji di meja, tersaji sepiring nasi goreng dengan
sebuah telur ceplok di atasnya.
“Mama ke
mana, Mi? tanyaku kepada Almira yang sedang mencuci piring.
“Nggak tahu,
Pa. Tadi pagi udah rapi tapi nggak bilang mau pergi ke mana,” jawab Amira
sambil terus mencuci piring.
Ponsel yang
kupegang berbunyi. Ada pesan masuk yang ternyata dari Ranty.
Mas, Aku
mau pulang ke rumah Ibu dulu. Biarkan aku tenang beberapa hari. ATM kusimpan di
meja kerjamu. Silakan kamu beri pinjaman ke Mahmud atau siapa pun. Mau
dihabiskan pun uang yang ada di ATM, silakan. Jangan telepon atau kirim pesan.
Aku akan pulang sendiri kalau pikiranku sudah tenang.
Aku tak tahu
harus berkata apa. Sekesal apa pun aku kepada isteriku, tak pernah sedikit pun
terpikir olehku untuk meninggalkannya. Membaca pesan dari Ranty, aku merasa
sedih.
“Kenapa, Pa?
Kok sedih begitu?” tanya Almira.
“Mama ke
rumah Nenek,” jawabku.
“Ya biarin
aja, Pa. Kan Nenek itu ibunya Mama, wajar dong Mama pengen nengok,” ujar Almira
polos.
Assalamualaikum
Walaikum
salam
Dari pintu
belakang muncul Mahmud dengan muka yang penuh harap. Ia tersenyum ke arahku.
“Belum
berangkat, Mas?” tanyanya.
Aku hanya
menatap mukanya dengan kesal.
Bagaimana
Mas? Mbak Ranty sudah ngasih kan uangnya?” Aku melotot kepada Mahmud.
“Pulang
sana. Jangan pernah balik lagi ke sini. Pikirkan saja urusanmu sendiri!”
teriakku sambil menyeret Mahmud ke pintu. Setelah itu kututup pintu dengan
keras. Almira hanya melihatku dengan pandangan heran.
***
Depok, 11
Juni 2020