Cinta Dalam Semangkuk Sup Kaki Sapi
Kuperhatikan
dengan segenap konsentrasi langkah demi langkah Syarif, orang yang telah
mendampingiku mengarungi kerasnya kehidupan selama puluhan tahun. Aku mencoba
menahan perasaan sedih karena melihatnya berjuang mencapai tempat yang telah
ditentukan oleh terapis yang biasa dipanggil ke rumah.
Masih
lekat dalam ingatanku betapa gagahnya Syarif berjalan dari satu tempat ke
tempat lainnya untuk mendorong roda yang penuh dengan sayuran dari satu rumah
ke rumah yang lain tanpa lelah. Impiannya hanya ingin membuat anak-anak kami
mengenyam pendidikan yang tinggi. Bukan untuk kebaikannya sendiri tapi untuk
kebaikan anak-anak kami sendiri.
Tak
pernah ada kata lelah dalam kamusnya saat itu. Ia hanya ingin yang terbaik
untuk keluarganya.
Saat
ini ia sedang berjuang meraih kembali apa yang dulu dimilikinya, yaitu pijakan
kakinya agar kuat kembali menjelajah dunianya tanpa merepotkan orang lain.
Kuusap
air mata di pipi agar Syarif bisa melihatku semangat mendampinginya melewati
hari-hari yang sangat berat baginya. Aku ingin ia kembali ceria seperti dulu
walaupun langkahnya semakin terbatas.
***
“Kang,
jangan terlalu capek gitu dong. Biar saja aku yang masak,” ujarku melihat
Syarif sibuk meracik bumbu untuk memasak sup kaki kegemaran anak-anak kami yang
berjumlah tiga orang.
“Nggak
apa-apa. Aku bahagia melihat keceriaan mereka menyedot tulang sumsum sapi yang
kumasak. Itulah masa yang membahagiakan bagiku. Ketika mereka makan lahap, itu
bagaikan sebuah persembahan istimewa sebagai ucapan terima kasih atas jerih
payahku menyediakan makanan bergizi bagi mereka,” terang Syarif sambil terus
meracik bumbu.
Sesekali
aku membuka panci, memastikan apakah kulit kaki sapi yang menempel di kaki sapi
itu sudah empuk. Sambil menunggu kulit sapinya matang, kucuci beras dan kutanak
nasi di kompor.
“Mudah-mudahan,
ketika anak-anak pulang sekolah, sup kita sudah jadi ya, Bu.” Aku hanya
mengangguk. Syarif selalu bersemangat ketika memasak untuk anak-anak.
Betapa
aku beruntung memiliki suami yang sayang kepada keluarganya. Walaupun hidup
kami pas-pasan tapi Syarif selalu berusaha menyisihkan uang untuk menyajikan
makanan penuh gizi bagi keluarganya.
***
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam.”
Aku
menjawab salam ketika kudengar suara ketiga anakku serempak memasuki rumah.
Mereka bertiga berlarian dan berebut memelukku.
“Ayah
di mana, Bu?” tanya Nina sulungku yang duduk di bangku kelas enam SD.
“Di
dapur.”
“Pasti
lagi masak sup kaki sapi, wanginya enak banget,” ujar Dita ceria. Ia adalah
anakku yang kedua dan masih duduk di kelas lima SD.
“Hore,
makan enak lagi!” teriak Amir, si bungsu terlihat gembira mendengar ucapan
kakaknya.
“Ayo
ganti baju dan salat Dzuhur dulu, abis itu kita makan siang bareng!”
Mendengar
perintah ayahnya, mereka bertiga berlari ke kamar. Setelah itu mereka melakukan
salat Dzuhur bersama-sama. Aku tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka
bertiga yang tak pernah menyusahkanku dan Syarif. Sekali lagi peran Syarif
sangat besar menjadikan anak-anak seperti sekarang ini.
“Nah supnya
sudah siap!”
Syarif
muncul dari dapur membawa semangkuk besar sup kaki sapi yang dimasaknya tadi.
Aku menuangkan nasi dari dandang ke tempatnya. Asap masih mengepul dari nasi
dan sup kaki sapi yang dimasak Syarif. Baunya sangat sedap di hidung sehingga
membuat perut meronta-ronta ingin segera mencicipi makanan favorit keluarga.
Tiba-tiba
Amir tersedak. Syarif menyodorkan gelas berisi minuman kepada Amir.
“Makannya
pelan-pelan. Tunggu sampai dingin dulu!” tegur Syarif lembut.
“Iya,
Ayah,” jawab Amir.
“Ayah,
supnya enak pake banget lho,” puji Nina.
“Iya,
Yah,” timpal Dita sambil menyendok kembali sup ke dalam mangkuknya.
“Alhamdulillah
kalau kalian suka. Cuma maaf, ya. Ayah tak bisa sering-sering memasak sup kaki
sapi, soalnya harus kumpulin uang dulu. Kaki sapi mahal.”
“Nggak
apa-apa kok, Yah. Nina ngerti kok. Makan dengan tempe goreng juga enak kok,
asal kita barengan begini.”
Syarif
tersenyum mendengar ucapan Nina. Aku memandangi suami dan anak-anakku dengan
perasaan yang sulit dilukiskan. Tak ada lagi yang kuminta selain Syarif dan
anak-anak selalu sehat agar kami bisa selalu membagi cinta kepada anggota
keluarga.
***
Aku
ingat, betapa bahagianya Syarif ketika menyaksikan wisuda ketiga anak kami.
Walau berusaha menahan keharuan, aku menyaksikan Syarif selalu mengusap air
mata yang menetes ketika Nina, Dita, dan Amir maju ke depan memakai toga untuk
menerima ucapan selamat dari rektor.
Begitu
juga ketika satu per satu anak-anak kami menikah, Syarif selalu berusaha tegar
walau aku tahu ia sedih melepas anak-anak yang sangat dicintainya meninggalkan
rumah. Akulah saksinya ketika malam-malam Syarif mengusap-usap foto ketiganya.
Cintanya
yang dalam, membuat Syarif tak ingin merepotkan anak-anak. Ia tak pernah
meminta apapun dari mereka walau berulang kali ketiga anak kami menanyakan apa
yang diinginkan ayahnya. Jawabannya selalu sama, “Kebahagiaan Ayah itu adalah
ketika melihat kalian bahagia.”
Bahkan
Syarif tetap berjualan sayur, walau anak-anak sudah memintanya istirahat.
Segala biaya hidup kami akan ditanggung mereka tapi Syarif bersikukuh dengan
alasan, “ Ayah bosan kalau nggak melakukan apa-apa.”
Akhirnya
sebagai jalan tengah karena kekhawatiran anak-anak, Syarif membuka warung
sayuran di rumah. Itu pun setelah melalui bujuk rayu yang tak sebentar sampai
Syarif luluh. Aku tak bisa memaksanya untuk berhenti berjualan karena itu
adalah hiburannya apalagi anak-anak sudah tidak ada lagi yang tinggal serumah
dengan kami.
Sampai
suatu ketika, Haji Darmin, pemilik kios daging di pasar mendatangi rumah.
Dengan nafas terengah-engah ia memanggil namaku. Saat itu, aku sedang
membereskan warung sambil menunggu Syarif datang dari pasar membawa belanjaan
sayur untuk dijual.
“Aisyah
… Aisyah!”
“Ada
apa Pak Haji?” tanyaku kaget. Tak biasanya Haji Darmin mendatangi rumahku
ketika Syarif tidak berada di rumah.
“Syarif
… Syarif ….”
“Ada
apa dengan Kang Syarif?” tanyaku mulai risau.
“Syarif
jatuh di pasar ….”
“Jatuh
gimana?” tanyaku panik.
“Ya
jatuh ke bawah, pingsan! Dibawa orang pasar ke RSUD ….”
Belum
selesai Haji Darmin menjelaskan, aku masuk ke dalam rumah. Kuambil tas yang
tergantung di tembok. Setelah itu aku memesan ojek online. Rasanya waktu
berjalan lambat sampai akhirnya ojek datang.
***
Anak-anak
memindahkan Syarif ke rumah sakit yang lebih besar dengan alasan agar ayahnya
bisa mendapatkan penanganan yang lebih baik. Saat itulah Syarif tak berdaya
menolak keputusan anak-anak.
Siang
malam, aku mendampingi Syarif yang terbaring tak berdaya karena terkena stroke.
Sering kali kulihat Syarif memandangi wajahku, kemudian ia akan meneteskan air
mata.
“Maafkan
aku, ya! Aku merepotkanmu.”
“Kang,
jangan bicara gitu. Aku ikhlas kok. Bertahun-tahun Akang menyayangiku dengan
tulus, masak karena ini Akang harus minta maaf. Aku yang harus minta maaf,
nggak bisa jaga Akang dengan baik.” Aku berusaha tegar agar Syarif tenang.
Kuusap tangan keriput Syarif. Dalam hati aku berjanji akan selalu menjaganya.
Janji
itu kutunaikan dengan mendampinginya melalui hari-hari yang sungguh berat dan
melelahkan bagi Syarif. Seringkali aku tak sanggup menahan tangis ketika
melihatnya tertatih-tatih mencoba berjalan selangkah demi selangkah seperti
yang kulihat hari ini.
Seperti
hari ini ketika terapis datang ke rumah untuk melatih gerak Syarif, aku
menemaninya untuk memberi semangat padanya. Walau kutahu Syarif harus berjuang
keras untuk kembali bisa berjalan.
Tak
ingin kuperlihatkan kesedihan melihatnya berjuang mengikuti petunjuk terapis. Walaupun
langkah Syarif berat tapi yang kulihat saat ini adalah semangat yang sama
dengan puluhan tahun yang lalu ketika
Syarif berkeliling kompleks perumahan menjajakan sayur.
***
Hari
demi hari, Syarif semakin pulih. Aku berusaha ceria mendampinginya menjalani
terapi demi terapi agar ia tetap bersemangat. Sampai akhirnya Syarif dapat
berjalan kembali setelah satu tahun menjalani terapi walau masih harus
menggunakan tongkat.
“Aki …
Aki!” suara cucu-cucu kami menciptakan senyum indah di wajah Syarif. Satu per
satu cucu kami yang berjumlah lima orang dipeluknya dengan cara yang sama
ketika ia memeluk anak-anak.
“Kalian
main dulu, ya! Aki sama Nini mau masak dulu sup yang enak buat kalian. Mau
kan?”
“Mau,
Aki!” serempak anak-anak dan cucu-cucu kami menjawab
Aku
membantu Syarif melakukan sesuatu yang sudah lama tak dilakukannya. Saat itu
kulihat semangat Syarif memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang
dicintainya. Aku melihat Syarif yang sama dengan yang kulihat puluhan tahun
yang lalu.
Kebahagiaan
semakin bertambah ketika anak, menantu, dan cucu berebutan mengambil sup kaki
sapi dari mangkuk besar. Kutatap wajah Syarif yang ceria. Hatiku tergetar oleh
cinta yang kembali timbul di usia senja kepada seorang laki-laki yang pandai
memasak sup kaki sapi.
SELESAI
Taat Maklumat
Pedang terhunus, pistol terendus
Sigap mengintai, tak kenal lalai
Serentak beranjak, membentangkan tegak
Perang tak kunjung usang, kian luas mengembang
Pasukan bersorak maju, berharap hapuskan pilu
Nahas mereka kembali tersedu, kenyataan memilih tetap sendu
Bukan tidak gigih dalam berjuang, memang lawan di luar jarak pandang
Menyerang gesit jasad yang sakit, berpindah tempat jejak tak sempit
Berdiam dalam sangkar jadi pusaka, senjata mujarab agar tak mengganda
Sayangnya banyak tak percaya, berlagak anti putus asa
Ada merasa belum rela, abai demi lapar dan dahaga
Tak sepenuhnya mereka salah, tapi banyak tabib mulai lelah
Peluh menyentuh sekujur tubuh, terenyuhnya perantara sembuh
Ingin rasanya sekadar menyeka, apalah daya tak menyentuh muka
Tawa canda mengalirkan lega, masker rapat membuat tak bisa
Bersandar sejenak hilangkan penat, apa lacur harus berganti hazmat
Baiknya kita ulurkan tangan, maksimal meski tak bersentuhan
Memaku laku di balik tembok, selepas ayam jantan berkokok
Tatap kaca mengganti tatap muka, menghemat langkah menghentikan masa
Bersama merapal seragam damba, tengadah dua tangan dalam esa
Ini serius bukan sebuah gurau, agar sandal-sandal kembali ke surau
Biar puing celengan pecah, kembali dihuni rupiah
Menghibur gedung-gedung memandang lengang, pulihkan garang menatap lalu lalang
Mendinginkan cemas yang lama memanas, terangi senyuman menyunggingkan ikhlas
Kini memang terasa berat, suratan nasib tak bersekat
Tergeraklah sedikit berkhidmat, sebelum hujan lekatkan karat
Mungkin telah melanda kebosanan, merindukan lekuk tubuh jalanan
Bisa jadi justru bumi sedang jemu, lama terjamah ingin dan ego semu
Coba tangkupkan kedua tangan, wujud sesal dalam pertobatan
Tak jua merasa paling benar, cukup ketakwaan jadi ikrar
Mari berpelukan dalam ikhtiar, semoga dunia sudi berbinar
Enyahkan walau setitik kikir, hapuskan sombong agar tak mampir
Mudah-mudahan Sang Raja mengabulkan pinta, menurunkan bahagia dan tawa menggema
Sigap mengintai, tak kenal lalai
Serentak beranjak, membentangkan tegak
Perang tak kunjung usang, kian luas mengembang
Pasukan bersorak maju, berharap hapuskan pilu
Nahas mereka kembali tersedu, kenyataan memilih tetap sendu
Bukan tidak gigih dalam berjuang, memang lawan di luar jarak pandang
Menyerang gesit jasad yang sakit, berpindah tempat jejak tak sempit
Berdiam dalam sangkar jadi pusaka, senjata mujarab agar tak mengganda
Sayangnya banyak tak percaya, berlagak anti putus asa
Ada merasa belum rela, abai demi lapar dan dahaga
Tak sepenuhnya mereka salah, tapi banyak tabib mulai lelah
Peluh menyentuh sekujur tubuh, terenyuhnya perantara sembuh
Ingin rasanya sekadar menyeka, apalah daya tak menyentuh muka
Tawa canda mengalirkan lega, masker rapat membuat tak bisa
Bersandar sejenak hilangkan penat, apa lacur harus berganti hazmat
Baiknya kita ulurkan tangan, maksimal meski tak bersentuhan
Memaku laku di balik tembok, selepas ayam jantan berkokok
Tatap kaca mengganti tatap muka, menghemat langkah menghentikan masa
Bersama merapal seragam damba, tengadah dua tangan dalam esa
Ini serius bukan sebuah gurau, agar sandal-sandal kembali ke surau
Biar puing celengan pecah, kembali dihuni rupiah
Menghibur gedung-gedung memandang lengang, pulihkan garang menatap lalu lalang
Mendinginkan cemas yang lama memanas, terangi senyuman menyunggingkan ikhlas
Kini memang terasa berat, suratan nasib tak bersekat
Tergeraklah sedikit berkhidmat, sebelum hujan lekatkan karat
Mungkin telah melanda kebosanan, merindukan lekuk tubuh jalanan
Bisa jadi justru bumi sedang jemu, lama terjamah ingin dan ego semu
Coba tangkupkan kedua tangan, wujud sesal dalam pertobatan
Tak jua merasa paling benar, cukup ketakwaan jadi ikrar
Mari berpelukan dalam ikhtiar, semoga dunia sudi berbinar
Enyahkan walau setitik kikir, hapuskan sombong agar tak mampir
Mudah-mudahan Sang Raja mengabulkan pinta, menurunkan bahagia dan tawa menggema
Lelaki Tersayang
Nak, mendekatlah
Tawarkan ibumu yang renta ini secangkir teh hangat
Nak, duduklah di sebelah ibumu
Berbicaralah apapun yang kau ingin ceritakan
Nak, Ibu tahu kau sangat takut bulan April datang
Kita hadapi bersama-sama
Walaupun ayahmu tak bersama kita
Jalanilah April ini dengan berani
Nak, tak ada luka yang tak perih
Ibu mengerti perihmu itu kau tahan cukup lama
Sejak April pertama ayahmu meninggalkan kita
Kau tahan luka itu dengan berani
Nak, Ibu tahu kau tak mau terlihat lemah
Kau selalu ingin jadi penjaga ibumu
Kau tak pernah menangis di depan Ibu
Namun Ibu tahu kau sering menangis diam-diam di kegelapan
Keluarkanlah sedihmu, anakku
Jangan kau tahan sendiri
Tak mengapa pundak rapuh Ibu ini jadi tempatmu bersandar
Walaupun ibumu sering terjatuh tapi ibu lebih kuat daripada yang terlihat
Tak selamanya menangis itu milik anak perempuan, anakku
Tak mengapa terlihat lemah di hadapan ibumu ini
Kau pun perlu menghibur diri
Untuk sejenak melupakan April kelabu-mu
Nak, April yang ceria akan datang menghampirimu
Pulihkan hatimu, bergembiralah
Ada saatnya kau menjauh dari Ibu untuk sementara
Ibu akan baik-baik saja
Nak, kau tahu Ibu hanya memilikimu
Hanya kau satu-satunya
Tak ada dua, tiga, apalagi empat
Tak pula ada cadangan untuk menggantikanmu
Rehatlah sejenak, anakku
Hirup udara segar
Kambali lagi April mendatang
Dengan raga dan jiwa yang baru
Ibu takkan letih menunggumu kembali
Doa selalu Ibu panjatkan dalam setiap hembusan nafas
Untukmu lelaki tersayangku yang tersisa
Anak tumpuan harapanku.
Jakarta, 12 Maret 2020
Tawarkan ibumu yang renta ini secangkir teh hangat
Nak, duduklah di sebelah ibumu
Berbicaralah apapun yang kau ingin ceritakan
Nak, Ibu tahu kau sangat takut bulan April datang
Kita hadapi bersama-sama
Walaupun ayahmu tak bersama kita
Jalanilah April ini dengan berani
Nak, tak ada luka yang tak perih
Ibu mengerti perihmu itu kau tahan cukup lama
Sejak April pertama ayahmu meninggalkan kita
Kau tahan luka itu dengan berani
Nak, Ibu tahu kau tak mau terlihat lemah
Kau selalu ingin jadi penjaga ibumu
Kau tak pernah menangis di depan Ibu
Namun Ibu tahu kau sering menangis diam-diam di kegelapan
Keluarkanlah sedihmu, anakku
Jangan kau tahan sendiri
Tak mengapa pundak rapuh Ibu ini jadi tempatmu bersandar
Walaupun ibumu sering terjatuh tapi ibu lebih kuat daripada yang terlihat
Tak selamanya menangis itu milik anak perempuan, anakku
Tak mengapa terlihat lemah di hadapan ibumu ini
Kau pun perlu menghibur diri
Untuk sejenak melupakan April kelabu-mu
Nak, April yang ceria akan datang menghampirimu
Pulihkan hatimu, bergembiralah
Ada saatnya kau menjauh dari Ibu untuk sementara
Ibu akan baik-baik saja
Nak, kau tahu Ibu hanya memilikimu
Hanya kau satu-satunya
Tak ada dua, tiga, apalagi empat
Tak pula ada cadangan untuk menggantikanmu
Rehatlah sejenak, anakku
Hirup udara segar
Kambali lagi April mendatang
Dengan raga dan jiwa yang baru
Ibu takkan letih menunggumu kembali
Doa selalu Ibu panjatkan dalam setiap hembusan nafas
Untukmu lelaki tersayangku yang tersisa
Anak tumpuan harapanku.
Jakarta, 12 Maret 2020
Nak, tetaplah berdiam di rumah
Nak, tetaplah berdiam di rumah..
Di luaran sana itu wabah,
telah jauh merambah,
hampir semua wilayah,
Satu persatu kota dan desa kita
Telah disebut sebagai zona merah
Syahdan para ahli berkisah
Berdiam di rumah
Adalah satu ikhtiar untuk mencegah
Agar Virus tak menyebar laksana bah
menyusupi tubuh yang mungkin lemah
Atau menjadikan tubuh tubuh kuat,
sebagai media berpindah,
menjangkiti ribuan lagi orang berimun rendah,
Nak...kalau penyebaran virus tak tercegah,
Kata mereka bulan bulan depan
Keadaan kita akan kian susah
tak akan banyak yang bisa dilakukan rakyat dan pemerintah
Sebab Pasien rumah sakit tertumpah ruah,
Obat-obatan, pelindung diri dan paramedis tak cukup jumlah.
Prosedur penanganan bisa jadi terpaksa diubah,
Pasien ditangani dengan dipilah
Mana yang mungkin tertolong, mana yang keadaannya teramat parah,
Sisanya pulang perawatan mandiri di rumah,
sembuh atau parah hanya bisa pasrah,
Para Dokter dan Paramedis yang telah terikat sumpah,
Melayani sesama sebagai marwah,
Punya batas atas kemampuan akan rasa lelah,
Sedangkan tugas layanan mungkin bisa jadi, tak memberi jeda bahkan untuk makan dan/atau ibadah
Aku tahu,
Menyiasati jemu dan resah
Buatmu bukanlah hal yang mudah
Berhari hari belajar dan bermain dalam terbatasnya wadah,
Sementara tak ada lagi kisah,
Tentang Canda tawa teman sekolah
dan kawan sepermainan di sekitar rumah,
Setiap sudut sempitnya rumah,
Telah habis tuntas kau jelajah
Kamar tidur hingga teras depan telah tergubah
Menjadi serpihan serpihan kapal pecah
Sisa dari lelarian melempar gundah
Dan petak umpet siasati resah
Belum lagi sering kali kadang aku mengingatkanmu dengan nada marah
Sebab tugas yang dikirim guru sekolah
dan jatah hafalan dari ustad madrasah,
Belum tuntas hingga hari usai sudah
Tapi percayalah...
seusai itu aku kerap disergap rasa bersalah
Nak, tetaplah berdiam di rumah...
Hidup kita memang mungkin tak selalu indah
Tapi teramat banyak sudah
kita diberi Tuhan nikmat dan anugerah
Kini ketika bencana membuncah
dan mengharuskan kita di rumah,
meski kecil kita masih punya rumah
Saat lapar ada makanan yang bisa kita kunyah
dan yang paling mewah
Aku bisa membersamai kalian
Dari bangun tidur sampai kembali rebah,
Tak semua orang bisa selalu berada di rumah,
Meskipun ancaman di luar membuat jengah
Nak,
Tetaplah berdiam di rumah,
Sebab sesal besar kadang tiba karena secuil salah
(ujung harapan, 3 April 2019)
Di luaran sana itu wabah,
telah jauh merambah,
hampir semua wilayah,
Satu persatu kota dan desa kita
Telah disebut sebagai zona merah
Syahdan para ahli berkisah
Berdiam di rumah
Adalah satu ikhtiar untuk mencegah
Agar Virus tak menyebar laksana bah
menyusupi tubuh yang mungkin lemah
Atau menjadikan tubuh tubuh kuat,
sebagai media berpindah,
menjangkiti ribuan lagi orang berimun rendah,
Nak...kalau penyebaran virus tak tercegah,
Kata mereka bulan bulan depan
Keadaan kita akan kian susah
tak akan banyak yang bisa dilakukan rakyat dan pemerintah
Sebab Pasien rumah sakit tertumpah ruah,
Obat-obatan, pelindung diri dan paramedis tak cukup jumlah.
Prosedur penanganan bisa jadi terpaksa diubah,
Pasien ditangani dengan dipilah
Mana yang mungkin tertolong, mana yang keadaannya teramat parah,
Sisanya pulang perawatan mandiri di rumah,
sembuh atau parah hanya bisa pasrah,
Para Dokter dan Paramedis yang telah terikat sumpah,
Melayani sesama sebagai marwah,
Punya batas atas kemampuan akan rasa lelah,
Sedangkan tugas layanan mungkin bisa jadi, tak memberi jeda bahkan untuk makan dan/atau ibadah
Aku tahu,
Menyiasati jemu dan resah
Buatmu bukanlah hal yang mudah
Berhari hari belajar dan bermain dalam terbatasnya wadah,
Sementara tak ada lagi kisah,
Tentang Canda tawa teman sekolah
dan kawan sepermainan di sekitar rumah,
Setiap sudut sempitnya rumah,
Telah habis tuntas kau jelajah
Kamar tidur hingga teras depan telah tergubah
Menjadi serpihan serpihan kapal pecah
Sisa dari lelarian melempar gundah
Dan petak umpet siasati resah
Belum lagi sering kali kadang aku mengingatkanmu dengan nada marah
Sebab tugas yang dikirim guru sekolah
dan jatah hafalan dari ustad madrasah,
Belum tuntas hingga hari usai sudah
Tapi percayalah...
seusai itu aku kerap disergap rasa bersalah
Nak, tetaplah berdiam di rumah...
Hidup kita memang mungkin tak selalu indah
Tapi teramat banyak sudah
kita diberi Tuhan nikmat dan anugerah
Kini ketika bencana membuncah
dan mengharuskan kita di rumah,
meski kecil kita masih punya rumah
Saat lapar ada makanan yang bisa kita kunyah
dan yang paling mewah
Aku bisa membersamai kalian
Dari bangun tidur sampai kembali rebah,
Tak semua orang bisa selalu berada di rumah,
Meskipun ancaman di luar membuat jengah
Nak,
Tetaplah berdiam di rumah,
Sebab sesal besar kadang tiba karena secuil salah
(ujung harapan, 3 April 2019)
Kala Senja Kini
Lama sudah tak bersua senja
Sejak diseru di rumah saja
Aku tahu kau selalu hadir
Meski ku seringnya mangkir
Semua sebab corona datang
Mengalir deras bak banjir bandang
Memaksa orang jaga kandang
Demi upaya keras menghadang
Maaf senja,
Kini ku hanya dari balik kaca
Biasanya menemanimu menyambut gulita
Mari berdoa bersama,
Semoga segera kita kembali jalan berdua
Isra' Mi'raj
Isra Mi'raj
Ya Rasulullaah, betapa berat beban amanah risalah kenabian yang di letakkan dipundakmu
Dicaci engkau, di sakiti jua dalam dakwahmu
Namun isteri tercinta nan sholehah senantiasa menyemangati dan melindungimu
Tibalah masa kesedihan mengiris hati
Paman tercinta, Abu Thalib wafat tanpa sempat mengucap syahadat
Dalam hitungan hari, pendamping setia nan sholehah, Khadijah sang Ummul Mukminin pun pulang keharibaan Illaahi
Belum cukup ujian menerpa
Kepiluan kembali menguji kesabaran
Dakwah kepada kaum Thaif mendapat pertentangan
Di usirnya engkau bahkan dilempari batu hingga terluka
Mengalir darah segar dari pelipis sosok mulia
Terduduk engkau di bawah sebuah pohon
Hingga malaikat datang menawarkan bantuan tuk menimpakan bukit ke atas mereka kaum kuffar
Namun engkau menolak tawaran tersebut dengan halus, karena engkau yakin anak keturunan mereka kelak akan mengikuti risalahmu
Sedih, pedih, hancur dan remuk redam
Engkau terima takdir dengan lapang dada
Terpanjat sebuah doa; "Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua (musibah) itu tidak aku hiraukan".
Di puncak ketidakberdayaan
Hadirlah sebuah undangan dari Tuhan Semesta Alam
Sebagai hadiah atas kesabaran
Dan penghibur dikala kesedihan
Di utusNYA seekor Buraaq menjadi tunggangan
Membawa kekasih mulia Dari Masjidil Haraam menuju Masjidil Aqsha
Terpilih menjadi imam shalat berjamaah
Melintasi tujuh lapis langit hingga Sidratul Muntaha
Perintah shalat lima waktu menjadi tiang agama
Media komunikasi antara Hamba dengan TuhanNYA
Yaa Rasulullaah, Yaa Nabiyullaah, Yaa Habiballaah
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepadamu
Ummatmu yang berlumur dosa ini merinduimu
Berikanlah syafaatmu di yaumil akhir nanti
Alloohummaa Shalli 'Alaa Sayyidina Muhammad
GNWN/22032020
Ya Rasulullaah, betapa berat beban amanah risalah kenabian yang di letakkan dipundakmu
Dicaci engkau, di sakiti jua dalam dakwahmu
Namun isteri tercinta nan sholehah senantiasa menyemangati dan melindungimu
Tibalah masa kesedihan mengiris hati
Paman tercinta, Abu Thalib wafat tanpa sempat mengucap syahadat
Dalam hitungan hari, pendamping setia nan sholehah, Khadijah sang Ummul Mukminin pun pulang keharibaan Illaahi
Belum cukup ujian menerpa
Kepiluan kembali menguji kesabaran
Dakwah kepada kaum Thaif mendapat pertentangan
Di usirnya engkau bahkan dilempari batu hingga terluka
Mengalir darah segar dari pelipis sosok mulia
Terduduk engkau di bawah sebuah pohon
Hingga malaikat datang menawarkan bantuan tuk menimpakan bukit ke atas mereka kaum kuffar
Namun engkau menolak tawaran tersebut dengan halus, karena engkau yakin anak keturunan mereka kelak akan mengikuti risalahmu
Sedih, pedih, hancur dan remuk redam
Engkau terima takdir dengan lapang dada
Terpanjat sebuah doa; "Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua (musibah) itu tidak aku hiraukan".
Di puncak ketidakberdayaan
Hadirlah sebuah undangan dari Tuhan Semesta Alam
Sebagai hadiah atas kesabaran
Dan penghibur dikala kesedihan
Di utusNYA seekor Buraaq menjadi tunggangan
Membawa kekasih mulia Dari Masjidil Haraam menuju Masjidil Aqsha
Terpilih menjadi imam shalat berjamaah
Melintasi tujuh lapis langit hingga Sidratul Muntaha
Perintah shalat lima waktu menjadi tiang agama
Media komunikasi antara Hamba dengan TuhanNYA
Yaa Rasulullaah, Yaa Nabiyullaah, Yaa Habiballaah
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepadamu
Ummatmu yang berlumur dosa ini merinduimu
Berikanlah syafaatmu di yaumil akhir nanti
Alloohummaa Shalli 'Alaa Sayyidina Muhammad
GNWN/22032020
Bagimu Aku Hanyalah Angka
Sebaran Covid-19 di Korea Selatan terbesar
berasal dari perjalanan Pasien No. 31
Di pegunungan utara Italia, wabah ini
mengelinding meraksasa bagai bola salju
setelah migrasi turis Pasien No. 2
Sementara negeri-negeri lain yang lebih siap menghadapi bencana
telah menutup perbatasannya
Di sini yang riuh hanyalah kebingungan
soal absen digital dan manual …
Tak peduli mana yang lebih produktif
Tak peduli mana yang lebih aman
Tak usah repot-repot berpikir
puluhan kilometer yang harus dilalui
setiap hari dengan motor, kereta api,
bus, taksi, atau angkot
Tak usah pusing memikirkan
bagaimana menjaga social distance …
bila ternyata untuk sampai ke tempat kerja pun
tetap berjibaku dengan jutaan manusia di kota ini
yang sama sama ketakutan, dan ragu apabila dirinya bersih
dari virus seukuran nanometer tak kasat mata
Masker? Benda ini sangatlah langka …
hingga yang bisa kau minta padaku kini hanyalah
masker bengkoang pemutih wajah
… sungguh berfaedah
Pasien bukan penjahat
Kelambanan kitalah yang mustinya jadi pelajaran
Sampai kapankah engkau terus melihatku sebagai angka?
Rupiah? Celcius? Kilometer? Dollar? NIP? NIK? NPWP?
Bagaimana kalau 1 x 2 meter saja?
Mungkin saat itu engkau berhenti
melihatku sebagai angka
melihatku sebagai angka
dan melihatku sebagai manusia,
ketika aku bukan lagi manusia.
Langganan:
Postingan (Atom)