Tak perlu menunggu untuk bersyukur
Alkisah ada seorang PNS meninggal dunia. Jabatan terakhir beliau adalah Eselon III. Dari sisi usia, beliau tergolong masih muda, tapi toh ajal tidak ada hubungannya dengan tua-muda.
Setelah selesai ritual awal alam kubur, Malaikat membawa sang PNS berjalan-jalan ke kerajaan Allah. Di Kerajaan Allah dia diperlihatkan dua ruangan yang sangat besar. Dua ruangan tersebut dijaga masing-masing oleh satu malaikat. Bedanya adalah yang satu malaikatnya sangat sibuk mencatat dan menyimpan berkas-berkas dalam rak-rak yang menjulang tinggi, sedangkan malaikat di ruangan yang satu lagi terlihat sangat santai bahkan nyaris tidak mengerjakan apa-apa.
Terdorong rasa heran yang sangat, si PNS bertanya "wahai Malaikat, ruangan apakah ini?" "mengapa malaikat penjaganya sangat sibuk?". Dengan tersenyum sang Malaikat menjawab, "ini adalah ruangan permohonan dan permintaan. Disini semua permohonan dan permintaan semua makhluk dicatat dan disampaikan ke Allah".
"Coba kau lihat laci yang dipojok sana, itu adalah kumpulan semua permohonan dan permintaanmu sewaktu masih hidup. Tirakatmu, puasamu, doamu pada saat kamu ingin menjadi pejabat, semua tercatat disana."
"Pada saat masih staf kamu meminta dan memohon untuk jadi pejabat eselon IV, dengan alasan posisi tersebut akan memberimu kesempatan untuk berbuat lebih baik. Hari pertama kamu dilantik, kami mencatat bahwa kamu sudah langsung memohon untuk diberikan umur panjang agar dapat menjadi pejabat eselon III karena kamu berpikir bahwa jabatan eselon IV belum dapat membuat kebijakan sehingga kamu perlu dapat membuat kebijakan untuk berbuat lebih baik."
"Permohonanmu terkabul, tapi apa yang terjadi? kamu kembali sibuk bermohon agar dapat diberi kesempatan menjadi pejabat eselon II bahkan sampai ajalmu tiba."
Si PNS terdiam. "Lalu ruangan apakah yang sepi itu wahai Malaikat?"
"Itu adalah ruangan ucapan terima kasih dan rasa syukur" jawab sang Malaikat. "Kau lihat sendiri kan perbandingannya?". "Jarang sekali Malaikat yang menjaga ruangan tersebut mencatat ucapan terima kasih ataupun rasa syukur manusia. Manusia hanya sibuk meminta dan memohon tapi lupa untuk berterima kasih dan bersyukur."
Si PNS menangis, "Ya Allah, ampunilah aku, seandainya tidak KAU cabut nyawaku dan aku masih punya kesempatan jadi pejabat eselon II, niscaya aku akan lebih baik dan lebih banyak bersyukur ya Allah."
Sang Malaikat menggeleng-gelengkan kepalanya dan sambil menarik kembali si PNS ke kuburannya dia berkata "maaf, umur itu rahasia Allah. Seharusnya kamu tidak perlu menunggu jadi pejabat eselon II untuk berbuat baik dan bersyukur, lagian pangkat kamu belum cukup jadi eselon II kamu sudah minta-minta aja."
***
Jakarta, 21 September 2018
GIVE WAY
Give Way atau memberi jalan adalah istilah yang baru gue kenal ketika akan nyetir di Australia. Akibat tuntutan keadaan, saat disana gue harus beli mobil dan nyetir sendiri. Secara teknis tidak ada kendala karena mobil-mobil disana sama seperti disini, posisi setir di kanan. Kelengkapan dokumen juga tidak masalah, karena ada ketentuan bahwa Surat Ijin Mengemudi (SIM) dari Indonesia cukup diterjemahkan oleh penterjemah tersumpah untuk dapat dipakai sebagai SIM lokal di Australia. Paling gue harus memperhatikan batas kecepatan kendaraan yang berbeda-beda di tiap ruas jalan, tapi ini pun tidak masalah karena ada menu peringatan speed camera di GPS.
"eh belajar give way dulu lu!" kata temen gue yang udah lama disana. "Main nyetir aje, kena denda langsung melarat lo!" lanjutnya lagi. "hah? give way? apaan tuh?" balas gue gak ngerti. Akhirnya temen gue ngejelasin kalo di Australia itu aturan untuk mendapatkan lisensi mengemudi itu tidak mudah. Harus ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum seseorang dinyatakan cakap untuk mengemudikan kendaraan di jalan raya. "Oh...ujian SIM" jawab gue sambil garuk-garuk kepala. Maklum, seumur-umur punya SIM gue belum pernah sekalipun ikut ujian SIM, jadi sebenarnya gue tidak tahu kecakapan yang bagaimana yang harus dimiliki seorang pengemudi kendaraan bermotor he he he.
"Indonesia banget lu..!" bentak temen gue dengan kesal. "Lu itu kalo bawa kendaraan di jalan raya tanpa kecakapan mengemudi itu sama aja dengan pembunuh yang berkeliaran" lanjut temen gue. Oops, kaget juga gue ngedengernya. "So, gue harus ambil SIM sini gitu? kan cukup SIM Indonesia gue terjemahin?" balas gue. "Ya harusnya sih begitu, tapi berhubung lu gak lama disini, paling nggak lu paham aturan-aturan lalu lintas disini" jelas temen gue. Akhirnya gue dikasih laman https://www.raa.com.au/motoring-and-road-safety/learning-to-drive/give-way-questions untuk belajar give way.
Akhirnya gue bukalah laman tersebut buat belajar. www.raa.com.au adalah sebuah laman yang memberikan jasa bantuan terhadap segala kebutuhan kendaraan bermotor. Disana ada segmen online learner's test yang terdiri dari 3 bagian yaitu give way questions, multiple choices, dan hazard perception test. Sebenarnya untuk kualifikasi L atau status belajar, kita harus mengerjakan semua bagian tes tersebut, tapi karena gue hanya butuh untuk belajar 'adab' berkendara yang 'manusiawi' maka gue cuma fokus pada give way test.
Give way test ini ternyata adalah suatu tes yang menggambarkan simulasi keadaan yang pasti akan kita temui di jalan raya, baik kita sebagai pengemudi maupun pejalan kaki. Terdiri dari 8 soal yang wajib dijawab dengan benar semuanya. Kalau ada satu jawaban yang salah, kita harus mengulang kembali.
salah satu simulasi keadaan di jalan raya. |
Pertanyaan dalam give way test ditampilkan dalam bentuk animasi gambar. Dari animasi gambar tersebut kita diberi 2 pilihan jawaban. Begitu kita klik jawaban yang kita pilih, maka animasi tersebut akan bergerak dan kita akan tahu akibat dari pilihan jawaban kita tersebut. Gue sangat takjub pada saat melakukan tes tersebut lalu mengerti pernyataan temen gue tentang "pembunuh berkeliaran" tadi. Dalam tes ini, kalau kita tidak memahami dengan baik siapa yang harus memberi jalan terlebih dahulu, maka kita akan diberi tahu akibat terburuk yang akan terjadi, yaitu kecelakaan. Disini saya tersadar mengapa tingkat pendidikan suatu negara tercermin dari kondisi lalu lintasnya. Bukankah orang yang berpendidikan itu akan sangat menghargai hak asasi manusia yang paling dasar yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup tersebut dapat dengan sia-sia terenggut oleh orang-orang yang tidak mengerti etika memberi jalan di jalan raya.
Beberapa waktu lalu kakak gue membanggakan diri bahwa dia berhasil lulus ujian SIM di Polres setempat. Teringat dengan pengalaman di Australia, gue lalu bertanya tentang give way test ini. "Oh ada dong!" jawab kakak gue. Karena penasaran akhirnya gue googling "sistem ujian SIM online" dan ternyata memang benar, ada semacam give way test namun dengan format yang berbeda. Dalam laman korlantas.polri.go.id terdapat segmen latihan ujian SIM online, baik untuk SIM A maupun SIM C. Format pertanyaan adalah benar salah dan dilengkapi dengan animasi gambar. Jumlah soal latihan tersebut adalah 30 soal dan harus dikerjakan dalam waktu maksimal 16 menit. Tidak ada notifikasi apakah jawaban kita tersebut benar atau salah, tidak ada pula animasi yang menunjukkan akibat dari jawaban benar atau salah tersebut. Yang ada hanya notifikasi waktu pengerjaan ujian yang tersisa.
Secara konsep, apa yang terdapat dalam laman korlantas.polri.go.id tersebut sama dengan laman raa.com.au, yaitu mencoba menggambarkan kondisi riil yang dihadapi pengemudi di jalan raya. Yang berbeda adalah dampak yang ditimbulkan apabila kita memilih jawaban yang salah. Betul bahwa dampak tersebut bisa jadi berbeda dalam prakteknya, karena ada unsur kesigapan pengemudi dalam mengendalikan keadaan yang tiba-tiba dihadapi. Namun asumsi ini tidak dimasukkan dalam pertimbangan dalam membuat etika tersebut. Sekali lagi, ini berkaitan dengan nyawa manusia dan kerugian materil lainnya, tidak boleh ada asumsi disana. Adanya dampak yang ditimbulkan ketika kita menyalahi etika give way akan benar-benar membekas dalam ingatan ketika kita menjalankan kendaraan ataupun menjadi pengguna jalan lainnya di jalan raya. Give way juga akan meringankan atau memberatkan posisi kita ketika terjadi kecelakaan di jalan raya.
Di Indonesia, khususnya di Jakarta, terlihat sekali bahwa konsep give way ini tidak dipahami oleh sebagian besar pengguna jalan. Pokoknya, siapa yang duluan itu yang menang, siapa yang paling ngotot di jalan maka dia yang akan cepat sampai. Hal demikian dapat dipahami mengingat orang-orang seperti gue ini (punya SIM tanpa ujian) masih sangat banyak. Pengetahuan berlalu lintas di Indonesia lebih banyak didapat secara otodidak dan 'sekenanya'. Pokoknya kalo gak ditilang Pak Polisi berarti aman.
Rome was not built in a day. Membangun suatu sistem, peraturan ataupun budaya berlalu lintas tidak dapat dilakukan dalam sekejap, semudah menggosok-gosok ceret ajaib lalu terkabul. Butuh waktu dan proses. Aturan legal formal yang telah ada pun tidak akan berarti apa-apa jika implementasinya tidak dilakukan dengan tepat. Dengan segala infrastruktur yang sudah tersedia, seharusnya pemerintah hanya perlu strategi implementasi yang baik. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah 'mempersulit' masyarakat untuk mendapatkan SIM, baik SIM pertama ataupun perpanjangan. Memahami peraturan lalu lintas serta cara berkendara dengan baik, aman dan sesuai peraturan yang dibuktikan dengan lulus ujian SIM adalah syarat wajib untuk mendapatkan/memperpanjang SIM. Akan lebih bagus jika metode ujian SIM tersebut dapat lebih disederhanakan sebagaimana contoh di Australia tadi. Berikutnya tentu penegakan peraturan yang tegas dan tidak pilih kasih sehingga benar-benar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar peraturan lalu lintas. Butuh waktu dan konsistensi memang, namun jika tidak pernah dimulai kita tidak pernah tahu kapan akan selesai.
Dari pengalaman yang gue alami, give way ini sebenarnya tidak hanya dipraktekkan masyarakat Australia ketika berkendara. Konsep tersebut ternyata berlaku dimana-mana, dan bahkan untuk hal-hal yang mungkin menurut kita sangat sepele seperti memberikan ruang untuk menyalip pada saat kita berada di eskalator. Disitu terlihat bahwa adanya kesadaran untuk tidak mempersulit orang lain, tidak menghalangi jalan orang lain telah menjadi suatu kebiasaan baik yang dibudayakan. Kebiasaan baik yang menjadi budaya tersebut kemudian 'diamankan' dalam peraturan-peraturan formal/non formal. Tidak mengetahui aturan-aturan tersebut atau melanggar aturan-aturan tersebut akan mendapatkan sanksi, baik sanksi sosial maupun sanksi hukum yang tegas.
Di Indonesia, mungkin gue yang kudet, tapi gue belum menemukan adanya suatu kebiasaan baik masyarakat yang sedemikian pentingnya sehingga masyarakat bersama-sama dengan pemerintah sepakat untuk menjadikannya sebuah aturan legal formal yang mengikat semua orang. Entahlah untuk hal lain, tapi untuk kebiasaan give way saja gue sulit menemukannya dalam keseharian, baik itu memberi jalan secara harafiah maupun memberi jalan dalam artian memberikan kesempatan bagi yang lebih berhak.
Rome was not built in a day. Membangun suatu sistem, peraturan ataupun budaya berlalu lintas tidak dapat dilakukan dalam sekejap, semudah menggosok-gosok ceret ajaib lalu terkabul. Butuh waktu dan proses. Aturan legal formal yang telah ada pun tidak akan berarti apa-apa jika implementasinya tidak dilakukan dengan tepat. Dengan segala infrastruktur yang sudah tersedia, seharusnya pemerintah hanya perlu strategi implementasi yang baik. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah 'mempersulit' masyarakat untuk mendapatkan SIM, baik SIM pertama ataupun perpanjangan. Memahami peraturan lalu lintas serta cara berkendara dengan baik, aman dan sesuai peraturan yang dibuktikan dengan lulus ujian SIM adalah syarat wajib untuk mendapatkan/memperpanjang SIM. Akan lebih bagus jika metode ujian SIM tersebut dapat lebih disederhanakan sebagaimana contoh di Australia tadi. Berikutnya tentu penegakan peraturan yang tegas dan tidak pilih kasih sehingga benar-benar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar peraturan lalu lintas. Butuh waktu dan konsistensi memang, namun jika tidak pernah dimulai kita tidak pernah tahu kapan akan selesai.
Dari pengalaman yang gue alami, give way ini sebenarnya tidak hanya dipraktekkan masyarakat Australia ketika berkendara. Konsep tersebut ternyata berlaku dimana-mana, dan bahkan untuk hal-hal yang mungkin menurut kita sangat sepele seperti memberikan ruang untuk menyalip pada saat kita berada di eskalator. Disitu terlihat bahwa adanya kesadaran untuk tidak mempersulit orang lain, tidak menghalangi jalan orang lain telah menjadi suatu kebiasaan baik yang dibudayakan. Kebiasaan baik yang menjadi budaya tersebut kemudian 'diamankan' dalam peraturan-peraturan formal/non formal. Tidak mengetahui aturan-aturan tersebut atau melanggar aturan-aturan tersebut akan mendapatkan sanksi, baik sanksi sosial maupun sanksi hukum yang tegas.
Di Indonesia, mungkin gue yang kudet, tapi gue belum menemukan adanya suatu kebiasaan baik masyarakat yang sedemikian pentingnya sehingga masyarakat bersama-sama dengan pemerintah sepakat untuk menjadikannya sebuah aturan legal formal yang mengikat semua orang. Entahlah untuk hal lain, tapi untuk kebiasaan give way saja gue sulit menemukannya dalam keseharian, baik itu memberi jalan secara harafiah maupun memberi jalan dalam artian memberikan kesempatan bagi yang lebih berhak.
***
Jakarta, 20 September 2018
Terjebak Jargon
Banyak jargon
berseliweran di sekitar kita. Bila tak pandai menyikapinya maka kita dapat
terjebak di dalamnya. Misal jargon : ‘Pembeli Adalah Raja’.
Tulisan ini akan
mengulas dari kacamata konsumen saja. Sebagai konsumen, maka reaksi tiap orang
tentu saja beragam ketika ada ketidakpuasan dari barang / jasa yang diterima
oleh konsumen. Ada yang biasa saja, seolah tidak mengindahkan adanya jargon
tersebut. Ada pula yang menyikapinya dengan : ya sudah…. mari kita coba
menanyakan ini kepada produsen atau penyedia jasa tersebut. Selain itu ada pula
konsumen yang cukup reaktif menanggapi ketidakpuasan tersebut.
Untuk tipe konsumen no 3
ini, maka sebaiknya berhati-hati dan lebih mawas diri, karena bisa jadi reaksi
yang ditimbulkannya malah merugikan dirinya sendiri. Bisa jadi dia menyikapinya
dengan marah-marah, bisa jadi dia menyikapinya dengan gaya ‘bossy’ nya karena
merasa “Pembeli adalah Raja”, merasa uangnya bisa membeli apa saja,
merasa dia sedang memperjuangkan hak yang seharusnya dia terima, namun lupa
bahwa cara yang dia tempuh malah menyuburkan ego pribadinya yang sebenarnya
justru lebih merugikan dirinya sendiri.
Ada di posisi manakah
diri kita?
Jakarta, 20 Sep 2018
Menjadi Sama Dengan Dunia
“Jangan kamu melawan arus dik,
nanti kamu mati”
Entah kenapa kalimat itu keluar
dalam pikiran saya, setelah saya menuliskan judul dari tulisan ini. Belakangan
ini menjadi sama dengan dunia adalah pilihan yang paling mudah bagi kebanyakan
orang, memilih berbeda atau bahkan sekedar terlihat berbeda menjadi ketakutan
tersendiri bagi banyak orang. Sepertinya hidup ini hanya ada dua pilihan ikut
sini apa ikut sana padahal sebenarnya banyak sekali opsi-opsi yang tersedia
bagi kita. Eh, ada sih yang memilih pilihan ketiga, yaitu berdiam diri,
tersenyum dan mengangguk-angguk ketika dipojokkan dengan pilihan sini apa sana
padahal di dalam hatinya dia memilih opsi keempat atau bahkan kelima.
Lalu ada yang bermimpi memiliki
jalan hidup berbeda tetapi takut untuk melihat dunia, menghayal tentang
indahnya dunia tetapi takut melangkah keluar rumah. “Jangan dik, di luar banyak
orang jahat, nanti kamu mati", ingatnya.
Tapi ada juga yang terlalu banyak
melihat keluar, membandingkan dirinya dengan orang lain, lalu menderita di
tengah kekurangannya dan akhirnya menyerah pada keadaan sembari berharap ada
tangan terulur mengangkatnya ke puncak dunia. "Sabar dik, Tuhan tidak tidur",
gumamnya.
Tapi ada loh yang bermimpi menjadi "pionir" reformasi birokrasi dan menjadi “contoh”
bagi yang lainnya dengan dalam sunyi. Tanpa pemberitaan, tanpa hingar bingar di
media sosial. Berpuas diri dalam sunyi “kami sudah lebih baik” tapi kemudian
mengerdilkan diri di hadapan orang lain dan sekedar mengukurnya dalam berapa
banyaknya jumlah rupiah sembari berkata "ini sudah sangat murah",
pembelaan ini menjadi receh kalau kata kids zaman now. Menghindari perdebatan
dengan kata-kata sakti "murah". "Jangan di-posting dik, nanti
riya'" tegurnya.
Aduh, bukan itu konteksnya. Ini
semua soal cara bukan sekedar sampai. Menjadi sama dengan dunia memang mudah,
sedetik saja melihat, kita sudah tahu kemana arah arus mengalir.
"Dik, kamu harus jadi pemenang.
Menang untuk dirimu, keluargamu, dan bangsamu. Jangan sekedar terbawa arus dan
akhirnya mati terantuk batu".
Pantun Pengingat
Bunga melati bunga kamboja
Warnanya putih menarik hati
Belajar bisa dari mana saja
Salah satunya dari grup ini
Ada yang mekar ada yang kuncup
Tersusun indah tertata di dahan
Sekolah kehidupan tak pernah tutup
Bagi mereka yang membutuhkan
Inilah tenun si tenun ikat
Dibuat orang dengan indahnya
Ilmu dunia ilmu akhirat
Semua itu ada porsinya
Burung pelikan unik paruhnya
Ikan disimpan dalam paruhnya
Usia kita ada batasnya
Pilihlah ilmu sesuai porsinya
CL Pondok Ranji - Tanah Abang,
7 September 2018
Uang
Uang, uang, semua orang butuh uang
Tapi, berbeda orang, berbeda pula cara
menyikapinya
Berbeda orang, berbeda pula cara menyimpannya
Berbeda orang, berbeda pula cara memperolehnya
Ada yang sangat ketakutan bila uangnya hilang
Padahal semua hanya titipan Tuhan
Ada yang biasa saja bila uangnya hilang
Karena tahu ia hanya menyalurkan titipan
Ada yang menyimpannya di berbagai rekening bank
Ada yang menyimpannya di dalam dompet dan
celengan
Ada yang menyimpannya di saku baju atau
celananya
Yang penting jangan menyimpan uang di dalam hati
Karena hati bukanlah tempat menyimpan uang
Karena hati bukanlah tempat menyimpan jabatan
Karena hati bukanlah tempat menyimpan pernak
pernik dunia
Karena hati seharusnya menjadi Baitullah
Karena uang kadang orang melanggar
Karena uang kadang orang meradang
Karena uang kadang orang menikam
Karena uang kadang orang lupa ingatan
Sungguh memabukkan pesonamu uang,
Sungguh banyak tipu daya yang kau mainkan
Melenakan manusia dari Sang Pencipta
Menjadi pemuja berbagai ciptaanNya
Jakarta, 16 Agt 2018
Pemuda Pemudi Harapan Bangsa
Pemuda pemudi harapan bangsa
Tumbuh dari bibit berkualitas
Disiram dan dirawat dengan ikhlas
Oleh kedua orang tuanya
Tumbuh kembang dengan subur
Melihatnya kita akan terhibur
Santun tiap kali bertutur
Pandai melebur dan berperilaku lentur
Pemuda pemudi harapan bangsa
Pandai mengelola dirinya sendiri
Memberi contoh dengan nyata
Untuk meningkatkan kualitas diri
Pemuda pemudi harapan bangsa
Makin berilmu makin tawadhu
Tak ingin mendongak karena congkak
Tak ingin menipu karena malu
Pemuda pemudi harapan bangsa
Generasi pembawa tongkat estafet
Tugas dari generasi sebelumnya
Yang masih berderet-deret
Jiwa mudamu yang menggelora
Membakar semangat untuk berkarya
Tak kenal lelah dalam mencoba
Hasilkan sesuatu yang berharga
Pemuda pemudi harapan bangsa
Berada dalam titik kulminasi masa
Berada di puncak kekuatan raga
Gunakan ini sebelum semua sirna
Pemuda pemudi harapan bangsa
Satukan rakyat dengan semangat
Jangan biarkan mereka terpecah
Agar kita tidak terjajah
Pemuda pemudi harapan bangsa
Bangkitkan jiwa yang terlelap
Guncangkan dunia yang meronta
Agar tersadar tugas jati dirinya
Pemuda pemudi harapan bangsa
Mari merapatkan barisan
Membentuk tembok yang kokoh
Agar kau tidak mudah roboh
Bintaro, 30 Agt 2018
Langganan:
Postingan (Atom)