Belakangan ini media sosial sedang ramai dengan spoiler, terutama spoiler tentang film. Sesuai namanya, spoiler ini buat sebagian orang benar-benar 'merusak' suasana, menghilangkan mood bahkan membangkitkan amarah. Bagaimana tidak? rasa penasaran yang telah memenuhi benak dan berharap terpuaskan di empuknya kursi bioskop yang dingin, dengan ditemani popcorn dan minuman ringan, tiba-tiba hilang karena unggahan seseorang di media sosial yang dengan tanpa rasa berdosa menuliskan detil cerita film tersebut. Semua pertanyaan yang sekian lama diharapkan terjawab dalam durasi 120 menit tiba-tiba dituliskan hanya dalam beberapa baris unggahan.
Kesal? buat sebagian orang, iya. Sebagian? iya, karena ada juga yang menganggap spoiler adalah hal yang biasa saja. Tidak berpengaruh apa-apa, tidak mengurangi niat untuk tetap mengeluarkan sejumlah rupiah untuk tiket bioskop demi tontonan yang sebenarnya sudah diketahui jalan cerita atau kesimpulannya. Saya belum melakukan survei terhadap pendapat orang tentang spoiler ini, tapi dari berbagai unggahan di media sosial, percakapan di berbagai grup percakapan, sepertinya lebih banyak orang yang tidak suka dengan adanya spoiler ini. Saking kesalnya dengan spoiler, ada anggota yang keluar dari grup percakapan karena ada anggota lain yang mengunggah spoiler salah satu film yang sedang diputar di bioskop-bioskop. Belum lagi perang celoteh antara 'tukang' spoiler dan anti spoiler, seru pastinya. Saya hanya berdoa jangan sampai spoiler menyebabkan pertikaian yang konyol dan meningkat ke hal-hal yang merugikan secara materi, jiwa dan raga. Lebay? mungkin, tapi kita kan hidup di Indonesia, yang seringkali mendengar, membaca dan melihat nyawa terbuang sia-sia hanya karena uang seperak dua perak atau hanya karena tidak suka dengan tatapan mata. Naudzubillahi min dzaliik.
Fenomena spoiler film ini belum lama maraknya. Awalnya mungkin sekedar kelakuan iseng dan jahil antar teman. Menjahili teman yang terlambat menonton film kesukaannya pada kesempatan pertama. Adanya media sosial yang kemudian membuat apapun dapat viral dengan cepatnya. Kita bahkan bisa mendapatkan spoiler bahkan pada saat kita antri tiket untuk pertunjukan kedua di sebuah pemutaran perdana film tersebut. Lalu apakah perilaku spoiler ini dapat diubah?.
Menurut Kurt Lewin (1890-1947), yang terkenal sebagai Bapak Psikologi Sosial, perilaku manusia pada dasarnya adalah keseimbangan antara faktor-faktor pendorong dengan faktor-faktor penahan, sehingga perilaku manusia dapat berubah dengan mempengaruhi kekuatan faktor-faktor tersebut. Perubahan faktor-faktor tersebut dapat dilakukan dengan 3 (tiga) tahapan; pertama yaitu tahapan unfreezing. Dalam tahapan ini, faktor-faktor pendorong yang dapat merubah perilaku ditingkatkan, lalu faktor-faktor penahan dikurangi dan kemudian mencari kombinasi terbaik dari kedua hal tersebut. Kedua; mendorong perubahan cara berfikir atau perasaan atau perilaku atau ketiga hal tersebut ke arah yang lebih positif. Ketiga; refreezing yaitu tahapan dimana perubahan-perubahan yang telah dilakukan dikukuhkan menjadi sebuah kebiasaan. Tanpa adanya refreezing, perilaku-perilaku yang telah berubah dapat dengan mudah kembali menjadi perilaku lama sehingga keseimbangan baru yang telah terbentuk kembali berubah.
Berdasarkan teori perubahan perilaku tersebut di atas, maka perlu dilakukan peningkatan faktor-faktor yang dapat membuat orang-orang meninggalkan perilaku spoiler misalnya dengan mengedukasi bahwa sesungguhnya disadari atau tidak disadari spoiler itu dapat menghilangkan kebahagiaan orang lain, lalu bagaimana kalau hal itu terjadi dengan kita. Hal-hal yang menjadi penahan juga dikurangi misalnya adanya justifikasi bahwa spoiler itu justru menunjukkan niat baik pelakunya untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Sepertinya orang akan lebih berbahagia dibelikan tiket deh daripada kita nonton gak ngajak-ngajak lalu cerita tentang film yang sangat ingin kita tonton tersebut. Kekuatan media sosial dan kedewasaan penggunanya sangat menentukan keberhasilan proses ini.
Perilaku spoiler juga dapat diarahkan ke hal yang lebih positif, seperti membuat resensi yang cerdas dan berkualitas. Pihak sponsor, pengusaha perfilman bahkan semua pihak dapat mendorong perubahan perilaku ini, misalnya dengan mengadakan lomba menulis resensi film yang berhadiah tiket gratis ataupun dengan kegiatan-kegiatan lain yang akan membuat para pelaku spoiler mengalihkan kelebihan energi-nya menjadi sesuatu yang positif.
Sekilas spoiler ini hanyalah sebuah fenomena sesaat, namun tidak ada salahnya bila kita mencermati fenomena-fenomena sesaat yang banyak terjadi di sekitar kita. Apakah itu betul hanya sebuah fenomena ataukah cerminan dari kualitas perilaku bangsa kita?
Jakarta, 28 April 2018