Tulisan yang berjudul Sang Pembunuh menggelitik ide saya untuk menuliskan lagi hal ini dari sudut pandang saya. Apa yang ada dalam tulisan tersebut merupakan fakta yang kita lihat sehari-hari atau bahkan apa yang kita lakukan dengan sadar atau tanpa sadar atau sadarnya belakangan.
.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat saat ini, terutama apa yang terlihat di jalanan/kondisi lalu lintas tentunya bukan milik satu dua orang anggota masyarakat saja, tapi juga menjadi keprihatinan pemerintah. Wujud dari keprihatinan tersebut dapat terlihat dari upaya-upaya pemerintah untuk menanggulangi kemacetan. Jalan-jalan tol baru dibangun, Mass Rapid Transportation dan Light Rapid Transportation disiapkan, rekayasa lalu lintas, contra flow, kebijakan ganjil-genap di ruas-ruas jalan dan jam-jam tertentu. Semuanya dilakukan untuk mengurai kemacetan. Dengan terurainya kemacetan, diharapkan tidak ada lagi aksi-aksi menerobos lampu pengatur lalu lintas, tidak akan terlihat pengendara kendaraan bermotor yang nekad melawan arus, masuk ke jalur transjakarta dan lainnya. Perilaku-perilaku seperti itu, dari sudut pandang pelaku, dilakukan karena "menghindari macet,"
.
Dalam forum ini juga pernah ada tulisan mengenai anggaran pendidikan. Sebuah tulisan yang menarik karena menyoroti suatu jumlah rupiah yang sangat besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk fungsi pendidikan. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa jumlah alokasi tersebut mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas angkatan kerja di Indonesia. Tulisan tersebut kemudian mengundang tanggapan disini dan disini. Sebuah dinamika diskusi yang cerdas dan menarik yang pada intinya mempertanyakan kelayakan suatu alokasi belanja yang besar dengan tujuan, cara dan hasil yang ingin dicapai dengan alokasi tersebut.
.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991). Dari pengertian pendidikan tersebut jelas tersurat bahwa seseorang atau kelompok orang yang terdidik akan memiliki sikap dan perilaku sesuai dengan apa yang sudah didapatnya melalui pendidikan tersebut. Apakah seseorang yang memiliki ijazah SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 adalah orang yang terdidik?.
.
Ada sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa kualitas pendidikan suatu negara dapat dilihat dari kondisi berlalu lintas di negara tersebut. Ketika kita melihat kondisi lalu lintas di negara kita, lalu apakah kita dapat mengatakan bahwa pendidikan di negara kita sudah berkualitas?. Benar, ketika kita berbicara bahwa semakin banyak masyarakat yang melek huruf, semakin banyak masyarakat yang memiliki ijazah formal minimal setingkat SMA bahkan lebih, semakin sejahtera guru, dosen dan tenaga pendidikan, tapi apakah itu tujuan pendidikan?, apakah kualitas pendidikan diukur dengan itu semua?.
.
Apa yang dipertontonkan masyarakat kita setiap hari di jalan raya tentunya sangat jauh dari perbuatan orang-orang berpendidikan. Ironis ketika para pelanggar lampu pengatur lalu lintas itu ternyata si pemilik ijazah S1, S2 bahkan mungkin S3. Apakah mereka orang bodoh? tentu tidak, tapi apa yang mereka pertontonkan adalah tindakan-tindakan orang bodoh.
.
Lalu, solusi apa yang kita perlukan sehingga sang pembunuh tidak berkeliaran di jalan raya, anggaran pendidikan juga tidak terbuang percuma untuk mencetak jutaan kertas ijazah. Yang paling mendasar tentunya adalah perubahan kurikulum pendidikan. Pendidikan tidak diarahkan untuk mencetak manusia-manusia berijazah formal. Kepintaran tidak diukur dari angka-angka rapor dan ijazah. Perubahan kurikulum memang bukan hal yang mudah tapi bukan hal yang mustahil dilakukan. Ribuan guru dan dosen sudah banyak belajar di luar negeri, formal maupun sekedar studi banding. Mereka sudah banyak belajar dan melihat sistem pendidikan di negara-negara lain dan tentunya bisa merancang suatu sistem pendidikan terbaik di Indonesia.
.
Berikutnya adalah merubah perilaku. Perilaku yang baik harus dilakukan dan dicontohkan berulang-ulang, bila perlu dapat diaplikasikan nudge theory dalam setiap aspek kehidupan. Dalam lingkup yang besar seperti di jalan raya, perilaku baik ini harus menjadi sesuatu yang masif. Jika hanya satu atau dua orang yang disiplin berhenti di belakang garis stop, hal ini tidak akan diikuti oleh yang lainnya. Lain halnya ketika yang berhenti di belakang garis stop lebih banyak dan hanya menyisakan satu dua orang di depan garis stop, mereka akan merasa malu dan mungkin akan berfikir lagi untuk mengulang perbuatan tersebut. Sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera harus diberikan kepada para pelanggar lalu lintas karena hanya kehilangan SIM tidak akan membuat mereka berfikir bahwa tindakan mereka dapat berdampak sangat fatal bagi kehidupan orang lain.
.
Kedengarannya klise, tapi anjuran untuk mulai dari diri sendiri itu memang benar dan mutlak dilakukan. Bagaimana kita mau menularkan perilaku baik kalau kita tidak berperilaku baik?. Butuh usaha keras dan daya tahan yang tinggi, karena mempertahankan sebuah perilaku baik akan lebih susah daripada memulai perilaku baik itu sendiri. Stop ignorance, jangan ada lagi anggapan bahwa menjadi bodoh adalah keberuntungan karena tidak tahu apa-apa. Kita tahu persis apa yang kita langgar, karena kita tidak bodoh. Beruntung saja orang lain sempat menginjak rem, beruntung saja orang sempat menghindar.
Ignorance is a bliss for the one who is ignorant. By the way do you know that ignorant means stupid?
Jakarta, 27 Desember 2017