Bisa dibilang saya tidak terlalu kenal dekat dengan beliau. Meskipun
rekan sekantor, pertemuan kami terjadi tidak disangka-sangka. Perkenalan
formal juga tak pernah diadakan sebelumnya. Saat itu kami pergi naik
gunung dalam satu rombongan yang sama. Rombongan itu terdiri dari
percampuran antara kawan DJA dan teman saya. Meski kawan DJA, tidak
semua dari mereka saya benar-benar mengenalnya. Ketika melihat sosok
Mas Teba, saya merasa sama sekali belum pernah berjumpa (meski sekilas)
sebelumnya.
Perawakannya tinggi besar tetapi jauh dari kesan
sangar. Senyumnya selalu tersungging saat berbicara. Raut muka dan
volume suara juga menunjukkan bahwa beliau kalem dan bersahaja. Masih
lekat dalam ingatan, penampilan beliau santai dengan kostum merah
Liverpool, saingan MU - tim favorit saya. Semenjak itu, saya jadi tahu
bahwa kami berseberangan dalam jagoan lapangan hijau. Karena belum
kenal, saya cuma menyapa dengan "mas" dan melemparkan senyum saat berada
di depannya. Belakangan, saya tahu nama beliau "Teba" saat ada yang
ngobrol dan memanggil beliau "Mas Teba".
Tujuan kami saat itu,
gunung Sindoro dengan ketinggian 3.136 mdpl (hasil gugling) yang
terletak di wilayah Jawa Tengah. Selama pendakian, Mas Teba benar-benar
mengaplikasikan pepatah jawa alon-alon waton kelakon. Ketika sudah
merasakan capek, beliau memilih berhenti sejenak untuk sekedar
melemaskan kaki, meskipun terkadang masih tetap dalam posisi berdiri.
Tampak beliau begitu tenang dan sabar dalam mendaki, tidak memaksakan
diri. Mungkin karena memang air mukanya yang tenang itu, tak tampak
kelelahan di wajahnya, masih saja dihiasi senyum. Yang pasti, ending-nya
pendakian beliau berhasil dan sehat sampai kembali ke rumah.
Setelah
itu kami sudah bisa dianggap kenal satu sama lain. Intensitas pertemuan
kami tidak terlalu sering memang, karena bidang tugas kami di kantor
jarang berkaitan. Paling-paling kami bertemu selepas sama-sama menyapa
mesin absensi di pagi hari. Saat berpapasan atau berjalan berdampingan
biasanya beliau menyapa sambil memberikan senyum khasnya. Begitupun saat
sore hari, beberapa kali kami bertemu saat absen atau berjalan ke
parkiran motor. Biasanya, istri beliau, Mbak Aster, yang juga bekerja di
di DJA sudah tampak duduk menunggu beliau di lobi. Setelah itu, mereka
berjalan berdampingan ke arah gedung parkir. Di sana, Mas Teba akan
mengambil motor ke atas dan Mbak Aster kembali menunggu di pintu keluar
motor. Ya, sepengetahuan saya mereka berdua pergi ke kantor dan pulang
berboncengan motor. Inilah salah satu enaknya punya pasangan hidup yang
juga sekantor.
Sekali lagi, tak banyak memang momen saya bersama
Mas Teba. Tapi dari yang sedikit itu, kesan yang saya dapat, beliau
adalah orang yang kalem dan murah senyum. Bicaranya juga pelan dan tak
banyak. Meski begitu beliau selalu menyapa dan sesekali bersalaman
ketika kami bertemu. Dari kabar-kabar yang saya dengar, beliau juga
masih beberapa kali ikut pendakian bersama teman-teman pecinta alam DJA.
Beliau juga katanya aktif gowes sepeda. Luar biasa semangat Mas Teba
ini ternyata.
*****
Kemarin pagi, saya datang ke kantor
seperti biasa. Berjalan dari parkiran, coba mengambil handphone dari
saku celana agar tak mati gaya. Ternyata handphone saya mati, semalam
sengaja dimatikan karena lowbatt. Seketika itu saya menghidupkannya
untuk mengecek obrolan di whatsapp grup yang ada. Lama sekali proses
booting handphone saya hingga tak terasa saya sudah ada di lapangan voli
depan gedung kantor. Tak seperti biasanya, banyak bus dan L300 yang
terparkir di sana. "Pada mau kemana ini?", pikir saya.
Saat akhirnya
menyala, saya langsung memilih ikon bundaran hijau bergambar gagang
telepon di layar handphone. Wah, sudah banyak notifikasi yang masuk.
Melirik sekilas, dari beberapa grup, terlihat potongan pesan yang tampak
serupa. Penasaran saya pun buka salah satu grup kantor.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Innalillaahi
wa inna ilaihi roji'uun. Telah meninggal dunia, kerabat kita Pehik
Snang Iteba (Mas Teba, A2), suami Dari Aster (Sekretariat) pagi ini.
Semoga almarhum khusnul khotimah. Keluarga yang ditinggalkan diberi
ketabahan. Aamiin aamiin aamiin.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masya Allah, detak jantung
seperti tercekat sejenak dan semakin cepat setelahnya. Innalillahi wa
innailaihi roji'un, Mas Teba. Ya, Pehik Snang Iteba, nama lengkapnya
yang saya tau tak sengaja. Selepas meletakkan tangan di mesin handkey,
saya memandangi layar monitor untuk menunggu foto saya muncul. Ketika
itu dari sudut pandangan mata yang lain tampak nama Pehik Snang Iteba
dengan foto Mas Teba di sampingnya masih terpampang. "Ooh, itu toh nama
lengkap Mas Teba", batinku. Terdengar cukup unik bagi saya. Sempat
bertanya-tanya sendiri apa artinya dan dari bahasa apa.
Betapa
mengagetkan berita duka pagi itu. Beberapa hari belakangan saya belum
bertemu atau berpapasan dengan beliau. Tapi beberapa kali masih melihat
Mbak Aster menantinya sembari duduk di lobi atau saat berdiri di dekat
pintu keluar motor. Tak terdengar pula desas desus beliau sakit
sebelumnya. Dari situ saya menduga-duga sendiri, "jangan-jangan beliau
terkena serangan jantung". Sedikit ragu sebenarnya, mengingat beliau
yang aktif naek gunung dan gowes. Kondisi fisiknya tentunya masih prima.
Tapi takdir tak pernah tidak mungkin, ternyata benar beliau terkena
serangan jantung selepas subuh. Entah kenapa, meskipun tak dekat, saya
merasa kehilangan. Mungkin sosok kalem dan murah senyum beliau secara
tak sadar sudah membuat saya terkesan.
Kembali saya baca
baik-baik pesan di grup whatsapp. Disebutkan rumah duka berlokasi di
Tapos, Kota Depok. Saya tidak tahu lokasi pas nya. Tetapi mendengar Kota
Depok, jaraknya tentu lumayan jauh dari kantor. Dan setiap hari Mas
Teba dan Mbak Aster berboncengan motor dari rumah ke kantor bolak-balik.
Terbayang, perjuangan mereka untuk berangkat ke kantor dan saat pulang
ke rumah, berkumpul dengan dua anak perempuannya yang masih kecil. Saya
pernah melihat mereka bersama Mbak Aster saat diajak ke kantor.
Sungguh
sekali lagi, mengingatkan kita bahwa ajal bisa datang kapan saja tanpa
memberi pertanda sebelumnya. Jika memang sudah gilirannya, jantung bisa
diperintahkan berhenti meski tiba-tiba dan dengan berbagai cara. Tak
memandang fisik kuat dan rajin olahraga, ruh dalam raga akan dipanggil
tepat pada waktunya. Namun, Mas Teba mengajarkan kepada kita bahwa
selagi masih ada di dunia, senantiasa tersenyum dan bertegur sapa lah
dengan sesama. Gemar berolahraga dan menikmati keindahan bumi juga jadi
kebiasaan yang mesti ditiru dari Mas Teba. Pembawaan tenang, kalem, dan
tak banyak bicara bisa jadi inspirasi. Mencerminkan kebersahajaan di
balik perjuangan beliau bersama istri tercinta. Dan buat Mbak Aster,
tetap kuat, tabah, dan tegar ya Mbak. InsyaAllah ini ketentuan Allah
yang pasti baik. Semoga senantiasa diberikan kemudahan bersama dua
putrinya ke depannya.
Selamat jalan Mas Teba, meskipun tak dekat
dan hanya sesaat, buat saya sosok Mas Teba tetap bisa menjadi salah
satu contoh yang tepat. Sekarang Mas Teba sudah tidak perlu lagi
berkejaran dengan mesin handkey. Semoga Mas Teba masih bisa mendaki
gunung dan gowes sepeda, sembari menunggu kami-kami mengisi absensi di
sana kelak. Satu hal yang saya sesalkan, kini pupus sudah harapan saya untuk
menanyakan arti nama lengkap Mas Teba.
Allahumaghfirlahu warhamhu wa afihi wa fu'anhu.