Hari yang melelahkan.....
Pukul 08.30 kami sampai di insitusi penegak hukum. Berarti masih ada waktu setengah jam untuk bersiap-siap karena dalam surat panggilan yang diterima, pemeriksaan akan dilakukan pada pukul 09.00. Pak Arham melakukan koordinasi dengan petugas penerima tamu sementara kami menunggu di ruang tunggu. Aku melihat ke sekelilingku. Kulihat banyak juga orang-orang yang sering kulihat di televisi sedang duduk menunggu pemeriksaan.. Ada mantan menteri, ada pejabat publik aktif, ada juga pengusaha terkenal. Kelihatannya korupsi di negeri ini telah merambah ke segala penjuru. Semoga saja mereka hanya sebagai saksi yang tidak terlibat dalam kejahatan kerah putih ini.
Tiba saatnya giliran kami untuk diperiksa. Semua peralatan komunikasi diminta dimasukkan ke dalam locker yang telah disediakan dan selanjutnya kami menuju ruang pemeriksaan.
Ruang pemeriksaan yang cukup kecil menjadi terasa semakin sempit ketika kami berempat masuk ke dalamnya. Ruang itu hanya berukuran 2x2 m dan di setiap sudut dilengkapi dengan cctv yang mengarah kepada orang yang diperiksa. Tak lama masuk pula 2 orang petugas. Yang seorang memperkenalkan diri sebagai ketua tim pemeriksa dan seorang lagi sebagai anggotanya. Setelah itu kami diminta mengisi formulir yang berisi isian penjelasan identitas kami secara singkat, baik nama, jabatan, tempat tanggal lahir, alamat, dan sebagainya.
“Selamat pagi Bapak-bapak. Bisa minta tolong dijelaskan sedikit apa yang Bapak ketahui mengenai kasus yang sedang kami tangani ini?” tanya Ketua Tim.
“Maaf Pak, saya masih baru menduduki jabatan kasubdit. Saya tidak tahu sama sekali permasalahan apa sebenarnya yang terjadi. Kejadian itu kalau tidak salah saya baca dalam surat panggilan terjadi 8 tahun yang lalu. Sementara saya menjabat baru setahun ini,” kata Pak Rusdi dengan sangat santun. Tak terlihat lagi kegagahan dan kegalakannya yang sering terlihat di kantor.
“Sama Pak, saya juga baru 1,5 tahun ini menjabat sebagai kepala seksi. Sampai saat ini pun saya masih dalam taraf belajar dengan pekerjaan saya ini,” sambung Mas Antok dengan pelan. Tak terlihat lagi sikap kritis dan percaya dirinya yang biasa terlihat sehari-hari.
Ketua Tim Pemeriksa itu mengangguk-angguk sambil membaca formulir yang telah diisi, lalu menatap ke arahku, “Berarti tinggal Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino yang memenuhi persyaratan untuk memberikan keterangan. Saudara ada pada saat kejadian dan kalau melihat latar belakang pendidikan Saudara yang sarjana pasti dapat menjelaskan dengan gamblang.”
Aku hanya terdiam dan tidak mengerti apa maksud perkataannya itu.
“Bapak-bapak yang lain kami persilahkan meninggalkan ruangan. Di luar tersedia ruang tunggu apabila Bapak akan menunggu. Akan tetapi apabila Bapak masih ada pekerjaan lain diperkenankan untuk kembali ke kantor dan kami ucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak-bapak. Sementara Saudara Rocky kami tahan dulu disini untuk memberikan keterangan, semoga malam nanti sudah bisa pulang,” lanjut Sang Ketua Tim dan duerr....aku langsung syok mendengar kalimat terakhir yang diucapkannya. “Seingatku aku diminta ikut untuk membantu membawa berkas dan tentu saja ditambah tugas tambahan yang kuajukan sebagai driver dadakan. Mengapa sekarang aku yang diperiksa dan mereka boleh pulang ?” kataku dalam hati.
Pak Rusdi menepuk bahuku dan berkata, “ Tinggal dulu ya Ki.Tolong bantu Bapak-bapak ini menjelaskan. Saya yakin kamu pasti bisa.”
Aku hanya melongo tidak menjawab sambil menatap semua orang termasuk petugas pemeriksa meninggalkan ruangan sempit itu.
Tak lama kemudian dua orang petugas yang berbeda masuk kembali ke dalam ruangan. Duduk manis dihadapanku (meskipun aku merasa sama sekali tidak manis, yang kurasakan malah super kecut dan pahit) kemudian memperkenalkan diri dan memulai pemeriksaan dengan kalimat tanya yang menurutku hanya formalitas belaka. “Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino, apakah Anda dalam keadaan sehat dan siap menjalani pemeriksaan pemberian keterangan saat ini?” tanya salah seorang petugas.
Mau tidak mau kujawab “Sehat Pak. Saya siap memberikan keterangan.”
Aku tidak dapat membayangkan seandainya kujawab “ Saya sakit Pak. Saya terpaksa duduk di sini karena keadaan dan nasih buruklah yang membawa saya ke sini.”
Kalau kujawab seperti itu pasti pemeriksaan dihentikan dan bisa-bisa di kantor aku diamuk bukan hanya oleh Pak Rusdi tapi juga oleh Direkturku.
Kembali ke laptop...
Selanjutnya pemeriksa menjelaskan secara singkat kasus yang sedang mereka tangani dan kenapa mereka meminta perwakilan dari unit kerja kami untuk memberikan keterangan. Seperti yang kuduga ternyata diindikasikan terdapat pengeluaran fiktif dalam jumlah yang cukup besar (paling tidak cukup untuk membeli rumah mewah beserta isinya). Mereka juga menunjukkan dokumen-dokumen yang telah mereka peroleh dan yang mengejutkanku dokumen yang mereka miliki jauh lebih lengkap daripada yang ada padaku. Aku tidak tahu dari mana mereka mendapatkan dokumen-dokumen dimaksud. Selain menunjukan dokumen-dokumen yang mereka miliki, juga ditunjukan orang-orang yang telah mereka periksa yang sebagian besar adalah orang-orang yang kukenal dan sering hadir dalam rapat-rapat yang kami adakan.
Setelah menjelasakan secara singkat kasus yang mereka hadapi mereka mulai mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang menurutku tidak terlalu sulit, yaitu mengenai prosedur pengalokasian beserta dasar hukumnya. Aku dapat menjelaskan dengan tenang karena suasana yang mereka bangun tidak seperti yang kubayangkan. Selama ini kubayangkan kalau berhubungan dengan aparat dimana kita sebagai “terperiksa” maka yang ada hanyalah bentakan-bentkana, intimidasi, atau sampai seperti yang pernah kubaca di suatu media, dimana ada edisi “injakan kaki” atau “sundutan rokok” dan sejenisnya. Suasana saat pemeriksaan cenderung santai dan lebih mirip dengan diskusi.
Akhirnya edisi diskusi penganggaran selesai juga. Sesi berikutnya cukup memeras otak. Bagaimana tidak, aku harus mengingat-ingat kejadian 8 tahun yang lalu. Siapa saja dan apa peran mereka maisng-masing dalam pengalokasian anggaran untuk kasus yang sedang diselidiki. Belum lagi dalam rapat-rapat yang diadakan ditanyakan siapa saja mitra kerja yang hadir dan apa peranan mereka. Aku sedikit khawatir jangan sampai apa yang kusampaikan tidak sesuai dengan dokumen yang telah mereka peroleh atau aku salah memberikan keterangan yang menyebabkan perubahan nasib seseorang dari “saksi” menjadi “tersangka”. Cara-petugas pemeriksa memberikan pertanyaan masih terlihat santai tetapi pertanyaannya jauh lebih mendalam dan mereka terlihat lebih serius. Beberapa kali aku ditinggal sendiri selama beberapa waktu. Tak jarang pula pertanyaan yang sama diulang-ulang setelah selang beberapa waktu.
“Baiklah Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino, karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 diskusi ini kita break dulu, silahkan kalau Saudara akan sholat nanti langsung saja ke musholla. Setelah selesai sholat silahkan kembali ke ruangan ini,” ujar petugas pemeriksa.
“Terima kasih atas bantuannya sejauh ini. Diskusi kita lanjutkan nanti setelah istirahat.,” lanjutnya lagi sambil beranjak dari ruangan.
Aku sebenarnya agak kurang setuju dengan istilah “diskusi” karena setelah sesi pertama selesai selanjutnya pertanyaan hanya searah, mereka bertanya dan aku yang harus menjawab semua pertanyaan. Tidak mungkin aku balik bertanya kepada mereka misalnya, mengenai “apa peranan mereka” atau “dimana mereka waktu kejadian itu” atau “dari mana mereka mendapatkan dokumen-dokumen itu”. Kalau kutanyakan hal itu bisa jadi suasana malah menjadi runyam.
Sewaktu aku keluar ruangan aku terkejut, ternyata Pak Rusdi dan yang lain masih ada di luar.
“Wah, Bapak masih di sini. Saya jadi terharu ditungguin Bapak-bapak,” ujarku tersipu-sipu.
“ Bukan nungguin kamu Ki, tapii... mana kunci mobilnya. Bagaimana kami mau pulang kalau kunci mobil kamu pegang,” jawab Pak Rusdi.
“Hehehehe..” aku tertawa kecut sambil menyerahkan kunci mobil kepada Pak Rusdi.
“Bagaimana tadi di dalam?” tanya Pak Rusdi.
“Aman Pak. Pertanyaan-pertanyaannya hanya sekitar prosedur pengalokasian serta kejadian waktu rapat penelaahan dulu,” jawabku.
“Hanya saja banyak yang lupa Pak. Maklum 8 tahun yang lalu,” tambahku lagi.
“Tenang saja Ki, meski kami tidak bisa masuk tapi kami tetap dukung kamu dari jauh. Semoga lancar dan cepat selesai pemeriksaannya,” kata Pak Rusdi sambil menepuk bahuku.
“Terimak kasih Pak,” jawabku. Kami masih berbincang-bincang sebentar sampai kemudian Pak Rusdi dan yang lain pamit kembali ke kantor.
“Kalau sudah selesai pemeriksaanya, nanti telepon saja. Nanti akan ada yang menjemput kamu kembali ke kantor,” kata Pak Arham.
“Terima kasih Pak,” jawabku.
Setelah aku kembali ke ruangan mungilku yang penuh dengan pajangan CCTV kulihat di atas meja telah tersedia sajian makan siang. Tak seperti yang kubayangkan, menu makan siangnya ternyata jauh lebih menggairahkan dibandingkan nasi kotak di kantor. Aku tak tahu apakah itu betul-betul karena memang menunya yang menarik atau karena aku sedang kelaparan setelah dihujani pertanyaan bertubi-tubi selama hampir 3 jam.
Sesi selanjutnya kalau boleh kesebut sesi "remedial" atau sesi "deja vu". Pada sesi ini pertanyaan yang telah diajukan kembal dilontarkan dengan cara dan bahasa yang berbeda serta secara acak diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan baru. Petugas pemeriksanya pun bergantian dan kadang diselingi dengan menghilangnya pemeriksa dari hadapanku secara mendadak untuk beberapa menit bahkan pernah terjadi aku ditinggal sendiri sampai setengah jam.
Selama masa “break” itu yang terpikiri di benakku bukanlah mengenai pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tetapi justru aku teringat dengan nasib RKA-KL yang harus kuselesaikan. Sedari tadi Pak Rusdi tidak menyampaikan kalau aku mendapat dispensasi penyelesaian kewajibanku karena harus memenuhi panggilan tugas negara ini. Ini berarti mau tidak mau aku harus menyelesaikannya hari ini juga. Meskipun mas Ridho sudah menyanggupi untuk mengambil alih pekerjaanku hari ini tapi aku belum merasa tenang juga. Aku khawatir mas Ridho kesulitan menghadapi mitra kerjaku yang aneh bin ajaib itu.
Akhirnya menjelang maghrib edisi tanya jawab berakhir juga. Tinggal edisi selanjutnya yaitu edisi pemberkasan. Mengingat pemeriksaan yang dilakukan masih dalam tahap penyelidikan maka yang dibuat bukanlah BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tetapi semacam surat pernyataan pemberian keterangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan kepada saksi-saksi serta bukti-bukti yang dikumpulkan baru nanti dapat diputuskan apakah kasus ini dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan dan ditetapkan tersangkanya.
Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang agak menegangkan bagiku adalah ketika petugas pemeriksa menyodorkan daftar nama yang sebgian aku kenal baik, sebagian lagi aku hanya tahu namanya, bahkan ada yang sama sekali tak kukenal. Pertanyaan yang diajukan adalah siapa saja yang aku kenal, dimana aku mengenalnya, sejauh mana aku mengenalnya, apa yang pernah mereka berikan kepadaku, apa yang pernah aku terima, dan seterusnya dengan kalimat tanya yang berbeda-beda dan berulang-ulang. Tentu saja semua pertanyaan itu kujawab apa adanya dan kalaupun aku lupa kujawab saja apa adanya bahwa aku lupa. Khusus untuk pertanyaan “Apakah Saudara pernah menerima sesuatu ?” dan pertanyaan sejenisnya, tentu saja kujawab apa adanya pula karena memang aku tidak pernah menerima sesuatu apa pun dari mitra kerjaku.
Ketika istirahat menjelang maghrib terdengar seseorang memanggiulku “Bro
Ki, masih betah di sini ?”
Aku menengok, ternyata dari balik sebuah pintu muncul sesosok wajah yang sangat kukenal. Teman sekantorku yang telah memutuskan bermigrasi menjadi bagian dari unit penegak hukum ini meskipun tugasnya tetap sama dengan tugasnya yang lama, tidak jauh dari menghitung angka-angka.
“Tadi aku sempat ngobrol dengan Pak Rusdi, Pak Arham, dan mas Antok, “ lanjutnya lagi.
“Udah selesai belum ?”
“Belum, tapi katanya tinggal pemberkasan aja,” jawabku.
“Santai sih pemeriksaanya. Mereka juga baik-baik,” lanjutku.
“Ya santailah, kalau kamu kena OTT atau kamu pernah terima sesuatu baru beda rasanya. Kamu merasa gak terlalu tegang karena gak punya salah” katanya pula.
“Bener juga ya,” sahutku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Biasanya dipanggil lagi gak kalau begini? Tadi banyak yang aku lupa. Maklumlah udah 8 tahun yang lalu. Mana aku ingat detail kejadiannya,” tanyaku lagi.
“Tergantung kebutuhan juga sih. Tapi kalau level pelaksana dan gak menerima apapun atau gak liat suatu kejadian yang aneh biasanya jarang dipanggil lagi. Lagian sebenarnya kan bukan kamu yang dipanggil tapi kamu hanya mewakili institusi aja,” jawabnya lagi.
Aku hanya mengangugk-anggukkan kepalaku mendengar jawabannya.
Akhirnya sesi pemberkasan selesai sekitar pk.20.00 dan setelah prosesi penandatanganan surat keterangan dan berbasa-basi sebentar dengan para petugas yang setia menemaniku dari pagi hingga malam harinya akhirnya aku diperkenankan pulang dan diantar sampai ke pintu keluar. Tentu saja dengan sikap mereka yang tak berubah, tetap sopan dan ramah serta tak lupa mengucapkan terima kasih atas bantuanku seharian ini.
Sampai di luar, sesuai arahan Pak Arham agar segera menelepon kalau sesi pemeriksaan telah selesai, maka kutelepon Pak Arham.
“Assalamualaikum Pak Arham. Ini Rocky Pak. Saya sudah selesai dan sudah boleh pulang Pak.”
“Wah mas Aki, maaf mas...saya sudah pulang. Ini saya sudah di rumah. Di kantor juga sudah pulang semua, jadi kelihatannya tidak ada yang bisa jemput mas Aki. Mas Aki bisa kan pulang sendiri? Tadi dibuatkan surat tugas tidak ? kalau ada surat tugas berarati mas Aki bisa langsung pulang ke rumah. Tidak perlu kembali ke kantor lagi,” Jawab Pak Arham.
Malangnya nasibku, karena rencana awal aku hanya membawakan berkas Pak Rusdi sehingga tidak disiapkan surat tugas buatku. Aku pun tak menyangka harus berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan selama ini.
Selanjutnya kutelepon Pak Rusdi. Ternyata tidak diangkat. Kucoba lagi sampai tiga kali ternyata tidak juga diangkat. Akhirnya kucoba telepon mas Antok.
“Mas, saya sudah selesi nih,” kataku.
“Waduh Ki, aku udah di KRL. Pak Rusdi juga tadi udah pulang duluan. Katanya ada keperluan,” jawab mas Antok.
Hmmm...ini berarti aku harus kembali ke kantor sendiri. Kubuka dompet ternyata aku lupa membawa uang. Kucoba merogoh saku celanaku, ternyata ada terselip beberapa koin seribuan dan limaratusan. Kuhitung 1..2..ada 2 koin seribuan. Lalu... 1..2..3.. ternyata ada 3 koin limaratusan. Jadi total ada uang Rp3.500,0. Pas sekali untuk ongkos naik bus Trans Jakarta.
Sesampainya di kantor aku segera ke ruanganku dan ternyata mas Ridho belum pulang dan masih menungguiku.
“Wah. Akhirnya pulang juga kamu Ki. Hampi aja aku nginep di kantor nunggguin kamu. Ini udah selesai semua mainan kamu,” katanya sambil menyerahkan berkas hasil penelaahan.
“Tadi sudah langsung mereka perbaiki. Besok tinggal kamu selesaikan aja proses administrasinya,” lanjutnya lagi.
“Terima kasih banyak mas. Jadi ngerepotin nih,” jawabku sambil betul-betul terharu atas bantuan mas Ridho. Aku betul-betul bersyukur memiliki teman seperti mas Ridho.
“Santai aja Ki. Gimana tadi di sana. Seru gak ?” tanyanya.
“Seru apanya mas..capeknya itu loh. Seharian ditanya-tanya terus,” kataku.
“Tapi alhamdulillah, udah selesai dan aman tentram damai. Kondisinya tidak seperti yang dibayangkan selama ini. Mereka betul-betul udah profesional kok,” lanjutku lagi.
“Siiplah kalau begitu. Sekarang kita pulang dulu, istirahat. Apalagi kamu seharian nonstop. Besok dilanjut lagi ceritanya,” ujar mas Ridho sambil bersiap-siap untuk pulang.
Setelah kejadian itu aku mencoba mencari informasi mengenai kemungkinan kelanjutan hasil pemeriksaanku. Sebagian besar orang yang kutanya berpendapat tidak akan ada kelanjutan panggilan lagi mengingat yang kutahu hanya sedikit dan jawaban yang dapat kuberikan lebih banyak bersifat normatif dan prosedural saja. Ada teman yang ahli hukum mengatakan kalau aku bukan saksi penting karena sebenarnya aku tidak tahu apa-apa atas kasus tersebut.
Setelah berselang hampir 2 tahun dari kejadian itu dapat kukatakan kalau aku sudah hampir lupa dengan kejadian tersebut. Tiba-tiba...
“Ting..tong..ting..tong...” terdengar ponselku berdering. Kulihat di layar tertera nama istriku yang baru kunikahi 3 bulan yang lalu.
“Assalamu'alaikum... ada apa Honey ?” ujarku menjawab panggilan telepon itu.
Terdengar suara istriku bergetar di seberang sana seolah akan menangis, “ Wa'alaikumsalam, Mas ini Bapak, Ibu sama kakak kakak sedang kumpul di rumah. Waktu sedang ngobrol di teras barusan ada tamu datang pakai seragam. Dia bawa surat panggilan pemeriksaan atas kasus korupsi untuk kamu. Ada apa sebenarnya Mas ?”
Kemudian terdengar pelan isak tangis istriku.
“Haaah...” aku ternganga.