Pagi itu rasanya
enggan sekali untuk bangun dari tempat tidurku. Kepala terasa berat seperti
ditindih berkarung-karung pasir. Cakrawala terlihat kelam bergelayut awan yang
semakin hitam, sementara sisa rintik hujan dari semalam seperti tak pernah
bosan membasahi bumi. Aku tertelungkup dengan guling di atas kepala ku. Sementara
itu, istriku sudah berdandan rapi menungguku untuk pergi ke suatu pengadilan.
Pikiranku menerawang
jauh ke masa lalu, teringat saat awal perjumpaan dengan istriku, sama-sama menjadi calon mahasiswa di suatu
perguruan tinggi di Jawa Barat. Kala itu mukanya tampak polos tanpa make up, dengan pakaian sederhana namun
serasi dengan postur tubuhnya, tak salah jika ku sematkan, kamu adalah bunga desa.
Sama-sama
berangkat dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Perjumpaanku dengannya seperti
sebuah takdir yang tak bisa ku tolak. Dari saling memandang, bertegur sapa, jalan
bersama, lalu merajut asmara, semua seolah berjalan begitu sempurna. Hingga
pada suatu waktu, kuberanikan diri untuk meminangmu, karena kurasa setelah dua
tahun bekerja, tabunganku cukup sebagai modal awal untuk memulai membina rumah tangga.
Tiga tahu
berlalu setelah pernikahan, aku dikaruniai dua orang anak laki-laki yang lucu.
Rumah tanggaku berjalan normal nyaris tanpa kendala. Aku bekerja di sebuah
perusahaan multinasional di bidang pertambangan. Sementara itu, istriku bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah
perusahaan property milik salah satu konglomerat dengan julukan Sembilan Naga. Singkatnya,
untuk ukuran keluarga muda, aku dapat dikatakan keluarga yang mapan. Rumah yang cukup luas di kawasan elit,
kendaraan dengan merk ternama dan segala kebutuhan rumah tangga komplit
tersedia.
Aku sendiri berasal
dari keluarga ningrat alias berdarah biru. Namun, Ayahku tidak ingin menampakkan
keningratan keluarga kepada masyarakat, agar kelak anak-anaknya dapat tumbuh
normal, bersosialisasi dengan
masyarakat. Didikan yang keras dari kedua orang tuaku, membuat aku dan adikku terbiasa hidup disiplin, bekerja keras dan serba teratur, dan kini
aku dapat dikatakan sebagai seorang lelaki yang sukses.
Ayahku bekerja
di sebuah perusahaan perkebunan, dengan jabatan setingkat manajer. Setelah pensiun,
kesehatan ayahku mulai menurun, dua kali
terserang stroke dan itu cukup menguras tabungan yang semula disisihkan untuk
biaya pendidikan anak-anaknya. Tepat satu minggu setelah perayaan Idul Fitri
tahun lalu, beliau meninggal dunia. Sepeninggal
Ayahku, dengan persetujuan istri, aku meminta Ibu dan adikku untuk tinggal
bersama, karenanya pada saat libur
panjang aku boyong Ibu dan adik bontotku yang baru lulus SMA ke Jakarta.
Sebagai anak sulung, kini aku menggantikan peran Ayah untuk Ibu dan Adiku.
Istriku kini sudah menjelma menjadi wanita
karier dengan penampilan yang sangat berbeda 180 derajat, dengan saat sangat
awal aku bertemu. Sosok yang dulu begitu polos, bermetamorfosa menjadi wanita
masa kini dengan pernak-pernik assesoris melekat ditubuhnya. Aku merasa bangga
memiliki istri secantik dia. Namun, setelah satu tahun Ibu dan Adikku tinggal bersama
ku, istriku mulai tidak nyaman dengan
kondisi rumah. Sikap Ibuku yang perfeksionis dan cenderung banyak membuat
aturan baru di rumah, ditambah perilaku adik ku yang terkadang ugal-ugalan
menggunakan barang-barang tanpa izin, membuat istriku sering mengeluh dan bad mood.
Kerikil-kerikil
perselisihan keluarga mulai nampak dipermukaan, terutama antara istri dan Ibu
ku. Hal-hal kecil bisa bisa menyulut api kemarahan. Aku kini menjadi orang yang
sensitif dan temparemental, akibat hubungan
buruk istri dan Ibuku membuat pikiran dan konsentrasi kerjaku semakin kacau.
Anak-anak sering menjadi saksi perselisihan aku dan istriku. Rumah yang mewah seolah
tidak bisa mengobati kegusaranku. Istri dan Ibu kadang tidak bertegur sapa
untuk sekian lama. Kalo sudah begini, aku menjadi orang yang serba salah, orang
yang tidak punya prinsip dan lemah. Aku bingung, di satu sisi aku harus
menuruti kemauan orang tua, tapi di sisi lain aku juga harus mengakomodir
keinginan istriku.
Puncak
kemarahan istriku terjadi saat adikku menggunakan mobil kesayangannya, menabrak
kendaraan lain sampai ringsek. Untungnya jiwa adikku masih dapat
tertolong. Aku harus wara-wiri ke
kantor polisi dan rumah sakit untuk menyelesaikan perkara dan mengurus
pengobatan adikku. Sementara, istriku menampakkan
muka murung, memendam bara amarah di dalam dadanya. Aku tahu Istriku kecewa karena
aku tidak tegas dalam mengambil sikap dan menyelesaikan permasalahan rumah
tangga, sehingga berlarut-larut menjadi seperti api dalam sekam.
“Mas, aku sudah
gak tahan menghadapi ini semua, aku ingin hidup tenang, tolong ceraikan aku.” Suara pelan istriku seperti petir yang menyambar separuh jiwaku.
Aku tercenung, tak percaya apakah itu benar suara itu keluar dari mulut
istriku.
“Mah, apa aku
tak salah dengar?, apa sudah kamu pikirkan masak-masak?, kok semudah itu kamu meminta
cerai”. Suaraku lirih setengah mengiba. Air mataku perlahan mulai membasahi
pipiku. Kulihat istriku pun sama, air matanya deras mengucur di kedua pipinya
yang cubby.
“Aku tidak
punya pilihan lain Mas, aku sudah berkonsultasi dengan seorang pengacara untuk
menyelesaikan ini semua.” Jawab istriku dengan pasti.
Dengan berat
hati, perlahan aku beranjak dari tempat tidur. Kupinggirkan selimut yang
semalam tak mampu menenangkan tidurku. Ku lihat istriku di ruang tengah sudah
siap berangkat membawa berkas-berkas untuk bahan persidangan di pengadilan
agama. Rupanya istriku sudah bulat dengan tekadnya untuk minta cerai dariku. Sementara
aku tidak begitu siap menghadapi ini semua. Ya Allah berat rasanya harus
menghadapi perceraian ini. “Tidak adakah jalan lain, selain perceraian untuk
menyelamatkan keluargaku?”, gumamku lirih. Terbayang anak-anakku akan tumbuh
dengan keluarga yang tidak sempurna, karena kedua orang tuanya akan tinggal
terpisah satu sama lain.
Harta yang
kumiliki ternyata tidak membuat keluargaku menjadi tentram. Aku merasa ini
semua buah dari kesalahanku, yang tidak tegas dalam mengambil sikap. Permasalahan
kubiarkan berlarut-larut. Aku seolah membiarkan kanker ganas perlahan
menggerogoti keluargaku. Hingga akhirnya aku terlambat untuk menyadarinya, dan kanker
itu kini sudah di stadium empat. Ya Allah, Aku memang bukan lelaki sempurna.