“Ayo Yah,
kami udah siap,” ajak anak kedua saya beserta keponakan untuk segera pergi ke
kolam renang.
“Ok,” saya
beranjak dari sofa sambil menutup buku dan mengeluarkan motor matic.
Berangkatlah
kami bertiga mengendarai motor matic ke kolam renang di dekat perumahan. Hari Minggu, pas libur, dan ada
keponakan lagi bermain ke rumah,
jadilah acara berenang bersama.
Lebih
tepatnya, yang berenang hanya anak saya dan keponakan saja. Saya tidak ikut
berenang, hanya sebagai bendahara dan tukang jaga perlengkapan mereka. Tugas
bendahara membelikan tiket masuk dan siap-siap memberi uang buat jajan mereka
di area kolam renang. Sebagai tukang jaga, saya harus menjaga barang bawaan
mulai dari: pakaian, sendal, baju ganti, handuk, sabun, dan barang kecil
lainnya.
Mungkin ada
yang bertanya, “Mengapa tidak ikut
nyebur berenang?”
Malas
saudara-saudara, kayaknya begitu jawaban saya. Mendingan, saya meneruskan
aktifitas yang sempat terpotong di rumah tadi: baca buku sambil mengopi dan
merokok. Cuman perbedaannya adalah suasanya: kolam renang.
Pas masuk
area kolam renang, kami bertiga disambut oleh suara orang lagi mengetes suara,
“Tes... satu... satu... satu”. Anggapan saya, mungkin petugas kolam renang
bersiap mengumumkan sesuatu kepada para pengunjung.
Setelah
anak dan keponakan saya mencebur ke kolam renang, saya mencari tempat ‘semedi’, suatu tempat yang nyaman buat baca buku, mengopi, dan merokok. Tepatnya, tempat semedi saya berada di seberang petugas yang sedang
melakukan tes suara itu dan dibatasi kolam renang. Sebenarnya, semedi saya agak terganggu dengan suara-suara yang tidak jelas: “Cek-cek ... tes satu satu satu.” Dan itu
dilakukannya berulang kali. Andai bukan kolam renang, mungkin sudah ada orang
yang memarahi, misuhi, atau melempar sandal kepadanya. Berisik. Untungnya,
orang-orang atau pengunjung lebih berkonsentrasi hanya untuk mereguk suasana kebersamaan
dengan anak atau keluarganya sehingga tidak terganggu olehnya.
“Selamat
pagi kepada para pengunjung kolam renang, kami akan menghibur Bapak-Ibu karyawan pabrik di seputaran Bekasi. Muda-mudahan sajian kami berkenan dan menyemarakkan hari
libur bapak-ibu sekalian.” Dan grup organ tunggal tadi
beraksi.
Anjrit, ternyata
perkiraan saya salah. Mas-mas yang mengetes suara tadi ternyata MC dari grup
organ tunggal. Saya sedikit terkejut karena baru
pertama kali melihat pertunjukan seperti
ini. Mungkin saya kurang
pergaulan, ternyata ada juga pertunjukan organ tunggal di kolam renang di
daerah lain menurut Agung, teman saya. Dia pernah melihatnya di daerah Bogor.
Bedanya di sana, ada panggung khusus untuk awak organ tunggal tersebut. Dan di
depan panggung, ada cukup arena untuk joged. Tapi di kolam renang ini, tidak
ada panggung spesial dan 3 meter di depannya sudah terhampar kolam renang.
Anjrit yang kedua kali
aku nyatakan karena grup organ tunggal ini menyasar pengunjung dari golongan
karyawan pabrik. Mungkin, perkiraannya daerah Bekasi ada banyak
pabrik. Saya yang PNS pun dikelompokkannya sebagai karyawan pabrik.
Menurut
saya, pilihan kata karyawan pabrik sebenarnya penghalusan dari buruh pabrik.
Namun ini bukan pengertian sesungguhnya atau denotasi tapi sudah bergeser menjadi pengertian konotasi. Nilai rasa kata ‘buruh pabrik’ inilah yang
sedikit bermasalah dengan harga diri saya sebagai PNS. Dulu
pada masa Orba, kata buruh pabrik berkonotasi negatif, bernilai rasa agak
rendah, sebagai penggambaran kelompok masyarakat yang bekerja di pabrik dengan
gaji sebatas UMR dan hidup di rumah petakan. Meskipun zaman sudah berubah dan
tingkat kemakmuran buruh pabrik tidak kalah dengan karyawan kantoran, nilai
rasa ini masih tertinggal.
Anjrit yang ketiga kali
aku nyatakan karena rasa salut
atas strategi pengelola kolam renang untuk menyenangkan pengunjung setianya
yang dibayangkan adalah karyawan pabrik. Saya menggunakan kata diperkirakan
karena saya bukan karyawan pabrik tapi PNS. Namun jujur, saya terhibur oleh keprofesionalan mereka menyajikan nyanyian bermazhab dangdut tersebut.
Artisnya
berpenampilan sopan, tidak seksi apalagi seronok, di pagi hari itu. Jauhlah
dari gambaran artis orkes dangdut yang ada di youtube semacam Uut
Selly, Lia Capucino, atau Rita Ratu Tawon.
Apalagi Mas MC tadi ternyata berfungsi juga sebagai penyanyi latar. Ia
bergoyang dengan kesungguhan artistik seperti Doyok yang lagi bergoyang mengiringi Evie Tamala menyanyikan lagu Selamat Malam.
Sungguh natural.
Anjrit berikutnya, saya
ungkapkan untuk mengapresiasi pengelola kolam untuk mendapatkan
keuntungan, hitung-hitungannya jelas. Apabila pengunjung
senang dan menjadi pelanggan setia kolam renang akan berdampak langsung pada
pemasukan kolam renang. Coba bayangkan, tiket satu orang Rp30 ribu. Bila pada
hari Minggu ada 500 keluarga karyawan pabrik yang terdiri dari 3 orang
berkunjung ke kolam renang tersebut. Artinya, omset pada hari itu adalah 500 x 3 x 30.000 = 45 juta. Belum lagi dari
sisi keuntungan jualan cemilan dan minuman sebagai sampingannya. Perkiraan saya, omset hari itu sekitar Rp 50 juta-an. Kalaupun, pengelola kolam renang
membayar grup organ tunggal Rp5 juta, sisanya masih Rp45 juta.
Anjrit terakhir
benar-benar terucap dari mulut saya karena anak dan keponakan sudah meminta pulang dalam
keadaan saya masih ‘on’ menyimak pertunjukan aksi organ tunggal ini. Saya juga belum
menyelesaikan bacaan buku yang
saya bawa. Padahal besok Seninnya, masa berlaku
peminjaman buku sudah berakhir.