Tuan yang punya kuasa,
Jika separoh saja dari mereka
yang padamu, seperti tak berdaya
memilih memendam dalam rasa sakitnya,
hingga tumpah ruah dalam aliran doa
apakah kau masih berpkir
seluruh doa itu, sekedar lafal tersia?
Tuan yang punya kuasa,
Jika separoh saja dari mereka
yang padamu, seperti tak berdaya
memilih memendam dalam rasa sakitnya,
hingga tumpah ruah dalam aliran doa
apakah kau masih berpkir
seluruh doa itu, sekedar lafal tersia?
malam ini kabut sangat menggebu
pekat dan panjang
sepertinya aku tak bisa mengingatmu
mungkin esok
Dulu kukira, tanah ini akan menjadi pelabuhan terakhirku,
Tempatku mengabdi dan mencari rezeki
Sambil sesekali melepas penat, di deretan gedung megah
Sambil minum kopi
Tak terlintas untuk pergi dari tanah ini,
Meninggalkan segala kenyamanan yang bertahun menemani,
Suara itu, begitu nyaring terdengar di dalam hati
Hei. Bukankah kamu seorang pegawai negeri??
Sumpah jabatan dan bukti pengabdianmu menanti
Seorang abdi. Bukankah sudah selayaknya untuk mengabdi?
Hati tertunduk mentafakuri diri,
Mungkinkah keinginan mengalahkan kewajiban?
Tentu nuranilah yang lebih tahu jawaban yang pasti
Hari ini kumantapkan hati
Impian sejati tak akan pudar, meski kita terjaga
Cita-cita murni akan terus berkembang
Walau mesti berjibaku dengan tantangan
Negeri kita sangat luas
Terbentang dari ujung Sumatera hingga Papua
Beragam budaya dan kekayaan alam yang melimpah ruah
Harus dapat dinikmati oleh seluruh anak bangsa
Abaikan segala kenyamanan untuk sementara
Tak ada yang sia-sia, selama asa tetap ada
Peluit akhir pertandingan perempat final Piala Dunia Meksiko 1986 antara Argentina melawan Inggris telah ditiup 37 tahun lalu namun pertandingan tersebut ternyata tak pernah selesai sampai sekarang. Ia terus saja hidup dalam benak para pecinta sepakbola meskipun sosok sentral yang menjadikan pertandingan itu kontroversial sekaligus spesial telah menghadap kepada Sang Maha Pencipta.
Hand of God dan Goal of The Century seperti dua sisi benci dan cinta yang terus saling memantik nyala terang melintas jaman, menolak tenggelam dalam timbunan sejarah.
Argentina, Inggris dan Malvinas
Empat tahun setelah Perang Malvinas, Piala Dunia Meksiko 1986 diselenggarakan. Perang antara Argentina melawan Inggris itu bermula dari klaim Argentina atas Pulau Malvinas berdasarkan kedekatan geografis dan budaya mengingat pulau tersebut adalah bekas wilayah Spanyol yang gagal dinasionalisasi pada tahun 1916. Namun Inggris yang menemukan Pulau Malvinas dan saat itu berkuasa atas pulau tersebut tentu saja tidak sependapat dengan Argentina dan ingin mempertahankan kekuasaannya.
Perang hanya berlangsung selama kurang lebih 2 bulan dengan kemenangan berada di pihak Inggris. Argentina secara resmi menyerah pada 14 Juni 1982. Perang singkat itu memberikan dampak yang besar bagi aspek sosial, ekonomi dan politik Argentina.
Dalam jurnal Perang Malvinas: Suatu Pandangan setelah Delapan Tahun (2017) karya Dharmawan Ronodipuro disebutkan bahwa perang tersebut mengakibatkan memburuknya hubungan bilateral antara Argentina dan Inggris pada rentang tahun 1982-1989, Inflasi Argentina meningkat 200 persen dan semakin memperburuk krisis ekonomi serta Uuang luar negeri Argentina semakin membengkak untuk menutup biaya kerugian Perang.
Argentina yang menyerang dan Argentina pula yang akhirnya mengerang. Kekalahan itu tidak hanya melukai harga diri bangsa namun ternyata juga membahayakan kondisi negara. Luka itu belum sembuh tahun 1986 dan diakui atau tidak sedikit banyak menjadi api yang memanaskan pertemuan Argentina dan Inggris di Meksiko.
Maradona, VAR dan Dunia yang Tidak Adil
Maradona 1986 dapat dikatakan sudah menjadi pesepakbola dunia. Ia tercatat sebagai pemain Klub Italia Napoli setelah memecahkan rekor transfer sebesar 5 juta pound dari klub Spanyol Barcelona. Namanya sudah berkibar dan kemampuannya sudah terkenal.
Kemampuan mengolah bola dan kepemimpinannya membuat Maradona dipercaya oleh pelatih Argentina Saat itu, Carlos Bilardo sebagai Kapten Tim meskipun usianya belum genap 26 tahun. Kepercayaan yang kemudian dibayar tunai oleh Maradona dengan piala.
Di Piala Dunia Meksiko 1986 inilah Maradona mencapai puncak kebesarannya. Seolah turnamen itu memang disediakan khusus untuk Maradona menapaki kaki langit hingga ke angkasa dan meletakkan namanya disana. Perannya dalam tim sangat dominan hingga kerapkali diibaratkan ia menggendong tim Argentina menuju tampuk juara.
Momen kebesaran yang kemudian membuatnya abadi hingga kini bukanlah penampilannya dipartai final melawan Jerman Barat tetapi justru di babak perempat final ketika melawan Inggris.
Di pertandingan dengan tensi tinggi berbalut percik-percik sisa api semangat malvinas inilah sejarah itu tercipta, dua peristiwa yang mengharubirukan dan mengundang polemik dunia.
Dua golnya melawan Inggris seakan menggambarkan sosok Maradona itu sendiri, eksentrik. Gol pertama di menit 51 yang dikenal dengan 'Gol Tangan Tuhan' mewakili sisi kontroversialnya dan Golnya 4 menit kemudian mewakili sisi indahnya hingga disebut sebagai Goal of The Century. Satu dicetak dengan tangan kiri, satunya lagi dengan kaki kiri. Dalam 5 menit Maradona menjadi sosok yang dihujat sekaligus juga dipuja.
Dua gol hebat di turnamen terbesar dunia dari bakat terbesar sepakbola saat itu dan mungkin sampai sekarang. Gol indahnya bisa saja ditiru oleh bakat besar sepakbola yang datang setelah Maradona tetapi gol kontroversialnya akan abadi sendiri karena hampir pasti sulit dilakukan kembali di saat ini dengan penerapan teknologi VAR di lapangan hijau.
Gol kontroversial yang sebenarnya mewakili kenyataan hidup dimana banyak terjadi ketidakadilan, mulai dari diskriminasi ras, kekuatan modal yang serakah dan menindas, standar ganda penegakkan hukum dan sebagainya. Bagi Argentina dua gol tersebut saya kira pada masa itu banyak diterjemahkan sebagai balasan dalam bentuk yang berbeda atas kekalahan perang sebelumnya dari negara yang kekuatan tempurnya lebih adidaya.
Gol tersebut sesungguhnya sangat relate dengan fakta kehidupan. Penerapan VAR sebagai upaya untuk menjamin pelaksanaan permainan yang adil jadi tampak seperti dongeng bagi kehidupan nyata di luar stadion atau mungkin kita maknai secara positif saja bahwa sepakbola ingin menjadi contoh untuk memulai bagaimana menerapkan keadilan.
Cerpen Maradona dan Novel Messi
Legenda tak pernah mati. Demikianlah juga dengan Maradona. Ia selamanya akan dikenang sebagai Maestro sepakbola dan menginspirasi generasi berikutnya. Julukan Hand of God akan selalu identik dan melekat pada Maradona. Julukan yang lahir dari momen satu pertandingan itu akan abadi bersamanya.
Kisah Maradona meraih piala dunia dengan Hand of God dan Goal of The Century-nya adalah kisah singkat. Cerpen dramatis yang kemudian membayangi sosok legenda Argentina berikutnya.
Messi. Ya, sosok itu adalah Lionel Messi. Bakat terbesar sepakbola dari Argentina berikutnya yang memikul beban piala dunia di pundaknya. Sosok dengan bakat yang luar biasa namun tidak eksentrik seperti Maradona. Kisahnya panjang, bak novel, 5 jilid piala dunia.
Harapan dan Tekanan
Dengan bakat besarnya, Messi digadang-gadang akan mengikuti jejak Maradona meraih piala dunia bersama Argentina. Ekspektasi yang sangar wajar dengan melihat deretan prestasi sang pemain.
Memulai debut di Piala Dunia tahun 2006 saat berusia 19 tahun, belum ada ekspektasi besar atas kehadiran Messi di skuat tim. Messi tercatat hanya turun sebagai cadangan di satu pertandingan babak grup dengan mencetak 1 goal dan 1 assist. Argentina sendiri gugur dibabak perempat final setelah kalah melawan Jerman.
Piala dunia 2010, dengan status sebagai peraih Ballon d'Or ditahun sebelumnya dan penampilannya yang ciamik bersama Barcelona, Messi ternyata belum dapat berbuat banyak dengan tidak mencetak satu gol pun.
Argentina juga kembali gugur di babak perempat final usai dikalahkan kembali oleh Jerman. Kesempatan terbaik Messi datang ditahun 2014 dimana ia yang telah meraih 4 Ballon d'Or berhasil mengantarkan Argentina mencapai babak final meskipun akhirnya kalah dari Jerman 0-1.
Kekalahan yang begitu memukul Messi. Di usia emas 27 tahun telah mencapai babak final namun harus kandas. Ditambah lagi setelah itu Messi dan Argentina harus kandas juga di final Copa America sebanyak dua kali. Stigma bahwa Messi hanya bagus di level klub dan memble saat di Timnas semakin kuat membekap Messi.
Harapan sekaligus tekanan yang begitu besar untuk meraih prestasi bersama Timnas Argentina membuat Messi sempat mengundurkan diri dari Timnas Argentina paska kegagalan dalam final Copa America tahun 2016.
Namun kecintaannya pada Timnas dan impiannya untuk meraih tropi kemudian membuatnya kembali untuk membantu Timnas Argentina yang saat itu terseok dalam kualifikasi Piala Dunia 2018. Meskipun akhirnya Argentina berhasil lolos ke Piala Dunia 2018 namun Messi harus kembali menerima kenyataan tersingkir dibabak 16 besar oleh Perancis.
Indah pada Waktunya
Bintang keberuntungan Messi akhirnya terbit di tahun 2021 ketika menginjak usia 34 tahun. Bersama pelatih Lionel Scaloni, Messi dan Argentina meraih Copa America 2021 yang kemudian dilanjutkan dengan memenangkan Finalissima 2022 yang memepertemukan juara Eropa dan juara Copa America dengan megalahkan Italia 3-0. Dua tropi yang membangkitkan euforia dan optimisme skuat dan pendukung Argentina menyambut perhelatan piala dunia 2022 Qatar.
Namun kisah Argentina di Piala Dunia Qatar 2022 tidak semulus yang dikira. Kisah panjang Messi yang turun naik dalam meraih mimpi terbesarnya meraih piala dunia belum usai dengan drama.
Melawan tim dengan peringkat jauh dibawahnya pada pertandingan pertama babak penyisikan grup, Messi harus tegar menerima kenyataan dikalahkan Arab Saudi 1-2. Euforia dan optimisme diawal runtuh pada kesempatan pertama. Namun Messi yang telah mencapai usia kematangan kemudian mampu keluar dari situasi tersebut dan memenangkan dua pertandingan grup berikutnya melawan Meksiko lalu Polandia dan keluar sebagai juara grup.
Pada babak knock out, drama itu kembali terjadi. Setelah lolos babak 16 besar melawan Australia dengan skor tipis 2-1, Messi harus berjuang melalui babak adu pinalti melawan Belanda di babak 8 besar. Keunggulan 2-0 Argentina dapat dibalas oleh Belanda pada menit-menit akhir sehingga pertandingan harus dilanjutkan dengan babak tambahan lalu babak adu pinalti. Beruntung Argentina memiliki Emiliano Martinez yang tangkas menghalau tendangan-tendangan pinalti para pemain Belanda.
Babak semifinal melawan Kroasia dapat dilewati secara mudah dengan unggul 3-0. Kemenangan yang memberikan kepercayaan diri tinggi dan bekal berharga untuk menghadapi Perancis difinal. Inilah puncak drama dari jalan panjang Messi meraih mimpi piala dunianya. Sempat unggul 2-0 di babak pertama dan menguasai jalannya pertandingan, Perancis bangkit secara mengejutkan di babak kedua.
Setelah menyamakan kedudukan di menit 81, Argentina dan perancis saling serang di menit-menit akhir babak normal dengan peluang-peluang yang berbahaya. Usai tidak ada gol tercipta selanjutnya Argentina dan perancis saling berbalas gol pada babak tambahan.
Dimulai oleh Argentina pada menit 108 yang kemudian dibalas oleh Perancs pada menit 118. Menjelang pertandingan usai pemain pengganti Perancis Kolo Muani mendapat peluang emas dengan tinggal hanya berhadapan dengan Martinez. Beruntung sepakan keras Muani dapat diblok oleh reflek kaki kiri Martinez sehingga selamatlah gawang Argentina dan juga mimpi Messi.
Pada babak adu pinalti, kembali Emiliano martinez mampu menunjukkan peran kehadirannya sebagai tembok kokoh bagi para penandang Perancis. Martinez menjadi salah satu sosok protagonis dalam membantu Messi meraih piala dunianya. Tangispun pecah saat Gonzalo Montiel, penendang terakhir Argentina mampu menaklukkan Hugo Lloris yang membuat skor menjadi 4-2.
Akhirnya pemain terbaik dengan tropi dan gelar individu terbanyak itu pun melengkapi capaiannya dengan tropi yang sudah didambakannya sekian lama. Messi butuh piala dunia untuk menyempurnakan karirnya, piala dunia perlu Messi agar dapat menjadi bagian dari perjalanan karir seorang talenta terbaik di dunia sepakbola. Keduanya, Messi dan Piala terlihat begitu bahagia dalam sorotan kamera.
Usai sudah perjalanan panjang itu. Puncak karir itu adalah kedamaian. Lepas sudah semua beban. Hadiah terbesar datang di bagian akhir. Novel piala dunia Messi sudah selesai.
Hand of God bagi Messi bukanlah gol menggunakan tangan namun kisah perjuangan. Hanya tangan Tuhanlah yang mampu menulis kisahnya. Drama panjang yang melelahkan, menguji kepercayaan, namun berakhir membahagiakan. Kini biarkan Messi bermain bola sambil menari di Inter Miami.
Tamat.
BK,11072023
Bunda ..
Seingatku telah berulang kali kau meminta
Jangan pernah lelah untuk mencinta
Tanah air tumpah darah kita
Tapi sekali ini saja, bunda
Ijinkan aku minta jeda
Ijinkan aku untuk lelah sejenak saja
Ternyata seperti di buku buku remaja
Mereka yang cinta harus rela untuk terluka
sekali ini saja, bunda
Mungkin besok atau lusa
Aku telah kembali terbuai kidung asmarandana
Yang menjadikanku rela untuk sekedar memberi
Tanpa pernah berharap meminta
Sekali ini saja, bunda
(Ujung Harapan, Bekasi_ Juni 2023)
Selamat pagi, Dek...
Kau pasti masih lelap tertidur,
setelah sepanjang malam tadi,
hingga menjelang pagi,
kau tak henti berkeliaran,
dalam pikiran-ku,
apakah kau tak pernah lelah?
(Bandung, 30 Mei 2023)