Jadikanlah ini pelajaran
Meranti
Sebutir telor ayam
Seorang anak kecil mendapati ayamnya bertelur,
diambilnya telur tersebut,
ditimamg timang dan hatinya menimbang nimbang,
akankah telur itu digoreng atau dieramkan
di kepalanya hadir bayangan
"Kalau telur ini dieramkan,
akan menetas menjadi
seekor ayam,
jika ayamnya betina
maka akan bertelur lagi puluhan mungkin
ratusan,
jika seluruh telur itu ditetaskan,
akan ada banyak lagi puluhan ayam
betina,
yang akan bertelur puluhan bahkan ratusan,
jika ditetaskan semua,
akan
banyak lagi ayam betina,
hingga bertahun kemudian
akan ada ribuan atau jutaan
ayam betina
Kalau ribuan atau jutaan ayam itu dijual,
dibelikannya kambing,
kambing betina dan kambing jantan,
akan melahirkan banyak kambing betina dan
kambing jantan,
hingga bertahun kemudian akan ada ribuan bahkan jutaan kambing
Kalau ribuan atau
jutaan kambing itu dijual,
dibelikannya sapi, sapi betina dan
sapi jantan,
akan melahirkan banyak sapi jantan dan sapi betina,
ratusan
hingga ribuan sapi
yang melahirkan banyak anak sapi betina dan sapi jantan,
hingga bertahun kemudian akan ada jutaan sapi
Kalau ribuan atau jutaan sapi itu
dijual,
dibelikan tanah dan saham,
bertahun kemudian tanah dan saham du jual
ketika harga tanah dan nilai saham semakin mahal,
akan terkumpul uang dan kekayaan mungkin tiga ratusan triliun
Terbayang di kepalanya
tiga ratusan triliun akan cukup untuk membeli rumah
dan tanah yang luas,
menggaji pelayan dan karyawan untuk mengurangi
pengangguran,
berderma kepada orang fakir dan terlantar,
memberi beasiswa pada
anak pintar yang miskin,
membangun jalan perkampungan yang tak terurus ,
membeli dan membagikan akal sehat,
bagi kebanyakan rakyat dan pejabat,
agar mereka tak banyak berucap berat, sebelum memilkirkan akibat,
agar mereka tak
gampang berkata, sebelum meyakini data,
agar mereka tak lekas sharing, sebelum sempat
menyaring "'
Plak,..... tiba tiba satu tamparan mendarat di jidat
sekumpulan aparat utusan penjabat
memberlakukannya bak penjahat laknat,
mendamprat lamunannya yang mengganggu dan sesat
Sebutir telur di tangannya pecah berkeciprat,
rasa sesalnya memberat
bukan karena tampar dan damprat
yang diterima tanpa hadirnya firasat
tapi telur itu,
harusnya telah menjadi lauk sarapan yang nikmat
Diary Umbi (II)
LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN HUJAN HARI ITU
Hujan. Lelaki Ini selalu suka hujan. Baginya, titik pertama air hujan bagaikan satu ketukan metronome. Mengorkestrasi titik-titik berikutnya. Dua, tiga, lima, tujuh, seribu sampai tak hingga ketukan. Lelaki Ini memejamkan mata, menajamkan telinga. Mencoba menangkap ketukan demi ketukan yang mencipta kata. Ketukan yang menciptakan jeda, hingga terangkai kalimat indah. Lelaki ini tersenyum. Sedikit pongah, sebagai indu - ra, sang penguasa hujan. Sampai akhirnya cambuk Zeus menyadarkannya. Dirinya tak lebih curahan awan yang lelah menahan gelisah. Menjadi genangan, lalu buyar oleh riak roda kereta besi. Hujan masih menyampaikan pesan. Satu satu lamat tersamar. Lelaki Ini mengumpulkan asa yang tersisa. Lalu kecewa. Ketika hujan tidak menyampaikan apa-apa. Hanya hening panjang penuh prasangka. Lelaki Ini terluka, laksana tanah dicecar pasukan tirta.
***
Hari itu harusnya mudah. Tidak beda dengan hari-hari lainnya. Semua tugas bisa tuntas. Hanya beberapa rapat ini itu. Mudah saja. Kemampuannya bahkan masih berlebih untuk sekedar menyempatkan membaca buku favoritnya, mendengarkan lagu atau sekedar menulis cerpen atau puisi. Just a daily routines. Tapi, terkadang dunia ini seperti bercanda. Hal-hal indah bisa berubah jadi air mata. Hati yang berbunga seketika layu meranggas mati tanpa sempat mengecap madu. Begitupun hari itu. Distance does matter. Lelaki Ini bagai kehilangan jiwanya. Tubuh tanpa rasa. Berbagai rasa tercampur, dan semua pikiran menyatu, meletupkan bara cemburu. Posesif. Terabaikan. Apakah ini akibat terlalu cinta?. Dimana rasa percaya?. Mereka sama-sama rapuh. Jangankan badai tsunami, gelombang biasa saja sudah mampu meluluhlantakkan. Lelaki Ini memang tak pernah berkisah, tentang luka dan dukanya. Perempuan Itu berprasangka, semua baik-baik saja. Lelaki Ini hanya tak ingin disangka alasan cintanya. Itu saja. Karena, baginya tak perlu ada alasan, tak butuh pelampiasan atau sekedar mengimpaskan. Semua terjadi begitu saja, dan bertahan sekian lama. Perempuan Itu pergi. Melukai diri sendiri dan tertatih. Perempuan Itu hanya butuh satu alasan untuk menurunkannya dari tahta. Tanpa tahu, betapa pamitnya sudah menghancurkan Lelaki Ini. Merenggut jiwa yang baru ada. Memberangus asa bagai semburan lava gunung purba.
***
Hari itu harusnya mudah. Lelaki Ini tergugu. Bagaimana dia menjalani hari setelah hari itu?. Hidup tanpa jiwa, mencinta tanpa rasa. Bumi basah oleh hujan sejak semalam. Indu-ra tak merasakan apa-apa. Tidak menangkap rasa yang selama ini dititipkan di setiap tetesannya. Hanya satu alasan, dan dia terlupakan. Hanya satu alasan, lalu ketukan rintik air hanya membentuk spasi panjang. Kosong. Alih-alih kalimat indah, bahkan ketukannya tidak mampu mencipta kata. Lelaki Ini sengaja berlama-lama. Menyesap petrikor yang menyergap. Menenangkan, namun perih. Hari itu menyadarkannya, mungkin dia memang tak pantas dipertahankan. Lelaki Ini tersenyum.
***
Hari itu memang tak mudah. Tapi, Lelaki Ini tahu dia hanya butuh satu alasan untuk tetap bertahan. Karena, cintanya tak seumur seikat mawar putih.
...
Jujur, aku tak sanggup, aku tak bisa
Aku tak mampu dan aku tertatih
Semua yang pernah kita lewati
Tak mungkin dapat kudustai
Meskipun harus tertatih*
...
Jakarta, 24022023
*Tertatih - Kerispatih
Lelaki Ini dan Perempuan Itu dan Rapuhnya Hati Yang Lelah
Lelaki Ini terbakar. Duduk gelisah, berdiri salah. Bagai anak muda yang baru kenal cinta. Perempuan Itu duduk diam di depannya. Dengan rindu yang tak terkira beratnya.
"Aku bisa apa?", putus asa Lelaki Ini. Mereka hanya bertukar tatap. Rehat singkat jeda ini ternyata lebih menyiksa. Perempuan Itu membisu. Miliaran rasa berlomba menyeruak kata. Terhenti sunyi hati. Jika aku bisa, ku akan kembali, ku akan merubah takdir cinta yang kupilih. Tidak ada kebetulan dalam hidup. Rasa yang bertahta sekian lama juga begitu. Satu dasawarsa, jika tanpa rasa, pasti sudah hilang tergerus masa.
"Jangan lepas aku ya", bisik Perempuan Itu. Jemari bertaut makna. Meresonansi rasa yang membuncah saat jeda.
Terkadang-bahkan seringkali-manusia egois dengan harapannya. Berharap situasi selalu sesuai dengan harapan. Ketika tidak, meradang menyalahkan keadaan. Pun, Lelaki Ini dan Perempuan Itu. Waktu tak mau berpihak. Sementara, rasa tak mau dicegah.
***
Perempuan Itu sadar, dirinya tak sempurna. Sadarnya membuatnya mengalah. Tak banyak kesah. Rasa ini sungguh tak wajar, namun kuingin tetap bersama dia. Cinta, entah apa masih ada. Sudah lama tidak ditanya. Meski ikatannya masih ada. Kisah berjalan apa adanya. Tanpa rasa. Tanpa makna. The winner takes it all. Lelaki Ini juaranya. Malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya. Namun, banyak hal yang harus dijaga. She can not even hold his hand in the street. Betapapun rindu ini menggerogoti hati. Betapapun tubuh ini meronta tak rela. Lelaki Ini pun serupa. Hanya tak pernah berkisah. Seolah semua baik-baik saja. Sempurna, bahagia tanpa cela.
bersambung ...
Jakarta, 23022023
hari yang melelahkan
Lebih Baik Aku
Lebih baik aku bungkus saja rindu ini,
dengan bekas bungkus nasi padang.
Ku buang.
Pemulung datang. Berharap dapat rendang.
Kecewa,
karena hanya bungkusan asa.
Kucing mengendus, kaget.
Ada rindu di bungkus nasi padang.
Mengeong.
Kembali ke pangkuan tuannya.
Yang sedang sibuk menulis rindu:
pada awan, berharap terkirim lewat hujan
pada angin, agar menyelinap dari kisi-kisi yang tak rapat
pada air, supaya menggenang di setiap cerukan
dan pada sebungkus nasi padang, siapa tau kekasihnya lapar.
Jakarta, 17012023
Diary Umbi
Dear diary,
Hari ini ada yang mutasi,
Ada yang ke sana, ada yang ke sini,
Para petinggi hilir mudik cari informasi
Bagimana si itu, bagaimana si ini
bergegas lekas atur strategi
Jangan sampai si itu, ke sini,
Agar kita tak terbebani nanti
Jangan sampai si ini ke sana
Enak banget mereka, kita dapat sisa
Kita para umbi,,
Kadang seperti komoditi
Yang bisa di tawar ke sana ke mari
Sedang kita tak pernah punya opsi
Selain menerima siapapun teman atau petinggi,
Anggap saja kalau kebetulan dapat yang baik, itu rejeki
kalau dapat yang galak, menjadi uji
kita hanya perlu bersabar,
karena untuk itu juga,
Salah satu alasan kita umbi diberi gaji
Baik atau buruk kita,
Baik atau galaknya mereka,
Tak ada yang abadi
Cepat atau lambat, kita atau mereka aka pergi
dan terganti,
kita hanya perlu bersabar,
karena untuk itu juga,
Salah satu alasan kita umbi diberi gaji
(Iseng pagi pagi, semua ini fiksi, kalau ada kesamaan cerita, hanya kebetulan semata,Bersabarlah kita semua, karena untuk itu , salah satu alasan kita dibayar negara,)
Hikayat
(untuk tetehnumaketiung : Mahadewi)
ku selalu ingin ke sini,
Suatu tempat di ujung jalan paspati
Merawat ingatan tentang masa itu,
Kita yang duduk berhadapan
Terpisahkan oleh meja panjang,
Makanan pesanan yang dibiarkan dingin,
oleh percakapan dan tatapan yang hangat
Sesekali waktu itu
Kali kaki kita yang berayun
Di bawah kaki meja
saling bertubrukan,
Lalu kitapun tertawa bersama
Seperti kanak yang baru tahu cinta
Aku selalu ingin ke sini,
Mengingat caramu memuji
atau menguji ku pertama kali
"Kamu tak tampan,
tapi aku suka dengan dua bola matamu,
yang kecoklatan lucu seumpama mata kelinci,
dan alis matamu yang tebal, seperti ulat bulu"
Sungguh, waktu itu kupikir kamu
hanya basa basi,
Hingga dua puluh satu tahun hari ini,
kau tak pernah berhenti
Memuji dua mata kelinci itu
Yang menatapmu takjub, setiap hari
(Puisi yang belum selesai, mungkin tak akan pernah selesai )