Diary Umbi (II)
LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN HUJAN HARI ITU
Hujan. Lelaki Ini selalu suka hujan. Baginya, titik pertama air hujan bagaikan satu ketukan metronome. Mengorkestrasi titik-titik berikutnya. Dua, tiga, lima, tujuh, seribu sampai tak hingga ketukan. Lelaki Ini memejamkan mata, menajamkan telinga. Mencoba menangkap ketukan demi ketukan yang mencipta kata. Ketukan yang menciptakan jeda, hingga terangkai kalimat indah. Lelaki ini tersenyum. Sedikit pongah, sebagai indu - ra, sang penguasa hujan. Sampai akhirnya cambuk Zeus menyadarkannya. Dirinya tak lebih curahan awan yang lelah menahan gelisah. Menjadi genangan, lalu buyar oleh riak roda kereta besi. Hujan masih menyampaikan pesan. Satu satu lamat tersamar. Lelaki Ini mengumpulkan asa yang tersisa. Lalu kecewa. Ketika hujan tidak menyampaikan apa-apa. Hanya hening panjang penuh prasangka. Lelaki Ini terluka, laksana tanah dicecar pasukan tirta.
***
Hari itu harusnya mudah. Tidak beda dengan hari-hari lainnya. Semua tugas bisa tuntas. Hanya beberapa rapat ini itu. Mudah saja. Kemampuannya bahkan masih berlebih untuk sekedar menyempatkan membaca buku favoritnya, mendengarkan lagu atau sekedar menulis cerpen atau puisi. Just a daily routines. Tapi, terkadang dunia ini seperti bercanda. Hal-hal indah bisa berubah jadi air mata. Hati yang berbunga seketika layu meranggas mati tanpa sempat mengecap madu. Begitupun hari itu. Distance does matter. Lelaki Ini bagai kehilangan jiwanya. Tubuh tanpa rasa. Berbagai rasa tercampur, dan semua pikiran menyatu, meletupkan bara cemburu. Posesif. Terabaikan. Apakah ini akibat terlalu cinta?. Dimana rasa percaya?. Mereka sama-sama rapuh. Jangankan badai tsunami, gelombang biasa saja sudah mampu meluluhlantakkan. Lelaki Ini memang tak pernah berkisah, tentang luka dan dukanya. Perempuan Itu berprasangka, semua baik-baik saja. Lelaki Ini hanya tak ingin disangka alasan cintanya. Itu saja. Karena, baginya tak perlu ada alasan, tak butuh pelampiasan atau sekedar mengimpaskan. Semua terjadi begitu saja, dan bertahan sekian lama. Perempuan Itu pergi. Melukai diri sendiri dan tertatih. Perempuan Itu hanya butuh satu alasan untuk menurunkannya dari tahta. Tanpa tahu, betapa pamitnya sudah menghancurkan Lelaki Ini. Merenggut jiwa yang baru ada. Memberangus asa bagai semburan lava gunung purba.
***
Hari itu harusnya mudah. Lelaki Ini tergugu. Bagaimana dia menjalani hari setelah hari itu?. Hidup tanpa jiwa, mencinta tanpa rasa. Bumi basah oleh hujan sejak semalam. Indu-ra tak merasakan apa-apa. Tidak menangkap rasa yang selama ini dititipkan di setiap tetesannya. Hanya satu alasan, dan dia terlupakan. Hanya satu alasan, lalu ketukan rintik air hanya membentuk spasi panjang. Kosong. Alih-alih kalimat indah, bahkan ketukannya tidak mampu mencipta kata. Lelaki Ini sengaja berlama-lama. Menyesap petrikor yang menyergap. Menenangkan, namun perih. Hari itu menyadarkannya, mungkin dia memang tak pantas dipertahankan. Lelaki Ini tersenyum.
***
Hari itu memang tak mudah. Tapi, Lelaki Ini tahu dia hanya butuh satu alasan untuk tetap bertahan. Karena, cintanya tak seumur seikat mawar putih.
...
Jujur, aku tak sanggup, aku tak bisa
Aku tak mampu dan aku tertatih
Semua yang pernah kita lewati
Tak mungkin dapat kudustai
Meskipun harus tertatih*
...
Jakarta, 24022023
*Tertatih - Kerispatih
Lelaki Ini dan Perempuan Itu dan Rapuhnya Hati Yang Lelah
Lelaki Ini terbakar. Duduk gelisah, berdiri salah. Bagai anak muda yang baru kenal cinta. Perempuan Itu duduk diam di depannya. Dengan rindu yang tak terkira beratnya.
"Aku bisa apa?", putus asa Lelaki Ini. Mereka hanya bertukar tatap. Rehat singkat jeda ini ternyata lebih menyiksa. Perempuan Itu membisu. Miliaran rasa berlomba menyeruak kata. Terhenti sunyi hati. Jika aku bisa, ku akan kembali, ku akan merubah takdir cinta yang kupilih. Tidak ada kebetulan dalam hidup. Rasa yang bertahta sekian lama juga begitu. Satu dasawarsa, jika tanpa rasa, pasti sudah hilang tergerus masa.
"Jangan lepas aku ya", bisik Perempuan Itu. Jemari bertaut makna. Meresonansi rasa yang membuncah saat jeda.
Terkadang-bahkan seringkali-manusia egois dengan harapannya. Berharap situasi selalu sesuai dengan harapan. Ketika tidak, meradang menyalahkan keadaan. Pun, Lelaki Ini dan Perempuan Itu. Waktu tak mau berpihak. Sementara, rasa tak mau dicegah.
***
Perempuan Itu sadar, dirinya tak sempurna. Sadarnya membuatnya mengalah. Tak banyak kesah. Rasa ini sungguh tak wajar, namun kuingin tetap bersama dia. Cinta, entah apa masih ada. Sudah lama tidak ditanya. Meski ikatannya masih ada. Kisah berjalan apa adanya. Tanpa rasa. Tanpa makna. The winner takes it all. Lelaki Ini juaranya. Malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya. Namun, banyak hal yang harus dijaga. She can not even hold his hand in the street. Betapapun rindu ini menggerogoti hati. Betapapun tubuh ini meronta tak rela. Lelaki Ini pun serupa. Hanya tak pernah berkisah. Seolah semua baik-baik saja. Sempurna, bahagia tanpa cela.
bersambung ...
Jakarta, 23022023
hari yang melelahkan
Lebih Baik Aku
Lebih baik aku bungkus saja rindu ini,
dengan bekas bungkus nasi padang.
Ku buang.
Pemulung datang. Berharap dapat rendang.
Kecewa,
karena hanya bungkusan asa.
Kucing mengendus, kaget.
Ada rindu di bungkus nasi padang.
Mengeong.
Kembali ke pangkuan tuannya.
Yang sedang sibuk menulis rindu:
pada awan, berharap terkirim lewat hujan
pada angin, agar menyelinap dari kisi-kisi yang tak rapat
pada air, supaya menggenang di setiap cerukan
dan pada sebungkus nasi padang, siapa tau kekasihnya lapar.
Jakarta, 17012023
Diary Umbi
Dear diary,
Hari ini ada yang mutasi,
Ada yang ke sana, ada yang ke sini,
Para petinggi hilir mudik cari informasi
Bagimana si itu, bagaimana si ini
bergegas lekas atur strategi
Jangan sampai si itu, ke sini,
Agar kita tak terbebani nanti
Jangan sampai si ini ke sana
Enak banget mereka, kita dapat sisa
Kita para umbi,,
Kadang seperti komoditi
Yang bisa di tawar ke sana ke mari
Sedang kita tak pernah punya opsi
Selain menerima siapapun teman atau petinggi,
Anggap saja kalau kebetulan dapat yang baik, itu rejeki
kalau dapat yang galak, menjadi uji
kita hanya perlu bersabar,
karena untuk itu juga,
Salah satu alasan kita umbi diberi gaji
Baik atau buruk kita,
Baik atau galaknya mereka,
Tak ada yang abadi
Cepat atau lambat, kita atau mereka aka pergi
dan terganti,
kita hanya perlu bersabar,
karena untuk itu juga,
Salah satu alasan kita umbi diberi gaji
(Iseng pagi pagi, semua ini fiksi, kalau ada kesamaan cerita, hanya kebetulan semata,Bersabarlah kita semua, karena untuk itu , salah satu alasan kita dibayar negara,)
Hikayat
(untuk tetehnumaketiung : Mahadewi)
ku selalu ingin ke sini,
Suatu tempat di ujung jalan paspati
Merawat ingatan tentang masa itu,
Kita yang duduk berhadapan
Terpisahkan oleh meja panjang,
Makanan pesanan yang dibiarkan dingin,
oleh percakapan dan tatapan yang hangat
Sesekali waktu itu
Kali kaki kita yang berayun
Di bawah kaki meja
saling bertubrukan,
Lalu kitapun tertawa bersama
Seperti kanak yang baru tahu cinta
Aku selalu ingin ke sini,
Mengingat caramu memuji
atau menguji ku pertama kali
"Kamu tak tampan,
tapi aku suka dengan dua bola matamu,
yang kecoklatan lucu seumpama mata kelinci,
dan alis matamu yang tebal, seperti ulat bulu"
Sungguh, waktu itu kupikir kamu
hanya basa basi,
Hingga dua puluh satu tahun hari ini,
kau tak pernah berhenti
Memuji dua mata kelinci itu
Yang menatapmu takjub, setiap hari
(Puisi yang belum selesai, mungkin tak akan pernah selesai )
LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU, DAN JEDA YANG MENYIKSA
"Hujan, senja, dan kita akan berjeda" lanjutnya dengan mata yang mulai basah. Suaranya parau. Putus asa. Seketika hampa menerpa. Hanya jemari bertaut mengungkapkan rasa.
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't it be like that?
'Cause I'm yours
Why can't I say that I'm in love?
I wanna shout it from the rooftops
I wish that it could be like that
Why can't it be like that?
'Cause I'm yours
Bait lagu yang dinyanyikan Little Mix ft Jason Derulo menyergap hatinya.
"Harus banget ya pagi-pagi lo muter lagu ini Sa?" tegur Perempuan Itu ke Raisa, barista cantik cafe itu. Setengah kaget, Raisa terbahak.
"Harus banget ya Kak pagi-pagi lo dah bawa gembolan ke sini?" balasnya. Perempuan Itu memang berencana kerja di sana hari ini. Makanya semua "peralatan tempur" terpaksa dibawanya.
"WFH lagi?" tanyanya. Perempuan Itu hanya mengangguk sambil menuju pojok favoritnya. Tempat dia bisa terlindung, tapi tetap leluasa melihat seisi kafe. Dia juga tidak perlu bilang lagi ke Raisa. Raisa sudah tahu harus menyeduh pepermint tea favoritnya. Plus, cheese toast bread tentunya.
"Woi bengong aja" kaget Raisa. Perempuan Itu tak sadar kalo dari tadi Raisa sudah duduk di depannya. Harum pepermint tea menyergap inderanya.
"Gue temenin ya Kak" sambung Raisa. Perempuan Itu tersenyum. Raisa sudah dikenalnya sejak pertama kali ke kafe itu. Bertahun yang lalu. Gadis cantik ini dulu hanya magang. Mengisi waktu luang sambil mencari tambahan uang jajan. Keluarganya kurang beruntung. Sehingga Raisa harus sambil kerja untuk menyelesaikan sekolahnya. Perempuan Itu langsung cocok dengannya ketika pertama bertemu. Kepolosan dan kebaikan hati Raisa membuatnya jatuh sayang. Itu juga yang membuatnya meminta kepada pemilik kafe untuk mengangkat Raisa menjadi pegawai tetap. Pemilik kafe itu setuju. Selain kerjanya yang bagus dan cekatan, kehadiran Raisa membuat tamu-tamu kafe itu merasa nyaman.
"Emang kenapa sih Kak lo baper banget kalo gue nyetel lagu tadi?" tanya Raisa.
"Eh lo gak sibuk kan?"
"Dari tadi gue liat lo bengong doang depan laptop" cerocosnya. Anak ini memang.
Perempuan Itu mendelik. "Eh anak kecil kepo aja deh" jawabnya. Berusaha menyamarkan rasa yang tiba-tiba menyeruak hatinya. Jeda ini sudah terlalu lama. Akhirnya pagi itu dihabiskannya dengan ngobrol ngalor ngidul dengan Raisa. Lebih banyak mendengar tepatnya. Dari mulai cita-citanya pengen ke Korea sampai tidak sengaja ketemu cowok mirip Hyun Bin di Jaklingko. Random banget hahaha.
***
Pagi ini, awal minggu ke sekian. Perempuan Itu kembali duduk di pojok favoritnya. Tempat yang sama, jam yang sama, hujan yang sama. Entah. Dunia ini seperti bercanda. Perempuan Itu tersenyum. Getir. Dibiarkannya sedikit tempias hujan mengusap pipinya. Teringat akan Lelaki Ini. Lelaki yang suka tiba-tiba mengirimkan voice note Yang membuat pipinya bersemu merah di tengah-tengah rapat yang serius. Lelaki yang bisa tiba-tiba mencipta puisi saat sedang serius nyetir. Menerbangkannya. Kutuliskan rindu di laut biru. Berharap awan menjadikannya hujan, yang membasahi tubuhmu dengan rinduku. Perempuan Itu mendesah. Tak terhitung sudah berapa awal minggu. Berapa banyak hujan yang lelah, berlalu karena rindu yang tak kunjung berlabuh. Cinta itu masih ada, sayang itu kuat terasa. Tak terasa matanya basah. Tiba-tiba Raisa datang membawa secangkir kopi susu di mejanya. Perempuan Itu bingung.
"Eh, siapa yang pesen Sa?" bingung Perempuan Itu.
"Kan gue gak ngopi, ngadi-ngadi lo" omelnya.
Raisa hanya mengedikkan bahu. Lalu berbisik, "Jason Derulo". Lalu sesosok tubuh muncul.
"Nggak bilang-bilang Bun mau kerja di sini" tiba-tiba suara itu menyapa. Perempuan Itu terkesiap. Lalu cepat berpura-pura.
"Ayaaahh..." teriaknya sambil merentangkan tangan. Memberi tanda agar suaminya masuk ke pelukannya.
"Iya, iseng aja. Bunda bosen di kantor, jadinya melipir kemari. Maaf ya lupa ngasih tau" Perempuan Itu melanjutkan dramanya.
***
Hujan. Secangkir kopi susu harusnya teman yang sempurna. Lelaki Ini memilih menahan langkah. Jeda ini memang sungguh menyiksa. Entah harus berapa lama lagi. Entah harus berapa banyak rasa yang ditumpahkannya ke laut biru. Sambil berharap, pesan itu tersampaikan. Rindu.
Jakarta, 26122022