Sengatan sinar matahari pada pukul dua belas siang terasa panas menyentuh kulit. Siapapun yang tidak mempunyai keperluan mendesak untuk keluar rumah, lebih memilih berdiam diri di dalam rumah sambil menikmati hembusan udara segar dari mesin pendingin udara/mesin kipas angin, kipas-kipas dengan kipas tradisional dari anyaman bambu, atau bahkan ada yang berteduh dibawah pepohonan yang berada di halaman rumah.
Bagi sebagian yang lain khususnya para Ibu, sinar matahari yang terang benderang menjadi kebahagiaan tersendiri, karena jemuran pakaian yang memenuhi seluruh tali jemuran bisa kering lebih cepat sehingga sebagian pekerjaan rumah bisa selesai lebih cepat dari biasanya. Di musim penghujan, pakaian yang dijemur lebih lama keringnya. Bahkan, jika telah selesai mencuci kemudian menjemur pakaian lebih pagi, menjelang sore atau malam bahkan esok harinya pakaian masih terasa lembab, sehingga apabila dipaksa untuk di angkat pakaian yang lembab tadi dan ditumpuk selama beberapa jam, pakaian-pakaian tersebut akan mengeluarkan aroma atau bau yang tidak menyenangkan.
Tidak hanya para ibu yang merasakan kebahagiaan, demikian juga dengan para penjual es keliling seperti es serut, es bon bon, es dawet ayu, es cincau dan aneka jajanan es lainnya, mereka berbahagia dengan cuaca saat itu, karena jualan es mereka laris manis diserbu para pembeli yang menginginkan kesejukan dan kesegaran didalam rongga mulutnya untuk melepaskan dahaga akibat udara panas.
Sementara itu, disebuah sekolah dasar negeri di kampung bulakan.
"Teeeeeeeetttttt" suara bel sekolah menggema diikuti oleh sorak sorai teriakan bahagia seluruh murid-murid yang telah menantikan bel pulang berbunyi.
Bagaikan air bah yang sulit dibendung, para murid berlarian keluar ruang kelas setelah mereka satu persatu menciuam tangan sang guru sambil mengucapkan salam perpisahan.
Sang guru membalas ucapan salam anak didiknya sambil tersenyum. Sesekali beliau berteriak mengingatkan anak didiknya untuk tidak saling dorong agar tidak ada yang terjatuh.
Udin terlihat berdiri di antrian paling belakang, ia selalu memilih masuk dalam barisan antrian paling belakang karena tidak ingin berdesakan apalagi terkena imbas ulah teman-temannya yang saling dorong. Bukan tanpa alasan Udin memilih antri paling belakang, itu karena ia pernah mengalami nasib buruk saat memaksakan diri ikut berdiri antri dalam barisan depan. Saat itu, tubuhnya yang kecil terjerembab hampir menabrak meja belajar akibat terdorong oleh teman-temannya.
Alhasil, tubuh Udin yang terjatuh dilantai menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Sang Guru pun hanya bisa membantu Udin untuk bangkit berdiri sambil memberi nasehat pada anak didiknya untuk tidak saling mendorong, karena hal tersebut dapat membahayakan diri sendiri dan juga orang lain.
Setelah berpamitan dengan gurunya, Udin melangkah keluar ruang kelas. Tempat tinggal Udin hanya berjarak puluhan meter dari Sekolah. Sesampainya di rumah, ia mengganti pakaian dengan pakaian sehari-hari. Kaos lengan pendek warna putih yang sudah mulai terlihat kecokelatan karena dimakan usia, serta celana pendek berbahan katun.
Selepas shalat dzuhur, Udin melangkah menuju meja makan. Ia membuka tudung saji yang didalamnya sudah tersedia bakul nasi yang terbuat dari anyaman bambu, sepiring telor goreng mata sapi yang diberi bumbu kecap, irisan cabai, irisan bawang merah dan irisan bawang putih, serta sambal terasi yang diberi perasan jeruk limo.
Udin makan dengan lahap, karena makanan yang masuk kedalam lambungnya terakhir berupa ketupat sayur adalah diwaktu pagi hari ketika bel masuk kelas belum berbunyi. Sedangkan pada saat bel istirahat, ia lebih memilih bermain bola di halaman sekolah yang sering dipakai untuk upacara bendera setiap hari Senin pagi atau baris berbaris dan berkumpul dalam kelompok-kelompok dalam ekstra kurikuler Pramuka. Selesai bermain bola, ia dan teman-temannya membeli jajanan es teh manis untuk melepas dahaga di sebuah warung sederhana yang berada tidak jauh dari bangunan utama sekolah.
Sewaktu sisa makan siangnya masih satu suapan lagi, terdengar suara teman-temannya memanggil namanya, “Uuudiiin…. Uuudiiin….”.
Emak Udin yang sedang menjahit bagian celana sekolah Udin yang robek, buru-buru buka pintu dan melangkah keluar, “Eeeh… Entong, Abdul, Soleh, sini masuk… tunggu sebentar ya… si Udin ngabisin makannya dulu. Eh iya… kalian udah pada makan?” tanya emak. “Udah Mak Udin. Iya dah…kita tungguin”. Jawab Entong, Abdul, dan Soleh hampir berbarengan. Ketiganya duduk di kursi bambu disudut halaman rumah berlantai keramik sederhana.
Tidak butuh waktu lama, Udin muncul dari balik pintu. “Maaf ya, tadi tanggung tinggal sesuap lagi…hehe“, ujar udin sambil tertawa kecil.
“Mak, Udin maen dulu ya…” ujar Udin meminta izin ke emaknya.
“diluar lagi panas, Din, jangan maen jauh-jauh ya, emak khawatir nanti Udin kesambet kalau tengari maen jauh-jauh”, ujar emak memberi peringatan ke Udin.
“Ya Mak, Udin udah janji ama temen-temen mau nyari daon kapuk”, jawab Udin.
“Emang buat apaan daon kapuknya?” tanya emak penasaran.
“Yaaah Emak kagak tau ya? Daon kapuk itu untuk bikin gelembung sabun dan air gelembung sabunnya bakal kita jual keliling kampung, kan lumayan buat duit jajan, gak minta ama emak..ha…ha…ha…” Jawab Udin sambil tertawa.
Sebelum Emak Udin bertanya lagi, Udin melanjutkan penjelasannya, “jadi gini Mak, cara bikinnya; beberapa lembar daon kapuk ditumbuk sampe halus, nah daon yang ditumbuk itu bakal ngeluarin semacam getah yang mirip minyak goreng tapi dia lebih kental, teruus…. daon kapuk yang udah ditumbuk tadi dimasukin kedalam air yang udah dituangin bubuk deterjen, terus daun kapuknya dibejek-bejek sampe kecampur sama air dan deterjen. Naaah….terakhir supaya hasilnya bersih… kagak ada ampas daon kapuknya, Udin dan temen-temen bakal saring pake bahan pakaian bekas. Setelah semua selesai disaring dan diperes, jadi dah gelembung sabun. Kalau gelembung sabunnya di celupin pake sedotan atau disedot sedikit dan ditiup perlahan, sedotannya bakal ngeluarin gelembung sabun yang buaaaaaanyaaaak banget, Mak”, ujar udin menjelaskan ke Emaknya dengan lengkap.
“Oo gitu, Din. Emang kagak beracun getah daon kapuk sama aer deterjennya kalau sampe ketelen?” tanya Emak lagi kerena khawatir anaknya bakal kena bahaya dari air gelembung sabun.
“hhmm…..yaa… jangan ampe ketelen dong Maaak. Udin pernah nyedot aer gelembung sabunnya kebanyakan, jadinya masuk ke mulut. Rasanya Paiiit, Mak… hahahaha” ujar udin sambil tertawa terbahak-bahak.
“Tuh kaaan…..baru aja emak kepikiran. Ya udah, ati-ati aja ya Din, Tong, Dul, Leh. Oh iya, Jangan ampe kesorean ya pulangnya…” pesan Mak Udin mengingatkan.
“Okey Mak…… Assalamuálaykum” ucap Udin pamit, disusul dengan ucapan dari Entong, Abdul, dan Soleh. Mereka pun bergegas menuju jalanan kampung yang mengarah ke sebuah lahan yang ditumbuhi oleh pohon singkong yang berbaris rapih, pohon pisang dipinggirnya dan sebuah pohon Kapuk yang menjulang tinggi namun sebagian batang pohonnya ada yang menjuntai pada posisi yang cukup pendek sehingga mudah untuk dipetik dengan menggunakan sebatang galah bambu. Pohon kapuk tersebut adalah satu-satunya yang berada disekitaran tempat tinggal Udin dan teman-temannya.
Udin dan teman-temannya tiba dibawah pohon kapuk. Dengan bermodalkan keberanian, salah satu dari mereka, yaitu Abdul, yang terkenal pemberani dalam urusan panjat memanjat pohon, mulai memanjat dan berhasil memetik sekantong kresek kecil daun kapuk.
Selesai mendapatkan daun kapuk yang diinginkan, merekapun bergegas menuju rumah Entong untuk mengolah daun kapuk menjadi air gelembung sabun. Ditengah perjalanan, mereka mampir sebentar di warung kelontong Mak Enoh. Dengan bermodalkan uang hasil patungan dari uang jajan masing-masing, mereka membeli sebungkus deterjen merk Rindu, sebungkus sedotan plastik, dan kantong plastik bening ukuran seperempat.
Sesampaikanya di rumah Entong, Udin dan teman-temannya mulai mengolah bahan-bahan yang telah mereka kumpulkan untuk membuat gelembung sabun. Mereka pun berbagi tugas, karena sebelumnya Abdul telah melakukan tugas memetik daun kapuk, maka tugas menumbuk daun jatuh kepada Udin, yang memeras daun kapuk yang telah ditumbuk adalah Entong, sedangkan yang memasukan deterjen dan mengaduk-aduk air gelembung serta melakukan penyaringan air gelembung sabun supaya tidak ada ampas daun yang tertinggal, jatuh pada Soleh.
Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam, air gelembung sabun akhirnya jadi dan telah dilakukan uji coba dengan hasil memuaskan. Air gelembung sabun tersebut menghasilkan gelembung yang banyak ketika dicelup kedalam sedotan plastik dan ditiup perlahan. Udin dan teman-temannya terlihat kegirangan.
Selanjutnya, merekapun mengatur strategi penjualan. Hasil kesepakatan, Udin dan teman-temannya akan menjual gelembung sabun di beberapa lokasi yang telah ditentukan dengan pembagian tugas sebagai berikut; yang membawa kaleng biskuit berisi air gelembung sabun jatuh pada Entong karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari yang lain. Yang bertugas teriak-teriak seperti layaknya penjual kredit panci atau penggorengan jatuh pada Abdul dan Soleh, karena keduanya dikenal memiliki suara yang bagus ketika mengumandankan adzan, sedangkan Udin mendapat tugas meniup gelembung sabun agar bisa menarik perhatian anak-anak yang mereka temui sepanjang perjalanan menjual gelembung sabun serta mendapat kepercayaan untuk menyimpan uang hasil penjualan gelembung sabun kedalam kantong plastik yang telah disiapkan.
Udin dan teman-temannya siap melakukan perjalanan. Namun sebelumnya, Soleh mengingatkan teman-temannya untuk membaca doa terlebih dahulu dengan harapan gelembung sabunnya dapat habis terjual. Akhirnya, setelah mereka berdoa bersama, Udin, Abdul, Entong, dan Soleh memulai perjalanan untuk menjual gelembung sabun.
“Gelembung Saboooon….. Gelembung Sabooon….. lima ratus perak…”, teriak Abdul dan Soleh saling bersahutan. Beberapa anak yang sedang bermain kelereng tak ayal menghentikan permainannya karena perhatian mereka beralih pada teriakan Abdul dan Soleh. Salah seorang dari anak=anak tersebut memanggil Udin dan teman-teman untuk membeli gelembung sabun. Penjualan pertama gelembung sabun berhasil meraup pundi-pundi uang jajan sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Anak-anak itupun terlihat sangat bahagia ketika mereka meniup air gelembung sabun dari sedotan plastik. Salah satu diantara merekapun sempat bertanya cara membuat gelembung sabun tersebut. Tentu saja Udin dan teman-temannya tidak bersedia memberitahu karena hal itu adalah rahasia “perusahaan”.
Selanjutnya, Udin dan teman-temannya melanjutkan perjalanan menuju lokasi-lokasi yang telah mereka sepakati. Dalam perjalanan, mereka menjumpai beberapa anak yang sedang asik bermain layang-layang, beberapa anak perempuan seusia Udin yang sedang berkumpul bermain permainan congklak, yang kemudian tertarik untuk membeli air gelembung sabun.
Sang waktupun beranjak sore. Suara kumandang adzan Ashar mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara Masjid dan Mushola. Udin dan teman-temannya sepakat untuk menghentikan perjalanan dan bersepakat untuk beristirahat disebuah Pos Kamling yang lokasinya tidak jauh dari rumah mereka berempat. Sambil menyenderkan badan dan meluruskan kaki, Udin dan teman-temannya mulai menghitung hasil penjualan gelembung sabun. Dengan disaksikan Abdul, Entong, dan Soleh, Udin mulai mengeluarkan plastik kresek didalam kantong celananya, mengeluarkan uang dari kantong plastik dan mulai menghitung. “lima ratus, seribu……dua ribu…..lima ribu….sepuluh ribu….dua belas ribu, lima belas ribu lima ratus….”, suara Udin dan teman-temannya kompak menghitung uang hasil penjualan gelembung sabun. Setelah dilakukan pengecekan didalam kantong plastik penyimpan uang dan tidak ditemukan lagi uang yang terselip, akhirnya Udin melipat kantong plastik tersebut dan menyimpannya kembali kedalam saku celananya.
“Alhamdulillaah…. Hasil penjualan hari ini sebesar lima belas ribu lima ratus rupiah, selanjutnya…uang ini mau dibagi rata jadi berapa-berapa untuk kita berempat?” Tanya Udin kepada Abdul, Entong, dan Soleh.
“gimana kalau masing-masing kita mendapat tiga ribu rupiah? Sisanya, kita simpan sebagai modal untuk bikin gelembung sabun lagi. Gimana, setuju gak?”, jawab Soleh yang disambut persetujuan dari Udin, Abdul dan Entong.
Akhirnya, setelah uang hasil penjualan gelembung sabun telah dibagi rata, Udin dan teman-temannya kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan bahagia karena sore itu mereka mendapatkan uang jajan dari hasil keringat atau kerja keras mereka, bukan dari meminta uang jajan ke orang tua. Udin dan teman-temannya membuat jadwal rutin berjualan gelembung sabun, hingga pada suatu hari mereka tidak melakukannya karena pohon Kapuk yang menjadi bahan utama dalam pembuatan gelembung sabun rata dengan tanah dan berubah menjadi sebuah gerbang perumahan mewah.
Udin dan teman-temannya mempunyai kenangan masa kecil yang indah.