Fitra membuka
sebuah amplop yang sedang dipegangnya. Matanya terpusat pada satu tulisan besar
yang berada di tengah kertas. Kekesalan tergurat jelas di wajahnya. Kemudian
kertas itu diremasnya.
Tak ingin
berlama-lama di bangunan sekolah bertingkat itu, Fitra melangkah keluar dari
sekolah itu. Langkahnya cepat karena menahan kekesalan.
Sesampainya di
tempat parkir Fitra masuk ke dalam mobilnya. Ia tidak langsung menyalakan mesin
mobilnya melainkan duduk di depan setir. Kemudian ia membuka tasnya dan
mengambil ponsel. Dicarinya sekolah-sekolah dasar yang dipikirnya bisa mendaftarkan
Karenina, anaknya.
Sudah setengah
jam lebih, Fitra berada di dalam mobilnya, namun belum ada satu pun sekolah
yang menurutnya cocok untuk Karenina. Dari mulai waktu pendaftaran yang sudah
selesai, lokasi yang jauh dari rumahnya sampai biaya yang terlalu mahal
baginya.
Perasaan stres
mulai menyerang pikiran Fitra. Ia bingung harus ke mana lagi mencari sekolah
untuk Karenina. Akhirnya Fitra memutuskan akan mendatangi sebuah sekolah swasta
yang letaknya agak jauh dari rumahnya. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan
gedung megah sekolah itu.
“Selamat pagi,
Bu!” Fitra menyapa seorang perempuan
setengah baya yang sedang duduk di sebuah ruangan.
“Selamat pagi. Ada
yang bisa saya bantu?” jawab perempuan itu dengan ramah.
“Saya ingin
mencari informasi pendaftaran masuk ke sekolah ini, Bu,” ujar Fitra.
“Silakan duduk,
Bu!”
Fitra duduk di
depan perempuan itu. Ia mulai berbicara tentang kemungkinan anaknya bersekolah
di sekolah yang menurut banyak orang adalah sekolah yang paling bagus di daerah
tempat tinggalnya. Sayangnya semakin lama ia mendengarkan perkataan perempuan
dihadapannya, ia semakin pusing.
“Biaya masuknya
sekitar empat puluh juta dan SPP-nya adalah dua juta per bulan. Ibu bisa
mendaftarkan anaknya sekarang kemudian lusa bisa ikut tes masuk.”
Fitra tak tahan
lagi berada di situ. Ia tak membayangkan mengeluarkan uang segitu banyak untuk
pendidikan di sekolah dasar. Belum lagi biaya bulanannya. Gaji Fitra dan Tommy,
suaminya akan habis untuk biaya sekolah, transportasi dan cicilan-cicilan saja.
Tak akan tersisa untuk makan sehari-hari. Belum lagi tanggungan keluarga mereka
berdua. Fitra bergidik membayangkannya.
“Saya pikirkan
dulu ya, Bu,” ujar Fitra dengan lemas.
“Ini kesempatan
terakhir, lho. Besok pendaftaran sudah kami tutup,” jawab perempuan itu.
“Iya, Bu. Saya
permisi!” Fitra pamit setelah bersalaman dengan perempuan itu.
Sampai ia
mendatangi sekolah yang keempat, barulah Fitra merasa telah menemukan sekolah
yang cocok bagi Karenina. Sayangnya, ia tak dapat memutuskan sendiri. Fitra
harus melibatkan Tommy untuk mengambil keputusan. Baginya yang penting adalah
ia sudah menemukan calon sekolah bagi Karenina.Itu sudah membuatnya sedikit
lega.
***
“Tom, masak sih Karenina
bisa nggak lolos masuk sekolah negeri favorit,” ujar Fitra kesal.
“Ya nggak apa-apa
dong. Emang harus ya lolos masuk SD favorit?” tanya Tommy dengan tenang.
“Bukan begitu,
Tom. Aku nggak terima aja. Karenina itu cerdas lho. Bahkan waktu di TK, gurunya
sering memuji Karenina. Dia juga udah pinter baca,” timpal Fitra.
“Nggak boleh lho
masuk SD pake tes. Di TK juga seharusnya nggak perlu diajarin baca tulis,” ujar
Tommy.
“Iya sih, tapi
kan kita harus mempersiapkan pendidikan Karenina sejak dini, Tom. Biar nanti
dia bisa masuk sekolah lanjutan yang bagus.”
“Kali aku nggak
sependapat, Fit. Kupikir sih nggak perlu lah Karenina belajar di sekolah
favorit dulu. Aku malah pengen masukin Karenina ke sekolah negeri yang di
sekitar sini aja,” ujar Tommy.
“Maksudmu SD
Melati gitu? Ya ampun Tom, tega banget sih mau sekolahin Karenina di situ.
Bangunannya aja jelek gitu mana tempatnya kumuh pula,” tukas Fitra.
Fitra merasa
kaget mendengar usul Tommy untuk menyekolahkan anaknya di SDN Melati. Tak ada
seorang pun penduduk kompleks perumahan yang mereka tinggali bersekolah di SDN
Melati. Kebanyakan anak yang bersekolah di situ adalah penduduk perkampungan
yang berada di sekitar tempat tinggal mereka.
“Lho memangnya
kenapa?” tanya Tommy masih dengan suara yang datar dan tenang.
“Karenina, Tom.
Anak kita satu-satunya sekolah di tempat yang jorok. Kasihan dong,” jawab Fitra
dengan kesal.
“Ah menurutku
semua sekolah sama aja. Apalagi masih tingkat dasar, pelajarannya pasti sama.”
“Tom, aku nggak
setuju! Kasihan Karenina.”
“Kasihan Karenina
atau kasihan kamu sendiri?”
“Maksudmu apa,
Tom?”
“Sebenarnya yang
kamu kasihani itu adalah dirimu sendiri, bukan Karenina. Menurutku sih Karenina
akan senang sekolah di mana pun. Yang penting baginya adalah memiliki teman
bermain ….”
“Kamu kok
menentang aku memberikan yang terbaik bagi anak kita sih!”
Suara Fitra
terdengar parau bercampur dengan tangisan yang tertahan di matanya. Ia merasa
Tommy tak menghargai upayanya untuk mencari sekolah yang bagus bagi Karenina.
Ia merasa telah mengorbankan waktu dan tenaganya demi mencari sekolah. Ia rela
mengambil cuti dari kantor padahal ia sebenarnya ditugaskan ke luar kota oleh
atasannya. Ia tolak semua itu demi Karenina.
“Gini deh, untuk
sekolah dasar, beri aku kesempatan untuk memilihkan sekolah untuk Karenina.
Kalau misalnya Karenina tidak senang dengan sekolahnya, maka bolehlah kamu
memindahkan Karenina ke sekolah yang bagus menurutmu,” ujar Tommy.
“Tom, kamu kok
ngotot sih?” tanya Fitra.
“Lha bukannya
kamu juga ngotot?” Tommy balik bertanya.
“Bukan gitu, apa
kamu nggak kepengen Karenina tumbuh cerdas dan pintar sehingga nanti dia nggak
kesulitan masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi,” terang Karenina. Ia
mencoba mempertahankan keinginannya.
“Pengen banget,
Fit. Pengen. Satu hal yang perlu kamu ketahui, aku punya alasan kuat
menyekolahkan Karenina di SDN Melati adalah biar Karenina punya pengalaman
hidup yang berwarna. Ia bisa melihat kehidupan lain. Bukan hanya kehidupan yang
didapatnya sekarang. Aku ingin Karenina jadi anak yang tangguh dan juga anak
yang peduli dengan sesamanya,” jelas Tommy.
Fitra terdiam
sejenak mendengar penjelasan Tommy. Ia tahu maksud Tommy baik tapi ia berpikir
apakah sekolah seperti itu tepat untuk Karenina.
“Kalau Karenina
di-bully gimana?”
“Di sekolah bagus
pun sering ada bullying juga, kok.”
“Tom, please!
“Kali ini aku
akan bertahan, Fit,” ujar Tommy ngotot.
“Mama, Papa, kok
bertengkar sih?”
Tiba-tiba Karenina
muncul di depan mereka berdua. Karenina mengucek-ngucek matanya. Kemudian ia
duduk diantara Fitra dan Tommy.
“Karenina kok
bangun, sih?” tanya Fitra.
“Karenina mimpi
buruk, Ma.”
“Mimpi apa?”
tanya Fitra sambil mengusap kepala Karenina.
“Mama dan Papa
bertengkar,” jawab Karenina polos.
“Karenina, Mama
dan Papa nggak bertengkar kok. Mama dan Papa sedang membicarakan tentang
sekolah Karenina setelah dari TK,” ujar Fitra lembut.
Tommy memberi
isyarat kepada Fitra agar tidak membicarakan masalah sekolah kepada Karenina.
Fitra merasa inilah kesempatan yang bagus untuk mengungkapkannya kepada Karenina.
“Karenina suka
kan sekolah yang gedungnya bagus, ruangannya bersih dan temannya yang
baik-baik?” tanya Fitra.
“Suka, Ma,” jawab
Karenina.
“Kalau sekolah
dekat, temannya lebih banyak suka ngga, Nak?” tanya Tommy.
“Karenina juga
suka, Pa.”
“Tommy!” bentak
Fitra.
“Biar Karenina
yang memilih, Fit. Dia pasti tahu lah yang baik untuknya,” balas Tommy.
“Karenina masih
kecil, Tom!” balas Fitra.
“Ma … Pa, kok
jadi ribut gara-gara Karenina sih?” tanya Karenina polos.
“Nggak kok. Mama
sama Papa nggak ribut,” ujar Fitra dengan lembut.
“Gini deh, Papa
mau tanya. Karenina mau sekolah di pilihannya Mama atau Papa?”
“Tom, masak Karenina
dibawa-bawa ke masalah ini sih. Harusnya kita yang menentukan untuk kebaikan Karenina,”
tukas Fitra.
“Ya nggak apa-apa
dong biar Karenina udah dibiasakan ngambil keputusan sejak dini,” balas Tommy.
“Karenina,
bagaimana jawabannya?” tanya Tommy lagi.
“Karenina
bingung, Pa.”
“Tuh kan anaknya
bingung. Kamu sih. Udah masuk sekolah yang kucari tadi siang aja!” pinta Fitra.
“Enggak dong! SDN
Melati dekat. Kita jadi nggak khawatir,” balas Tommy.
“Nggak bisa, aku
nggak mau anakku masuk sekolah negeri!” balas Fitra.
“Lha kamu juga
kan produk sekolah negeri, Fit.”
“Tapi aku nggak
mau anakku masuk sekolah negeri!”
“ … “
“ … “
Karenina hanya
bengong melihat perdebatan kedua orang tuanya. Ia juga tak mengerti apa masalah
perdebatannya. Ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya ia
meninggalkan kedua orang tuanya yang terus berdebat dengan suara yang sama-sama
kerasnya. Karenina berpikir kalau mimpi buruknya itu ternyata menjadi kenyataan
malam ini.