“Wah
alhamdulillah anaknya sehat,” ujar seorang tetangga yang datang menemuiku
ketika aku baru saja pulang dari rumah sakit selepas melahirkan Sakina.
“Alhamdulillah,”
balasku dengan tersenyum
Sebenarnya kalau
aku ditanya terlebih dahulu sebelum ada orang yang ingin menjengukku dan
Sakina, aku lebih memilih tak ada seorang pun yang mendatangiku. Apalagi kalau
aku baru saja kembali dari rumah sakit.
Aku letih. Seluruh
badanku terasa pegal dan tak bertenaga. Aku malas sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan. Terlebih apabila mereka menceritakan pengalamannya ketika
melahirkan kepadaku.
“ASI-nya lancar,
Mbak?” tanya tetanggaku yang satunya lagi.
“Belum keluar dari
pertama lahiran. Sampai beberapa hari ini masih sedikit sekali air susu yang
keluar.” Tanpa diminta, ibuku menjelaskan jawaban yang membuatku kesal.
“Banyak makan daun
katuk, Mbak! Terus jangan banyak berpikir yang enggak-enggak, nanti jatuhnya
stres lho. Coba tenangin pikiran biar air susunya lancar.”
Aku hanya bisa tersenyum
tipis mendengar nasihat seperti ini. Memangnya gampang selepas lahiran, seorang
ibu yang baru mempunyai anak tak berpikir apa pun.
“Setiap hari saya
buatkan sayur daun katuk, kok. Nggak tahu juga kenapa air susunya sulit
keluar,” ujar Ibu.
“Terus bayinya
minum apa selama beberapa hari ini?” tanya yang lain membuatku semakin pusing.
Ibu diam tak
menjawab. Pikirku, tumben kali ini Ibu tak bersuara. Sepertinya Ibu malu
mendapati anaknya belum berhasil mengeluarkan air susunya.
“Anak saya udah
minum susu formula, ibu-ibu.” Akhirnya terpaksa aku menjawab pertanyaan yang
disampaikan tetanggaku itu.
“Aduh Mbak Feni,
jangan dikasih susu formula dong! Nanti anaknya jadi bodoh. ASI itu adalah
makanan terbaik bagi bayi. Selain itu juga akan menciptakan bonding yang kuat
antara anak dengan ibunya. Nanti imunnya nggak bagus lho kalau minum susu
formula.”
Duh Gusti, rasanya
aku tak sanggup menghadapi ibu-ibu ini. Bukannya aku jadi tenang dapat
nasihat-nasihat ini tapi malah membuatku jadi seperti seorang ibu yang jahat
kepada anaknya sendiri.
Saat itu,
perasaanku hancur sekali mendengar kalimat-kalimat yang pedas seperti itu.
Ingin rasanya kuusir semua orang itu dari hadapanku. Tangis Sakina
menyelamatkanku dari penghakiman para ibu-ibu super di hadapanku ini.
Aku berpamitan dan
masuk ke dalam kamar. Entah apa lagi yang dibisikkan para penjenguk itu kepada
ibuku karena kudengar masih ada percakapan yang terjadi tapi dengan suara yang
lebih pelan. Aku tak ingin mendengar apa yang mereka ucapkan.
***
Setelah seminggu
berlalu, aku tetap tak sanggup memproduksi ASI. Pikiranku semakin kalut apalagi
kalau mendengar kalimat miring dari orang tentang anak yang minum susu formula.
“Dicoba lagi,
Fen,” bujuk Ibu.
“Aku nggak bisa,
Bu. Aku sudah berusaha keras tapi tetap tak bisa.”
Rasanya aku ingin
menjerit mendapati kenyataan ini. Upaya apa lagi yang harus kulakukan agar aku
bisa mendapatkan pengakuan kalau aku adalah ibu yang sejati.
“Mungkin Ibu harus
terus membuatkanmu sayur daun katuk setiap hari,” ujar Ibu.
“Cukup, Bu. Aku
sudah capek tiap hari makananku itu-itu saja. Aku bosan.” Suaraku mulai berat
menahan tangis yang tertahan di tenggorokan.
“Sabar, Fen!”
“Maafkan aku, Bu.
Sepertinya usaha kita ini harus kita hentikan. Aku nggak mau konsentrasi jadi
terbelah karena aku sibuk mengupayakan agar ASI keluar tapi aku lupa
memperhatikan Sakina. Aku ingin ceria merawat Sakina, Bu. Bukan seperti
sekarang ini, aku sering merasa kecewa dengan diriku sendiri.”
Aku tak sanggup
lagi menahan tangis yang terpendam di dada. Kutumpahkan semuanya pada saat itu.
Andai saja Mas Dito ada di sampingku saat ini, pastilah aku akan lebih tegar
menghadapi masalah ini.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,”
jawab Ibu.
Aku menghapus air
mata yang bercucuran di pipi dengan ujung kemeja. Aku tak ingin orang lain
melihatku rapuh seperti ini.
“Masuk, Bu
Danang!” ujar Ibu.
“Eh Mbak Feni,
mana dede bayinya?” ujar Bu Danang sambil menyerahkan sebuah kotak yang
dibungkus dengan kertas warna-warni.
“Ayo lihat!” ajak
Ibu sambil berjalan menuju kamar.
“Sakina sedang
tidur, Bu,” ujarku.
“Sakina cantik.
Mirip mamanya,” puji Bu Danang.
“Terima kasih,”
balasku berbasa-basi.
“Bagaimana Mbak
Feni, apa ASI-nya lancar?”
Hal seperti inilah
yang aku tidak sukai ketika ada orang yang melihat Sakina. Pasti ujung-ujungnya
menanyakan soal ASI kepadaku.
“Nggak keluar,
Bu.”
Ibu selalu
mewakiliku untuk memberikan jawaban kepada siapa pun yang bertanya tentang ASI.
Aku sama sekali tidak meminta Ibu untuk menjawab pertanyaan yang sama dari
beberapa orang yang niat awalnya adalah melihat anak bayiku.
“Terus minumnya
gimana?” tanya Bu Danang lagi.
“Minum susu
formula,” jawab Bu Danang.
“Aduh sayang
sekali ya, anaknya tidak menyusu kepada mamanya. Biasanya sih kalau anak yang
tidak minum air susu ibunya, gampang sakit, Mbak.”
Entah apa yang
harus kuperbuat mendengar ucapan Bu Danang. Aku bisa depresi kalau setiap hari
mendengar kata-kata ASI ditanyakan kepadaku.
“Emang ada yang
salah ya dengan susu formula?” tanyaku ketus.
“Enggak sih, Mbak.
Bagus-bagus aja. Susunya merek apa? Kalau keponakan saya minumnya susu merek ST 13. Mahal itu,” ujar Bu Danang lagi.
“Kalau Sakina sih
saya kasih susu yang murah aja, Bu. Sama saja, yang penting anaknya mau dan
nggak alergi.”
“Ah masak sih Mbak
Feni nggak sanggup beli susu yang mahal.”
Aku semakin kesal
mendengar ucapan Bu Danang yang semakin melantur. Aku melirik ke arah Ibu dan
memberikan kode agar aku ditinggal sendiri.
“Ayo, Bu. Kita
ngobrol di luar aja. Feni ini kurang istirahat. Tadi malam begadang. Sakina
nggak mau tidur,” ajak Ibu.
“Mungkin dede bayi
pengen mimi air susu ibunya,” ujar Bu Danang dengan suara tanpa dosa. Ia tak
sadar kalau perkataannya sungguh menyakiti perasaanku.
Setelah Ibu dan Bu
Danang keluar dari kamar, aku membaringkan badan di samping Sakina yang
terlelap. Kupandangi wajah Sakina dalam-dalam. Betapa damainya Sakina. Kuelus
tangannya yang berlipat dengan lembut.
Tiba-tiba ponselku
berdering. Rupanya Mas Dito mengajakku mengobrol melalui videocall.
“Mas, aku kangen,”
rajukku setengah menangis.
“Sabar, ya.
Seminggu lagi kita akan ketemu.”
“Lama sekali, Mas.
Lain kali jangan ambil dinas yang kelamaan, ya!” pintaku manja.
“Iya. Mana
bidadari kecilku yang cantik?” tanya Mas Dito.
Aku mendekatkan
ponsel ke arah Sakina sehingga wajah Sakina terlihat di layar. Kulihat Mas Dito
mengusap air mata yang menetes di pipinya. Aku ikut terharu menyaksikan pertemuan
antara ayah dengan anak perempuannya.
“Sakina, ini
Papa.”
“Sakina tidur,
Mas.”
“Aku nggak sabar
deh nunggu seminggu lagi. Kangen kamu juga,” goda Mas Dito membuatku tersipu
malu.
“Tapi, Mas ….”
Aku ragu ketika
hendak menceritakan masalahku kepada Mas Dito. Aku tak ingin membebani
pikirannya dengan masalahku yang belum tentu dapat dipahaminya.
“Tapi apa? Mau
minta oleh-oleh?”
“Enggak kok, Mas.
Kamu pulang dengan selamat aja udah lebih dari sekedar oleh-oleh,” ujarku.
“Kamu tuh, ya.
Bakalan nggak bisa tidur nih aku kalau kamu gombalin begini.” Melihat wajah Mas
Dito yang ceria membuatku bahagia.
“Mas, jangan
marah, ya?”
“Feni, dari tadi
kamu tuh bikin kode-kode terus. Cerita aja, nggak apa-apa kok,” ujar Mas Dito
menenangkanku.
“Umm … air susuku
nggak keluar, jadinya Sakina kukasih susu formula. Seminggu ini aku udah
berusaha tapi gagal, Mas.” Akhirnya kuceritakan juga masalah yang kuhadapi.
“Ya ampun, Feni.
Kenapa kamu takut cerita soal itu? Bagiku nggak masalah, kok. Kamu fokus aja
mengurus Sakina dengan baik. Jangan sedih terus, nanti kamu sakit. Kasihan kan
Sakina … juga aku. Aku nggak mau mengurus Sakina sendirian, maunya berdua sama
kamu.”
Rasanya tenang
hatiku mendengar perkataan Mas Dito. Aku semakin yakin kalau anakku akan tumbuh
baik dengan kasih sayangku walaupun tanpa ASI.
“Fen, udah dulu
ya. Aku mau baca-baca materi seminar besok,” pamit Mas Dito.
“Iya, Mas. Daah.”
Aku membelai
tangan Sakina yang masih tidur. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku
akan selalu bahagia tanpa harus selalu memikirkan apa pendapat orang lain.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.
Silakan masuk, Bu Anna ….”
Aku tak ingin
terbebani dengan kewajiban untuk menemui orang saat aku lelah, makanya aku
memilih menutup pintu kamar. Aku tak tahu sejak kapan aku tertidur. Aku
terbangun ketika Ibu mengetuk-ngetuk kamarku mengingatkanku untuk makan sayur
daun katuk.
“Apa, Bu?”
“Makan sayur daun
katuk dulu, sebelum Sakina bangun!” perintah Ibu.
Aku bangun dan
duduk di pinggir tempat tidur. Aku melirik Sakina, ternyata dia masih tidur
dengan pulas.
“Boleh nggak aku
minta menu yang lain? Sayur yang lain. Aku bosan makan daun katuk melulu, Bu.
Sehari bisa sampai tiga kali.”
“Kamu nggak mau
berusaha lagi, Fen?” tanya ibu. Wajahnya terlihat sedih.
“Aku mau berusaha
menyayangi Sakina dengan caraku, Bu. Boleh ya? Ini hari terakhir ya menuku cuma
sayur daun katuk. Aku mau makanan yang bervariasi biar aku sehat, jadi aku bisa
merawat Sakina dengan baik. Maaf ya, Bu.”
“Feni ….”
Ibu memelukku. Ia
mengelus kepalaku. Sepertinya Ibu mulai menangis.
“Maafkan Ibu, Nak.
Selama ini Ibu nggak peka.”
Ada rasa hangat
menjalari hatiku ketika berada dalam pelukan Ibu. Aku semakin yakin, Sakina
akan tumbuh dalam lingkungan yang baik dengan orang-orang dewasa yang saling
memahami.
***