Pisah
Aku biarkan amarah bersemayam di dalam kedua bola matanya.
Setelah apa yang telah kulakulan, melulunlantakan pondasi kepercayaan yang telah dibangun sekian lama.
Di sebuah bangku taman usang, sekumpulan burung gereja berlompatan mencari makan.
Aneka warna warni bunga menarik pandangan.
Semua itu tak mampu menyuguhkan kebahagiaan, padaku yang terjebak dalam ruang kata.
Setelah kata-kata itu melesat lepas dari sepasang bibir merahnya dan menghujam tepat di jantung pertahananku; kita...pisah!
Seketika, langit menumpahkan air matanya.
Setelah apa yang telah kulakulan, melulunlantakan pondasi kepercayaan yang telah dibangun sekian lama.
Di sebuah bangku taman usang, sekumpulan burung gereja berlompatan mencari makan.
Aneka warna warni bunga menarik pandangan.
Semua itu tak mampu menyuguhkan kebahagiaan, padaku yang terjebak dalam ruang kata.
Setelah kata-kata itu melesat lepas dari sepasang bibir merahnya dan menghujam tepat di jantung pertahananku; kita...pisah!
Seketika, langit menumpahkan air matanya.
Rindu Yang Lelah Bertamu
Ini sudah kali ketiga,
tepat di akhir prahar kelima,
rindu tak jua mengetuk pintu;
Entah dia lelah
dengan kudapan yang itu-itu saja:
sepiring asa dan secangkir dusta;
Entah dia lelah
duduk menunggu tanpa kata,
lalu berlalu tanpa cinta;
Entah dia lelah
menyingkat waktu,
lalu kembali jadi rindu.
Jakarta, 07072020
tepat di akhir prahar kelima,
rindu tak jua mengetuk pintu;
Entah dia lelah
dengan kudapan yang itu-itu saja:
sepiring asa dan secangkir dusta;
Entah dia lelah
duduk menunggu tanpa kata,
lalu berlalu tanpa cinta;
Entah dia lelah
menyingkat waktu,
lalu kembali jadi rindu.
Jakarta, 07072020
Indahnya Bukan untuk Dimiliki
Setiap hari pemandangan laut lepas
nan indah ini dapat Kami nikmati. Desiran ombak, air laut biru nan
bening, bukit-bukit nan gagah, burung-burung yang berterbangan sungguh
amat indah dipandang, dimana mata ini seolah tak pernah jemu untuk
memandangnya. Sore hari setelah selesai waktu bekerja dan juga untuk
menghilangkan rasa penat yang telah dirasa, biasanya kami mengunjungi
taman pala. Taman pala adalah sebuah taman kota yang terdapat di Kota
Tapaktuan, Aceh Selatan.
Disana terdapat berbagai macam penjual makanan ringan dan minuman ringan, disana juga terdapat deretan warung yang menjual makanan berat. Biasanya setelah membeli es krim ataupun bakso, kami duduk santai di pinggir laut menikmati eloknya laut luas di Tapaktuan. Biasanya masing-masing kami menceritakan apapun yang bisa diceritakan. Hal-hal sederhana pun dapat dijadikan bahan tertawa. Mungkin hal ini bisa menjadi kenangan indah saat kami tak lagi mengabdi di tempat yang sama.
Aku suka mengambil gambar di daerah ini, walaupun sebelumnya Aku sudah pernah melakukannya. Mengabadikan pemandangan laut yang tenang, langit yang luas, bukit yang berjejer tak akan pernah jemu Aku lakukan. Kami menyudahi menikmati pemandangan laut kala sudah terdengar rekaman suara mengaji dari mesjid terdekat. Seketika kami bangkit dari batu pembatas laut yang sedang kami duduki kemudian berjalan menuju kendaraan yang sedang terpakir rapi kemudian kami menikmati perjalanan kembali ke rumah.
Terbesit dalam pikiran untuk bertanya kepada diri, bagaimana jika di bumi ini tidak ada air laut? Pastinya Kita tidak akan pernah bisa menikmati indahnya pemandangan laut yang elok dan menyejukkan mata. Ketika melihat sesuatu yang indah biasanya manusia berkeinginan untuk memilikinya, apakah Kamu setuju dengan pernyataanku?
Bagaimana dengan laut yang indah ini, Kita tak akan mungkin bisa memilikinya. Akhirnya Aku dapat menyadari bahwa segala sesuatu yang Allah ciptakan itu hanya untuk dinikmati begitupun segala kesempatan yang datang dan hal yang kita dapatkan bukan untuk dimiliki selamanya, seperti orangtua, pekerjaan, teman, pasangan, anak. Jadi mengapa kita terlalu menggengam sesuatu yang sebenarnya tidak akan kita miliki selamanya?
Disana terdapat berbagai macam penjual makanan ringan dan minuman ringan, disana juga terdapat deretan warung yang menjual makanan berat. Biasanya setelah membeli es krim ataupun bakso, kami duduk santai di pinggir laut menikmati eloknya laut luas di Tapaktuan. Biasanya masing-masing kami menceritakan apapun yang bisa diceritakan. Hal-hal sederhana pun dapat dijadikan bahan tertawa. Mungkin hal ini bisa menjadi kenangan indah saat kami tak lagi mengabdi di tempat yang sama.
Aku suka mengambil gambar di daerah ini, walaupun sebelumnya Aku sudah pernah melakukannya. Mengabadikan pemandangan laut yang tenang, langit yang luas, bukit yang berjejer tak akan pernah jemu Aku lakukan. Kami menyudahi menikmati pemandangan laut kala sudah terdengar rekaman suara mengaji dari mesjid terdekat. Seketika kami bangkit dari batu pembatas laut yang sedang kami duduki kemudian berjalan menuju kendaraan yang sedang terpakir rapi kemudian kami menikmati perjalanan kembali ke rumah.
Terbesit dalam pikiran untuk bertanya kepada diri, bagaimana jika di bumi ini tidak ada air laut? Pastinya Kita tidak akan pernah bisa menikmati indahnya pemandangan laut yang elok dan menyejukkan mata. Ketika melihat sesuatu yang indah biasanya manusia berkeinginan untuk memilikinya, apakah Kamu setuju dengan pernyataanku?
Bagaimana dengan laut yang indah ini, Kita tak akan mungkin bisa memilikinya. Akhirnya Aku dapat menyadari bahwa segala sesuatu yang Allah ciptakan itu hanya untuk dinikmati begitupun segala kesempatan yang datang dan hal yang kita dapatkan bukan untuk dimiliki selamanya, seperti orangtua, pekerjaan, teman, pasangan, anak. Jadi mengapa kita terlalu menggengam sesuatu yang sebenarnya tidak akan kita miliki selamanya?
Naskah Amarah
Presiden marah,
Pada Menteri
Menteri marah,
Pada Dirjen
Dirjen marah,
Pada Direktur
Direktur marah,
Pada Kasubdit
Kasubdit Marah,
Pada Kasi
Kasi marah,
Pada Staff
Staff marah
Pada orang rumah,
Orang rumah bertanya
"Aku salah ?"
Staff menjawab
Tidak!,
marah
Tak selalu karna ada salah
Marah dan kena marah
Sudah tertulis di naskah
Kita hanya memerankannya
Ujung Harapan, 1 juli 2020
Pada Menteri
Menteri marah,
Pada Dirjen
Dirjen marah,
Pada Direktur
Direktur marah,
Pada Kasubdit
Kasubdit Marah,
Pada Kasi
Kasi marah,
Pada Staff
Staff marah
Pada orang rumah,
Orang rumah bertanya
"Aku salah ?"
Staff menjawab
Tidak!,
marah
Tak selalu karna ada salah
Marah dan kena marah
Sudah tertulis di naskah
Kita hanya memerankannya
Ujung Harapan, 1 juli 2020
#ceritarekaan
#kesamaantokohdanjabatanhanyakebetulan
RINDU MAL
Suara kalian menggema penuhi
telinga,
Sayup terdengar dentingan
musik menambah berisik,
Sesekali toa menganga
memanggil nama,
atau sekedar menyemat serangkai
maklumat
sembari melontarkan persen harga
potongan,
Terus saja jejakku menjejak,
Menyusuri mengkilat ubin berkotak-kotak,
Menjadi pematang deretan kedai
beranak pinak,
Yang terkadang suaranya kompak
berpaduan:
“Silakan, Kakak!”
“Nyari apa, Kakak!”
“Mampir dulu, Kakak!”
Sungguh sosok adik yang
durhaka,
Seolah-olah ramah, tapi minta
uang di belakangnya,
Aku hanya menggelengkan
kepala,
Memasang senyuman dari logika,
Melangkah tanpa perlu petunjuk
arah,
Lalu memilih singgah pada segelas
kopi gula merah,
Duduk menyeruput dengan
pandangan tak luput,
Bergumam sendiri: “Wah,
sungguh gadis yang imut!”
Hingga tatapan beradu membuat
beringsut,
Dia menghampiri nyaliku yang
mulai menciut,
Perlahan mendekat dan makin
dekat,
Berdiri diam lima sentimer di
seberangku,
Lalu menuangkan segelas kopi
gula merah,
Keras menerpa kulit wajahku,
Aku hanya terdiam sambil
menyeka,
Mengatur nafas gelagapan,
Tak berani melirik matanya,
Dia sekejap membuyarkan: “Ngimpikno
Sopo?”
Kisah Senin Soreku Bersama Kekasih Gelapku
Pukul
17.25
Di Senin
sore beberapa ratus minggu yang lalu,
Braaakkk
...!!! Aku menggebrak badan kemudi keras sambil berteriak kesal. Sesak sekali
rasanya ketika rasa marah dan sedih tumpang tindih dalam rongga dada ini. Aku
melambatkan laju kendaraanku sejenak sebelum merasakan aliran hangat membasahi
kedua mataku. Pelan lalu semakin deras dan menguras emosi. Aku benar-benar
tergugu. Beberapa menit berlalu, aku merasakan sedikit demi sedikit rongga
dadaku terasa lebih ringan. Aku meraih tissue, menyeka sisa-sisa air mata,
menarik nafas dalam, lalu mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu.
***
“Kamu gak
suka ya Mas, aku kasih surprise seperti ini?”, Ajeng menatapku dengan rasa
bersalah. “Mas ... ngomong donk, jangan diem aja dari tadi aku dicuekkin,” matanya
menatapku dengan gusar.
“Ini
bukan masalah aku suka atau nggak ya, tapi aku tuh bener-bener gak habis pikir
lho dengan kamu. Ngapain coba kamu melakukan hal sekonyol ini? ‘Kan aku sudah
bilang ke kamu, sekarang ini nih kerjaan di kantor sangat banyak, dan aku
sedang gak bisa lembur karena istriku sudah beberapa hari ini migrain nya
kambuh. Aku harus segera pulang ke rumah, bawa sisa pekerjaan, nanti sampai di
rumah harus gantian ngurusin anak-anak, bantu mereka mengerjakan PR, setelah semua
tidur aku baru melanjutkan pekerjaan kantor. Aku lelah Jeng ... Tolong kamu
pahami itu!”, aku berbicara dengan nada tinggi. Keletihanku seminggu belakangan
ini sepertinya memang butuh untuk dilampiaskan.
“Iya Mas
... Maaf. Aku cuma kangen kamu, gak lebih. Aku tau mas mesti cape dengan
rutinitas sekarang ini, aku juga gak ada niat mau menambah-nambah beban pikiran
Mas kok.”, kali ini suara Ajeng terdengar sangat parau. Aku tau, dia sedang
menahan tangisnya.
“Kangen?
‘Kan kita masih terus komunikasi, Jeng. Setiap pagi, setiba di kantor, kamu
orang pertama yang aku telpon, begitupun dalam perjalananku pulang dari kantor.
Kamu jangan seperti Abege gak jelas deh”, ah kali ini aku benar-benar ingin
memuntahkan kesuntukanku. Ada rasa bersalah yang menyelinap ketika aku masih
dengan nada tinggi mengomel kepada Ajeng, perempuan yang sudah beberapa bulan ini menjadi kekasih gelapku.
“Mas,
cukup!”, kali ini aku tersentak mendengar suara Ajeng yang berbalik emosi. Aku
tertegun sejenak ketika mendapati wajahnya yang sudah bersimbah air mata namun tatapan
matanya penuh amarah. Sungguh suatu kombinasi yang tidak pas. “Aku minta maaf
kalau kamu merasa kedatanganku kali ini mengganggu kamu. Kamu gak perlu juga
sebegitu marahnya ke aku. Jika dengan berkomunikasi via telpon cukup untuk
menahan rasa rindu ini, aku gak akan ada bersama kamu saat ini. Tapi aku kali
ini benar-benar kecewa, Mas. Aku gak minta kamu ajak jalan kemana-mana,
nggaaakk ... buatku, bertemu kamu sebentar saja sudah lebih dari cukup,” belum
selesai Ajeng melanjutkan kata-katanya, aku sudah menyela.
“Oya?
Trus apa sekarang ini kamu gak bikin repot? Ya gak mungkin kan aku membiarkan
kamu pulang sendiri dari kantorku? Sementara kamu tau kalo hari Senin, jalanan
macetnya parah. Mengantar kamu pulang berarti aku harus membuang waktu lebih
kurang 2 jam untuk bisa sampai di rumah. Belum lagi nanti istriku bolak balik
telpon ngomel-ngomel mempertanyakan kenapa aku pulang begitu larut,” kali ini
aku benar-benar menghardik Ajeng.
“Mas,
tolong turunkan aku disini sekarang,” Ajeng menatapku tajam. Di matanya yang bening,
aku melihat luka yang dalam. Aku tau dia sangat kecewa dengan kemarahanku. Aku
juga sadar kalau aku terlalu berlebihan, namun aku tak tau mengapa aku tidak
dapat membendung emosiku.
Aku
melambatkan laju kendaraan, lalu menepi di depan salah satu halte yang terlihat
cukup sesak dengan orang-orang yang berlomba mengejar kendaraan umum.
“Terima
kasih ya Mas buat semua. Sekali lagi, aku minta maaf karena sudah merusak malam
mu. Hati-hati”, Ajeng bergegas turun
dari mobilku, setengah berlari berbaur bersama orang-orang yang berada di halte
itu.
***
“Huuuffttt
... Astaghfirullahal’adziim ...,” aku membatin pelan. Aku baru sadar kalau
Ajeng tidak terbiasa menggunakan kendaraan umum, bahkan aku juga tidak yakin
kalau dia tau di halte apa dia tadi turun. Ya, itu salah satu kelemahannya.
Ajeng tidak pernah bisa mengingat arah suatu alamat. Kelemahan ini juga yang
membuatku sering over-protected
terhadapnya, sehingga sejak beberapa bulan hubungan kami, Ajeng tidak aku
ijinkan kemana-mana jika tidak aku yang mengantarkan. Kecuali ke kantorku,
itupun setelah beberapa kali aku harus mengarahkan pengemudi taksi yang membawa
Ajeng.
Tiba-tiba
ada rasa sesal yang teramat sangat menyelinap dalam hatiku. Tidak seharusnya
aku melampiaskan kelelahanku kepada Ajeng. Dari sejak pertama kali kami
bersama, baru tadi itu aku menghardiknya.
Padahal tak ada yang salah dengan rasa rindunya. Pun sejak awal Ajeng sudah bilang kalau dia bisa pulang pakai taksi. Dia hanya ingin bertemu,
melihatku, menghilangkan rasa rindunya, itu saja. Kini rasa bersalah berbalik
menjadi rasa khawatir yang memuncak. Aku bergegas meraih gawaiku, coba
menghubungi Ajeng, 1... 2 ... 3 kali tidak dijawab. Secepat kilat aku
membelokkan mobilku pada jalan yang mengarah kembali ke halte dimana aku
menurunkan Ajeng. “Ya Tuhan, semoga Ajeng masih menungguku, “aku bergumam penuh
harap. Namun sia-sia. Aku menyapu pelan wajah orang-orang yang berdiri di halte
tersebut sambil terus menghubungi telpon seluler Ajeng. Nihil... Ajeng tak ada
disana. “Maafin Mas ya, Jeng ... semoga
kamu baik-baik sampai di rumah.”.
** Well you only need the light when
it’s burning low,
Only miss the sun when it starts to
snow,
Onlyknow you love her when you let her
go
Only know you’ve been high when you’re
feeling low,
Only hate the road when you’re missing
home
Only know you love her when you
let her go, and you let her go ...
**Let her go -- Passenger
Langganan:
Postingan (Atom)