Nasehat Ibu Untuk Anaknya (Mahasiswa PKN STAN yang lagi belajar dari rumah)
Nak,
Kau lagi belajar
dalam bentang jarak
maklumi saja
kalau
sesuatu yang mudah
kadang menjadi susah
yang sederhana
menjadi rumit adanya
Sebab di dunia maya kita,
Sekuat kuatnya
Tak mampu membawa beban
dengan sempurna
beberapa kata kata
atau tanda baca
terkadang larut di udara
dan pesanpun tiba
dalam makna
yang berbeda
Imaji dan intonasi,
penguat arti,
kadang lenyap
sebelum sempat menepi
hingga maksud diri
tak seutuhnya terpahami
Maklumi saja
karena kita belum lagi biasa
semua selalu kurang
pada mulanya,
namun pasti
itu langkah kecil
menuju sempurna
Berhentilah, nak
berhenti berkeluh kesah
apalagi meneriakkan sumpah serapah,
karena semua orang kini
menjalani masa yang sama
jalani hidup yang tak lagi mudah
Mungkin kau lelah dan payah
manyak materi belum terjamah,
tugas tanpa henti
silih berganti tiap mata kuliah
tapi lelah dan payah
bukanlah alasan cukup
untuk segera menyerah
Coba sesekali lihat lah
anak tetangga samping rumah,
atau adik tempatmu dulu sekolah
hari harinya kini basah
dikepung gundah,
kala PKN STAN cita cita
tempat mereka kuliah
tahun ini tak membuka wadah
Seleksi bak tahun yang sudah sudah
sedang persiapan dan doa
telah mereka jalani tanpa lelah
Tak pantas kalau kau memilih rebah
atau berdiam pasrah
mendiamkan masalah
Sebab jika nanti kau gagal
mencapai nilai minimal mata kuliah
Kau akan gagal menjemput akhir yang indah
Kau lagi belajar
dalam bentang jarak
maklumi saja
kalau
sesuatu yang mudah
kadang menjadi susah
yang sederhana
menjadi rumit adanya
Sebab di dunia maya kita,
Sekuat kuatnya
Tak mampu membawa beban
dengan sempurna
beberapa kata kata
atau tanda baca
terkadang larut di udara
dan pesanpun tiba
dalam makna
yang berbeda
Imaji dan intonasi,
penguat arti,
kadang lenyap
sebelum sempat menepi
hingga maksud diri
tak seutuhnya terpahami
Maklumi saja
karena kita belum lagi biasa
semua selalu kurang
pada mulanya,
namun pasti
itu langkah kecil
menuju sempurna
Berhentilah, nak
berhenti berkeluh kesah
apalagi meneriakkan sumpah serapah,
karena semua orang kini
menjalani masa yang sama
jalani hidup yang tak lagi mudah
Mungkin kau lelah dan payah
manyak materi belum terjamah,
tugas tanpa henti
silih berganti tiap mata kuliah
tapi lelah dan payah
bukanlah alasan cukup
untuk segera menyerah
Coba sesekali lihat lah
anak tetangga samping rumah,
atau adik tempatmu dulu sekolah
hari harinya kini basah
dikepung gundah,
kala PKN STAN cita cita
tempat mereka kuliah
tahun ini tak membuka wadah
Seleksi bak tahun yang sudah sudah
sedang persiapan dan doa
telah mereka jalani tanpa lelah
Tak pantas kalau kau memilih rebah
atau berdiam pasrah
mendiamkan masalah
Sebab jika nanti kau gagal
mencapai nilai minimal mata kuliah
Kau akan gagal menjemput akhir yang indah
yakinlah,
dunia tak pernah memaklumi
mereka yang akhirnya kalah
Hanya karena tak piawai berubah
Ujungharapan, 15052020
#menungguberbuka
#biarpunmasihlama
#romadhonhariduadua
dunia tak pernah memaklumi
mereka yang akhirnya kalah
Hanya karena tak piawai berubah
Ujungharapan, 15052020
#menungguberbuka
#biarpunmasihlama
#romadhonhariduadua
SEKOLAH TUA
Aku tiba di sekolah tua...
Bangunannya tak ikut renta,
Tetap agung seperti saat pertama ikut upacara,
Lapangan basketnya masih lebar,
Jumlah ringnya lebih dari dua,
Bel sekolah juga tetap nyaring,
Saat fajar menyingsing, dan kala senja memicing.
Aku tiba di sekolah tua...
Gurunya cuma berdua, Pak Lapar dan Bu Dahaga,
Kepala sekolahnya belum berganti, Pak Iman,
terkadang ada di ruangan tapi sulit ditemui,
Preman di pintu gerbang juga masih membuat resah, Bang Nafsu,
Sering memaksa bolos sekolah atau sekadar menguras uang saku
Aku tiba di sekolah tua...
Kurikulumnya hanya sampai hilal kembali tersenyum simpul,
Belajarnya juga tergantung ingin hadiah yang mana,
Sepuluh hari sebelum kelulusan diadakan pesta,
Malamnya bersulang air wudu,
Dilanjut bergerak gemulai di atas rukun sembahyang,
Lalu berdendang tenang irama tilawah dan zikir,
Semalam suntuk tak boleh pulang,
Murid yang beruntung, dapat voucer belanja sesukanya,
beli satu dapat seribu
Aku pulang dari sekolah tua...
Disambut ramai api penggoda,
kembali mengajak hura-hura setelah keluar penjara,
Agar saat kurir online mengantar ijazah takwa,
Rumah kosong tak ada yang menerima,
Kemudian mengirim pesan singkat lewat ponsel:
Paket silakan diambil langsung ke sekolah tua,
Nanti ketika tahun ajaran baru dibuka,
Dengan syarat, usia mau mengantar ke sana.
Bangunannya tak ikut renta,
Tetap agung seperti saat pertama ikut upacara,
Lapangan basketnya masih lebar,
Jumlah ringnya lebih dari dua,
Bel sekolah juga tetap nyaring,
Saat fajar menyingsing, dan kala senja memicing.
Aku tiba di sekolah tua...
Gurunya cuma berdua, Pak Lapar dan Bu Dahaga,
Kepala sekolahnya belum berganti, Pak Iman,
terkadang ada di ruangan tapi sulit ditemui,
Preman di pintu gerbang juga masih membuat resah, Bang Nafsu,
Sering memaksa bolos sekolah atau sekadar menguras uang saku
Aku tiba di sekolah tua...
Kurikulumnya hanya sampai hilal kembali tersenyum simpul,
Belajarnya juga tergantung ingin hadiah yang mana,
Sepuluh hari sebelum kelulusan diadakan pesta,
Malamnya bersulang air wudu,
Dilanjut bergerak gemulai di atas rukun sembahyang,
Lalu berdendang tenang irama tilawah dan zikir,
Semalam suntuk tak boleh pulang,
Murid yang beruntung, dapat voucer belanja sesukanya,
beli satu dapat seribu
Aku pulang dari sekolah tua...
Disambut ramai api penggoda,
kembali mengajak hura-hura setelah keluar penjara,
Agar saat kurir online mengantar ijazah takwa,
Rumah kosong tak ada yang menerima,
Kemudian mengirim pesan singkat lewat ponsel:
Paket silakan diambil langsung ke sekolah tua,
Nanti ketika tahun ajaran baru dibuka,
Dengan syarat, usia mau mengantar ke sana.
Lelaki Ini Dan Perempuan Itu Dan Waktu Yang Tak Mau Berhenti
Hujan.
Lagi. Namun tak seramai tadi. Pasukan tirta terjun lembut bagai prajurit
berparasut. Mendarat lalu berebut mencari lubang semut. Lelaki ini memejamkan
matanya. Menangkap hening, mencoba menyerap hembusan nafas-nafas yang
mendengkur halus. Mendengarkan derap kaki kelabang yang tergopoh menghindar
tenggelam.
Layar
monitor itu masih kosong. Hanya tertulis Document1-Word.
Dan kursor yang tak lelah berkedip
menggoda. Sesekali terlihat mencela “ayooo…mana tintamu? Hentakkan jemarimu…tidakkah
kau lihat aku sudah menunggu lama?”. Lelaki ini tak acuh. Diraihnya cangkir
kopi, sial tinggal tetesan terakhir. Cangkir ketiga dalam 3 jam 25 menit ini. Bercak
coklat kehitaman membekas. Lelaki ini sedetik tergidik, membayangkan bercak
yang sama di lambungnya.
Lelaki
ini masih terdiam di kelengangan. Tak ada angin, hujan pun sudah sudah lelah
turun. Menyisakan gigil dan petrichor.
Tadinya lelaki ini ingin membuat puisi. Menyamarkan rasa dalam kata-kata
berima. Mengisyaratkan cinta dibalik kata-kata penuh makna. Makin dicoba makin
buntu rasanya. Saat diam kata-kata indah menyeruak kepala. Saat tertumpah yang
keluar sumpah serapah. 4 jam 5 menit. Malam sudah 2/3. Satu dua suara mulai
terdengar. Lelaki ini sungguh berharap waktu berhenti. Agar dapat menyelesaikan
puisi ini sebelum pagi. Dilemaskannya jemari, dikerutkan kening memicing mata.
Harus selesai sebelum pagi. Layaknya janji Bandung Bondowoso kepada Rara
Jonggrang. Tepat sebelum ayam tetangga berbunyi, puisi itu jadi. Lelaki ini
menghembus nafas lega. Diregangkan punggungnya, rebah seadanya mengusir lelah.
***
Disudut
lain kota. Perempuan itu terjaga denting lembut gawai di atas meja. Jam 04.12. Setengah kantuk dibacanya pesan masuk : Aku Rindu. Selarik senyum tipis, lalu kembali menyuruk ke balik selimut. Menghangatkan diri menenangkan hati di sela dengkur kekasih hati.
Jakarta,
06052020
HINGGA KINI
Kini...
Mencandai penatmu bisa virtual,
Mendengarkan kisah dan kesahmu juga bisa virtual,
Bahkan menyesap hembus napasmu bisa virtual.
Tapi hingga kini...
Mencintaimu masih saja susah sinyal.
Mencandai penatmu bisa virtual,
Mendengarkan kisah dan kesahmu juga bisa virtual,
Bahkan menyesap hembus napasmu bisa virtual.
Tapi hingga kini...
Mencintaimu masih saja susah sinyal.
TEH MANIS
Menantu ibuku mengaduk tawarnya secangkir teh panas,
Memutar-mutar debar jantung menantu ibunya,
Siluetnya membayang di balik toples suvenir kondangan,
Pusara semut busung lapar yang mati mengenaskan.
Sambil menggendong perut melendung,
buah pertumpahan desah,
Dia berkata: sudah ribuan kali kuaduk, manisnya tetap tak turut,
Terang saja, manisnya sudah lama kugadaikan di KUA.
Dompetku yang kusuruh berangkat menebusnya,
Dicegat polisi, ditilang karena tak pakai masker,
Bukan apa-apa, maskernya sudah dikembalikan kepada pengupahnya.
Akhirnya dompetku masuk penjara,
Kasihan, tapi katanya malah dikasih makan,
agar tak mendobrak jeruji yang keras dan anyep,
Dijaga sipir bernama satire.
Ah sudahlah, lama-lama mereka juga jadi kawan lama.
Biarlah di sini kami berbulan madu,
Dengan secangkir teh manis tanpa gula bercumbu,
Dia merayu dengan puisi kekasih:
Tersenyumlah sayang, biar nanti bisa kusimpan
Untuk secangkir teh sebelum fajar.
Ah, dunia serasa milik mertua.
Memutar-mutar debar jantung menantu ibunya,
Siluetnya membayang di balik toples suvenir kondangan,
Pusara semut busung lapar yang mati mengenaskan.
Sambil menggendong perut melendung,
buah pertumpahan desah,
Dia berkata: sudah ribuan kali kuaduk, manisnya tetap tak turut,
Terang saja, manisnya sudah lama kugadaikan di KUA.
Dompetku yang kusuruh berangkat menebusnya,
Dicegat polisi, ditilang karena tak pakai masker,
Bukan apa-apa, maskernya sudah dikembalikan kepada pengupahnya.
Akhirnya dompetku masuk penjara,
Kasihan, tapi katanya malah dikasih makan,
agar tak mendobrak jeruji yang keras dan anyep,
Dijaga sipir bernama satire.
Ah sudahlah, lama-lama mereka juga jadi kawan lama.
Biarlah di sini kami berbulan madu,
Dengan secangkir teh manis tanpa gula bercumbu,
Dia merayu dengan puisi kekasih:
Tersenyumlah sayang, biar nanti bisa kusimpan
Untuk secangkir teh sebelum fajar.
Ah, dunia serasa milik mertua.
KOLAK PISANG
Kerlap kerlip lampu kuota,
Menerangi potongan pisang yang berjejal,
Menembus kemacetan semangkuk kuah kelapa dan gula jawa
Diiringi klakson bersahutan dari toa-toa parau musala
Kepulan asap bosan keluar dari knalpot bising terlarang,
Menggeber rindu melahap jarak yang tak berjarak,
Menyalip senja yang biasanya sampai rumah duluan,
Memboncengkan isi kerajaan, di atas sadel sempit kontrakan
Kelak saat mudik dan pulang kampung sudah sama,
Berjejal pantat truk bertato corona di pantura:
Piye enak jamanku tho?
Menerangi potongan pisang yang berjejal,
Menembus kemacetan semangkuk kuah kelapa dan gula jawa
Diiringi klakson bersahutan dari toa-toa parau musala
Kepulan asap bosan keluar dari knalpot bising terlarang,
Menggeber rindu melahap jarak yang tak berjarak,
Menyalip senja yang biasanya sampai rumah duluan,
Memboncengkan isi kerajaan, di atas sadel sempit kontrakan
Kelak saat mudik dan pulang kampung sudah sama,
Berjejal pantat truk bertato corona di pantura:
Piye enak jamanku tho?
Langganan:
Postingan (Atom)