Kuperhatikan
dengan segenap konsentrasi langkah demi langkah Syarif, orang yang telah
mendampingiku mengarungi kerasnya kehidupan selama puluhan tahun. Aku mencoba
menahan perasaan sedih karena melihatnya berjuang mencapai tempat yang telah
ditentukan oleh terapis yang biasa dipanggil ke rumah.
Masih
lekat dalam ingatanku betapa gagahnya Syarif berjalan dari satu tempat ke
tempat lainnya untuk mendorong roda yang penuh dengan sayuran dari satu rumah
ke rumah yang lain tanpa lelah. Impiannya hanya ingin membuat anak-anak kami
mengenyam pendidikan yang tinggi. Bukan untuk kebaikannya sendiri tapi untuk
kebaikan anak-anak kami sendiri.
Tak
pernah ada kata lelah dalam kamusnya saat itu. Ia hanya ingin yang terbaik
untuk keluarganya.
Saat
ini ia sedang berjuang meraih kembali apa yang dulu dimilikinya, yaitu pijakan
kakinya agar kuat kembali menjelajah dunianya tanpa merepotkan orang lain.
Kuusap
air mata di pipi agar Syarif bisa melihatku semangat mendampinginya melewati
hari-hari yang sangat berat baginya. Aku ingin ia kembali ceria seperti dulu
walaupun langkahnya semakin terbatas.
***
“Kang,
jangan terlalu capek gitu dong. Biar saja aku yang masak,” ujarku melihat
Syarif sibuk meracik bumbu untuk memasak sup kaki kegemaran anak-anak kami yang
berjumlah tiga orang.
“Nggak
apa-apa. Aku bahagia melihat keceriaan mereka menyedot tulang sumsum sapi yang
kumasak. Itulah masa yang membahagiakan bagiku. Ketika mereka makan lahap, itu
bagaikan sebuah persembahan istimewa sebagai ucapan terima kasih atas jerih
payahku menyediakan makanan bergizi bagi mereka,” terang Syarif sambil terus
meracik bumbu.
Sesekali
aku membuka panci, memastikan apakah kulit kaki sapi yang menempel di kaki sapi
itu sudah empuk. Sambil menunggu kulit sapinya matang, kucuci beras dan kutanak
nasi di kompor.
“Mudah-mudahan,
ketika anak-anak pulang sekolah, sup kita sudah jadi ya, Bu.” Aku hanya
mengangguk. Syarif selalu bersemangat ketika memasak untuk anak-anak.
Betapa
aku beruntung memiliki suami yang sayang kepada keluarganya. Walaupun hidup
kami pas-pasan tapi Syarif selalu berusaha menyisihkan uang untuk menyajikan
makanan penuh gizi bagi keluarganya.
***
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam.”
Aku
menjawab salam ketika kudengar suara ketiga anakku serempak memasuki rumah.
Mereka bertiga berlarian dan berebut memelukku.
“Ayah
di mana, Bu?” tanya Nina sulungku yang duduk di bangku kelas enam SD.
“Di
dapur.”
“Pasti
lagi masak sup kaki sapi, wanginya enak banget,” ujar Dita ceria. Ia adalah
anakku yang kedua dan masih duduk di kelas lima SD.
“Hore,
makan enak lagi!” teriak Amir, si bungsu terlihat gembira mendengar ucapan
kakaknya.
“Ayo
ganti baju dan salat Dzuhur dulu, abis itu kita makan siang bareng!”
Mendengar
perintah ayahnya, mereka bertiga berlari ke kamar. Setelah itu mereka melakukan
salat Dzuhur bersama-sama. Aku tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka
bertiga yang tak pernah menyusahkanku dan Syarif. Sekali lagi peran Syarif
sangat besar menjadikan anak-anak seperti sekarang ini.
“Nah supnya
sudah siap!”
Syarif
muncul dari dapur membawa semangkuk besar sup kaki sapi yang dimasaknya tadi.
Aku menuangkan nasi dari dandang ke tempatnya. Asap masih mengepul dari nasi
dan sup kaki sapi yang dimasak Syarif. Baunya sangat sedap di hidung sehingga
membuat perut meronta-ronta ingin segera mencicipi makanan favorit keluarga.
Tiba-tiba
Amir tersedak. Syarif menyodorkan gelas berisi minuman kepada Amir.
“Makannya
pelan-pelan. Tunggu sampai dingin dulu!” tegur Syarif lembut.
“Iya,
Ayah,” jawab Amir.
“Ayah,
supnya enak pake banget lho,” puji Nina.
“Iya,
Yah,” timpal Dita sambil menyendok kembali sup ke dalam mangkuknya.
“Alhamdulillah
kalau kalian suka. Cuma maaf, ya. Ayah tak bisa sering-sering memasak sup kaki
sapi, soalnya harus kumpulin uang dulu. Kaki sapi mahal.”
“Nggak
apa-apa kok, Yah. Nina ngerti kok. Makan dengan tempe goreng juga enak kok,
asal kita barengan begini.”
Syarif
tersenyum mendengar ucapan Nina. Aku memandangi suami dan anak-anakku dengan
perasaan yang sulit dilukiskan. Tak ada lagi yang kuminta selain Syarif dan
anak-anak selalu sehat agar kami bisa selalu membagi cinta kepada anggota
keluarga.
***
Aku
ingat, betapa bahagianya Syarif ketika menyaksikan wisuda ketiga anak kami.
Walau berusaha menahan keharuan, aku menyaksikan Syarif selalu mengusap air
mata yang menetes ketika Nina, Dita, dan Amir maju ke depan memakai toga untuk
menerima ucapan selamat dari rektor.
Begitu
juga ketika satu per satu anak-anak kami menikah, Syarif selalu berusaha tegar
walau aku tahu ia sedih melepas anak-anak yang sangat dicintainya meninggalkan
rumah. Akulah saksinya ketika malam-malam Syarif mengusap-usap foto ketiganya.
Cintanya
yang dalam, membuat Syarif tak ingin merepotkan anak-anak. Ia tak pernah
meminta apapun dari mereka walau berulang kali ketiga anak kami menanyakan apa
yang diinginkan ayahnya. Jawabannya selalu sama, “Kebahagiaan Ayah itu adalah
ketika melihat kalian bahagia.”
Bahkan
Syarif tetap berjualan sayur, walau anak-anak sudah memintanya istirahat.
Segala biaya hidup kami akan ditanggung mereka tapi Syarif bersikukuh dengan
alasan, “ Ayah bosan kalau nggak melakukan apa-apa.”
Akhirnya
sebagai jalan tengah karena kekhawatiran anak-anak, Syarif membuka warung
sayuran di rumah. Itu pun setelah melalui bujuk rayu yang tak sebentar sampai
Syarif luluh. Aku tak bisa memaksanya untuk berhenti berjualan karena itu
adalah hiburannya apalagi anak-anak sudah tidak ada lagi yang tinggal serumah
dengan kami.
Sampai
suatu ketika, Haji Darmin, pemilik kios daging di pasar mendatangi rumah.
Dengan nafas terengah-engah ia memanggil namaku. Saat itu, aku sedang
membereskan warung sambil menunggu Syarif datang dari pasar membawa belanjaan
sayur untuk dijual.
“Aisyah
… Aisyah!”
“Ada
apa Pak Haji?” tanyaku kaget. Tak biasanya Haji Darmin mendatangi rumahku
ketika Syarif tidak berada di rumah.
“Syarif
… Syarif ….”
“Ada
apa dengan Kang Syarif?” tanyaku mulai risau.
“Syarif
jatuh di pasar ….”
“Jatuh
gimana?” tanyaku panik.
“Ya
jatuh ke bawah, pingsan! Dibawa orang pasar ke RSUD ….”
Belum
selesai Haji Darmin menjelaskan, aku masuk ke dalam rumah. Kuambil tas yang
tergantung di tembok. Setelah itu aku memesan ojek online. Rasanya waktu
berjalan lambat sampai akhirnya ojek datang.
***
Anak-anak
memindahkan Syarif ke rumah sakit yang lebih besar dengan alasan agar ayahnya
bisa mendapatkan penanganan yang lebih baik. Saat itulah Syarif tak berdaya
menolak keputusan anak-anak.
Siang
malam, aku mendampingi Syarif yang terbaring tak berdaya karena terkena stroke.
Sering kali kulihat Syarif memandangi wajahku, kemudian ia akan meneteskan air
mata.
“Maafkan
aku, ya! Aku merepotkanmu.”
“Kang,
jangan bicara gitu. Aku ikhlas kok. Bertahun-tahun Akang menyayangiku dengan
tulus, masak karena ini Akang harus minta maaf. Aku yang harus minta maaf,
nggak bisa jaga Akang dengan baik.” Aku berusaha tegar agar Syarif tenang.
Kuusap tangan keriput Syarif. Dalam hati aku berjanji akan selalu menjaganya.
Janji
itu kutunaikan dengan mendampinginya melalui hari-hari yang sungguh berat dan
melelahkan bagi Syarif. Seringkali aku tak sanggup menahan tangis ketika
melihatnya tertatih-tatih mencoba berjalan selangkah demi selangkah seperti
yang kulihat hari ini.
Seperti
hari ini ketika terapis datang ke rumah untuk melatih gerak Syarif, aku
menemaninya untuk memberi semangat padanya. Walau kutahu Syarif harus berjuang
keras untuk kembali bisa berjalan.
Tak
ingin kuperlihatkan kesedihan melihatnya berjuang mengikuti petunjuk terapis. Walaupun
langkah Syarif berat tapi yang kulihat saat ini adalah semangat yang sama
dengan puluhan tahun yang lalu ketika
Syarif berkeliling kompleks perumahan menjajakan sayur.
***
Hari
demi hari, Syarif semakin pulih. Aku berusaha ceria mendampinginya menjalani
terapi demi terapi agar ia tetap bersemangat. Sampai akhirnya Syarif dapat
berjalan kembali setelah satu tahun menjalani terapi walau masih harus
menggunakan tongkat.
“Aki …
Aki!” suara cucu-cucu kami menciptakan senyum indah di wajah Syarif. Satu per
satu cucu kami yang berjumlah lima orang dipeluknya dengan cara yang sama
ketika ia memeluk anak-anak.
“Kalian
main dulu, ya! Aki sama Nini mau masak dulu sup yang enak buat kalian. Mau
kan?”
“Mau,
Aki!” serempak anak-anak dan cucu-cucu kami menjawab
Aku
membantu Syarif melakukan sesuatu yang sudah lama tak dilakukannya. Saat itu
kulihat semangat Syarif memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang
dicintainya. Aku melihat Syarif yang sama dengan yang kulihat puluhan tahun
yang lalu.
Kebahagiaan
semakin bertambah ketika anak, menantu, dan cucu berebutan mengambil sup kaki
sapi dari mangkuk besar. Kutatap wajah Syarif yang ceria. Hatiku tergetar oleh
cinta yang kembali timbul di usia senja kepada seorang laki-laki yang pandai
memasak sup kaki sapi.
SELESAI