“Sen,
bagus ya model sepatu ini?”
Aku
memperlihatkan gambar sepatu di ponsel kepada Sena, suamiku. Saat itu kami berdua sedang duduk di teras
rumah sambil menikmati secangkir kopi yang dibuat oleh Bi Upik. Sena melihat
sekilas pada gambar yang kuperlihatkan kepadanya.
“Kayaknya
bukan tipe kamu deh model sepatu seperti itu,” ujar Sena.
“Bagus
Sen. Udah lama aku ngincer lho. Ke kantor pake ini kan bagus. Kelihatan kalau
aku wanita karier. Trus buat kondangan juga bagus. Jadi aku kan bisa ngehits,
namanya juga isteri manajer bank besar.”
“Emang
sepatu yang biasa dipake selama ini nggak menunjukkan kalau kamu wanita karier?
Bukankah yang penting adalah karya bukan aksesoris yang kita pakai? Kalau
kondangan sih, nggak perlu juga sepatu runcing dengan hak tinggi gitu juga.
Nggak usahlah terlalu memperlihatkan siapa kita juga!” Sepertinya Sena tidak
terlalu senang mendengar alasanku kenapa harus membeli sepatu itu.
“Penampilan
penting juga, Sen. Biar aku nggak dipandang sebelah mata,” ujarku bersikukuh.
“Masih
mending lah sebelah mata, jadi masih dipandang. Kelihatan juga kan?”
“Ah
kamu itu nggak pengen isterinya kelihatan cantik,” ucapku kesal.
“Bukan
gitu, tanpa sepatu itu pun kamu itu udah cantik banget buatku.”
Perkataan
Sena malah membuatku kesal. Apalagi melihat wajahnya yang tanpa ekspresi seakan
tak peduli dengan keinginanku. Aku cemberut dan membalikkan badan darinya karena
kesal.
Sena
masih anteng duduk pada posisi semula sambil terus membaca buku. Bagiku,
sikapnya itu sangat mengesalkan padahal
aku tidak memintanya membelikanku sepatu. Aku hanya menunjukkan bahwa
aku menyukai sepatu yang ada di aplikasi belanja online.
“Jangan
ngambekan! Nanti kubelikan sepatu yang cocok buat kamu biar bebas bergerak.
Kamu kan sering pergi-pergi ke luar kota, beli sneaker aja,” ujar Sena.
“Kamu
tahu, berapa banyak sneaker yang sudah kupunya?. Masih juga kamu mau nambahin
sneaker di rak sepatu aku?” tanyaku semakin kesal.
“Ya
kurangin lah penghuni rak sepatumu, Jeng. Jangan biarkan sampai numpuk-numpuk
gitu!”
“Dibuang
gitu? Masih bagus-bagus semua!” bentakku dengan volume suara yang meninggi.
“Siapa
sih yang nyuruh kamu membuang sepatu, sayangku? Kemarin kulihat anaknya Bi Upik
pergi ke sekolah dengan sepatu yang robek di bagian depan, sol bawahnya juga
kulihat sudah lepas. Kayaknya ukuran kakinya sama dengan kamu, jadi alangkah
baiknya kalau kamu kasih salah satu sepatumu ke dia. Pasti bakalan lebih
bermanfaat,” pinta Sena.
“Ya
sudahlah, Sen! Kamu memang keberatan aku beli high heel. Apapun, aku
tetap akan beli sepatunya. Pake uang bonusku aja. Terserahlah kalau kamu mau
ngasih sepatuku ke anaknya Bi Upik.”
Aku
bangkit dari duduk. Tanpa melihat lagi ke arahnya, aku meninggalkan Sena
sendirian di teras depan. Aku benar-benar tak peduli lagi pertimbangan Sena. Aku
benar-benar menginginkan sepatu berhak tinggi yang dijual secara online.
***
Hatiku
terasa lega ketika petugas ekspedisi sudah mengantarkan sepatu impian dengan
selamat ke ke rumahku. Sudah terbayang olehku betapa anggunnya diriku ketika
sepatu impian itu kupakai. Teman-teman kantor akan memuji ketika sepatu itu
kukenakan untuk pertama kalinya.
Tak
rugi rasanya aku menghabiskan lebih dari setengah bonus tahunanku untuk membeli
sepatu bermerek yang banyak dipakai oleh banyak selebritis tanah air.
Kupandangi sepatu cantik berwarna merah cabe berhak dua belas centimeter dengan
perasaan puas dan bangga.
Aku
berlenggak lenggok ke sana ke mari menggunakan sepatu baru. Mulai dari kamar
tidur ke ruang tamu. Begitu terus berulang-ulang. Bahagia tak terkira di hati.
“Sepatunya
bagus sekali, Bu,” puji Bi Upik melihatku berlenggak lenggok.
“Iya,
Bi. Harganya aja mahal banget. Lima kali lipat gajinya Bi Upik,” terangku tanpa
diminta.
Bi
Upik berdecak kagum mendengarnya. Aku hanya tersenyum melihat wajah Bi Upik
yang takjub mendengar betapa mahalnya harga sepatu yang sedang pakai.
“Bibi
hati-hati ya! Jangan dilap sembarangan!”
“Iya,
Bu. Saya nggak berani juga nyentuh, takut rusak. Tangan saya yang kasar ini
kayaknya nggak cocok megang sepatu ibu,” ujar Bi Upik.
“Ya
enggak gitu juga, Bi. Hati-hati saja!” balasku.
“Kalau
di kampung saya uang segitu bisa buat beli tanah, Bu,” sambung Bi Upik.
“Hahaha,
Bi Upik bisa aja.”
“Saya
ke warung dulu ya, Bu. Mau beli telur, sudah habis. Bapak minta dibuatkan
dadar,” pamit Bi Upik.
Aku
mengangguk. Bi Upik meninggalkan diriku yang masih sibuk dengan sepatu baruku.
Tiba-tiba
Sena muncul di depanku. Matanya tertuju ke bawah memperhatikan sepatu baruku.
“Akhirnya
kamu beli juga, Jeng. Bagus memang sepatunya tapi hati-hati, ya! Tinggi banget
dan runcing. Pegang tanganku aja, boleh kok.”
Sikap
seperti inilah yang membuatku selalu jatuh cinta dengan Sena. Walaupun
sebelumnya ia tidak menyetujui keinginanku membeli sepatu tapi tak pernah
sekalipun ia menyalahkanku ketika aku berkeras memenuhi keinginanku.
“Sneaker
mana yang boleh diberikan ke anaknya Bi Upik?” tanya Sena.
“Yang
hitam aja, Sen. Kalau buat sekolah kan cocok,” jawabku. Sena tersenyum. Ia
mencium pipiku.
“Terima
kasih, Sayang! Mudah-mudahan kamu sering membagikan barang yang nggak sering
kamu pakai ke orang yang lebih membutuhkan, ya.”
Aku
tersenyum mendengar permintaannya. Sering sekali Sena memintaku untuk
memberikan baju, sepatu atau tas yang jarang kupakai untuk orang lain.
Sayangnya aku sering beralasan belum ada waktu untuk mengumpulkannya. Sena tak
pernah bosan mengingatkanku walau sering kuabaikan.
Hari
ini aku berjanji akan mulai mengumpulkannya karena Sena tak marah mengetahui
isterinya tetap membeli sepatu walau sudah dicegahnya. Aku menghargai
kesabarannya menghadapiku.
***
Sena
menggenggam tanganku ketika kami berdua berjalan dari tempat parkir mobil
menuju ke gedung tempat dilaksanakannya resepsi pernikahan salah satu teman
kami. Aku berdandan maksimal untuk datang ke resepsi ini karena aku tahu
teman-temanku pasti akan datang dengan penampilan yang wah dengan barang-barang
bermerek.
Langkah
kakiku agak tersendat-sendat karena sebenarnya selama ini aku tak terbiasa
menggunakan sepatu berhak tinggi dan runcing. Makanya bantuan tangan Sena
sangat kubutuhkan untuk menuntunku agar aku tak terpeleset.
“Hei
Ajeng, Sena, apa kabar?”
Tissa,
teman kuliahku yang juga mantan pacarnya Sena menyapa kami berdua. Otakku
langsung bekerja menghitung berapa jumlah uang yang melekat di badan Tissa. Aku
hanya bisa berdecak kagum dalam hati karena semua barang yang melekat di
badannya kutaksir seharga satu mobil kelas menengah di tanah air.
“Sena,
kamu semakin mature. Tambah ganteng pula,” puji Tissa.
“Ajeng
pandai merawatku,” ujar Sena.
Aku
tersenyum kesal mendengar pujian Tissa kepada suamiku. Aku merasa Tissa selalu
genit kalau bertemu Sena.
“Kami
permisi, ya. Mau salaman dulu dengan mempelai,” pamit Sena sambil menarikku.
Aku
tersenyum setengah mengejek. Kudekatkan badanku ke badan Sena dengan maksud
membuat Tissa kesal. Rasanya aku puas melihat Tissa memandangku dengan iri.
Terlebih penampilanku tak kalah dengan penampilannya.
Setelah
menyalami kedua mempelai, aku berjalan di belakang Sena menuju ke bawah
panggung. Entah karena aku sedang melamun atau karena konsentrasiku buyar
karena sibuk memikirkan Tissa, kaki kanankku terpeleset ketika menuruni anak
tangga panggung. Aku lupa bahwa aku mengenakan sepatu berhak tinggi.
Pada
saat itu Sena berada di belakangku sehingga tak sempat menahan tubuhku.
Seketika badanku terjatuh ke bawah tangga. Sepatu mahalku terlepas dari kaki.
Sena
bergegas turun dari panggung. Ia berjongkok dan memegang tanganku. Pada saat
itu, hanya rasa malu yang mendera. Aku lupa kalau kakiku sakit.
Sena
membantuku berdiri. Kupungut sepatu yang terlepas. Dengan terpincang-pincang
aku berjalan perlahan dipapah Sena.
“Sudah
jangan nangis, Jeng! Kita ke dokter, ya! Biar kakinya dirontgen.”
“Aku
nggak mau dirontgen, Sen. Aku nggak apa-apa kok. Cuma keseleo sedikit aja,”
ujarku.
“Aku
takut tulang kakimu ada yang patah, Jeng!” ujar Sena sambil terus menyetir.
“Aku
nggak apa-apa!” bentakku. Akhirnya Sena menyerah. Ia membelokkan mobil menuju
ke rumah.
***
Sena
membukakan pintu mobil untukku. Dengan susah payah aku mencoba keluar mobil.
Setelah berdiri di samping pintu, aku mulai merasakan kalau kaki kananku sakit
dan tak bisa kugerakkan.
“Sena,
kakiku lumpuh. Aku nggak bisa jalan. Sakit banget ini!” ujarku dengan panik.
Air mata bercucuran di pipiku. Apalagi ketika kulihat telapak kaki kananku
membengkak, tangisku semakin kencang.
Tanpa
berkata-kata lagi, Sena memasukkan aku ke dalam mobil kembali. Ia menjalankan
mobilnya menuju ke rumah sakit.
Kupandangi
wajah Sena dengan perasaan menyesal. Andai kata aku menuruti kata-katanya,
kejadian seperti ini takkan pernah terjadi.
“Sabar
ya, Sayang!”
Sena
mengusap kepalaku lembut. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya yang
menyalahkanku karena tidak mendengar sarannya untuk membeli sepatu berhak
tinggi. Ia terus menenangkanku. Betapa malu hatiku melihatnya terus bersikap
baik.
“Sena,
kenapa kamu baik kepadaku padahal aku selalu menyusahkanmu?” tanyaku terisak.
“Karena
kamu juga memberiku banyak kebahagiaan,” jawab Sena.
Mendengar
jawaban Sena, aku semakin terisak. Di luar sepatu, aku tak salah memilih
pendamping hidup.