Jalanan ini
nyaris masih sama saat terakhir kali aku lewati puluhan tahun silam. Belum
juga dilapis aspal, hanya paving block yang sudah rompal sana-sini. Menyisakan
genangan air sisa hujan entah kapan. Pohon yang dulu juga masih ada, hanya
lebih tua. Renta namun kokoh menjadi saksi bisu lalu lalang bibit-bibit
petinggi negeri. Beberapa bangunan baru berdiri megah, menyesuaikan kebutuhan
masa. Tanpa peduli tiap masa tetap butuh tanah lapang, rerumputan bahkan empang
sebagai tempat resapan. Aku berjalan lambat-lambat. Berusaha menyesap rasa yang
menyeruak di dada. Entah apa, namun yang jelas mataku sedikit berkaca. Kisah
demi kisah berkelebat bagai film usang yang diputar ulang.
***
1994
“Plaaak…”
tiba-tiba preman itu melepaskan pukulan tangan kirinya ke mukaku. Aku kaget.
Seketika dahiku terasa panas. Meskipun sudah bersiap, aku tak menyangka
serangan pertama datang dari sisi kananku. Walau tak sempat kuhindari, pukulan itu
tak cukup keras untuk merobohkanku. Sekejap kemudian keadaan sudah berbalik. Secara beruntun
aku membalas dengan combo dollio chagi
dan dwi chagi menyasar
perut dan ulu hati. “bak buk bak buk” tendanganku mendarat telak dan berhasil
membuat preman itu terdorong ke belakang. Melihat itu aku langsung mengejar
dengan balchagi
andalanku. Preman itu berusaha menghindar, tapi terlambat. Kepalanya terhindar tapi bahu kanannya tidak cukup kuat menahan tenaga 'cangkulanku'.
Bruuukkk…. Preman itu pun terkapar. Naluri sebagai petarung jalanan
mendorongku melompat untuk melepaskan serangan akhir yang mematikan. Niatku tertahan
oleh beberapa tangan yang menarik tubuhku. “Sudah…sudah…cukup..!!” beberapa orang
berteriak setengah menghardik, melerai perkelahian sore itu. Sekilas kulihat preman itu pun
dipegangi dan dibantu berdiri oleh orang-orang yang dari tadi hanya menonton
kejadian tersebut. Mataku mencari-cari sosok perempuan itu. Ketemu. Kulihat dia
berdiri pucat dekat pohon di tengah trotoar. Tangannya gemetar. “ayok pulang”
ajakku sambil mengambil ransel yang kutitipkan padanya saat kami dihadang
preman tadi. Dia cuma mengangguk. Lalu berjalan cepat menjajari langkahku.
Masih terguncang dengan kejadian tadi. Orang-orang masih berkerumun. Satu dua
bertanya ada apa. “Anak kampung dipukuli mahasiswa” ada yang menjawab. Samar
kudengar teriakan preman itu “awas lo ye…!! urusan kita belum selesai…!!”. Aku tak acuh. Toh dia juga tidak berusaha mengejar atau menyerangku lagi.
Bagiku, urusan kami sudah selesai disitu.
***
Kampus yang
berdiri megah dipinggiran selatan ibukota ini sungguh ironi. Mahasiswanya 100%
pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Seleksi masuk yang ketat mematikan
harapan penduduk lokal sekitaran untuk menyekolahkan anaknya disitu. Sekolah
gratis dengan jaminan langsung kerja, siapa yang tak ingin?. Ekonomi yang bertumbuh
bagi masyarakat sekitar tetap saja menyisakan friksi; mahasiswa versus anak
kampung. Dari versi paling sederhana dalam permainan sepak bola sampai versi
paling rumit dalam hidup manusia: cinta. Manalah mungkin anak kampung memikat
hati mahasiswi, sementara mahasiswa dengan mudahnya memetik bunga kampung,
bahkan tak sedikit yang ditawari jadi menantu pak haji pemilik rumah kost. Aku
termasuk salah satu anak negeri yang beruntung berhasil mencicipi pendidikan
disini. Masa kecil dan remaja kuhabiskan di sumatera, tanah kelahiranku.
Sekolah disini adalah perantauan pertamaku. Berat, karena baru pertama kali aku
berpisah dengan keluarga. Berat karena hatiku tertinggal di sana. Friksi antara
penduduk asli dan pendatang di lingkungan kampus ini memang bukan cerita baru.
Cerita tentang mahasiswa yang dipalak
anak kampung sudah jadi bumbu sehari-hari. Sore itu akhirnya aku yang mengalami
sendiri.
***
Plak,
tiba-tiba bahuku ditepuk dari belakang. Membuyarkan lamunanku. Aku menoleh,
mendapati seorang lelaki berperawakan tegap yang senyum-senyum memandangku. Aku
berusaha mengingat-ngingat, tapi tetap tak teringat. Menyadari kebingunganku,
lelaki itu tergelak “lupa lo ya ama gue?” tanyanya dengan logat kampung yang
khas. Aku tetap tidak ingat. Menggeleng. Masih sambil tertawa lelaki itu
menunjuk pohon tua di tengah trotoar. “Gak inget lo mukulin gue disitu dulu?”
tanyanya, berusaha mengembalikan ingatanku. Aku menatapinya tak percaya. Atas
bawah. “Busyeeet…beneran nih lo” tanyaku setengah tak percaya. Betapa tidak.
Puluhan tahun lalu lelaki ini adalah sosok preman kampung yang tak jelas
kerjaannya. Nongkrong sana-sini malakin mahasiswa
atau menggoda-goda mahasiswi. Tapi sekarang, penampilannya berubah 180 derajat.
Bersih dan tampak gagah dengan seragam aparat potongan pas di badan. Aku masih
tak percaya. Dia lalu bercerita bahwa perkelahian denganku dulu adalah titik
balik hidupnya. Kesombongan dan harga dirinya runtuh saat itu. Dihajar
habis-habisan oleh mahasiswa kurus ceking adalah aib. Sejak itu dia
berubah. Apalagi bapaknya tak lama meninggal, menyisakan tanah dan rumah petak
yang satu persatu habis terjual. Dia berubah. Belajar keras melatih diri. Dia
pun mendaftar jadi polisi dan alhamdulillah diterima, sampai dengan hari ini. “Masak
preman dipukulin anak sekolahan? pensiun aja dah gue..” selorohnya menutup
cerita.
***
Nasib manusia
memang gaib. Tidak ada yang tahu kecuali Sang Khaliq. Sejatinya semua insan
ingin berakhir baik, namun tak sedikit yang akhirnya tergelincir godaan dunia.
Kita tidak pernah tahu manusia mana yang akan membawa kita kebaikan, sama tidak
tahunya siapa yang akan menjerumuskan kita dalam kenistaan. Pertemuan kembali
dengan mantan preman tadi seketika menyadarkanku, dalam hidup kawan bisa jadi
lawan, lawan bisa jadi kawan. Dari semuanya, selalu ada pelajaran yang bisa
diambil, pengalaman yang bisa dikenang.
Jakarta, 05032020