Pendoa dan Surganya
Alunan sunyi terdengar sayup-sayup di dalam hati
Menggiring lirih sepi yang menepi
Aku tak seorang diri meskipun mungkin sendiri
Karena mereka berpindah ke alam tanpa jejak kaki
Rembulan terang tak menembus temaram pelita
Membiarkan hitam menguasai warna
Membuat berkedip tiada beda
Seolah merana padahal ku bahagia
Sepuasnya tersenyum tanpa dianggap gila
Semua bukan sekadar bicara bumi dan rotasi
Bukan pula coretan-coretan imajinasi
Aku hanya menyusuri kelok pematang sanubari
Sembari menghirup segarnya cinta meskipun tak lagi pagi
Benar, ini masih tentang cinta
Yang tak pernah bosan mengambil peran utama
Menjadi jiwa dari berbagai riak butiran rasa
Asmara tak selalu tentang cumbu dan kata-kata mesra
Terkadang cukup menatap diam wajah pendoa dan surganya
Menggiring lirih sepi yang menepi
Aku tak seorang diri meskipun mungkin sendiri
Karena mereka berpindah ke alam tanpa jejak kaki
Rembulan terang tak menembus temaram pelita
Membiarkan hitam menguasai warna
Membuat berkedip tiada beda
Seolah merana padahal ku bahagia
Sepuasnya tersenyum tanpa dianggap gila
Semua bukan sekadar bicara bumi dan rotasi
Bukan pula coretan-coretan imajinasi
Aku hanya menyusuri kelok pematang sanubari
Sembari menghirup segarnya cinta meskipun tak lagi pagi
Benar, ini masih tentang cinta
Yang tak pernah bosan mengambil peran utama
Menjadi jiwa dari berbagai riak butiran rasa
Asmara tak selalu tentang cumbu dan kata-kata mesra
Terkadang cukup menatap diam wajah pendoa dan surganya
Aku Memang Sudah Gila
Aku mungkin memang sudah hilang akal sehat, bodoh atau mungkin sedikit gila. Ya, sedikit saja. Supaya tetap ada kontrol diri. Seperti orang yang menanti mentari pagi, berjemur lalu mandi. Aku tidak. Aku memang menanti, tapi lalu tidur lagi. Memainkan ilusi, berbicara pada alam. Dengan keyakinan, kamu berteleportasi, mengikuti inginku. Hadir di sini, muncul di situ. Menguatkan pikiran, ketika pintu terbuka yang keluar adalah kamu. Dengan baju kunyit capuccino. Berkali salah. Tetap kucoba. Sekalinya benar, aku gemetar. Sibuk mengejar kata yang berlarian kesana kemari. Hei, kalian sudah kususun sejak lama. Tak rumit bahkan terlalu sederhana. Sapa salam tak lebih. Sedikit senyum kalau bisa. Bubar, tak cukup hitungan sepuluh, terkadang cuma sampai tiga. Rumit sekali rasa ini. Mungkin tak cukup sekali reinkarnasi, untuk dapat tepat disisi. Entah kanan, entah kiri. Atau tak cukup rusuk hilang satu, supaya pasti menjelma jadi kamu. Ugh, kuproklamirkan saja nanti: aku lelah, menyimpanmu dalam manah. Sebentar saja. Diamlah disana. Apa kau pun tak lelah?. Berlari sana-sini tapi tak pergi-pergi.
Aku memang sudah gila.
Jakarta, 05032020
Kau Pikir Hanya Kau?
Kau pikir hembusan angin hanya menggoyangmu?
Kau pikir guyuran hujan hanya membasahimu?
Kau pikir deru petir hanya menyergapmu?
Kau pikir sapuan ombak hanya menenggelamkanmu?
Kau pikir dunia ini kejam hanya kepadamu?
Aku, dia, dia, dia, dan dia dia yang lain pun sama
Namun mengapa hanya kau yang panik
Hanya kau yang gugup
Hanya kau yang takut
Hanya kau yang berlindung
Hanya kau!
Kau pikir guyuran hujan hanya membasahimu?
Kau pikir deru petir hanya menyergapmu?
Kau pikir sapuan ombak hanya menenggelamkanmu?
Kau pikir dunia ini kejam hanya kepadamu?
Aku, dia, dia, dia, dan dia dia yang lain pun sama
Namun mengapa hanya kau yang panik
Hanya kau yang gugup
Hanya kau yang takut
Hanya kau yang berlindung
Hanya kau!
SANG PREMAN
Jalanan ini
nyaris masih sama saat terakhir kali aku lewati puluhan tahun silam. Belum
juga dilapis aspal, hanya paving block yang sudah rompal sana-sini. Menyisakan
genangan air sisa hujan entah kapan. Pohon yang dulu juga masih ada, hanya
lebih tua. Renta namun kokoh menjadi saksi bisu lalu lalang bibit-bibit
petinggi negeri. Beberapa bangunan baru berdiri megah, menyesuaikan kebutuhan
masa. Tanpa peduli tiap masa tetap butuh tanah lapang, rerumputan bahkan empang
sebagai tempat resapan. Aku berjalan lambat-lambat. Berusaha menyesap rasa yang
menyeruak di dada. Entah apa, namun yang jelas mataku sedikit berkaca. Kisah
demi kisah berkelebat bagai film usang yang diputar ulang.
***
1994
“Plaaak…”
tiba-tiba preman itu melepaskan pukulan tangan kirinya ke mukaku. Aku kaget.
Seketika dahiku terasa panas. Meskipun sudah bersiap, aku tak menyangka
serangan pertama datang dari sisi kananku. Walau tak sempat kuhindari, pukulan itu
tak cukup keras untuk merobohkanku. Sekejap kemudian keadaan sudah berbalik. Secara beruntun
aku membalas dengan combo dollio chagi[1]
dan dwi chagi[2] menyasar
perut dan ulu hati. “bak buk bak buk” tendanganku mendarat telak dan berhasil
membuat preman itu terdorong ke belakang. Melihat itu aku langsung mengejar
dengan balchagi[3]
andalanku. Preman itu berusaha menghindar, tapi terlambat. Kepalanya terhindar tapi bahu kanannya tidak cukup kuat menahan tenaga 'cangkulanku'.
Bruuukkk…. Preman itu pun terkapar. Naluri sebagai petarung jalanan
mendorongku melompat untuk melepaskan serangan akhir yang mematikan. Niatku tertahan
oleh beberapa tangan yang menarik tubuhku. “Sudah…sudah…cukup..!!” beberapa orang
berteriak setengah menghardik, melerai perkelahian sore itu. Sekilas kulihat preman itu pun
dipegangi dan dibantu berdiri oleh orang-orang yang dari tadi hanya menonton
kejadian tersebut. Mataku mencari-cari sosok perempuan itu. Ketemu. Kulihat dia
berdiri pucat dekat pohon di tengah trotoar. Tangannya gemetar. “ayok pulang”
ajakku sambil mengambil ransel yang kutitipkan padanya saat kami dihadang
preman tadi. Dia cuma mengangguk. Lalu berjalan cepat menjajari langkahku.
Masih terguncang dengan kejadian tadi. Orang-orang masih berkerumun. Satu dua
bertanya ada apa. “Anak kampung dipukuli mahasiswa” ada yang menjawab. Samar
kudengar teriakan preman itu “awas lo ye…!! urusan kita belum selesai…!!”. Aku tak acuh. Toh dia juga tidak berusaha mengejar atau menyerangku lagi.
Bagiku, urusan kami sudah selesai disitu.
***
Kampus yang
berdiri megah dipinggiran selatan ibukota ini sungguh ironi. Mahasiswanya 100%
pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Seleksi masuk yang ketat mematikan
harapan penduduk lokal sekitaran untuk menyekolahkan anaknya disitu. Sekolah
gratis dengan jaminan langsung kerja, siapa yang tak ingin?. Ekonomi yang bertumbuh
bagi masyarakat sekitar tetap saja menyisakan friksi; mahasiswa versus anak
kampung. Dari versi paling sederhana dalam permainan sepak bola sampai versi
paling rumit dalam hidup manusia: cinta. Manalah mungkin anak kampung memikat
hati mahasiswi, sementara mahasiswa dengan mudahnya memetik bunga kampung,
bahkan tak sedikit yang ditawari jadi menantu pak haji pemilik rumah kost. Aku
termasuk salah satu anak negeri yang beruntung berhasil mencicipi pendidikan
disini. Masa kecil dan remaja kuhabiskan di sumatera, tanah kelahiranku.
Sekolah disini adalah perantauan pertamaku. Berat, karena baru pertama kali aku
berpisah dengan keluarga. Berat karena hatiku tertinggal di sana. Friksi antara
penduduk asli dan pendatang di lingkungan kampus ini memang bukan cerita baru.
Cerita tentang mahasiswa yang dipalak
anak kampung sudah jadi bumbu sehari-hari. Sore itu akhirnya aku yang mengalami
sendiri.
***
Plak,
tiba-tiba bahuku ditepuk dari belakang. Membuyarkan lamunanku. Aku menoleh,
mendapati seorang lelaki berperawakan tegap yang senyum-senyum memandangku. Aku
berusaha mengingat-ngingat, tapi tetap tak teringat. Menyadari kebingunganku,
lelaki itu tergelak “lupa lo ya ama gue?” tanyanya dengan logat kampung yang
khas. Aku tetap tidak ingat. Menggeleng. Masih sambil tertawa lelaki itu
menunjuk pohon tua di tengah trotoar. “Gak inget lo mukulin gue disitu dulu?”
tanyanya, berusaha mengembalikan ingatanku. Aku menatapinya tak percaya. Atas
bawah. “Busyeeet…beneran nih lo” tanyaku setengah tak percaya. Betapa tidak.
Puluhan tahun lalu lelaki ini adalah sosok preman kampung yang tak jelas
kerjaannya. Nongkrong sana-sini malakin mahasiswa
atau menggoda-goda mahasiswi. Tapi sekarang, penampilannya berubah 180 derajat.
Bersih dan tampak gagah dengan seragam aparat potongan pas di badan. Aku masih
tak percaya. Dia lalu bercerita bahwa perkelahian denganku dulu adalah titik
balik hidupnya. Kesombongan dan harga dirinya runtuh saat itu. Dihajar
habis-habisan oleh mahasiswa kurus ceking adalah aib. Sejak itu dia
berubah. Apalagi bapaknya tak lama meninggal, menyisakan tanah dan rumah petak
yang satu persatu habis terjual. Dia berubah. Belajar keras melatih diri. Dia
pun mendaftar jadi polisi dan alhamdulillah diterima, sampai dengan hari ini. “Masak
preman dipukulin anak sekolahan? pensiun aja dah gue..” selorohnya menutup
cerita.
***
Nasib manusia
memang gaib. Tidak ada yang tahu kecuali Sang Khaliq. Sejatinya semua insan
ingin berakhir baik, namun tak sedikit yang akhirnya tergelincir godaan dunia.
Kita tidak pernah tahu manusia mana yang akan membawa kita kebaikan, sama tidak
tahunya siapa yang akan menjerumuskan kita dalam kenistaan. Pertemuan kembali
dengan mantan preman tadi seketika menyadarkanku, dalam hidup kawan bisa jadi
lawan, lawan bisa jadi kawan. Dari semuanya, selalu ada pelajaran yang bisa
diambil, pengalaman yang bisa dikenang.
Jakarta, 05032020
[1]
Tendangan dari samping dengan menggunakan punggung kaki
[2] Tendangan berputar dengan
menggunakan tumit (horse kick)
[3] Tendangan dari atas ke bawah,
seperti mencangkul
Jika Bukan Kita Siapa Lagi
Jika kebersamaan kita selama ini dalam kesenangan yang sama belum cukup mendekatkan kita, maka apa lagi yang kurang?
Jika kesenang kita selama ini dalam menulis yang tak terucap belum cukup mempercayakan kita, maka apa lagi yang mampu?
Jika tulisan kita selama ini dalam hal yang tak terucap belum cukup untuk saling percaya, maka apa lagi yang tinggal?
Yang tinggal hanyalah rasa saling dukung dan menghargai. Di dalam kita boleh berdebat dan saling mengkritisi, di luar pantaskah kita berpaling wajah dan bersenda gurau ketika sang teman berdiri di depan?
*Lantai M, 050620190900
Anak Kucing Mati
Anak kucing mati terlindas
Di sebuah jalan hampir di tengah
Yg tersisa hanya mata yg melolong
Di sebuah jalan hampir di tengah
Yg tersisa hanya mata yg melolong
Percik darah sudah tak terlihat
Mungkin terbawa ban yg entah kenapa smua berwarna hitam
Aku bergidik ngeri
Membayangkan tarikan terakhir nafasnya
Mungkin dia mencari ibunya
Tak tahu bahaya
Atau dia sedang bekejaran dgn saudaranya,tapi tak terlihat jejaknya
Membayangkan tarikan terakhir nafasnya
Mungkin dia mencari ibunya
Tak tahu bahaya
Atau dia sedang bekejaran dgn saudaranya,tapi tak terlihat jejaknya
Anak kucing mati
Bagaimana kau menghadapi kematianmu?
Apakah dengan keberanian atau kepasrahan atau ketakutan yg tak pernah kau rasakan sebelumnya
Bagaimana kau menghadapi kematianmu?
Apakah dengan keberanian atau kepasrahan atau ketakutan yg tak pernah kau rasakan sebelumnya
Aku meyakini
Takkan ada yg menguburkanmu
Jasadmu akan hilang
Tersapu hujan,memuai oleh panas
Atau terbawa oleh ban yg entah kenapa semua berwarna hitam
Takkan ada yg menguburkanmu
Jasadmu akan hilang
Tersapu hujan,memuai oleh panas
Atau terbawa oleh ban yg entah kenapa semua berwarna hitam
Utang Bapak
“Mas, kapan mau bayar utang? Udah setahun lho, jawabnya kok selalu besok-besok terus,” ujar seorang laki-laki kepada bapakku di ruang tamu.
Malam itu aku sedang belajar untuk tes masuk sebuah perguruan tinggi yang semua biaya kuliahnya ditanggung pemerintah. Aku memang sengaja memilih sekolah seperti itu untuk meringankan beban Bapak.
Aku mendengar dengan jelas percakapan Bapak dengan tamunya karena kamarku berada di depan dan pintunya berhadapan langsung dengan ruang tamu. Apalagi kamarku tak berpintu, hanya ditutupi gorden.
Akhir-akhir ini kulihat Bapak sedang kesulitan dalam hal keuangan. Apalagi ditambah utang yang menumpuk karena dulu Bapak banyak meminjam uang untuk modal pemilihan lurah di kampung kami. Jumlahnya sangat banyak sampai bapak menggadaikan rumah yang kami tempati.
Memang Bapak menang dan menjadi lurah, tapi utang yang terlanjur menumpuk sulit dibayar. Penghasilan Bapak sebagai lurah tak cukup banyak untuk menutupi utang.
“Kalau Mas Tarjo nggak bayar utang, terpaksa rumah ini saya ambil. Saya masih baik kali ini, masih mau kasih kesempatan. Tiga bulan lagi saya datang .”
Setelah itu aku tidak mendengar lagi percakapan antara Bapak dengan tamunya. Tak terbayangkan dari mana Bapak dapat uang untuk membayar utangnya. Bagaimana hidup kami kalau sampai rumah yang sudah kami tinggali bertahun-tahun sejak aku kecil berpindah tangan kepada orang lain. Di mana kami akan tinggal?
Kepalaku sungguh pening memikirkan keadaan keluargaku saat ini. Konsentrasiku terpecah karena memikirkan kata-kata tamu tadi. Aku adalah anak sulung, sehingga harus bertanggung jawab atas keluargaku. Aku sudah tak sanggup lagi belajar karena pikiranmu melayang ke mana-mana. Malam itu akhirnya aku tertidur dengan segala permasalahan yang bermain di kepala.
***
Selama tiga bulan aku ikuti proses penerimaan mahasiswa baru dengan harapan aku tetap bisa melanjutkan kuliah Walau ekonomi keluarga pas-pasan, aku tetap bertekad untuk bisa lolos seleksi. Harapanku tinggi agar dapat membantu Bapak dan Ibu keluar dari masalah ekonomi. Juga agar adik-adikku dapat sekolah setinggi-tingginya.
Akhirnya hari yang dinanti tiba. Waktu pengumuman tes seleksi datang juga. Dengan perasaan yang tak karuan aku membuka pengumuman pada website di warnet yang berada dekat rumahku. Tanganku gemetar memainkan mouse komputer untuk mencari laman pengumuman.
Mataku nanar menatap huruf-huruf kecil yang berisi nama-nama orang yang lolos menjadi calon mahasiswa Sekolah Tinggi Idaman Semua Orang disingkat STISO. Degup jantungku serasa berhenti ketika nomor ujianku bersanding dengan namaku, Satria Pratama, sebagai peserta seleksi yang lolos dan diterima sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Idaman Semua Orang.
Setelah memastikan bahwa aku benar-benar lolos, aku berlari kencang menuju rumah. Rasanya berita ini patut diberitakan kepada seluruh penghuni rumah. Aku ingin memberikan sedikit kesejukan ditengah suasana panas yang kerap terjadi di rumah.
“Pak, Bu, alhamdulillah aku lolos masuk STISO,” ujarku dengan gembira. Saat itu Bapak dan Ibu sedang duduk di teras rumah. Tak ada obrolan diantara keduanya.
“Ya Allah, alhamdulillah.”
Tiba-tiba terdengar suara tangisan Ibu. Tangisannya cukup keras sehingga beberapa orang lewat menatap kami bertiga dengan heran.
“Nggak ada apa-apa. Istriku nangis bahagia,” begitu perkataan bapak kepada setiap orang lewat yang heran melihat Ibu.
“Beneran?” tanya Bapak setengah tak percaya.
Kuperlihatkan pengumuman yang tertera namaku di HP. Kebetulan aku memotretnya tadi sebelum aku pulang ke rumah. Setelah kutunjukkan, barulah Bapak percaya kalau aku memang lolos seleksi.
“Bapak seneng banget, Sat. Akhirnya kamu bisa juga kuliah. Alhamdulillah. Belajar yang bener ya, biar cepet lulus,” ujar Bapak.
“Doain aja, Pak,” jawabku.
“Oya, Bapak tahu kemarin kamu dengar percakapan bapak dengan Pak Kardi. Nggak usah dipikir ya. Bapak sudah punya uang untuk membayar utang. Kamu fokus belajar saja.”
Aku mengangguk. Dalam hati aku berpikir keras , dari mana Bapak mendapatkan uang untuk membayar utang. Ingin sekali aku bertanya tapi aku nggak ingin merusak suasana yang sedang bahagia.
***
Aku menjalani kuliah dengan penuh semangat. Aku berusaha selalu mendapat nilai yang bagus agar aku menyelesaikan kuliah tepat waktu sehingga bisa lulus tepat waktu. Aku berharap bisa segera membantu ekonomi keluarga.
Kuhabiskan waktu selama kuliah dengan belajar. Jarang sekali aku pergi hangout bareng teman-temanku. Tak masalah bagiku dianggap kuper oleh teman-temanku. Tujuanku datang ke Jakarta dari kampung memang hanya untuk kuliah, bukan bersenang-senang.
Akhirnya masa empat tahun kuliah dapat kuselesaikan dengan baik. Aku lulus dengan nilai terbaik. Keluargaku kembali diliputi kegembiraan atas kelulusanku ini, atau tepatnya Bapak lega karena aku bisa segera bekerja dan mendapatkan gaji.
Aku ditempatkan di kota yang jauh dari keluarga, di luar pulau Jawa. Bagiku ini pengalaman baru yang menarik. Bapak dan Ibu mengantarkan kepergianku dengan penuh haru.
Ada harapan baru yang dibebankan di pundakku untuk seluruh keluargaku. Aku tahu diri bahwa aku harus membiayai keperluan sehari-hari seluruh anggota keluarga karena Bapak sudah pensiun jadi lurah. Aku menerimanya dengan ikhlas, toh utang Bapak sudah lunas.
Ibu menangis melepasku pergi. Bapak terlihat tegar. Begitu juga kedua adikku.
“Belajar yang giat, ya. Kalau ada perlu apapun telpon aja mas. Sering-sering bantu Ibu!” pesanku kepada adik-adik. Kulihat tangis Ibu semakin keras mendengar perkataanku kepada adik-adik.
“Sudah, Bu. Jangan nangis. Aku pasti sering telepon kok. Kapan-kapan aku ajak Bapak, Ibu dan adik-adik naik pesawat,”pesanku.
Kucium tangan Bapak dan Ibu. Berat memang meninggalkan mereka, tapi tugas negara memanggil, aku dan keluarga harus ikhlas.
Kutinggalkan mereka berempat dengan senyum. Aku tak tahu apakah Ibu masih menangis atau tidak. Aku berusaha untuk tidak lagi menengok ke belakang, takut langkahku menjadi berat. Kuusap air yang menetes di pipi dengan ujung kemeja.
Hatiku penuh dengan rasa penasaran seperti apakah rasanya melakukan perjalanan dengan pesawat . Hari ini adalah kali pertama aku naik pesawat . Hari ini adalah awal dari tahap kehidupanku selanjutnya. Bismillah.
***
“Sat, Bapak mau bicara!”
Bapak mendatangiku setelah aku selesai salat Isya di kamar. Aku melipat sajadah dan menyimpannya di ujung kasur.
“Ada apa, Pak?” tanyaku.
“Duduklah!”
Bapak duduk di pinggir kasur. Aku pun mengikuti bapak duduk di pinggir kasur. Aku dan Bapak duduk berhadapan di kasur.
Saat itu kebetulan aku sedang pulang ke kampung karena aku mendapat tugas untuk mencari data di kota sekitar kampung halamanku. Kusempatkan untuk mampir ke rumah menengok keluargaku.
“Bapak mau minta tolong,” ujarnya pelan.
“Apa, Pak?” tanyaku.
“Kalau kamu punya uang tolong lunasi utang bapak ke Pak Darma.”
“Berapa, Pak?”
“Seratus juta.”
Jawaban Bapak membuatku kaget. Kugaruk kepala walaupun tak gatal. Aku berusaha bersikap tenang.
“Utang apa lagi, Pak? Bukannya kata Bapak dulu utangnya sudah lunas?”tanyaku heran.
“Sst, jangan keras-keras! Nanti ibumu denger.” Telunjuk bapak menempel di bibirnya.
“Jadi, waktu itu Bapak melunasi utang itu ya dari hasil utangan ke Pak Darma. Sekarang udah jatuh tempo,” ujar Bapak.
“Ya Allah, Bapak!”
“Kamu punya, kan?”
“Ya ada sih, Pak. Aku nabung setiap bulan, tapi juga nggak sebanyak itu ….”
“Nggak apa-apa, nanti sisanya kamu cicil ya!” potong Bapak.
Setiap bulan sedikit demi sedikit uang kutabung untuk keperluan adikku sekolah atau kuliah. Aku juga ingin sedikit memperbaiki rumah di kampung agar tidak bocor. Sebagiannya akan kupergunakan untuk membeli keperluanku sendiri. Utang Bapak menghancurkan keinginanku saat ini.
Sayangnya aku tak tega melihat muka Bapak yang penuh dengan harapan. Aku juga tak ingin Bapak mendapatkan masalah karena utang ini. Dengan berat hati kupenuhi permintaan Bapak untuk membayar utangnya sebagian. Sisanya akan kucicil kemudian.
“Terima kasih banyak, Sat. Kamu memang anak kebanggaan bapak.”
Bapak memelukku erat. Aku hanya tersenyum kecil melihat Bapak yang merasa lega karena bebannya selama ini dibawanya kemanapun ia pergi.
Aku tersenyum kecut. Bulan-bulan selanjutnya aku harus semakin berhemat karena aku berjanji kepada Bapak untuk mencicil utangnya.
Mungkin ini adalah jalanku untuk berbakti kepada Bapak. Masalah rumah, Ibu dan adik-adik akan kupikirkan belakangan.
***
Langganan:
Postingan (Atom)