Aku melirik
lelaki itu. Pulas. Dengkur halusnya terdengar keras di telingaku. Terhempas
kenikmatan yang kami renggut bersama beberapa saat lalu. Dingin. Kutarik
selimut menutupi tubuh telanjangku. Mencoba memejamkan mata. Tapi bayangan itu
seperti mengejekku. Berputar lambat layaknya film dokumenter. Hitam putih,
samar tapi jelas pemerannya. Hujan di luar sana masih menghunjamkan panah-panah
airnya tanpa ampun ke daratan yang tanpa daya hanya pasrah menerima. “jangan
jatuh cinta saat hujan….”[1]
***
Aku berlari-lari
menerobos hujan. Fiuh. Tumpahan airnya begitu rapat. Padahal tak sampai 3 meter
jarak mobil temanku dengan mobilnya, tetap saja tak terhindar aku kuyup. “Lo
ada handuk nggak?” tanyaku yang disambut gelak tawanya. “Lo kira nih kamar
hotel apa?” jawabnya masih sambil tertawa. Entah apa yang terlintas di
pikiranku. Tengah malam. Hujan yang tak henti menghunjami kota ini dari sore
tadi. “Mau kemana kita?” tiba-tiba dia memecah kekakuan kami. Aku tiba-tiba
gugup. Tangannya sudah berpindah dari tongkat persneling ke tanganku. Kaget,
tapi tak kuasa menolak. “terserah” jawabku. “yang jelas gue basah ini”
lanjutku.
***
Aku belum
lama mengenalnya. Belum ada 3 bulan. Kenal pun karena urusan pekerjaan.
Kantorku kebetulan mendapatkan proyek pengadaan di kantornya dan aku yang
ditunjuk menjadi penghubungnya. Sejauh ini kami hanya berkomunikasi masalah
pekerjaan. Tidak lebih. Bagaimanapun aku harus menjaga jarak. Aku adalah
perempuan yang sudah bersuami sedangkan dia masih setia membujang di usia yang
sepantasnya sudah memiliki keluarga kecil. Dia pun tampaknya juga menyadari
kondisi ini. Tak sekalipun dia mengirimkan pesan-pesan di luar urusan kantor
pun bahkan di luar jam kerja. Malam ini harusnya aku ke luar kota bersama
teman-teman sekolahku. Biasa. Mendadak reuni karena aku tidak setiap saat bisa
berada di kota ini. Kebetulan ada urusan kantor, dan teman-teman pas ada waktu,
jadilah. Aku pun sudah menelpon suami dan anak-anakku, mengabarkan aku malam
ini tidak kembali ke hotel kalau-kalau mereka menelponku ke sana. Alur cerita
berbelok begitu cepat. Kami yang sudah bergerak ke luar kota harus berbalik
arah karena ada satu temanku yang tertimpa kemalangan. In the middle of nowhere, aku tak tahu kenapa tiba-tiba aku minta
dia menjemputku di meeting point.
Tengah malam. Saat hujan.
***
Aku sudah
tidak bisa berpikir. Perasaanku ingin berontak, tapi badanku tidak. Entahlah.
Apa badanku yang ingin menolak tapi perasaanku menjadi nyaman. Campur aduk. Dia
mulai menciumiku. Dahi, mata, hidung. Udara hangat menyapu seluruh wajahku. Aku
cuma mendesah saat bibir hangatnya menyentuh bibirku. Lembut. Hangat. Lama.
Lalu mulai memagutiku dengan nafsunya. Aku benar-benar pasrah. Rasa dingin
berubah jadi panas. AC kamar sempit ini tidak membantu. Tubuhku basah, bukan
lagi oleh air hujan tadi tapi karena keringat birahi.
***
Jedeeerrr…tiba-tiba
suara geledek mengejutkanku. Menghentikan putaran film dokumenter. Tepat saat
lelaki di sebelahku terbangun. “Kamu tidak tidur?” selidiknya. “nggak, mau lagi
yang tadi” jawabku genit sambil menindih tubuhnya. Sisa malam itu ku memuaskan
nafsu. Melampiaskan cumbuku pada bayangan yang tak henti menggodaku. Hujan sudah
reda. Menyisakan genangan, rumput dan tanah basah. Menutup kenangan yang tak
akan terulang.