“Pendidikan itu (seharusnya) memanusiakan manusia” – Tan Malaka
Kemacetan lalu lintas sudah sangat akrab bagi sebagian besar orang-orang yang tinggal di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Pertukaran arus manusia terjadi setiap hari, dari mulai pagi buta sampai dengan tengah malam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurai masalah kemacetan ini tapi sepertinya belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Sebagai seorang pekerja yang tinggal di pinggiran Jakarta, saya pun terbiasa dengan situasi ini. Waktu tempuh 1 - 1.5 sampai dengan 2 jam untuk jarak 25 km menjadi ukuran normal untuk mengatakan “lumayan lancar”. Lalu lintas macet adalah ketika waktu tempuh menjadi lebih dari 2 jam, lucu bukan?. Untuk menghindari kemacetan, saya lebih memilih untuk bersepeda (meskipun tidak setiap hari) ke kantor daripada menggunakan angkutan umum. Buat saya, menggunakan angkutan umum adalah tidak ekonomis dan mengharuskan saya untuk berangkat lebih pagi. Lokasi rumah yang lumayan jauh dari stasiun kereta api juga membuat saya tidak menggunakan moda kereta api sebagai pilihan alat transportasi.
Kembali ke soal kemacetan. Saat terjebak macet, saya berusaha untuk selalu berfikir positif dan tidak ‘terpancing’ dengan kondisi yang ada. Salah satu ‘kegiatan’ yang saya lakukan adalah mengamati perilaku pengemudi kendaraan bermotor, baik motor ataupun mobil. Seringkali saya menemukan bahwa kemacetan lebih banyak disebabkan oleh tidak disiplinnya pengemudi selain memang debit kendaraan yang melebihi daya tampung jalan raya.
Sudah bukan pemandangan aneh apabila ada motor/mobil yang menyerobot lampu/rambu lalu lintas, mengemudi melawan arus, berhenti/parkir di tempat yang dilarang, menyalip dari kiri, berjalan pelan di jalur paling kanan, dan yang lebih mengerikan lagi belakangan ini adalah sering terlihat pengemudi motor yang menggunakan handphone pada saat mengemudi.
Ada suatu ungkapan yang menyatakan bahwa perilaku berlalu lintas di suatu negara mencerminkan tingkat pendidikan di negara tersebut. Apabila merujuk ke ungkapan tersebut maka akan timbul pertanyaan: “apakah tingkat pendidikan di Jabodetabek sedemikian rendah sehingga kondisi dan perilaku berlalu lintas sangat semrawut?”
Walaupun belum melakukan survei, tapi saya berani bertaruh bahwa sebagian besar pengemudi kendaraan bermotor adalah orang-orang berpendidikan, minimal berlatar belakang pendidikan menengah. Data dari Korps Lalu Lintas juga menunjukkan bahwa 57% korban kecelakaan lalu lintas berlatar belakang pendidikan SLA. Lalu apakah tertib lalu lintas tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah? Bukankah sejak TK anak-anak sudah diajak field-trip ke taman lalu lintas? Kegiatan-kegiatan polisi cilik juga sudah banyak. Meskipun tertib lalu lintas tidak masuk secara resmi dalam kurikulum, tapi selalu ada muatan untuk menghargai hak orang lain, patuh pada peraturan dan saling menghormati sesama manusia.
Lalu mengapa semua muatan, nilai-nilai dan kegiatan-kegiatan tersebut tidak “berbekas” di jalan raya? Semua menjadi boleh sepanjang tidak menabrak atau ditabrak. Semua bebas asal tidak tertangkap petugas. Jangankan peduli keselamatan orang, keselamatan diri pribadi pun diabaikan. Alih-alih memikirkan emisi karbon, membuang tiket tol di tempat sampah saja tidak pernah dilakukan.
Sesuai dengan aliran Behaviorisme, seluruh perilaku manusia selain insting merupakan hasil belajar (Syam, M.Noor dkk. 2003. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan). Teori Belajar atau Behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi).
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa secara sadar atau tidak sadar, formal maupun informal, perilaku manusia merupakan hasil belajar dan pengaruh lingkungan yang membentuk sikap dan cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu.
Lalu darimana para pengemudi tersebut belajar? Dari sekolah? Dari lingkungan? Bukankah lingkungan mereka juga terpelajar? Pertanyaan yang sangat sulit terjawab, namun perlu kita lihat kembali seluruh sistem pendidikan dan lingkungan belajar kita. Tentunya kita tidak ingin pendidikan hanya menyisakan kemampuan baca-tulis-hitung (Ca-Lis-Tung) dalam arti harfiah; membaca tapi tidak paham apa yang dibaca; menulis tapi tidak tahu apa yang ditulis; berhitung tapi tidak mengerti apa yang dihitung. Pendidikan (seharusnya) memanusiakan manusia, bukan malah menciptakan 'monster pembunuh' di jalan raya.