Ini Judulnya Lupa
Tak banyak yang kukenang,
Itupun remang-remang,
Tak lengkap, sepotong-sepotong,
Aku lupa apa dulu kamu bilang iya,
Tak ingat pula apa aku pernah meminta,
Hanya sentuhan biasa,
Lalu terbakar birahi membara,
Lalu lagi,
Terus lagi,
Terkadang mau akhiri, tapi ingin lagi,
Tak bisa berhenti.
Ingat tapi tak lengkap,
Kutemukan sepotong tercecer sepotong,
Kurangkai ingatan, buyar terjaga,
Aku cuma ingat memberimu mantera,
Jangan minum dari cangkir yang sama,
Nanti kamu tak bisa lupa,
Kamu tak percaya,
Lalu kuberi lagi mantera,
Jangan cium aku pakai rasa,
Nanti namaku tak bisa hilang dari darah,
Kamu cuma tertawa,
Aku lupa ada berapa mantera,
Seingatku tiga,
Kamu bilang lima,
Ingin kutarik, tak ingat caranya,
Salahku tak menuliskannya,
Salahmu juga tak mengingatkannya,
Jadilah kita melayang-layang,
Terjebak kenangan dimana-mana,
Ingin lupa tapi tak bisa,
Ingin ingat tapi harus lupa,
Sebentar kucoba,
Siapa tau ada mantera tersisa,
Kututup mata, merapal mantera,
Satu....dua....tiga,
LUPA LUPA LUPA LUPA LUPA,
Wussss….
Ajaib,
Bayangmu ada dimana-mana,
Kulihat lagi apa yang salah,
Owalah, harus kebalikannya,
Baiklah,
Kupejam lagi mata, satu... dua... tiga,
INGAT INGAT INGAT INGAT INGAT,
Wusssss…
"Loh, kok masih ada?"
"Astagaaaa..!!", aku salah,
Harusnya baca APUL APUL APUL APUL APUL,
Mana mantera sekali baca,
Ya sudahlah,
Silahkan ada dimana-mana,
Asalkan bisa saling menjaga,
Tanpa harus selalu bersama.
Jakarta, 14012020
"Jangan Mencuri, Nanti Kamu Terbiasa..!"
Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu
tak mudah. Kebutuhan hidup sama dengan profesi lainnya, tapi kekayaan tidak
boleh sama. “Kalau mau kaya jangan jadi PNS!”, ujar seorang Menteri di Republik
ini dahulu kala. Aku mungkin masih terlalu muda saat memutuskan untuk
bersekolah di sekolah kedinasan yang menjadikanku berstatus PNS . Terlalu
muda juga untuk memahami bahwa hidup ini butuh banyak biaya sedangkan PNS tak
boleh kaya.
Aku bukan berasal dari keluarga berada,
meski ayahku seorang pedagang besar dulunya. Saat aku lahir sebagai bungsu dari
dua belas bersaudara, ayahku mulai kehilangan masa kejayaannya. Tapi beliau yakin dan
percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, patah tumbuh hilang berganti.
Kewajiban membiayai hidup pun beralih ke anak-anaknya.
Tak banyak yang kuingat di masa kecil.
Biasa saja, cukup makan cukup pakaian. Ketika mulai sekolah, hanya satu pesan
ayah: dapat negeri atau tidak sekolah sama sekali. Aku merasa tidak ada masalah,
tidak merasa kekurangan walau sering menahan keinginan. Uang sekolah lancar,
buku pelajaran lengkap tersedia, juara kelas dapat hadiah. Tak pernah ada
beban, meski lambat laun aku sadar bahwa aku menanggung harapan yang besar. Aku
adalah si bungsu yang disayang, dimanja dan diharapkan jadi permata keluarga. Ketika
SMA nilaiku turun, jangankan jadi juara, masuk lima besarpun tak pernah.
Kakakku marah karena aku memilih ilmu sosial daripada eksakta. Meskipun
akhirnya aku bisa juara, tapi kekecewaan itu tetap terasa.
Kuputuskan meninggalkan tanah tumpah
darah, menuju ibukota. Cukup setahun pertama, lalu aku akan terbiasa. Tapi aku
tetap si bungsu, tak akan lepas dari keluarga, mereka tetap menjaga walaupun
harapan telah berubah.
“Pergilah, baik-baik di tempat kerja,
jangan sampai tak makan karena uang tak bersisa, berhutang dulu tak apa, tapi
jangan mencuri karena nanti
kau jadi terbiasa”.
Itulah pesan orang tua dan sanak saudara ketika aku pamit ke penempatan
pertama, Kantor Perwakilan di pelosok nusantara. Setahun tidak
terasa. Makan minum tidak masalah, tapi ada hati yang mulai mendua. Tak mungkin
menikah tanpa biaya, apalagi masih ada cita-cita. Akal sehat mulai terjaga,
amplop dari
mitra pun mulai diterima.
Kembali ke ibukota, mengejar
cita-cita. Hidup mulai berubah, PNS semakin jaya walau tetap tak boleh kaya.
Ibu tiada, hanya isak tersisa karena tidak sempat membuatnya bahagia. Hanya
ayah yang ada, namun beliau tetap tidak minta aku untuk jadi kaya. “Carilah
istri orang Jawa”, hanya itu pintanya. Akupun menikah dengan kondisi apa
adanya. Mertua bisa terima. Tak perlu kaya, jujur saja, semua rejeki dari
Allah.
Jadi PNS itu susah, saat ingin
berbeda, berbagai godaan datang menerpa. Honor, jalan dinas, fasilitas dan berbagai
harta benda sangat menggoda. “Jangan mencuri, nanti kau jadi terbiasa”,
terngiang lagi nasehat lama. “Kamu kan menerima, tidak meminta, sekali dua kali
boleh saja”, setan jahat mulai menyapa. Nasehat orang tua benar adanya, aku pun
mulai terbiasa. Tetap tidak meminta, tapi tak menolak untuk menerima dan mulai
berharap adanya.
PNS tidak boleh kaya tapi hidup kan
butuh banyak biaya. Saat rakus mulai meraja, mata hati mulai terjaga. Tetap
menerima tapi tidak mengharap adanya. Apa setan lalu berdiam saja?. “Bukan
curian itu yang kamu terima!”, demikian bisiknya. “Anakmu mulai sekolah,
istrimu perlu belanja, sedang gajimu tidak seberapa!”, demikianlah lanjutnya.
Nafsu mulai bicara. Sedikit saja takkan dipenjara. Dilema.
PNS ternyata ada yang kaya, meski
lebih banyak yang tidak kaya. Apa yang kaya selalu menerima dan meminta? Apakah
yang tidak kaya, tidak pernah menerima, tidak pernah meminta? Aku kembali
terjebak dalam dilema. Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa harusnya
menjadi mantera. Alhamdulillah doa diijabah, kerja berpindah, tak mungkin
meminta dan jarang sekali menerima meskipun sah. Mudah-mudahan jadi terbiasa.
Jadi PNS memang susah, tapi semua
hanya masalah terbiasa atau tak terbiasa. Kaya
bukan yang utama, tapi hidup jujur lebih berkah. Saat hidup banyak asa,
berserah diri kepada Allah sambil membaca mantera: “Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa!”.
Jakarta, 14012020
Lelah Adalah Inspirasiku
Aku terkurung dalam bangunan yang penuh dengan selasar
Segelintir orang berteriak depresi
Terkurung dalam ketidakpastian ruang dan waktu
Segelintir lainnya menangis meratapi kenyerian hebat melanda
Raungan dan teriakan berbaur tanpa bisa dikendalikan
Orang dengan baju putih mencoretkan pena sambil berbicara dengan orang-orang yang sedang gundah
Petugas lainnya hilir mudik mengusahakan yang terbaik dalam lelah berkelanjutan
Aku, yang harus lebih sabar dari semua orang, berdiri di samping ‘gravitasi hidupku'
‘Sang Gravitasi' sedang terkulai menunggu jawaban atas ketidakpastian ruang dan waktu
Kuperhatikan orang-orang yang lalu lalang, kemudian kuciptakan kaveling di otak dan pikiranku
Kucatat, suatu saat akan kutuangkan dalam kisah mendalam tentang perasaan mereka berada dalam kecemasan
Tiga ratus enam puluh menit terkurung dalam ruangan itu, aku memahami betapa cemasnya orang menunggu kepastian apa yang akan terjadi selanjutnya pada hidupnya atau hidup orang yang dicintainya atau 'pusat kehidupan' keluarganya
Selama itu pula aku memahami betapa lelah dan tertekannya para petugas yang dituntut tetap ramah kepada orang-orang yang sedang depresi
Yang kulakukan saat itu adalah menumpahkan pikiran dalam tulisan sederhana dan tentu saja tak seindah garis pena para pujangga
Satu hal yang kurasa adalah menanti itu merupakan proses yang sangat melelahkan
Berjuanglah wahai jiwa-jiwa yang lelah, keluarkan segala gundahmu
Bertahanlah, lakukan yang terbaik yang kau sanggup
Kuberikan juga bunga mawar merah untukmu para petugas yang masih sabar memberikan harapan atas hidup orang lain
Di akhir bait, pertanyaan yang ingin kusampaikan adalah mampukah aku bertahan jika aku adalah orang yang berbaju putih
Somewhere, 14 Januari 2020
Segelintir orang berteriak depresi
Terkurung dalam ketidakpastian ruang dan waktu
Segelintir lainnya menangis meratapi kenyerian hebat melanda
Raungan dan teriakan berbaur tanpa bisa dikendalikan
Orang dengan baju putih mencoretkan pena sambil berbicara dengan orang-orang yang sedang gundah
Petugas lainnya hilir mudik mengusahakan yang terbaik dalam lelah berkelanjutan
Aku, yang harus lebih sabar dari semua orang, berdiri di samping ‘gravitasi hidupku'
‘Sang Gravitasi' sedang terkulai menunggu jawaban atas ketidakpastian ruang dan waktu
Kuperhatikan orang-orang yang lalu lalang, kemudian kuciptakan kaveling di otak dan pikiranku
Kucatat, suatu saat akan kutuangkan dalam kisah mendalam tentang perasaan mereka berada dalam kecemasan
Tiga ratus enam puluh menit terkurung dalam ruangan itu, aku memahami betapa cemasnya orang menunggu kepastian apa yang akan terjadi selanjutnya pada hidupnya atau hidup orang yang dicintainya atau 'pusat kehidupan' keluarganya
Selama itu pula aku memahami betapa lelah dan tertekannya para petugas yang dituntut tetap ramah kepada orang-orang yang sedang depresi
Yang kulakukan saat itu adalah menumpahkan pikiran dalam tulisan sederhana dan tentu saja tak seindah garis pena para pujangga
Satu hal yang kurasa adalah menanti itu merupakan proses yang sangat melelahkan
Berjuanglah wahai jiwa-jiwa yang lelah, keluarkan segala gundahmu
Bertahanlah, lakukan yang terbaik yang kau sanggup
Kuberikan juga bunga mawar merah untukmu para petugas yang masih sabar memberikan harapan atas hidup orang lain
Di akhir bait, pertanyaan yang ingin kusampaikan adalah mampukah aku bertahan jika aku adalah orang yang berbaju putih
Somewhere, 14 Januari 2020
Cinta Tak Pernah..
Cinta tak pernah menjanjikan akhir bahagia,
Pun kecewa, Tak pernah.
Sejatinya bahagia dan kecewa hanya berganti-ganti masa,
Mencintai dan dicintai adalah kodrat,
Mencintai yang tak mencintai adalah suratan,
Dicintai yang tak dicintai juga tulisan takdir,
Berbahagia untuk keduanya adalah keniscayaan,
Memendam kecewa karenanya juga hal biasa,
Apapun pilihannya, cinta tak pernah menjanjikan
apa-apa,
Jatuh cinta bukanlah keputusan dengan logika,
Apa yang tampak di mata tak selalu sama dirasa,
Apa yang dirasa di dada, tak melulu tertuang dalam
aksara,
Sesungguhnya, manusia bukanlah pemilik hati,
Tak ada hak kecewa karena pilihan yang salah,
Hati manusia sudah dipertautkan, berpasang-pasangan,
Takkan luput dari pena-NYA, tinggal jalani saja.
Cinta tak pernah menjanjikan apa-apa,
Tapi DIA menjanjikan kekekalan jannah bagi yang mencinta
karena-NYA
#saatwarasberkarya
STOP COMPARING
"Hidup ini baik-baik saja, sampai kita mulai membanding-bandingkan"
-unknown-
"Kak, nanti kalo ada pertanyaan: kamu punya saudara nggak yang pernah sekolah disini?, adik jawab apa?" tanya sang adik kepada sang kakak. Sang adik saat itu sedang persiapan tes masuk sekolah menengah pertama, sedangkan sang kakak adalah alumni sekolah tersebut, lulusan terbaik tahun kemarin. "Ya jawab aja punya" aku memotong jawab mendahului sang kakak yang masih bingung. "Adik takut nanti mereka expect me like kakak" lanjut sang adik. Sejenak aku terdiam. "Ya nggaklah dik, kan beda adik sama kakak" aku mencoba menenangkan. "ish adik mah...!!" sang kakak teriak. "nilai adik kan jelas-jelas lebih bagus dari kakak". Lalu mulailah perdebatan seru sang kakak dengan sang adik. Sang kakak merasa adiknya lebih pintar, sang adik bilang kakaknya yang terbaik. Dengan berbagai argumen kekanakan mereka. "girls...please" aku memotong. "still it cannot be compared. you have a different age, different grade and different school". "Adik pinter, kakak juga pinter. Papa-Mama kan nggak pernah minta kalian jadi juara 1?" lanjutku. "We accepted all of your results, as long as you got it fairly". Meskipun masih menggerutu, perdebatan itu sejenak terhenti. Tiba-tiba sang adik nyeletuk "soalnya di sekolah adik ada tuh Pa yang begitu. Bu guru selalu bilang kakak kamu dulu nggak bandel loh" Sang adik lalu menceritakan tentang Nayla, salah satu teman sekelasnya yang dulu juga mempunyai kakak alumni sekolah tersebut. "Ya nanti kalo ada guru yang bilang begitu nanti Papa datengin ke sekolah" Aku mencoba menenangkan lagi.
***
Perbincangan tadi terus terang mengesalkanku. Betapa tidak?. Di usia yang masih sangat belia, anak-anak sudah harus dihadapkan dengan rumitnya kehidupan orang dewasa. Investasiku menyekolahkan mereka ke sekolah dengan embel-embel agama rasanya sia-sia. Bukan karena mereka tidak bisa sholat atau mengaji, tapi karena mereka masih disuguhi pola laku yang sama sekali tidak sesuai ajaran agama. Mirisnya hal tersebut dilakukan oleh sang pendidik.
***
Persoalan ini bukan monopoli persoalanku sendiri. Secara umum banyak sekali keluhan serupa dari para orang tua jaman now terhadap pola pendidikan dan pergaulan di sekolah-sekolah. Aku sepakat bahwa pendidikan terbaik tetaplah dari keluarga, orang tua dan orang-orang terdekat di rumah. Tapi tidak salah juga jika mengharapkan adanya nilai tambah dari pendidikan di sekolah. Keprihatinan ini bahkan sudah sering kusampaikan langsung ke guru-guru bersangkutan, namun hanya jawaban normatif yang kuperoleh. Akhirnya ya menunggu anak sampai lulus saja kemudian cari lagi sekolah yang lebih nyaman pola pengajaran dan pendidikannya buat anak-anak.
***
Sudah banyak tulisan tentang hal ini, tapi tetap saja tidak terimplementasi dengan baik. Semua orang tahu bahwa Matematika atau IPA bukan segalanya, tapi tetap saja anak yang pintar Matematika/IPA lebih disayang. Semua orang tahu kesuksesan hidup tidak ditentukan oleh juara tidaknya semasa sekolah, tapi tetap saja selalu ada peringkat dan predikat di sekolah-sekolah. Anak secara sadar ataupun tidak sadar diajarkan dengan nilai kompetisi yang tidak sehat: menganggap orang lain adalah saingan. Padahal yang harus ditanamkan adalah bagaimana menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Hidup bukanlah zero sum game. Kita tidak menjadi baik karena orang lain buruk. Kita tidak menjadi kaya karena orang lain miskin. Kita tidak menjadi pintar karena orang lain bodoh.
***
Manusia memang tidak selalu dalam kondisi terbaiknya. Kadar keimanan pun naik turun. Hati pun sangat mudah dibolak balik. Dalam kondisi seperti itu, menjadi depresi karena tidak mampu apa-apa, tidak punya apa-apa, seringkali terjadi. Membandingkan pencapaian pribadi dengan orang lain sangatlah melelahkan.
***
Kembali ke kegalauan sang adik. Aku pribadi berharap ketakutannya tidak terbukti; baik akibat harapan guru-gurunya kelak ataupun dari alam bawah sadarnya. Bagaimanapun sang kakak dan sang adik tetap dua orang yang berbeda, meskipun dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Tidak ada satu mengungguli yang lain, tidak ada persaingan karena senyatanya mereka tidak pernah diperbandingkan.
Jakarta, 13012020
Sudah banyak tulisan tentang hal ini, tapi tetap saja tidak terimplementasi dengan baik. Semua orang tahu bahwa Matematika atau IPA bukan segalanya, tapi tetap saja anak yang pintar Matematika/IPA lebih disayang. Semua orang tahu kesuksesan hidup tidak ditentukan oleh juara tidaknya semasa sekolah, tapi tetap saja selalu ada peringkat dan predikat di sekolah-sekolah. Anak secara sadar ataupun tidak sadar diajarkan dengan nilai kompetisi yang tidak sehat: menganggap orang lain adalah saingan. Padahal yang harus ditanamkan adalah bagaimana menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Hidup bukanlah zero sum game. Kita tidak menjadi baik karena orang lain buruk. Kita tidak menjadi kaya karena orang lain miskin. Kita tidak menjadi pintar karena orang lain bodoh.
***
Manusia memang tidak selalu dalam kondisi terbaiknya. Kadar keimanan pun naik turun. Hati pun sangat mudah dibolak balik. Dalam kondisi seperti itu, menjadi depresi karena tidak mampu apa-apa, tidak punya apa-apa, seringkali terjadi. Membandingkan pencapaian pribadi dengan orang lain sangatlah melelahkan.
***
Kembali ke kegalauan sang adik. Aku pribadi berharap ketakutannya tidak terbukti; baik akibat harapan guru-gurunya kelak ataupun dari alam bawah sadarnya. Bagaimanapun sang kakak dan sang adik tetap dua orang yang berbeda, meskipun dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Tidak ada satu mengungguli yang lain, tidak ada persaingan karena senyatanya mereka tidak pernah diperbandingkan.
Jakarta, 13012020
Purnama Terakhir
“Tya,
kamu lagi di mana?”
“Udah
makan belum? Jangan sampai telat makan, nanti kamu sakit. Ayah juga kan yang
repot.”
“Kalau
keluar malam, jangan lupa pakai jaket!”
Selalu
dan selalu Ayah menelepon atau video call
aku. Belum sempat aku berpindah dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain
di kampus, Ayah kembali menelepon. Biasanya ia akan bertanya dan bicara hal-hal
yang menurutku tak penting bahkan bisa jadi itu nasihat yang diulang-ulang
terus.
Entah
apa yang ada di pikiran Ayah, kenapa ia begitu protektif. Sepertinya Ayah tidak mempercayaiku. Padahal
aku selalu berusaha membanggakan Ayah. Aku selalu menjadi yang terbaik dari
mulai duduk di bangku sekolah dasar sampai kuliah di universitas terbaik di
negeri ini.
Aku tinggal
berdua saja dengan Ayah karena Ibu sudah meninggalkan kami berdua ketika aku
masih berusia lima tahun. Ibu pergi entah ke mana. Sejak itu ayahlah yang
mengurusi sampai saat ini.
Tak
pernah terpikir di benakku untuk mencari Ibu. Aku merasa sudah cukup mendapat
kasih sayang dari Ayah yang bertindak juga sebagai ibu bagiku.
Tuut … tuut
Ayah calling …
Ayah
ngapain lagi sih. Tadi pagi ia sudah meneleponku. Ayah hanya bertanya nanti malam mau dimasakin
apa.
“Ayah,
Tya kan udah bilang kalau Ayah nggak perlu masak. Capek kan pulang kerja. Nanti
Ayah sakit. Tya juga yang repot.” Aku bicara menirukan kata-kata Ayah kalau
menasihatiku.
“Bukan
itu, Tya,” ujar Ayah.
“Apa
Yah?”
“Mau
dibawain makanan apa? Sekalian Ayah pulang kantor, lewat Food Court nanti.”
“Ya
ampun, Ayah. Nggak usahlah, Tya beli aja di kampus,” jawabku.
“Kok
gitu?” tanya Ayah.
“Tya
pulang agak malam. Ada tugas yang harus diselesaikan besok pagi.
“Jadi
Ayah sendiri dong di rumah,” ujar Ayah merajuk.
“Ah
Ayah, kayak anak kecil aja.” Agak kesal juga aku menghadapi tingkah Ayah. Ini
dilakukannya setiap hari.
“Ya
udah, ya. Tya mau masuk kelas dulu.”
“Lha
kan masih ada lima belas menit lagi.” Sulit memang membuat Ayah menyerah. Ayah
tahu pasti kapan saja aku berkegiatan. Tak ada satupun yang terlewat dari
catatannya.
“Ah
Ayah. Tya kan mau baca-baca dulu materinya sebelum dosen masuk. Udah ya, Ayah. Nanti malam kalau ngantuk tidur duluan aja.
Ayah nggak usah nunggu Tya,” ujarku.
“Oke,
Nak.”
Kututup
handphone. Aku tahu Ayah tidak akan
pernah atau menutup handphone-nya
sebelum aku menutup terlebih dahulu.
Aku
berjalan menuju kelas. Mata kuliah pertama akan segera dimulai. Rugi rasanya
kalau aku terlambat.
***
Hari
telah malam ketika aku meninggalkan kampus. Aku berlari mengejar kereta
terakhir yang akan membawaku pulang.
Ketika
turun dari motor yang mengantarku sampai di depan pagar rumah, rasa kantuk
mulai menyerang. Secepatnya aku masuk ke dalam pekarangan.
Aku
membuka pintu perlahan. Dengan mengendap-ngendap aku masuk ke dalam rumah yang
sebagiannya sudah gelap.
“Baru
pulang, Tya?”
Aku
kaget. Rupanya Ayah masih berjaga menungguku. Ayah bangkit dari duduknya dan
menghampiriku.
“Ya
ampun, Ayah. Kenapa sih harus nunggu Tya. Kan udah malam, Yah.”
“Ayah
hanya memastikan saja kamu pulang selamat, Nak,” ujarnya.
“Ayah,
Tya Aman kok. Malam ini di luar terang sekali. Tya pulang ditemani bulan
purnama.”
Ayah
menepuk pundakku. Aku hanya bisa
menggelengkan kepala. Betapa Ayah sangat protektif.
“Oya,
ibumu meninggalkanmu dan Ayah saat bulan purnama juga,” ujar Ayah dari pintu
kamar. Setelah itu ia masuk ke dalam.
Aku
terdiam sejenak. Ayah takut kehilangan diriku. Menurutku Ayah sangat
berlebihan. Aku berjalan menuju kamarku yang letaknya bersebelahan dengan kamar
Ayah. Aku harus istirahat karena besok aku harus bangun pagi supaya tak
kesiangan sampai kampus.
***
“Bangun,
Nak!”
Rasanya
enggan sekali mata ini terbuka. Aku masih belum mau bangun. Masih ingin menikmati
hangatnya tempat tidur.
“Tya,
sarapan dulu. Ayah mau berangkat kerja nih,” ajak Ayah sambil menepuk kakiku.
“Ayah,
Tya masih ngantuk. Lima belas menit lagi, ya?”
“Jangan
ditunda-tunda, Nak. Ayo bangun, Ayah tungguin. Kita sholat Subuh berjamaah.
Abis itu kita sarapan bareng. Udah
dibikinin nasi goreng kunyit.”
“Aduh
Ayah, sarapannya kok pagi banget sih,” ujarku kesal.
“Ayah
harus sampai kantor pagi. Ada yang harus diselesaikan,” jawab Ayah sambil
tersenyum.
Akhirnya
aku bangkit dari tempat tidur. Kurentangkan tangan ke atas. Rasanya nikmat
sekali. Itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil ketika bangun tidur.
Setelah
mandi, aku menghampiri Ayah di kamarnya untuk
sholat berjamaah. Setelah itu kami berdua sarapan bersama. Sejak Ibu pergi,
Ayahlah yang setiap hari memasak untukku.
***
Hari
sudah gelap ketika semua aktivitas di kampus berakhir. Bulan yang bulat dan
bundar menghiasi langit yang semakin bercahaya. Aku memesan ojek online di
sekitar kampus. Beberapa saat kemudian si pengemudi ojek mengirimkan pesan
kepadaku.
Pengemudi ojek: Saya sudah di lokasi
Aku: Tunggu sebentar
Aku
berjalan menuju tempat yang kupilih untuk penjemputan. Aku melihat motor dengan
nomor yang sama dengan ojek yang kupesan. Aku mendekat ke arah motor itu.
Langkahku terhenti melihat pengemudi ojek yang kupesan sedang berkomunikasi dengan seseorang. Aku tak
ingin mengganggu. Kutunggu di samping motornya.
“Tunggu,
ya Sayang. Sebentar lagi Bapak pulang,” ujarnya.
Sekilas
kuintip dari balik punggung si pengemudi ojek, seorang anak perempuan dengan wajah
mungil sedang berbinar-binar di layar handphone
si pengemudi ojek yang kutahu namanya Pak Kasim. Aku merasa seperti Ayah yang
sedang video call denganku. Ada rasa
hangat menjalari hatiku.
“Eh,
maaf Mbak. Sudah lama nunggu ya?” Pak Kasim. Sepertinya ia baru menyadari
keberadaanku.
“Belum
kok, Pak,” jawabku
“Maaf,
ya Mbak,” ujar Pak Kasim sambil
memberikan helm kepadaku. Setelah memasang helm di kepala, aku menaiki motor.
“Tadi
anaknya, Pak?” tanyaku diantara deru suara kendaraan di jalan raya.
“Iya,
Mbak. Umurnya masih lima tahun. Dia nggak mau belajar kalau yang nyuruh ibunya.
Harus saya yang turun tangan. Sekali lagi maaf, ya Mbak,” ujar Pak Kasim.
“Nggak
apa-apa kok, Pak. Saya juga punya bapak yang setiap saat nelpon. Sampai kadang
saya suka kesal.”
“Kok
kesal, Mbak?” tanyanya.
“Soalnya
bapak saya sering banget nelpon saya. Sering nggak kenal tempat waktu. Padahal
tiap pagi saya selalu kasih tahu apa kegiatan saya seharian,” jawabku dengan
suara meninggi. Aku heran juga kenapa aku harus meninggikan suara.
“Maaf,
ya. Kalau anak saya nggak suka saya telepon, aduh nggak kebayang deh. Saya
pasti sedih banget. Satu-satunya alasan kenapa saya bersemangat nyari uang, ya
anak saya itu.”
“Iya
sih, Pak. Saya paham, bapak saya itu sayang banget sama saya tapi ya nggak
berlebihan seperti sekarang ini,” balasku.
“Sekali
lagi maaf, apa Mbak masih punya ibu?”
Aku
terdiam mendengar pertanyaan . Aku paling benci kalau ada orang yang bertanya
tentang ibuku. Tak ada bahan yang bisa kuceritakan tentang ibu.
“Ibu
sudah nggak ada, Pak. Ia pergi meninggalkan saya dan Ayah,” jawabku pelan.
“Itulah
kenapa bapak Mbak sering menelepon. Ia kesepian, Mbak.
Mendengar
perkataan Abang Ojek, aku tersentak. Betapa selama ini aku tak pernah
memperhatikan Ayah. Sepertinya benar yang diucapkan Pak Kasim kalau Ayah
kesepian, makanya Ayah sering sekali menghubungiku. Ayah butuh teman untuk
berbagi.
“Pak,
turunin saya di depan gang aja,” pintaku kepada Pak Kasim.
“Lha
kan rumah Mbak masih agak jauh,” ujar Pak Kasim sambil menghentikan laju
motornya.
“Nggak
apa-apa, saya pengen olah raga, Pak. Menikmati cahaya bulan purnama,” jawabku.
Malam ini bulan terlihat bundar sempurna dan indah di mataku.
“Jangan
lupa bintang lima ya, Mbak!” pinta Pak Kasim ketika aku berjalan menjauhinya.
“Nggak
ada yang bintangnya delapan?” candaku sambil mengacungkan jempolku. Pak Kasim
hanya tersenyum membalas candanku.
Aku
berjalan menyusuri gang yang menuju ke rumahku. Sengaja aku minta berhenti agak
jauh dari rumah agar suara motor tak mengagetkan Ayah. Biasanya kalau sudah
malam begini, Ayah menungguku pulang di ruangan depan. Ayah akan membuka pintu
jika mendengar suara motor.
Aku
berjalan dengan perasaan riang. Sesekali kepalaku menengadah ke langit
menikmati bulan purnama yang sangat terang. Malam ini aku ingin menikmati bulan
purnama berdua saja dengan Ayah. Malam ini aku akan memasak untuk makan berdua.
Ah, tak pernah kusadari kalau cintaku kepada Ayah begitu besar.
***
“Ayah
… Ayah,” aku memanggil Ayah. Malam ini tidak seperti biasanya, Ayah tidak
menungguku di ruang depan.
“Ayah
… Ayah.”
Aku
mencari Ayah ke seluruh ruangan. Dari mulai kamar, dapur, kamar mandi, ruang
belakang tak kutemukan Ayah. Aku mulai panik. Sesaat kesadaranku muncul,
biasanya kalau malam purnama begini Ayah sering duduk di ruang kecil yang
berada di atas rumah. Tempat itu biasanya
kupakai untuk menjemur pakaian.
Aku
berlari menaiki tangga yang terbuat dari papan satu per satu. Tak sabar hati ini ingin sekali
bertemu dengan Ayah untuk meminta maaf. Aku akan berjanji untuk selalu
menjaganya.
“Ayah
… Ayah …,” lidahku seakan kelu melihat tubuh Ayah tergeletak di lantai.
Wajahnya tampak pucat. Tubuh Ayah tak bergerak sama sekali.
Kudekati
tubuh Ayah. Kupanggil namanya, Ayah tak bergeming. Kugoncangkan badannya,
ternyata sudah kaku.
“Ayah,
buka mata Ayah!” ujarku sambil menepuk-nepuk pipinya. Tetap tak ada jawaban.
“Ayah
….”
Tetap
tak ada jawaban. Kesadaranku hilang. Aku berharap ini hanya mimpi belaka.
Sayangnya aku terbangun ketika rumahku telah dipenuhi orang yang ingin
menyampaikan duka citanya. Aku seperti masuk ke dalam lorong gelap yang dingin
dan sunyi. Entah bagaimana aku akan menjalani hidupku ke depan tanpa sosok
Ayah. Aku sungguh tak tahu. Semuanya
gelap dan sunyi..
***
*Cerpen ini dibukukan dalam Antologi Cerpen: The Moon on The Darkest Night, Penerbit: Ellunar
Langganan:
Postingan (Atom)