“Tya,
kamu lagi di mana?”
“Udah
makan belum? Jangan sampai telat makan, nanti kamu sakit. Ayah juga kan yang
repot.”
“Kalau
keluar malam, jangan lupa pakai jaket!”
Selalu
dan selalu Ayah menelepon atau video call
aku. Belum sempat aku berpindah dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain
di kampus, Ayah kembali menelepon. Biasanya ia akan bertanya dan bicara hal-hal
yang menurutku tak penting bahkan bisa jadi itu nasihat yang diulang-ulang
terus.
Entah
apa yang ada di pikiran Ayah, kenapa ia begitu protektif. Sepertinya Ayah tidak mempercayaiku. Padahal
aku selalu berusaha membanggakan Ayah. Aku selalu menjadi yang terbaik dari
mulai duduk di bangku sekolah dasar sampai kuliah di universitas terbaik di
negeri ini.
Aku tinggal
berdua saja dengan Ayah karena Ibu sudah meninggalkan kami berdua ketika aku
masih berusia lima tahun. Ibu pergi entah ke mana. Sejak itu ayahlah yang
mengurusi sampai saat ini.
Tak
pernah terpikir di benakku untuk mencari Ibu. Aku merasa sudah cukup mendapat
kasih sayang dari Ayah yang bertindak juga sebagai ibu bagiku.
Tuut … tuut
Ayah calling …
Ayah
ngapain lagi sih. Tadi pagi ia sudah meneleponku. Ayah hanya bertanya nanti malam mau dimasakin
apa.
“Ayah,
Tya kan udah bilang kalau Ayah nggak perlu masak. Capek kan pulang kerja. Nanti
Ayah sakit. Tya juga yang repot.” Aku bicara menirukan kata-kata Ayah kalau
menasihatiku.
“Bukan
itu, Tya,” ujar Ayah.
“Apa
Yah?”
“Mau
dibawain makanan apa? Sekalian Ayah pulang kantor, lewat Food Court nanti.”
“Ya
ampun, Ayah. Nggak usahlah, Tya beli aja di kampus,” jawabku.
“Kok
gitu?” tanya Ayah.
“Tya
pulang agak malam. Ada tugas yang harus diselesaikan besok pagi.
“Jadi
Ayah sendiri dong di rumah,” ujar Ayah merajuk.
“Ah
Ayah, kayak anak kecil aja.” Agak kesal juga aku menghadapi tingkah Ayah. Ini
dilakukannya setiap hari.
“Ya
udah, ya. Tya mau masuk kelas dulu.”
“Lha
kan masih ada lima belas menit lagi.” Sulit memang membuat Ayah menyerah. Ayah
tahu pasti kapan saja aku berkegiatan. Tak ada satupun yang terlewat dari
catatannya.
“Ah
Ayah. Tya kan mau baca-baca dulu materinya sebelum dosen masuk. Udah ya, Ayah. Nanti malam kalau ngantuk tidur duluan aja.
Ayah nggak usah nunggu Tya,” ujarku.
“Oke,
Nak.”
Kututup
handphone. Aku tahu Ayah tidak akan
pernah atau menutup handphone-nya
sebelum aku menutup terlebih dahulu.
Aku
berjalan menuju kelas. Mata kuliah pertama akan segera dimulai. Rugi rasanya
kalau aku terlambat.
***
Hari
telah malam ketika aku meninggalkan kampus. Aku berlari mengejar kereta
terakhir yang akan membawaku pulang.
Ketika
turun dari motor yang mengantarku sampai di depan pagar rumah, rasa kantuk
mulai menyerang. Secepatnya aku masuk ke dalam pekarangan.
Aku
membuka pintu perlahan. Dengan mengendap-ngendap aku masuk ke dalam rumah yang
sebagiannya sudah gelap.
“Baru
pulang, Tya?”
Aku
kaget. Rupanya Ayah masih berjaga menungguku. Ayah bangkit dari duduknya dan
menghampiriku.
“Ya
ampun, Ayah. Kenapa sih harus nunggu Tya. Kan udah malam, Yah.”
“Ayah
hanya memastikan saja kamu pulang selamat, Nak,” ujarnya.
“Ayah,
Tya Aman kok. Malam ini di luar terang sekali. Tya pulang ditemani bulan
purnama.”
Ayah
menepuk pundakku. Aku hanya bisa
menggelengkan kepala. Betapa Ayah sangat protektif.
“Oya,
ibumu meninggalkanmu dan Ayah saat bulan purnama juga,” ujar Ayah dari pintu
kamar. Setelah itu ia masuk ke dalam.
Aku
terdiam sejenak. Ayah takut kehilangan diriku. Menurutku Ayah sangat
berlebihan. Aku berjalan menuju kamarku yang letaknya bersebelahan dengan kamar
Ayah. Aku harus istirahat karena besok aku harus bangun pagi supaya tak
kesiangan sampai kampus.
***
“Bangun,
Nak!”
Rasanya
enggan sekali mata ini terbuka. Aku masih belum mau bangun. Masih ingin menikmati
hangatnya tempat tidur.
“Tya,
sarapan dulu. Ayah mau berangkat kerja nih,” ajak Ayah sambil menepuk kakiku.
“Ayah,
Tya masih ngantuk. Lima belas menit lagi, ya?”
“Jangan
ditunda-tunda, Nak. Ayo bangun, Ayah tungguin. Kita sholat Subuh berjamaah.
Abis itu kita sarapan bareng. Udah
dibikinin nasi goreng kunyit.”
“Aduh
Ayah, sarapannya kok pagi banget sih,” ujarku kesal.
“Ayah
harus sampai kantor pagi. Ada yang harus diselesaikan,” jawab Ayah sambil
tersenyum.
Akhirnya
aku bangkit dari tempat tidur. Kurentangkan tangan ke atas. Rasanya nikmat
sekali. Itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil ketika bangun tidur.
Setelah
mandi, aku menghampiri Ayah di kamarnya untuk
sholat berjamaah. Setelah itu kami berdua sarapan bersama. Sejak Ibu pergi,
Ayahlah yang setiap hari memasak untukku.
***
Hari
sudah gelap ketika semua aktivitas di kampus berakhir. Bulan yang bulat dan
bundar menghiasi langit yang semakin bercahaya. Aku memesan ojek online di
sekitar kampus. Beberapa saat kemudian si pengemudi ojek mengirimkan pesan
kepadaku.
Pengemudi ojek: Saya sudah di lokasi
Aku: Tunggu sebentar
Aku
berjalan menuju tempat yang kupilih untuk penjemputan. Aku melihat motor dengan
nomor yang sama dengan ojek yang kupesan. Aku mendekat ke arah motor itu.
Langkahku terhenti melihat pengemudi ojek yang kupesan sedang berkomunikasi dengan seseorang. Aku tak
ingin mengganggu. Kutunggu di samping motornya.
“Tunggu,
ya Sayang. Sebentar lagi Bapak pulang,” ujarnya.
Sekilas
kuintip dari balik punggung si pengemudi ojek, seorang anak perempuan dengan wajah
mungil sedang berbinar-binar di layar handphone
si pengemudi ojek yang kutahu namanya Pak Kasim. Aku merasa seperti Ayah yang
sedang video call denganku. Ada rasa
hangat menjalari hatiku.
“Eh,
maaf Mbak. Sudah lama nunggu ya?” Pak Kasim. Sepertinya ia baru menyadari
keberadaanku.
“Belum
kok, Pak,” jawabku
“Maaf,
ya Mbak,” ujar Pak Kasim sambil
memberikan helm kepadaku. Setelah memasang helm di kepala, aku menaiki motor.
“Tadi
anaknya, Pak?” tanyaku diantara deru suara kendaraan di jalan raya.
“Iya,
Mbak. Umurnya masih lima tahun. Dia nggak mau belajar kalau yang nyuruh ibunya.
Harus saya yang turun tangan. Sekali lagi maaf, ya Mbak,” ujar Pak Kasim.
“Nggak
apa-apa kok, Pak. Saya juga punya bapak yang setiap saat nelpon. Sampai kadang
saya suka kesal.”
“Kok
kesal, Mbak?” tanyanya.
“Soalnya
bapak saya sering banget nelpon saya. Sering nggak kenal tempat waktu. Padahal
tiap pagi saya selalu kasih tahu apa kegiatan saya seharian,” jawabku dengan
suara meninggi. Aku heran juga kenapa aku harus meninggikan suara.
“Maaf,
ya. Kalau anak saya nggak suka saya telepon, aduh nggak kebayang deh. Saya
pasti sedih banget. Satu-satunya alasan kenapa saya bersemangat nyari uang, ya
anak saya itu.”
“Iya
sih, Pak. Saya paham, bapak saya itu sayang banget sama saya tapi ya nggak
berlebihan seperti sekarang ini,” balasku.
“Sekali
lagi maaf, apa Mbak masih punya ibu?”
Aku
terdiam mendengar pertanyaan . Aku paling benci kalau ada orang yang bertanya
tentang ibuku. Tak ada bahan yang bisa kuceritakan tentang ibu.
“Ibu
sudah nggak ada, Pak. Ia pergi meninggalkan saya dan Ayah,” jawabku pelan.
“Itulah
kenapa bapak Mbak sering menelepon. Ia kesepian, Mbak.
Mendengar
perkataan Abang Ojek, aku tersentak. Betapa selama ini aku tak pernah
memperhatikan Ayah. Sepertinya benar yang diucapkan Pak Kasim kalau Ayah
kesepian, makanya Ayah sering sekali menghubungiku. Ayah butuh teman untuk
berbagi.
“Pak,
turunin saya di depan gang aja,” pintaku kepada Pak Kasim.
“Lha
kan rumah Mbak masih agak jauh,” ujar Pak Kasim sambil menghentikan laju
motornya.
“Nggak
apa-apa, saya pengen olah raga, Pak. Menikmati cahaya bulan purnama,” jawabku.
Malam ini bulan terlihat bundar sempurna dan indah di mataku.
“Jangan
lupa bintang lima ya, Mbak!” pinta Pak Kasim ketika aku berjalan menjauhinya.
“Nggak
ada yang bintangnya delapan?” candaku sambil mengacungkan jempolku. Pak Kasim
hanya tersenyum membalas candanku.
Aku
berjalan menyusuri gang yang menuju ke rumahku. Sengaja aku minta berhenti agak
jauh dari rumah agar suara motor tak mengagetkan Ayah. Biasanya kalau sudah
malam begini, Ayah menungguku pulang di ruangan depan. Ayah akan membuka pintu
jika mendengar suara motor.
Aku
berjalan dengan perasaan riang. Sesekali kepalaku menengadah ke langit
menikmati bulan purnama yang sangat terang. Malam ini aku ingin menikmati bulan
purnama berdua saja dengan Ayah. Malam ini aku akan memasak untuk makan berdua.
Ah, tak pernah kusadari kalau cintaku kepada Ayah begitu besar.
***
“Ayah
… Ayah,” aku memanggil Ayah. Malam ini tidak seperti biasanya, Ayah tidak
menungguku di ruang depan.
“Ayah
… Ayah.”
Aku
mencari Ayah ke seluruh ruangan. Dari mulai kamar, dapur, kamar mandi, ruang
belakang tak kutemukan Ayah. Aku mulai panik. Sesaat kesadaranku muncul,
biasanya kalau malam purnama begini Ayah sering duduk di ruang kecil yang
berada di atas rumah. Tempat itu biasanya
kupakai untuk menjemur pakaian.
Aku
berlari menaiki tangga yang terbuat dari papan satu per satu. Tak sabar hati ini ingin sekali
bertemu dengan Ayah untuk meminta maaf. Aku akan berjanji untuk selalu
menjaganya.
“Ayah
… Ayah …,” lidahku seakan kelu melihat tubuh Ayah tergeletak di lantai.
Wajahnya tampak pucat. Tubuh Ayah tak bergerak sama sekali.
Kudekati
tubuh Ayah. Kupanggil namanya, Ayah tak bergeming. Kugoncangkan badannya,
ternyata sudah kaku.
“Ayah,
buka mata Ayah!” ujarku sambil menepuk-nepuk pipinya. Tetap tak ada jawaban.
“Ayah
….”
Tetap
tak ada jawaban. Kesadaranku hilang. Aku berharap ini hanya mimpi belaka.
Sayangnya aku terbangun ketika rumahku telah dipenuhi orang yang ingin
menyampaikan duka citanya. Aku seperti masuk ke dalam lorong gelap yang dingin
dan sunyi. Entah bagaimana aku akan menjalani hidupku ke depan tanpa sosok
Ayah. Aku sungguh tak tahu. Semuanya
gelap dan sunyi..
***
*Cerpen ini dibukukan dalam Antologi Cerpen: The Moon on The Darkest Night, Penerbit: Ellunar