"orang kaya, mendaftar kerja"
.
Badan besar,
Hatinya dekil,
Wajah sangar
Mentalnya kecil
Harta yang dipunya
Dipikir segalanya
Semua temannya
Ingin dikontrolnya
Dalam diskusi
Tegak berdiri
Dalam posisi
Menang sendiri
Serius, bercanda
Dia punya jadwal
Yang asal tertawa
Membuatnya kesal
Dia ngomong ngelantur
bilangnya bercanda
Yang lain bertutur
Dia lempar kena dada
Banyak orang
Menjadi korban
Watak pemberang
Kepada teman
Biarpun pernah satu sekolah
Umurnya tua atau sebaya
Hampir selalu pernah masalah
Jika berdekat dengan dirinya
Dari rumah mungkin awalnya,
Tumbuh besar laksana raja
Semua tunduk pada titahnya
Apapun mau, bilanglah saja
dia pikir kekayaan besar
Bekal selalu hidup gemerlap
dirinya selalu merasa benar
Emoh belajar meminta maap
dipeliharanya seekor kucing
teman berbincang kalau di rumah
Memahami teman merasa asing
Teman tak paham dikira marah
Semua hukum di dalam rumah
Ingin adopsi di semua tempat
Berharap dimaklumi jika tak ramah
Merasa diri orang terhormat
punya tabiat begitu nyeleneh
maunya untuk dimengerti saja
membuat orang merasa aneh,
Orang kaya maksain kerja
Ini pantun cerita rekaan,
Pengisi waktu di akhir pekan
Sekiranya tidak berkenan,
Bermohon maap saya haturkan
Biarpun badan sedikit lelah,
Menyunting karya Haruslah cermat
Kita berbeda adalah fitrah
Penting kiranya saling menghormat
(ujung harapan, 11 jan 2020)
Senja stasiun kereta
Senja
Stasiun kereta
Pesanmu datang
Memulai cerita
Senja
Stasiun kereta
Bayang mu riang
Menemani setia
Senja
Stasiun kereta
Hari cemerlang
Tertutup sempurna
Senja
Stasiun kereta
Sadarku datang
Mengejarmu hampa
Senja
Stasiun kereta
Kaupun terbang
Hati ku luka
Senja
Stasiun kereta
Aku berjuang
Untuk melupa
Senja
Stasiun kereta
Aku terkenang
Ribuan senja stasiun kereta
Waktu dan tempat
Terlahir ribuan kata
(stasiun sentiong, 10 jan 2010)
Fana
Tidakkah sesak sesekali hadir,
Umur bergulir, kepala kian pandir
Hakekat hidup lalai di pikir,
dunia persingahannya para musafir
Beruntai nikmat runtut mengalir,
Tiada terhitung semenjak lahir
Pada waktunya menemu akhir
Esok atau lusa tiada tertaksir
Tapi Langkah kerap tersesat
Karena hati melegam pekat
Bebal membaca tanda isyarat
Dunia menipu pencari nikmat
manisnya dunia hanya sesaat,
Saat mati semua tamat
Tapi lelarian sepanjang hayat
Sibuk mengejar harta dan pangkat
Semoga bukan di ujung sekarat,
Hati berdetak untuk mengingat
Gemerlap dunia takkan manfaat
Menebus berat janji akherat
Suatu Tempat (hanya) Kita yang Tahu
Pagi berkabut.
Udara desa Pariangan memang selalu sejuk, tak terkecuali pada musim panas. Desa yang terletak di Minangkabau ini sangat indah, bahkan termasuk dalam sepuluh desa terindah di dunia versi Easemytrip bersama Desa Penglipuran di Bali. Desa yang selalu diselimuti ketenangan dan hijaunya lembah ngarai Gunung Marapi.
Kabut yang turun perlahan
melintasi lereng mengingatkanku setahun lalu. Saat itu Raina masih cantik, tak
ada duanya. Memang banyak gadis di desa ini yang cantik, tapi Raina berbeda. Setidaknya di hatiku.
Raina yang selalu mengoleskan sepotong pinang
merah pada bibirnya, “Sebagai pengganti lipstick…” katanya, yang mebuatku
tertawa terbahak,
“Kampungan….” kataku kala itu.
Tapi dia tak peduli, dia malah
asik mengoleskan beras yang telah ditumbuknya dan diberi sedikit air pada
wajahnya, “Sebagai pengganti bedak…” katanya lagi.
“Tanpa efek samping dan... gratis” senyumnya merekah, yang membuatku mengagumi dalam hati wajahnya yang
semakin bersinar.
“Gimana kalo kita menikmati
secangkir kopi? Di tempat biasa.. “, ujarku yang disambut dengan anggukan Raina.
Kami berlari menuruni bukit. Pasir berhamburan diantara sela-sela kaki
kami, sepasang muda mudi dari sebuah desa indah yang
tumbuh bersama.
-------
Saat ini aku berdiri di hadapan Raina,
Dan hampir sama sekali tak
mengenali wajahnya, sisa-sisa jahitan bekas operasi masih membekas. Dan di
dalam batinnya, luka dari musibah kebakaran itu tampaknya masih berdiam disana. Aku tahu itu
dari sikap Raina yang menundukkan wajahnya dalam-dalam ketika aku menatapnya.
“Hai, apa kabar?”
Suaranya pelan dan ragu.
“Beginilah keadaanku sekarang…
seorang gadis yang tak bisa lagi menggunakan lipstick dan bedak..."
Ia menghela nafas, dan melanjutkan dengan suara yang nyaris tak terdengar,
"karena kulit separuh wajahnya hilang dan diganti dengan segumpal daging pahanya”
Bibirnya mencoba membentuk sebuah senyuman. Pasrah.
Sesaat aku terdiam, menimbang
dalam hati, hari-hari lampau separuh dari perjalanan hidup kami. Raina yang selalu menyenangkan dengan tingkah lugunya yang membuatku tertawa, walau sering
kali menjengkelkanku juga. Perlahan ribuan kenangan menari-nari menutup hatiku dari
wajahnya.
Lalu setitik butiran bening
mengalir di pipi Raina.
“Oh.. jangan menangis, Raina. Tak akan kubiarkan lagi air mata kepedihan
membasahi hati dan matamu. Aku ada disini karena aku menyayangimu. Apa dan
bagaimanapun kamu. Aku jatuh cinta pada sepotong hati yang murni, bukan pada
seorang dewi yang begitu sempurna. Setahun sudah kamu menghindariku, dan aku
tak akan mengijinkan hal itu lagi. Percayakan hatimu padaku Raina, dan akan kubawa
kau ke suatu tempat, yang hanya kita yang tahu.”
Suara angin berdesir syahdu …
“Tempat biasa…”, kataku penuh perasaan.
Uluran tanganku memintanya,
Raina menyambut tanganku,
tersenyum dan menyeka air matanya…. dan kami berlari kembali, menuruni tebing
pasir, di desa terindah tempat kami tinggal.
-------
(terinspirasi lagu "somewhere only we know" Keane)
Langganan:
Postingan (Atom)