Wahai Insan, tak lelahkah kau berangan?

Pelacur dan Pelacuran Akademiknya

Kado dari Mati Ragaku




Tentang hujan

#tentang hujan (1)

Aku tak pintar menakar cuaca,
Ku biarkan rintik pesonamu
Berulang ulang menghujani ku,
Hanya sekedar  berharap,
sebaris pelangi indah
Tergambar seusainya

Tapi kau datang terlalu bertubi,
Membanjiriku
Menggenangiku

selalu saja,
Aku tak berdaya
Untuk tidak
tenggelam
makin dalam

dan terhanyut,
Makin larut

(3 Januari 2020)










Pujian dan Ujian

Pujian dan Ujian
Pujian dapat menjerumuskan
Pabila disikapi dengan jumawa
Sedangkan ujian dapat menyelamatkan
Pabila disikapi dengan keikhlasan atas ketetapan Tuhan

Pujian dan Ujian
Keduanya sama-sama di uji
Sesiapa yang mampu menjalani
Kan tampil sebagai Hamba-Hamba yang di Ridhoi

Pujian dan Ujian
Dua kata yang dibedakan hanya oleh konsonan P
Sesiapa yang tidak mampu menjalani
Ia kan menuai konsekuansi

Semoga diri ini senantiasa selamat dalam menghadapi pujian maupun ujian

GNWN/03012020

When I'm Sixty Four*


“Ti[1], Aung[2] subuhan ke masjid ya, assalamu’alaikum” pamit Aung kepada Uti. Sudah jadi kebiasaan Aung sejak bertahun yang lalu untuk sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumah mereka. Dulu sih tidak rutin, sesempatnya Aung saja, tapi semenjak pensiun Aung rutin setiap subuh ke masjid, kecuali ada uzur yang tidak bisa dihindarkan. “wa’alaikum salaam, iya Ung, tiati” sahut Uti yang sedang bersiap-siap juga untuk sholat subuh. Begitulah rutinitas Aung dan Uti di pagi hari. Selepas dari masjid biasanya Aung akan menyempatkan diri jogging 30-40 menit atau sekedar mengajak Uti jalan pagi keliling komplek perumahan mereka. Di usia-nya yang 64 tahun Aung masih terlihat segar dan atletis. Tidak heran, karena semasa muda Aung terkenal rajin berolahraga sepeda dan lari. Sampai sekarang aktivitas tersebut masih tetap dilakukan walaupun dengan intensitas rendah. Uti yang hanya berbeda 4 tahun dari Aung juga masih terlihat segar. Selain jalan pagi bersama, Aung juga sering mengajak Uti bersepeda bersama komunitasnya. Kalau sedang malas, biasanya Uti dibonceng Aung dengan sepeda tandem-nya.

***
Aung dan Uti mempunyai 2 orang anak perempuan yang sudah berkeluarga; Audy dan Hana. Mereka tinggal tidak jauh dari rumah Aung – Uti. Pada saat masih aktif Aung sengaja membelikan mereka rumah yang berdekatan supaya kalau Aung – Uti rindu gak perlu jauh-jauh. Letak rumah mereka yang tidak berjauhan juga menguntungkan buat Audy dan Hana karena mereka bisa menitipkan anak-anaknya ke rumah Aung – Uti. Lebih aman dan lebih tenang dibandingkan harus menitipkan anak-anak ke asisten rumah tangga atau ke day care. Aung – Uti pun dengan senang hati dititipin cucu-cucu yang lucu dan cerewet. Bahkan hampir setiap hari Aung lah yang bertugas mengantar jemput sekolah cucu-cucunya. Rutinitas lain di pagi hari sebelum Aung – Uti sibuk dengan  kedai kopi kecil milik mereka.

***
Memiliki kedai kopi adalah cita-cita Aung sejak lama, namun baru terealisasi beberapa tahun sebelum Aung purna bhakti. Kedai kopi itu sederhana saja. Letaknya masih di sekitar komplek perumahan mereka. Kedai tersebut buka di pagi hari setelah Aung selesai mengantar cucu-cucunya ke sekolah. Aung sendiri yang menjadi barista-nya, sementara Uti yang akan membuatkan menu sarapannya. Menu sarapan yang dibuat Uti juga sesuai dengan keinginan Uti hari itu, sehingga kedai kopi tersebut tidak memiliki menu makanan tetap. “biar tidak bosan” alasan Uti. Seperti hari ini, Uti membuat sandwich telor sebagai menu sarapan, sementara Aung siap dengan americano atau cappucino. Sama sekali tidak ngoyo, karena memang kedai kopi ini hanya untuk mengisi kegiatan Aung – Uti. Kedai kopi biasanya tutup siang hari karena Aung harus menjemput cucu-cucu-nya, dan Uti biasanya istirahat siang atau pergi ke majelis taklim bersama teman-teman pengajiannya. Kedai akan buka kembali menjelang sore sampai menjelang waktu maghrib.

***
Audy, anak tertua mereka, berprofesi sebagai dokter gigi. Sudah memiliki klinik sendiri, yang meskipun tidak terlalu besar tapi cukup ramai. Sementara Hana, keukeuh dengan cita-cita masa kecilnya: menjadi komikus dan penulis. “kan bakatnya turun dari Papa “ begitu selalu kilahnya ketika ditanya mengapa memilih profesi tersebut.

***
“Waduh enak kali tidurmu ya…!?” suara Pak Direktur tiba-tiba menggelegar. Aku tergagap kaget. Tidak sadar headset masih terpasang di telinga:

When I get older losing my hair
Many years from now
Will you still be sending me a Valentine
Birthday greetings bottle of wine
If I'd been out till quarter to three
Would you lock the door
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
You'll be older too
And if you say the word
I could stay with you
I could be handy, mending a fuse
When your lights have gone
You can knit a sweater by the fireside
Sunday mornings go for a ride
Doing the garden, digging the weeds
Who could ask for more
Will you still need me, will you still feed me
When I'm sixty-four
Every summer we can rent a cottage
In the Isle of Wight, if it's not too dear
We shall scrimp and save…[3]


*Judul lagu The Beatles


[1] Uti atau Eyang Putri, nenek dalam bahasa Jawa
[2] Aung atau Eyang Kakung, kakek dalam bahasa Jawa
[3] When I’m Sixty Four, The Beatles


What hurts you today, makes you stronger tomorrow, nak ...





Sebelum mimpi usai, tikam lah dia tepat di jantungnya

Pada tidur siang ku,
Aku bermimpi

Tentang sekelompok  kaum beruntung
Yang nasibnya terlihat buntung
Karena otaknya yang mewah
Terbungkus mental sampah

Hidupnya  yang sejatinya indah,
Ternampak semata  kisah susah,
mulutnya nyinyir tersumbat nanah
Lantunkan kidung sumpah serapah

banyak habis waktunya mengais ilmu,
matanya cekung jelajahi buku.
sekolah terbaik di banyak penjuru
jadi tujuan tempat berguru

Tapi kepalanya sesak  pikiran dungu,
Ijazah dan gelar pikirnya darah biru
Sebuah hak untuk menjadi pendahulu
Segala kemudahan di tujuh penjuru

Berdekat pejabat menjadi lagu
Menjilat bersih tiada jemu
Meminta jabatan tanpa malu
Menginjak pesaing  tiada ragu

Sekali waktu orang lain maju dahulu
Remuk redam dadanya bagai di palu,
Berbisik bisik dia di balik pintu,
Menyebarkan gibah dan isu
"pemimpin-pemimpin telah diintervensi
Mengambil jalan keliru,
Memilih orang yang tak cakap untuk mengampu"

Mungkin wajar
Ijazah dan gelar dari tempat tenar,
membuat kepala sedikit  besar
Maka sehari hari dia belajar
Bagaimana berlaku selayaknya tuan besar,
Kerja nya hanya koar koar,
Tak peduli dan mencoba tahu
Banyak pernik kecil harus di takar
Banyak  kelok jalan harus di sasar,

Pikirnya hal- hal remeh dan tak besar
Adalah tugas klerikal para buruh kasar
lulusan sekolah dan perguruan kelas pasar,
kepala nya hanya untuk  memikirkan hal strategis dan lebih mendasar

Dalam bergaul dia pilih teman,
Harus sepadan atau punya jabatan
Yang lain akan dibaikan
Dagunya terangkat saat berjalan,
Jaga martabat yang dia pikirkan,

Seolah olah lantang berkata
"Jangan sapa aku kaum sudra,
Karena aku  kesatria,
pulang dari candradimuka
Aku hanya mau bicara dengan orang setara ,
atau pejabat level di atas nya
Gelar kusandang luar biasa,
Tak sembarang orang bisa meraihnya
Senyum dan sapa ku bagi terbatas,
Agar citra wibawa tetaplah bernas"

Mungkin suatu ketika nanti,
Kau juga akan bertemu dengannya
pada sebuah mimpi,
Di tidur siang mu


Sebelum mimpi usai,
Tikamlah dia tepat dijantungnya
Agar tak menjelma
Menjadi salah satu teman 
Yang duduk di samping meja kerjamu


(Ujung Harapan, 2 Januari 2020)