Istirahatlah Tuan
Duhai tuan
Hujan baru saja reda
Sedang engkau sibuk mengeja yang fana
Sadarkah kau jika cahayamu sirna
Seiring usia yang tak lagi sama
Istirahatlah tuan
Simpanlah angan
Helai demi helai rambutmu
Terwarnai dunia semu
Hujan baru saja reda
Sedang engkau sibuk mengeja yang fana
Sadarkah kau jika cahayamu sirna
Seiring usia yang tak lagi sama
Istirahatlah tuan
Simpanlah angan
Helai demi helai rambutmu
Terwarnai dunia semu
Tuhan, akankah kau tunda kematian Hamba-MU?
Dalam sekat lorong ruang ICU
wajah pias menyatu
Tatapan sayu hadirkan jemu
seolah bahagia tercerabut dari tandusnya sang waktu
Satu dua napas tersengal
Mesin kehidupan berkoar bersahutan
Kelopak mata terkatup
Tak ada gairah
Yang ada hanyalah pasrah
Tuhan, akankah kau tunda kematian Hamba-MU?
wajah pias menyatu
Tatapan sayu hadirkan jemu
seolah bahagia tercerabut dari tandusnya sang waktu
Satu dua napas tersengal
Mesin kehidupan berkoar bersahutan
Kelopak mata terkatup
Tak ada gairah
Yang ada hanyalah pasrah
Tuhan, akankah kau tunda kematian Hamba-MU?
Seporsi Mie Goreng Dingin, Pagi Itu
Jam tangan usang warna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kananku menunjukkan waktu pukul 08.55 wib. Aku melangkahkan kaki menyusuri koridor ruang instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit pemerintah tipe A menuju pintu keluar. Ku sapu pandangan ke kanan, kiri, depan, mencari tempat nyaman untuk sekedar melepaskan penat.
Tak perlu waktu lama, aku menemukan lokasi beristirahat, sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari halaman gedung ICU. Aku duduk disebuah kursi besi warna warni pelangi, dibawah pohon rindang yang menaungi beberapa keluarga pasien yang sudah duduk sebelum aku tiba. Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Kemudian, ku buka resleting tas dan mengeluarkan sebuah tempat makan plastik.
Di dalam wadah makanan tersedia mie goreng bercampur nasi putih yang sudah mulai terasa dingin. Ku baca Basmallaah kemudian mulai memakannya sedikit demi sedikit meski pada suapan pertama, menu makanan yang sudah di lumat mulutku terasa sukar untuk melintasi rongga leher.
Beberapa detik kemudian, aku merasakan aliran air yang terasa hangat merayap dari kelopak mataku, aku menangis.
Malam itu, aku bahagia sekali ketika menatap layar ponselku yang menyala karena kiriman pesan singkatmu, "Gimana besok pagi, jadi kan kita ketemu di depan minimarket simpang jalan? Ku jawab isi pesanmu dengan huruf kapital, menandakan betapa antusiasnya diriku untuk berjumpa denganmu, "JADI DOONGGG", disusul emoticon love.
Waktu beranjak naik, sudah pukul 10 malam namun mataku tak mau terpejam. Entah karena rindu yang menggebu atau karena secangkir kopi susu dingin yang ku minum 1 jam sebelumnya. Yang pasti, hatiku sedang berbunga-bunga.
Dia adalah sosok wanita pujaan. Menatap wajahnya meruntuhkan pertahanan jantungku. Tutur katanya ibarat air sejuk pegunungan himalaya yang mengaliri setiap dahaga. Ia adalah bunga kampus, yang kehadirannya selalu mencuri perhatian. Dan aku, adalah pria beruntung yang meraih cintanya dalam sebuah perjuangan panjang.
Pukul 12 malam, kedua mataku masih tak mau terpejam. Lantas, aku melangkah menuju kamar mandi tuk berwudhu, kemudian tak berapa lama 2 rakaat shalat sunnah syukrul wudhu aku lakukan. Beberapa menit kemudian, aku membaringkan tubuh dan perlahan menutup kedua mataku, pulas.
Kriiiiiinnggggg....... Alarm jam meja belajar disamping tempat tidurku berbunyi kencang. Perlahan kubuka kedua mataku kemudian bangkit dari tempat tidur dan mematikan alarm. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Dari speaker masjid yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari kos-anku terdengar suara marbot masjid sedang melantunkan ayat suci alqur'an. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian bersiap-siap menuju ke masjid.
Ketika hendak membuka pintu kamar, layar ponselku menyala, ada notifikasi pesan darinya, kamu sudah bangun? Sudah siap-siap ke masjid kan?. Sebuah emoticon senyum terkirim kemudian, "Alhamdulillaah, ini baru aja mau buka pintu kamar. Aku shubuhan dulu ya...", disusul emoticon senyum.
Selesai melaksanakan ibadah shalat shubuh, aku bersegera kembali ke kamar kos untuk berganti pakaian. Pakaian spesial yang telah aku persiapkan untuk bertemu dengan sang pujaan. Selesai berpakaian, aku menuju dapur kecil di sudut kamar, mengambil dua bungkus mie goreng kesukaannya kemudian memasaknya hingga matang. Mie goreng yang telah matang, aku simpan di dalam wadah plastik, kemudian aku masukkan kedalam tas slempang. Aku dan dia sudah berjanji untuk menyantap bersama mie kesukaannya ketika bertemu nanti.
Waktu menunjukkan pukul 05.30 pagi, udara terasa sejuk menyelimuti. Ku raih ponsel dari saku kemeja, kemudian mengirim pesan, "Bismillaah...aku jalan ya, sampai jumpa...kamu hati hati di jalan ya...".
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan jawaban terkirim, "iya...kamu juga hati-hati di jalan ya".
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan jawaban terkirim, "iya...kamu juga hati-hati di jalan ya".
Beberapa waktu kemudian, aku berdiri di pinggir trotoar depan kos-an yang telah aku sewa semenjak masuk di perguruan tinggi setempat.
Tak berapa lama, sebuah angkot berhenti di depanku, sang sopir menyapaku menawarkan jasanya. Tanpa berpikir panjang, akupun menaikinya. Waktu temluh dari lokasi kos ku dengan lokasi yang telah kami sepakati hanya berkisar 35 menit. Jam tangan menunjukkan waktu 06.10 pagi. Angkot yang aku naiki berhenti tepat di trotoar depan halaman minimarket yang telah dijanjikan. Setelah membayar ongkosnya, aku berdiri di trotoar, menatap seberang jalan. Orang yang aku cari belum tiba. Akupun mengeluarkan ponsel dari saku kemeja kemudian mengirim pesan, "Alhamdulillaah aku sudah tiba, kamu sudah sampai mana?".
Beberapa detik kemudian pesan jawaban terkirim, "Alhamdulillaah, maaf aku telat, tapi sudah dekat kok. Terimakasih ya sudah sabar menunggu". Aku pun menjawab isi pesannya, "gak apa kok, aku juga baru aja tiba".
Beberapa menit kemudian, sebuah angkot di seberang jalan berhenti. Aku memperhatikan dengan seksama. Betapa bahagianya hatiku, karena orang yang aku tunggu dengan sepenuh hati tiba, dia melambaikan tangan. Tanpa membuang waktu, akupun berteriak kepadanya, "Tunggu disana, aku akan jemput kamu".
Namun sepertinya, ia tak menghiraukan teriakanku, tanpa berpikir panjang ia segera melangkahkan kaki menyeberang jalan menuju ke arahku, dan............brakkk, dia terpental beberapa meter dengan kening membentur dinding trotoar jalan, kemudian hari terasa gelap seakan awan pekat menggelayut di langit kebahagiaan.
Kisah Tentang Hati (Cinta Monyet)
Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum pisau tajam terhunus dibalik punggung.
Hati manusia tak ada yang tahu
Wajah tersenyum hati menangis tersedu-sedu menahan perih.
Hati manusia tak ada tahu
Wajah tersenyum tubuh penat luluh lantak menahan lelah.
Aku tak pernah tahu apakah ini cinta atau nafsu sesaat. Apakah kasih atau sekedar ingin memiliki. Senyummu terbayang disaat aku lelah. Tawamu yg renyah sayup-sayup terngiang di lorong sekolah, menoleh lalu kecewa. Suara manjamu memanggil nama kecilku ketika berjalan keluar sekolah. Kali ini aku tak menoleh karena aku tahu kamu tidak masuk sekolah.
Kamu sudah ada yang punya namun berulang kali kau bilang sayang pada ku. Kita berbincang berjam-jam di telepon berlempar canda dan membicarakan dunia entah untuk apa. Hari itu sebulan selepas kelulusan. Entah berapa kali ku telepon rumah mu. Berdering namun tak dijawab, dijawab namun kamu tak pernah ada. Mungkin adik mu sudah lelah menjawab telepon ku, berbohong bahwa kamu tidak di rumah. Aku pun terdiam lalu terisak. Apa salah ku?
Thai Tea
Dentingan kecil terdengar dari hp ku. Mas besok pesawat jam berapa? Tanyamu. Kala itu sore, menjelang setengah lima.
Beberapa laman kerja masih terbuka di layar monitorku. Setidaknya 2 nota harus naik sore ini. Ku ketuk ponsel ku. Menyingkirkan pesan. Mencari namamu. 5m. Sip, sudah saatnya ku membalas.
Jam 2 take off, baiknya Mas ke damri Gambir jam berapa ya? Tanyaku. Ga tertarik nyoba kereta bandara Mas? Balik mu bertanya. Ku jeda lagi sesaat, menunggu beberapa menit, untuk kembali membuka pesan mu.
Kembali jemariku menari di atas papan ketik usang kelahiran 2010-an. Menyelesaikan kata demi nota. Ku ketuk lagi ponselku. Menyingkirkan pesan. Mencari namamu. 9m. Hm...tanggung, 1 menit lagi deh.
Mas belum pernah, ntar nyasar. Disertai emoji tertawa. 1 menit, 3 menit, berlalu. Baru ku lihat typing-mu di menit ke 8. Ya ampuun, kayak anak tk aja Mas, nyasar. Diikuti emoji mencibir. Aku tersenyum. Membayangkan mu mencibir seperti itu. Ah, mungkin aku mulai gila.
Ku singkirkan kembali pesan-pesan yang tak ku butuhkan. Mencari namamu. 6m. Biar Mas ga nyasar, kenapa gak temani Mas sekalian? Hehe. Awalnya ku bercanda. Ternyata.... Ah. Sepertinya ku benar-benar gila.
Mas otw, udah di gojek. Sampai jumpa di sana ya. Buru-buru sekali ku berangkat. Khawatir kau menunggu. 9.30, ku sudah di tempat. Lebih awal 20 menit dari waktu yang disepakati.
Sudah 2x ku bolak balik toilet. Bercermin. Merapikan rambut. Membasuh muka. Oke, kau sudah ganteng boy. Pede ku pada sosok seberang cermin.
Ku beralih duduk. Memeriksa ponsel. Tak ada pesan dari mu. Assalamulaikum, Mas, udah dari tadi? Sapamu ramah sembari tersenyum. Aku gelagapan.
Udah sarapan? Tanyaku. Belum, tadi beli roti doang di alfamart, khawatir Mas menunggu. Ujarmu. Jadilah pahlawan, boy. Hatiku berbisik. Ku amini. Lantas berdiri. Memesan kopi, dan roti.
Ku ingin waktu berhenti. Sedikit sesal memesan penerbangan terlalu dini. Mendengarmu bercerita, hatiku kehilangan darah, berganti bunga. Apakah ku bermimpi?
Kita berganti angkutan, menggunakan kereta layang. Menuju terminal 2D. Masih 3 jam sebelum lepas landas. Adzan berkumandang. Mas kita sholat dulu yuk ntar. Oh Tuhan. Senyum mu, membuat ku gelagapan. Lagi.
Mau makan siang nggak? Tanyaku. Kau hanya mengangguk. Mau dimana?. Terserah, asal jangan fastfood. Ujarmu. Oke, Solaria aja. Putusku.
2 jam sebelum check-in ditutup. Kau bercerita banyak hal. Sembari memilih menu makan siang. Nasi goreng seafood, dan teh manis anget menjadi pilihanmu. Pilihanku?
Kita membahas beragam hal. Berganti topik dari satu ke yang lain. Mulai dari Ojt, pertemuan pertama di lantai 12, latsar, temanmu yang menyempatkan jauh-jauh datang dari Toli-Toli, hingga rencana tahun baru di Solo.
Udah waktunya check-in, Mas. Ucapmu sembari membalik sendok dan garpu. Iya. Tanggapku. Thai tea Mas kok ga dihabisin? Ku tersenyum. Hayuk. Sembari menyeret langkah menuju pintu 3.
Duhai, ingin sekali ku bertanya, manismu terbuat dari apa? Bahkan thai tea ku pun tak percaya diri di hadapanmu. Kau hantar ku ke pintu batas. Melambaikan tangan. Salam perpisahan. Di kejauhan kau berbisik, sampai jumpa 2 Januari.
Melambai, lantas berbalik.
Ah, kau belum benar-benar pergi. Tapi ku sudah rindu.
Jakarta, 21 Desember 2019.
Cerita Daun dan Cinta (cuma fiksi)
Gayung berwarna hijau menyala itu masih tergenggam erat olehku, saat tiba-tiba tubuh ini mematung memandang beberapa sentimeter di depan sana. Dedaunan yang sebelum berangkat kerja kemarin masih tampak malu-malu, kini sudah gagah membentangkan lembaran hijaunya. Mungkin saat itu orang-orang yang sedang lewat bisa melihat betapa mulutku menganga tak berdaya. Kulihat ada seekor semut yang ikut merayakan dengan berlari-lari kegirangan di atas permukaan daun-daun yang menjuntai.
Aku memang baru pertama kali menanam pohon dari usia dini. Bibitnya pun diperoleh dari hasil kondangan salah satu rekan kantor istri. Aku benar-benar takjub melihat sebuah tumbuhan yang dari dulu kuanggap makhluk hidup paling tidak lucu, pagi ini membuktikan bahwa mereka benar-benar hidup. Mereka menampilkan suguhan pagi tentang cerita dedaunan dari kecil hingga benar-benar berbentuk daun. Air yang kusiramkan ke tanah tadi benar-benar jadi minuman segar untuk menopang pertumbuhan mereka. Ah, tak terasa kudengar hati ini berbisik, "benar-benar norak saya".
Bisa kurasakan sesaat kemudian pipiku tertarik beriringan dengan suara gelak tawa pelan. Aku yang masih berdiri membeku malah melanglang ke dalam sebuah lamunan. Pikirku, daun-daun yang tumbuh ini mirip sekali dengan cinta. Dua-duanya sama-sama tumbuh perlahan dari tidak ada hingga tampak nyata. Daun yang menghijau itu menunjukkan pohon jambunya masih hidup. Begitu pula dengan cinta yang menjadi tanda seorang manusia masih bernafas. Belum lagi saat hujan turun, daun-daun ini hanya bisa pasrah dibasahi air hujan. Identik sekali dengan cinta saat turun hujan, hanya bisa pasrah dibasahi oleh derasnya kenangan.
Saat masih larut dalam belaian dedaunan cinta, tiba-tiba tercium wangi bawang yang sedang ditumis. Tak lama kemudian aroma telur yang digoreng menambah semerbak hingga ke halaman. Bebauan itu seketika membuatku kembali dari lamunan menjemput kenyataan. Sepertinya sang cinta memanggilku dengan caranya. Aku tahu hidangannya belum tentu nikmat, tapi yang pasti cintanya akan ikut tertelan dan melekat di relung hati yang bersekat.
"Baik cinta, aku segera datang!" teriakku setengah lantang menyambut panggilan sedapnya bawang dan wanginya telor dadar.
"Ih, siapa yang panggil om!" tak dinyana anak kecil sebelah rumah yang bernama Cinta sudah ada di belakangku. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. Aku sama sekali tak menyadari keberadaannya. Maklum kami tinggal di rumah kontrakan yang jarak dengan rumah tetangga seperti amplop dan perangko. Jadi bukan hal yang mengherankan jika orang tiba-tiba sekelebat muncul, bahkan kadang makhluk tidak menempel tanah juga sesekali nimbrung.
Sontak aku tersenyum bingung dan sambil menggaruk kepala mencoba menjelaskan kepadanya, "Eh iya, bukan, om sedang bicara sama tante di dapur."
"Dari tadi aku gak denger ada suara tante manggil," balasnya polos, "lagian sejak kapan tante Lilis ganti nama jd Cinta om?"
Otakku yang sudah terbuai campuran daun cinta dan telor dadar seolah tak mampu lagi mencari jawaban yang tepat untuk Cinta. "Hmm, ngga jadi kok sekarang namanya uda jadi tante Lilis lagi," jawabku sekenanya.
"Om, om, pagi-pagi uda ga jelas aja, pantes pake baju aja masih kebalik," selorohnya sambil menunjuk kaos singletku yang bagian dalamnya kukenakan di luar.
Dari tadi malam aku memang sudah sadar kaos singletku terbalik, tapi karena menjelang tidur jadi kubiarkan saja. Tak kusangka gara-gara itu, pagi ini aku di-bully anak kelas dua SD. "Ini memang sengaja dipakai kebalik, supaya bagian dalamnya ga kotor," kucoba memberikan argumen yang sedikit ilmiah.
"Ngeles aja om, kaya babang gojek," jawab Cinta sambil melengos pergi. Tak lupa dia kibas-kibaskan uang dua ribu yang dia bawa untuk jajan sebagai tanda perpisahan.
"Urusan telor dadar kenapa jadi ribet banget gini," sungutku dalam hati, "apes bener dah."
- berlanjut insya Allah -
Aku memang baru pertama kali menanam pohon dari usia dini. Bibitnya pun diperoleh dari hasil kondangan salah satu rekan kantor istri. Aku benar-benar takjub melihat sebuah tumbuhan yang dari dulu kuanggap makhluk hidup paling tidak lucu, pagi ini membuktikan bahwa mereka benar-benar hidup. Mereka menampilkan suguhan pagi tentang cerita dedaunan dari kecil hingga benar-benar berbentuk daun. Air yang kusiramkan ke tanah tadi benar-benar jadi minuman segar untuk menopang pertumbuhan mereka. Ah, tak terasa kudengar hati ini berbisik, "benar-benar norak saya".
Bisa kurasakan sesaat kemudian pipiku tertarik beriringan dengan suara gelak tawa pelan. Aku yang masih berdiri membeku malah melanglang ke dalam sebuah lamunan. Pikirku, daun-daun yang tumbuh ini mirip sekali dengan cinta. Dua-duanya sama-sama tumbuh perlahan dari tidak ada hingga tampak nyata. Daun yang menghijau itu menunjukkan pohon jambunya masih hidup. Begitu pula dengan cinta yang menjadi tanda seorang manusia masih bernafas. Belum lagi saat hujan turun, daun-daun ini hanya bisa pasrah dibasahi air hujan. Identik sekali dengan cinta saat turun hujan, hanya bisa pasrah dibasahi oleh derasnya kenangan.
Saat masih larut dalam belaian dedaunan cinta, tiba-tiba tercium wangi bawang yang sedang ditumis. Tak lama kemudian aroma telur yang digoreng menambah semerbak hingga ke halaman. Bebauan itu seketika membuatku kembali dari lamunan menjemput kenyataan. Sepertinya sang cinta memanggilku dengan caranya. Aku tahu hidangannya belum tentu nikmat, tapi yang pasti cintanya akan ikut tertelan dan melekat di relung hati yang bersekat.
"Baik cinta, aku segera datang!" teriakku setengah lantang menyambut panggilan sedapnya bawang dan wanginya telor dadar.
"Ih, siapa yang panggil om!" tak dinyana anak kecil sebelah rumah yang bernama Cinta sudah ada di belakangku. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. Aku sama sekali tak menyadari keberadaannya. Maklum kami tinggal di rumah kontrakan yang jarak dengan rumah tetangga seperti amplop dan perangko. Jadi bukan hal yang mengherankan jika orang tiba-tiba sekelebat muncul, bahkan kadang makhluk tidak menempel tanah juga sesekali nimbrung.
Sontak aku tersenyum bingung dan sambil menggaruk kepala mencoba menjelaskan kepadanya, "Eh iya, bukan, om sedang bicara sama tante di dapur."
"Dari tadi aku gak denger ada suara tante manggil," balasnya polos, "lagian sejak kapan tante Lilis ganti nama jd Cinta om?"
Otakku yang sudah terbuai campuran daun cinta dan telor dadar seolah tak mampu lagi mencari jawaban yang tepat untuk Cinta. "Hmm, ngga jadi kok sekarang namanya uda jadi tante Lilis lagi," jawabku sekenanya.
"Om, om, pagi-pagi uda ga jelas aja, pantes pake baju aja masih kebalik," selorohnya sambil menunjuk kaos singletku yang bagian dalamnya kukenakan di luar.
Dari tadi malam aku memang sudah sadar kaos singletku terbalik, tapi karena menjelang tidur jadi kubiarkan saja. Tak kusangka gara-gara itu, pagi ini aku di-bully anak kelas dua SD. "Ini memang sengaja dipakai kebalik, supaya bagian dalamnya ga kotor," kucoba memberikan argumen yang sedikit ilmiah.
"Ngeles aja om, kaya babang gojek," jawab Cinta sambil melengos pergi. Tak lupa dia kibas-kibaskan uang dua ribu yang dia bawa untuk jajan sebagai tanda perpisahan.
"Urusan telor dadar kenapa jadi ribet banget gini," sungutku dalam hati, "apes bener dah."
- berlanjut insya Allah -
Pohon Pinus
Pinus
tak bosan
dengan pertanyaan klise,
seperti
"mengapa daunnya tidak seperti
daun?" atau
"mengapa pohonnya tidak menghasilkan
bunga dan buah?"
atau
"mengapa dahannya tidak bisa
dipanjat?"
atau
"mengapa bentuknya aneh tidak bisa untuk berteduh?"
Pohon pinus tahu ia tidak perlu
menghiraukan pertanyaan-pertanyaan itu
sebab takdirnya memang bukan begitu
Sebab masanya bukan di situ
Ketika tiba masanya di musim dingin
Ketika semua
berubah
putih dan membeku
Pohon pinus hadir memberikan arah
dengan warna gelap yang kontras, postur bagai safety cone
tinggi menjulang ia jadi penanda jalan
Dahan pinus tak membentang seperti
beringin
yang mampu menahan derasnya hujan
Namun ia
adalah seumpama benteng
Menahan beku dan bisingnya angin dari utara
Sejak lama pohon pinus memahami takdirnya
untuk dapat dicintai dan dimengerti
tak perlu ia berubah lembut dan ceria seperti
pohon ceri
atau dramatis dan atraktif seperti
pohon maple
Sejak semula,
pohon pinus memahami
untuk dapat
dicintai dan dimengerti
Ia hanya
menjadi dirinya sendiri
Langganan:
Postingan (Atom)