Rasanya sudah belasan kali telepon pintar Izzam bergetar. Ia tahu itu panggilan masuk, namun begitu enggan untuk beranjak dari kasur kusam yang sudah Ia tiduri selama 4 tahun terakhir. Di lantai dasar asrama, samar-samar terdengar gelak tawa para santri. Berebut bermain tenis meja. Turnamen kecil-kecilan setiap akhir pekan. Siapa saja yang keluar sebagai pemenang, berhak tidak piket selama seminggu.
Kamar ukuran 3x3 meter itu perlahan sumuk. Kipas angin kecil yang sedari tadi tengok kanan-kiri tak kuasa melawan rambatan panas mentari yang kian meninggi. Izzam melirik dinding, jam setengah 10 pagi. Perlahan Ia duduk, bersender pada dinding, lantas merenggangkan kaki dan tangannya sembari menguap. Ah, sepertinya pemuda tanggung itu kelamaan tidur.
ngiing...ngiiing…
Gawai Izzam kembali bergetar. Sekali, dua kali, tiga kali, lantas mati. Sejurus kemudian kembali bergetar. Huft. Enggan sekali rasanya berdiri. Entah kenapa, semakin lama tidur, tubuhnya justru semakin lelah. Dengan merangkak dan sedikit mengangkat tubuh, susah payah Ia menggapai hape yang berada di atas meja belajarnya. Begitu malas. Padahal, meja belajar tersebut berada tepat di sebelah kasurnya, yaah meski sedikit agak tinggi.
"Halo, Assalamulaikum"
"Ha ndak ka ba angkek telpon Bunda bujaang?", omel wanita paruh baya di seberang telepon.
"Mbok salamnya dijawab dulu, Amaaay"
"Oh iya, hehe. Waalaikumussalam. Ha jadi kenapa telpon Bunda ga diangkat dari tadi?"
"Tadi ketiduran Nda, habis kajian, nyampe kamar langsung tepar. Hehe"
"Ondeh mandeh anak bujaaang.. @&_+#;'!#)#/&+*;:......", celoteh Emak Izzam tanpa henti.
"Hmm, sepertinya tausiah ini akan lama", gumam Izzam. Dari dulu Bunda memang begitu, paling jengkel kalau mendapati anak-anaknya cuma bermalas-malasan apalagi tidur-tiduran di pagi hari.
Izzam beringsut, mencari udara segar. Masih mengenakan sarung, Ia beralih ke jemuran di ujung lorong asrama. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah kusut Izzam. Sesekali memainkan poninya yang sudah panjang. Semenjak menyandang gelar "pengangguran" 7 bulan lalu, Ia tidak sekalipun memangkas rambutnya.
"Sampun Mas turu ne?", sapa Sigit dari ruang perpustakaan. Akhir-akhir ini pemuda kelahiran Karanganyar yang merupakan teman sekamar Izzam itu terlihat sering me-murajaah hapalannya. Meski usia mereka terpaut 2 tahun, tapi semangat hijrah Sigit jauh melebihi izzam.
Izzam melambai tangan mengabaikan, kemudian berlalu.
"Jadi apa yang ingin Abang lakukan sekarang? Udah 7 bulan semenjak kelulusan Abang", tanya Bunda.
Izzam terdiam sejenak, menatap biru langit tanpa awan, menggapai patahan hanger yang tergeletak di lantai, sembari memukul-mukul ringan salah satu tiang jemuran.
"Bunda ingin abang melakukan apa, Nda?", Jawab Izzam.
"Bunda terserah Abang. Ingin jadi apa Abang, itu hak nya Abang. Ayah Bunda cuma bisa mendoakan dan mendukung Abang"
"Abang buntu, Nda"
"Cerita lah Nak"
“Abang ingin kerja Nda, pengen di perusahaan atau kantor pengacara”
“Terus?”, tanya Bunda di kejauhan.
“Kemaren Abang di telpon Kak Tua, beliau menyarankan lanjut kuliah. Kak Tua bilang, memulai karir dengan gelar master itu akan membuat karir cepat naik. Tapi Abang khawatir, Nda. Perusahaan BUMN misalnya, mereka ga butuh gelar master di bagian legal-nya. Buat apa mempekerjakan lulusan S2 kalau mereka bisa mendapatkan fresh graduate S1 dengan bayaran lebih murah. Coba lihat Bang Rul, dia lulusan S2 di kampus ternama. Tapi, begitu sulit baginya mendapat pekerjaan. Abang udah bilang sama Kak Tua, untuk saat ini yang Abang butuhkan hanyalah pengalaman. Setidaknya nanti dengan pengalaman itu, Abang punya posisi tawar yang lebih tinggi jika apply kerja di tempat lain. Kalau garis tangan Abang baik, toh mungkin saja perusahaan tempat Abang bekerja mau memberi beasiswa untuk lanjut kuliah S2. Banyak kok Nda kakak tingkat Abang yang seperti itu. Abang tidak ingin menjadikan S2 sebagai pelarian atas status pengangguran Abang saat ini Bunda. Tapi Kak Tua kayaknya ga sependapat dengan Abang”
“Emang Kak Tua bilang apa?”, tanya Bunda penasaran.
“Kak Tua bilang kalau Abang seperti hidup ga berTuhan, Nda”
“Eh, kok?”, sela Bunda.
“Soalnya abang begitu mengkhawatirkan hal-hal yang sudah dijamin oleh Allah, Nda. Kak Tua bilang jauh sebelum ruh kita dihembuskan, suratan takdir kita baik rezeki, jodoh, dan kematian sudah tertulis di lauhul mahfudz. Allah pasti tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya. Tapi Ndaa..", Izzam berhenti sejenak, nafasnya sedikit menderu, mencoba mengendalikan diri, kemudian melanjutkan.
"Beritahu Abang, Nda. Salahkah Abang jika takut tidak mendapatkan pekerjaan karena minimnya pengalaman, sementara gelar Abang sudah S2? Salahkah Abang jika ingin membalas sedikit dari jasa Bunda melalui gaji yang nanti Abang terima? Abang tidak ingin terus-terusan membebani Bunda dengan UKT yang begitu mahal. Memang Abang dapat tawaran beasiswa 50% untuk program internasional setelah lulus kemaren, tapi itu tetap saja berat Bunda. Belum lagi adek yang masih kuliah. Abang ingin meringankan beban Ayah dan Bunda. Salahkah Abang Bunda?”
Rasanya begitu banyak hal yang mengganjal di hati pemuda berdarah Minang tersebut. Di saat para santri asik dalam hiruk-pikuk turnamen, tertawa, saling membuli dan menyombongkan diri setiap memperoleh poin, Izzam tertunduk lesu di pojok lantai 2 asrama. Pikirannya melayang, melesat jauh ke masa lalu, memutar kembali potongan kenangan lama.
Kembali Ia saksikan, bagaimana perjuangan Ayah dan Bunda menguliahkannya. Potongan demi potongan kisah terputar otomatis dalam benak Izzam, layaknya film dokumenter. Momen pahit ketika Ayah jatuh, kehilangan pekerjaan disaat Izzam tengah berada di tahun akhir bangku SMA. Dua tronton yang saat itu menjadi sumber penghasilan utama Ayah raib, terlilit utang. Kapal tambang emas di hulu Sungai Batang Hari yang karam, lapuk dimakan air dan lumut sebab lama tak beroperasi terhalang izin pemerintah setempat. Kebun karet, yang dirampas begitu saja oleh pemuka adat, berdalih bahwa tanah tersebut adalah milik kaum. Padahal, Tuhan menjadi saksi telapak tangan Ayah, Bunda, dan Izzam yang melepuh karena terlalu lama memegang parang dan cangkul saat membuka lahan. Belum lagi perjuangan Bunda yang tak terbilang, menjadi tulang punggung kedua semenjak Ayah jatuh. Bunda yang rela menanam sendiri sayuran di belakang rumah, menjahit sendiri baju sekolah yang sobek, berjualan makanan ringan sembari mengajar murid SD, demi menabung untuk membayar uang kuliah putra-putrinya.
"Abang..", sapa Bunda lembut. Izzam diam, menunggu Bunda melanjutkan kalimatnya.
“Kekhawatiran abang itu suatu hal yang wajar, Nak. Bunda pun ketika seumur Abang juga mengkhawatirkan hal yang sama. Justru Abang sekarang beratus kali lebih beruntung dari Bunda. Abang lulus dari universitas yang cukup bagus, nilainya pun bisa dikatakan memuaskan. Sementara Bunda? Bunda hanya lulusan sekolah keguruan, Nak. Untungnya dulu orang-orang pada gak suka jadi guru, jadi Bunda bisa lulus. Bunda ga begitu pintar, Nak. Dulu profesi guru itu selain gajinya kecil, juga ga begitu dipandang oleh masyarakat. Abang tahu ga? Sebenarnya setelah Abang lahir, dulu Bunda sempat mau berhenti menjadi guru. Namun karena permintaan almarhum nenek, Bunda akhirnya bertahan. Ayah pun juga mendukung penuh. Bunda ingat betul pesan Ayah waktu itu, boleh jadi suatu saat nanti usaha Ayah jatuh, dan ketika hal itu terjadi anak-anak Bunda tidak terlantar sekolahnya. Dan qadarullah, kondisi kita sekarang persis seperti yang di bilang Ayah waktu itu kan? Artinya Abang, memang Allah sudah mengatur semuanya, tapi perlu diingat, beras tak akan menjadi nasi kalau tidak ditanak. Tawakal tanpa ikhtiar itu sia-sia, Abang. Pun sebaliknya, ikhtiar tanpa tawakal itu sombong. Nah tugas kita selaku hamba, menyeimbangkan keduanya”
“Jadi menurut Bunda, Abang harus bagaimana?”, tanya Izzam.
“Abang udah istikhoroh?”
“Belum, Nda”
“Istikhoroh lah, Nak. Setiap kali Abang akan memilih apapun, entah itu pekerjaan, sekolah, atau calon istri, selalu lah libatkan Allah. Nanti Allah akan kasih kode-kode biar Abang ambil jalan ini atau itu”
“Bagaimana Abang bisa tahu kalau itu kode dari Allah, Nda?”
“Hm.. mungkin saja dari mimpi, masukan-masukan dari Ustadz Abang, dorongan dari sahabat-sahabat Abang, dan dari keluarga juga tentunya”
“Jadih, Nda. Semoga nanti malam Abang bisa terbangun dini hari”, patuh Izzam.
“Tapi, Bang. Menurut Bunda, setiap peluang-peluang yang ada sekarang, coba lah. Karena ketika Abang memutuskan tidak mencoba, persentase keberhasilan Abang itu nol. Namun ketika Abang mencoba, persentase keberhasilannya menjadi 50-50. Ini yang tadi Bunda bilang ikhtiar, Nak”
“Maksud Bunda?”
“Abang coba saja semuanya, sembari Abang masukin lamaran ke berbagai perusahaan atau kantor pengacara, abang juga nyiapin berkas untuk S2 Abang. Mana yang nanti diterima, berarti itu yang terbaik kan?”
“Baik Nda, insyaAllah”
“Satu lagi, hmm… kalau boleh jujur, besar harap Bunda agar Abang ikut CPNS tahun ini. Kalau Abang tertarik. hehe”, ujar Bunda dengan sedikit bercanda.
“Abang sama sekali tidak bercita-cita jadi PNS, Nda”
(bersambung)
PegawaiBaru, catatan tahun lalu.