“Muka lu kenapa ditekuk gitu?” tanya Baron kepada Acep ketika mereka
makan berdua di kantin.
“Gue malu mau cerita,” walau Acep berbisik, Baron bisa mendengarnya
karena suasana kantin saat itu sedang sepi.
“Ya udah, nggak usah cerita,” Baron melanjutkan makannya.
Sejenak hening. Tak ada percakapan antara keduanya. Baron dan Acep
sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Baron makan dengan lahap sedangkan Acep
asyik menyeruput kopi hitamnya.
Setelah menghabiskan makanannya Baron bangkit dari duduknya. Acep menuangkan
kopi dari gelas belimbing ke piring kecil yang jadi alas gelasnya.
“Gue duluan ya, ada kerjaan yang harus selesai siang ini,” Baron
pamit.
“Sebentar lah. Duduk dulu, ngapain juga buru-buru. Di ruangan juga
masih sepi kok,” Acep menahan Baron.
“Ngapain juga gue lama-lama di kantin, kasian yang mau makan nggak
kebagian kursi nanti.”
“Gue butuh temen buat cerita nih,” ujar Acep memaksa.
Terpaksa Baron duduk kembali di kursinya. Ia menunggu apa yang akan
diceritakan Acep.
“Gini, ron….,”
Baron diam menunggu kelanjutan dari perkataan Acep.
“Eh……,” Acep menggaruk kepalanya.
“Hati-hati ketombe lu masuk ke gelas!” setengah tertawa Baron mengingatkan.
“Gini, lu tau kan bini gue baru?”
Baron mengangguk. Terbayang muka Acep yang berseri-seri ketika
beberapa minggu yang lalu ia dengan bangga memamerkan istrinya yang masih muda.
Acep memang baru saja menikah setelah setahun ditinggal istrinya yang meninggal
dunia.
“Harusnya nih awal-awal nikah gini gue lagi mesra-mesranya sama
bini….,” Acep menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam.
“Tapi gue malah dapet siksaan..., semakin dalam Acep mengisap rokok.
“Emangnya lu dipukul? Wah gawat. Kayaknya lu harus mulai belajar
silat buat nangkis pukulan bini lu. Cari guru deh,” dalam hati Baron tertawa
terbahak-bahak melihat muka Acep yang semakin kusut.
Acep terdiam sejenak. Rokok pertama yang diisapnya sudah habis
menyisakan puntungnya.
“Sialan!”
“Kenapa Cep?”
“ Gue ngisep puntung rokok…,” tak kuasa lagi menahan, Baron ngakak
sejadi-jadinya. Air matanya sampai keluar.
“Lha gue yang sedih, kok lu yang nangis sih?” tawa Baron semakin lebar. Beberapa pengunjung
yang sudah mulai memenuhi kantin memandang ke arah Acep dan Baron dengan
pandangan heran.
“Tiap hari bini gue marah-marah terus. Ngata-ngatain gue terus.
Disentuh aja kagak mau. Kan ngenes nasib gue sebagai penganten baru,” Acep
melanjutkan ceritanya.
“Hmmm….,” Baron menunggu kelanjutan kisah Acep yang unik.
“Akhirnya hari Sabtu kemarin gue
ke orang pinter…,”
“Hah, dibawa ke kampus?”
“Bukanlah, emang gue mau daftarin bini gue kuliah, apa?”
“Lha kan di kampus banyak orang pinter,” Baron menahan geli.
Ternyata candaannya nggak sedikitpun merubah mimik muka Acep. Acep tetap serius
dan menampakkan wajah muram.
“Gue bawa ke dukun di Cijengkol. Kata orang-orang, dia dukun
terkenal. Jitu.”
*****
“Tolonglah Mbah, istri saya dikembalikan alam pikirnya,” Acep memohon
kepada Mbah Marbun yang duduk bersila dan tak berhenti batuk-batuk kecil.
“Ehm…ehm…ehm…,”
“Lagi batuk Mbah?” takut-takut Acep bertanya.
“Sembarangan. Jangan ngomong macem-macem di sini, nanti kualat. Mana
ada orang pinter se nusantara batuk, ehm…ehm…,” Acep memandang Mbah Marbun yang
melotot dengan rasa takut. Matanya seakan hendak loncat keluar.
Penampakan Mbah Marbun memang tidak seperti “orang pintar” pada
umumnya. Potongan rambutnya cepak dan kelimis. Rambutnya dicat warna warni
mirip Atha Halilintar. Anting-anting menghiasi salah satu telinganya.
Pakaian yang dikenakannya mirip dengan pakaian yang biasa dikenakan
boyband Korea yang digandrungi banyak ABG. Kaca mata hitam yang dikenakannya
seringkali melorot karena hidungnya tak mampu menahan dengan baik kacamatanya.
Dalam pandangan Acep apa yang dikenakan Mbah Marbun tak sesuai dengan warna
kulitnya yang gelap.
Ruangan praktek Mbah Marbun cukup luas. Terasa sejuk dengan AC model
terbaru. Tembok yang dicat warna ungu dan putih sangat kontras dan membuat
ruangan itu cukup nyaman bagi pengunjung. Di tembok menempel poster boyband dan
girlband dari Korea. Mbah Marbun ternyata penggemar Kpop juga.
“Istrimu punya pacar sebelum nikah sama kamu?” tanya Mbah Marbun
diantara hingar bingar suara lagu Korea yang tak dipahami Acep.
“Iya Mbah. Namanya Joma. Sebelum menikah dengan saya mereka masih pacaran,”
jawab Acep.
“Ehm…ehm…ehm….”
“Tuliskan nama dan tanggal, hari lahirmu juga istrimu di kertas
ini!”
Acep menuruti perintah Mbah Marbun. Setelah menerima kertas yang
ditulisi Acep, Mbah Marbun merendam kertas itu kedalam baskom yang berisi air.
Mbah Marbun mengusapkan ke mukanya beberapa kali.
Dalam hitungan menit, tiba-tiba bola mata Mbah Marbun menghilang dan
menyisakan bagian mata berwarna putih. Acep kaget. Ia agak menjauh dari posisi
duduknya.
Mbah Marbun berdiri. Tubuhnya mengikuti irama lagu yang tak berhenti
mengalun.
Sorry sorry sorry sorry
Naega naega naega meonjeo
Nege nege nege Ppajyeo
……..
Dengan lincah Mbah Marbun menari. Acep terbengong-bengong.
Pikirannya melayang. Gerakan Mbah Marbun sangat akrab di mata dan mengingatkannya
akan video yang sering ditonton istrinya.
Setelah kecapaian menari, Mbah Marbun menunjuk-nunjuk Acep.
“Gue benci sama lu. Pergi sana. Jangan deket-deket gue!” tiba-tiba
muncul seorang laki-laki dengan suara perempuan menunjuk-nunjuk Acep. Orang itu
yang dilihat Acep ketika mendaftar di
tempat praktek Mbah Marbun.
“Kau siapa? Pergi sana, jangan dekat-dekat dengan Popon!” balas Mbah
Marbun.
“Gue nggak suka lu, nggak suka…,” Mbah Marbun membekap si petugas.
Matanya diusap sampai orang itu lemas dan tertidur. Mbah Marbun membaringkan
orang itu ke kasur yang ada di ruang prakteknya.
“Kamu jangan bengong dong. Bantu saya mindahin orang ini. Berat
tau!” bergegas Acep membantu Mbah Marbun membaringkan orang itu.
“Nah, tadi jinnya udah kuusir. Masih ada satu jin lagi yang
membayangi istrimu. Itu karena mantan pacarnya belum ikhlas melepaskan si Popon
menikah dengan bandot tua kayak kamu.”
Acep nggak peduli lagi dengan perkataan dari Mbah Marbun. Yang
penting istrinya mau dekat-dekat dengannya.
“Nih kasih air ini kepada istrimu. Sebulan lagi datang ke sini buat
usir satu jin lagi ya!” Inget bayarnya transfer aja, seharga satu ekor kambing.
Kambing jantan yang paling besar. Jangan kurang. Kamsahamnida!”
“Baik Mbah.”
Acep menerima segelas botol air berisi were wearing mawar berwarna
merah muda. Acep keluar dari ruangan praktek Mbah Marbun. Dalam hati Acep
menggerutu menghitung-hitung tabungannya yang akan berkurang banyak.
*****
“Nah gitu, ron. Gue masih harus balik lagi ke Mbah Marbun.”
“Ah ngapain bolak balik gitu, kan capek. Mending ke dukun lain aja.
Gue punya dukun yang manjur buat ngobatin bini lu,” ujar Baron.
“Wah boleh juga sih. Kalo bisa berhasil kan gue bisa mesra-mesraan
sama bini gue,” wajah Acep langsung berseri.
“Nanti bareng gue perginya. Sekalian bawa bini lu ya. Sekarang gue
balik ke ruangan dulu ya, udah kelamaan nongkrong di kantin dengerin ocehan
lu,” Baron pamit meninggalkan Acep yang penuh harapan istrinya bisa sembuh.
*****
“Lha emang ada dukun yang praktek di mall kayak gini?” tanya Acep
sambil terus mengikuti langkah Baron.
“Ya ada dong, dukun gue,” Baron tersenyum lebar menjawab pertanyaan
Acep.
Popon, istri Acep cemberut mengikuti langkah kaki kedua laki-laki
itu. Ia berjalan agak jauh dari suaminya. Sesekali tangannya mengibaskan tangan
Acep yang berusaha menggandengnya.
“Lu bawa kartu atm atau kartu kredit kan? Siapin duit banyak ya!”
“Gue udah bawa, ron “
“Nih tempat si dukun.”
Acep terhenyak melihat tempat yang ditunjukkan Baron. Tapi saat itu
Acep melihat senyum istrinya mengembang untuk pertama kalinya.
“Bang, aku mau kalung yang bentuknya hati itu. Gelangnya juga bagus
tuh. Sekalian cincinnya!” berbinar-binar mata Popon menunjuk perhiasan yang ada
dibawah kaca etalase sebuah toko mas didalam mal itu.
Jantung Acep seakan berhenti berdegup menahan perasaan yang bergolak
dalam batinnya. . Jarinya mulai
menghitung-hitung berapa lagi uang yang ada di rekeningnya akan terkuras.
“Sialan lu, ron!”
Acep melihat Baron sudah meninggalkannya berdua Popon sambil tertawa
geli. Tangannya mengepal ke arah Baron yang terus menjauh.
“Makasih ya, Bang. Sekalian ke toko tas ya?” senyum lebar mengembang
di wajah Popon. Tangannya yang sudah berhias cincin dan gelang menggandeng
mesra Acep. Acep hanya bisa menghela nafas panjang membayangkan uang yang
dikumpulkannya bertahun-tahun habis dalam sekejap.