Pagi hari itu Pasar Kecombrang Jaya terlihat sangat sibuk. Pengunjung pasar
yang kebanyakan ibu-ibu hilir mudik dari satu kios ke kios lainnya. Sedikitpun
tak terganggu walaupun saat itu hujan mengguyur bumi.
Suara pedagang yang menjajakan jualannya
bersahutan dengan suara kereta yang datang dan pergi dari stasiun Depok. Letak pasar memang bersebelahan dengan stasiun. Jadi
suasana ramai sudah terasa sejak bumi masih diselimuti gelap.
Suara-suara
itu ditimpali dengan teriakan seseorang
yang memegang segepok uang di
tangannya. Tangannya sigap mengatur lalu
lintas motor yang lalu lalang melewati jalan setapak yang dijaganya. Antrian
semakin semakin memanjang ketika matahari sedikit demi sedikit mulai muncul
dari balik peraduannya. Rintik hujan mulai mengecil seiring terbitnya mentari
pagi.
“Siapkan
uangnya!” begitu Opang, nama sang penjaga
jalan berteriak. Ia mengingatkan setiap pengemudi motor yang lewat di jalan itu
untuk menyiapkan uang.
“Nggak
bisa lewat tanpa uang masuk!” teriakannya berapi-api setiap ada pengendara motor yang tidak menyerahkan uang kepadanya.
Bisa dipastikan setiap pengendara motor yang melewati
membayar uang kepada pengutip pungutan liar itu karena repot juga kalau tak
memberi uang. Orang itu akan menghalangi motor yang masuk dan berteriak kepada
pengendara motor yang enggan membayar. Ada kerepotan karena harus berdebat
dengan si Opang, nama si pengutip liar.
Rata-rata
uang yang dihasilkan Opang dari pungutan liar itu bisa mencapai satu juta
rupiah per hari, bahkan kalau hari Sabtu
dan Minggu seringkali pendapatannya berlipat ganda. Orang yang lalu lalang melewati jalan setapak menuju pasar Kecombrang
Jaya itu jumlahnya sangat banyak karena pasar Kecombrang Jaya adalah pasar terbesar di kota Depok. Biasanya Opang memungut uang dari pengendara motor yang lewat sebesar
seribu rupiah. Banyak juga banyak yang memberinya dua ribu rupiah, bahkan kalau
ada orang memberinya uang lima ribu rupiah atau lebih, Opang tidak akan
memberi kembalian karena Opang tidak mengenal pengembalian uang. Ia tak peduli kalau pengendara motor itu mengomel karena
uangnya tidak dikembalikan.
Opang memiliki seorang anak buah yang akan bergantian dengannya menjaga
jalan setapak itu agar tak direbut oleh orang lain, namanya Kadir. Banyak yang
sudah mengincar tempat itu, menunggu saat-saat Opang atau Kadir lengah. Tempat
itu memang “lahan basah” bagi orang-orang yang mencari makan dari sekitar
pasar. Beberapa kali orang mencoba merebut daerah itu untuk dikuasai tapi
selalu gagal karena Opang menjaga dengan ketat daerah kekuasaannya.
Opang
tinggal di Kampung Dukuh Mentah bersama seorang istri dan seorang anak laki-laki. Anak Opang hanya bersekolah sampai SD saja
karena Opang merasa nggak ada pentingnya sekolah, tokh nggak sekolahpun dia bisa
menghasilkan uang banyak dan sanggup membeli rumah yang lumayan bagus. Opang
juga bisa menghiasi tangan dan leher istrinya dengan perhiasan emas. Sejak
kecil anaknya Opang sudah dibelikan motor .
Setiap hari Buluk, panggilannya wara wiri mengendarai motor dengan
kecepatan maksimal. Opang dan istrinya selalu menghardik tetangga yang
mengingatkan perilaku Buluk.Opang sangat menikmati hidupnya, kerja nggak mikir
tapi uang selalu berdatangan.
*****
Narti
ngambek kepada Amir, suaminya karena menurutnya tidak memperhatikan kebutuhan
Narti. Ia meminta kepada Amir untuk
dibelikan baju gamis yang akan dipakainya di pengajian bulanan ibu-ibu di
kampungnya.
“Bang,
kan malu kalo saya nggak pake baju seragam. Tuh Mpok Iyah aja beli, padahal kan
suaminya cuma jagain jalan di pasar aja. Belum lagi dia baru aja beli gelang
emas,” Narti merajuk.
“Lha,
kan uangnya buat beli buku si Anto. Biar dia semangat belajarnya. Bapak pengen
dia bisa kuliah biar pinter,” jawab Amir.
“Nanti
kalo Bapak dapat untung lebih, Insya Allah dibelikan baju, Mak,” Amir coba
menenangkan istrinya.
“Janji
mulu, nggak pernah dipenuhi!” Narti cemberut dan masuk ke kamar. Terbayang
olehnya celotehan Iyah yang memamerkan gamis baru dan gelang emas yang
berkilau. Belum lagi nanti bagaimana menjawab pertanyaan ibu-ibu anggota
pengajian lainnya yang akan menganggapnya tak kompak karena tak memakai seragam
pengajian. Amir hanya diam dan keluar rumah.
“Mak,
saya ke pasar dulu ya,” Narti mendengar suara Amir yang pamit ke pasar. Narti
hanya tak menjawabnya. Dia masih sibuk dengan pikirannya yang terus terpaut ke
baju seragam pengajian yang tak mampu dibelinya.
Sehari-hari
Amir berjualan tempe di pasar Kecombrang Jaya. Dia menjualkan tempe dari
tetanganya yang biasa memproduksi tempe. Amir ke pasar menggunakan sepeda ontel
yang dipasangi keranjang berisikan tempe yang akan dijual. Setiap hari Amir
selalu melewati jalan kecil yang dijaga oleh Odang. Amir tak pernah absen untuk
menyelipkan selembar uang dua ribuan ke tangan Opang. Amir merasa nggak enak
kalau lewat jalan itu tak membayar uang “jaga”, walaupun Opang adalah tetangga
sebelah rumahnya.
“Jalan,
mir!” teriak Opang sambil mendorong sepeda Amir.
“Terima
kasih, Bang Opang,” Amir menuntun sepedanya menuju pasar.
Opang
terus jalannya motor yang lalu lalang. Sesekali Opang menghitung uang yang
digenggamnya. Beberapa pedagang menukar uang recehan kepadanya. Hari itu motor
yang melewati jalan kecil itu sangat banyak, melebihi jumlah yang biasa lewat
setiap harinya. Opang bernyanyi riang karena uang yang dikumpulkannya sudah
cukup untuk mengganti sepeda motor yang dipakai anaknya dengan yang baru.
*****
Sesampainya di pasar, Amir segera menggelar
tempenya. Ia menjual tempenya seharga lima ribu rupiah dengan ukuran lumayan
besar. Kalau ada pembeli yang meminta setengahnya, Amir akan memberi harga tiga
ribu rupiah. Untuk satu papan tempe besar Amir akan mendapatkan untung sebesar
seribu rupiah. Amir akan senang kalau orang membeli setengah papan tempe,
karena uang yang dibawanya pulang akan lebih banyak. Amir akan membawa pulang
ayam atau daging khusus buat Anto agar anaknya itu bisa makan enak. Kalau
makanannya terpenuhi, maka Anto akan lebih semangat belajar di sekolah.
Biasanya Amir hanya akan mengambil lauk dan tempe saja dan membiarkan Anto dan
Narti makan lebih enak.
Sedikit demi sedikit uang diterimanya dari
pelanggan. Tak lupa Amir memberi bonus kepada pelanggannya berupa potongan
kecil tempe. Sampai ada seorang ibu dengan penampilan mentereng, memborong sisa
tempenya.
Ibu itu menyerahkan dua lembar uang dua ratus
ribuan setelah Amir menyerahkan bungkusan besar berisi potongan-potongan
tempenya. Diserahkannya uang kembalian sebesar delapan puluh ribu rupiah dengan
senyum lebar.
“Terima kasih banyak udah mborong, Bu,” Amir
membungkuk di hadapan ibu tersebut. Tanpa senyum ibu itu berlalu dari hadapan
Amir dengan menenteng bungkusan besar tempe.
“Alhamdulillah, aku bisa cepat pulang,” dengan
wajah penuh senyum Amir mengambil sepedanya dan menuntunnya meninggalkan
tempatnya berjualan.
“Mbak,
minta daging seperempat kilo ya,” Amir berhenti sejenak di kios penjual daging
sapi. Setelah mendapatkan daging sapi dalam bungkusan daun jati, Amir
menyerahkan selembar uang seratus ribu kepada penjual daging. PenjualPenjual
daging memeriksa uang yang diberikan Amir.
“Aduh
Bang Amir, ini uang palsu yang dikasih ke saya. Coba cek deh,”penjual daging
menyerahkan kembali uangnya kepada Amir.
Amir
melongo dan memeriksa uang itu. Ia teringat ibu-ibu yang tadi memborong
tempenya. Amir merogoh saku celana dan mengeluarkan lembaran seratus ribu
lainnya. Diserahkannya uang itu kepada penjual daging, untuk diperiksa.
“Ini
juga palsu, Bang!” Lutut Amir lemas. Dua lembar uang palsu itu ada juga bagian
dari hasil penjualan yang harus diberikannya kepada pembuat tempe. Ia harus mengganti uang kepada juragannya
itu. Bagaimana dia harus lapor kepada istrinya kalau uang belanja untuk
hari-hari selanjutnya akan berkurang untuk menggantikan uang yang hilang.
“Ambil
aja dulu dagingnya, bayarnya kapan-kapan saja,” ujar penjual daging ramah.
“Nggak
usah, masih ada tempe di rumah. Saya nggak mau berhutang, takut jadi beban.” Dengan gontai Amir
mengayuh sepedanya menuju rumah.
*****
“Bang,
gamisnya bisa dicicil lho….” Suara ceriwis Narti menyambut Amir didepan rumah.
Amir tertunduk dan masuk rumah. Ia nggak tahu harus cerita dari mana kepada
Narti.
Tak
lama Anto muncul dengan selembar kertas dipegangnya.
“Pak,
ini hasil UTS Anto. Nilainya baik semua,” suara Anto yang ceria membuat Amir
terhibur. Senyum muncul di wajahnya yang lelah.
“Alhamdulillah,
terima kasih nak,” Amir memeluk anaknya erat. Matanya berkaca-kaca menahan
perasaan haru. Sejenak ia lupa akan kebingungannya.
“Mak,
Bapak mau cerita…..,”
“#***@&**#,”
Narti mengomel panjang lebar. Amir
hanya terdiam menerima omelan istrinya.
Tiba-tiba
di luar terdengar suara ribut-ribut. Amir dan Narti keluar rumah. Ternyata
suara keributan itu berasal dari rumah Opang
yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah mereka.
Iyah
menangis dengan histeris. Ia terduduk dan menggerak-gerakkan kakinya.
“Bang,
anak kita,” Iyah masih histeris. Opang masih bengong tak tahu apa yang sudah
terjadi. Nafas Opang masih tersengal karena berlari dari pasar ke rumahnya
setelah dikabari kalau istrinya menangis histeris.
Narti
melongo dan mendengar bisik-bisik orang tentang Buluk.
“Si Buluk digebuki warga kampung sebelah, Mpok,” cerita Mpok Anah yang
kebetulan lewat didepan rumahnya.
“Emangnya kenapa?” tanya Narti.
“Mau nyolong spion mobil warga kampung sebelah. Ketahuan ame warga langsung
digebukin. Noh babak belur udah,” sambung Mpok Anah.
“Udeh ye Mpok, aye pengen liat kayak gimana kondisinya si Buluk,” Mpok Anah
berlalu dari hadapan Narti.
“Bapak mau kemana?” Narti melihat Amir berjalan menuju rumah Opang.
“Bantuin Bang Opang bawa anaknya ke klinik, biar diobatin,” jawab Amir
sambil terus berjalan.
Saat
itu Narti baru sadar kalau ia adalah perempuan yang beruntung karena memiliki
suami yang baik dan anak yang membanggakan dengan prestasi sekolahnya. Air mata
mengalir di pipi Narti.