Barang bawaan,
Seorang teman bercerita,
Barang bawaannya ditinggal di bandara,
Karena ongkos bagasi pesawat lebih mahal dari harganya
teman yang satu lagi bercerita,
Barang bawaannya ditinggal di stasiun kereta,
Karena dimensinya melebihi kotak batasan masuk kereta
Seorang teman yang satu,
tak lagi bisa cerita,
barang bawaannya
ditinggal di dunia,
Karena hanya tubuh berbalut kafan yang masuk keranda
Juanda, nunggu kereta sore ini
Barang bawaannya ditinggal di bandara,
Karena ongkos bagasi pesawat lebih mahal dari harganya
teman yang satu lagi bercerita,
Barang bawaannya ditinggal di stasiun kereta,
Karena dimensinya melebihi kotak batasan masuk kereta
Seorang teman yang satu,
tak lagi bisa cerita,
barang bawaannya
ditinggal di dunia,
Karena hanya tubuh berbalut kafan yang masuk keranda
Juanda, nunggu kereta sore ini
Toga Ke-Empat
Pagi
itu, Depok dianugerahi gerimis. Saya sebut anugerah, karena gerimis selalu berhasil
menghadirkan suasana hati yang seimbang dalam proporsi yang sempurna. Gerimis pagi
itu terjadi pada Sabtu, Dua Februari 2019. Gerimis yang menjadi saksi
penyematan toga ke-empat yang berhasil disematkan di kepala. Seperti ketiga
toga sebelumnya, toga kali ini pun diperoleh dengan segala perjuangan dan
pengorbanan: moril, materil, emosi dan waktu. Selalu ada kisah naik-turun yang
menyertainya. Tidak hanya cerita tawa, tapi juga keterpurukan karena ketiadaan
data, jenuh dengan berbagai jenis literatur, bahkan amarah saat lalai menyimpan
hasil olah data dan jaringan listrik padam.
Toga ini menjadi penyempurna dari segala pergulatan akademis di berbagai levelnya. Toga ke-empat ini seperti hidangan penutup, yang menyempurnakan sajian menu makan malam romantis bersama kekasih hati.
Toga ini menjadi penyempurna dari segala pergulatan akademis di berbagai levelnya. Toga ke-empat ini seperti hidangan penutup, yang menyempurnakan sajian menu makan malam romantis bersama kekasih hati.
Senang…, pasti!!!
Bangga…, apalagi!!!
Namun, hal tersebut tidak
berlangsung lama. Euforia tersebut berhenti di hari ketiga. Setelah pertanyaan
jahil muncul di kepala “Setelah Doktor,
trus napa?”
Sebagai
manusia yang dilengkapi syahwat berupa eksistensi diri dan pengakuan lingkungan,
saya juga tidak luput dari kepemilikan ekspektasi yang kadang melampaui kursi langit.
Ada arogansi “merasa berhak” atas sesuatu yang mulai menggoda diri. Ekspektasi
dan arogansi yang terus tumbuh hampir tanpa kendali. Hingga…, kitab Adam Smith
yang ditulis pada tahun 1776 berhasil menghancurkan semua pondasi negatif yang
sudah mulai mengeras. Membaca kembali kitab suci para ekonom ini, menarik kembali
pada kesadaran bahwa akan selalu ada “kekuatan
tak terlihat” yang dapat merubah sesuatu.
Jika, Eyang Smith menyatakan bahwa terdapat “invisible hands” yang akan
menyeimbangkan pasar. Saya mengadopsinya bahwa selalu ada “invisible constraints” yang dapat menggagalkan keinginan. Ya…keinginan,
bukan tujuan apalagi cita-cita. Karena keinginan adalah sebuah subjektivitas,
sedangkan tujuan atau cita-cita merupakan objektivitas. Perbedaannya terletak
pada rasionalitas ukuran yang digunakan. Subjektivitas tidak dapat dilihat
relevansi logisnya, it’s all about
individual's preference.
Kesadaran ini sangat berharga karena dapat mengendalikan ekpektasi
dan membunuh arogansi yang tidak perlu. Kesadaran ini pun perlu dibagi, bahwa
sekolah itu untuk membentuk cara berfikir kritis sehingga meningkatkan kinerja.
Sekolah itu untuk menuntut ilmu, dan….
Ilmu dipelajari,
(bukan) untuk promosi;
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk kaya;
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk menangan;
Ilmu dipelajari, (bukan) untuk populer;
.
.
.
Ilmu dipelajari, untuk diamalkan…
Ilmu dipelajari, untuk diamalkan…
Baby Blues
Aku tertegun melihat dua garis pada alat
testpack yang berada dalam genggaman. Waw, ternyata aku hamil lagi, padahal
anakku yang pertama masih berusia lima bulan. Saat itu juga aku baru dua bulan
aktif kembali bekerja. Berbagai perasaan berkecamuk di hati.
“Kok bisa gue hamil?”
Waktunya nggak tepat,” aku hanya bisa garuk-garuk kepala yang emang gatel sih
karena udah seminggu nggak ketemu
shampoo.
Beberapa hari kemudian
kuulangi lagi tes nya, hasilnya tetap sama. Aduh, benar-benar surprise yang
nggak bikin bahagia. Kebayang kerepotan yang akan kualami punya dua anak bayi. Saat itu aku merasa malu dengan kondisiku. Yang
agak menolong, saat itu aku sedang menjalani tugas diluar kantorku. Aku
ditugaskan membantu konsultan, jadi aku bisa menyembunyikan kehamilan dari
teman-temanku.
Waktu itu, setiap ditanya
teman-teman kantor tentang badanku yang membesar, aku hanya menjawab kalau aku
memang gemuk karena banyak makan. Paling teman-teman berpikir, berapa banyak
makanan yang dikonsumsi sampai badanku
bengkak begitu. Namun seiring
berjalannya waktu aku mulai bisa menerima kehamilanku karena aku bagaimanapun
juga memilki anak ada sebuah amanah dari Sang Maha Kuasa yang harus kujaga.
Teman-temanku di kantor kaget ketika aku
datang ke tempat kerja yang semula untuk meminta kembali cuti melahirkan. Sebagian
menyesalkan kenapa aku tak memberitahu mereka, tapi ya mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur.
Yang kesal mungkin atasanku karena waktu itu harus mencari penggantiku sampai aku selesai menjalani
cuti melahirkan. Si konsultan masih ada waktu beberapa bulan untuk menyelesaikan
kontraknya.
Akhirnya tanpa ada yang
menunggui, aku bisa melahirkan anak yang kedua. Pada saat itu suamiku harus
menjadi narasumber di sebuah seminar. Untungnya seminar itu diadakan di kota Bandung,
jadi dia tak perlu
mondar-mandir dari Jakarta ke Bandung. Sampai sesaat sebelum
persalinan, suamiku masih menungguiku, sayangnya sampai waktu dia harus
berangkat ke tempat seminar. Aku merasa tak masalah menjalani proses persalinan
sendiri. Persalinan berjalan lancer tanpa kesulitan berarti. Tak lama setelah si kecil lahir, ibuku datang ke klinik
membuatku merasa lebih lega.
Saat-saat
selanjutnya adalah saat yang paling berat buatku, terlebih ketika suamiku harus
kembali ke Jakarta untuk bekerja. Aku memilih menjalani cutiku di Bandung
karena ada orang yang bisa mendampingi di Bandung. Itulah saat aku merasakan
kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa untuk mengurus kedua anakku yang
masih sangat kecil. Mencari pengasuh anak bukan hal mudah saat itu. Jadi,
selama dua bulan masa cuti, aku mengurus kedua anakku sendiri. Untunglah Bapak
dan Ibu masih sehat kala itu, jadi masih ada yang bisa menjaga anakku yang
sulung.
Sama
seperti anakku yang pertama, Anin, saat memiliki anak yang kedua, Cita aku
kesulitan mengeluarkan air susu ibu (ASI). Stres melanda terlebih pada saat itu
di media sedang digalakkan pemberian ASI kepada bayi. Berhari-hari kucoba
memberikan ASI tapi gagal. Segala makanan yang dianjurkan untuk memberi ASI
kulahap tanpa kecuali. Mulai dari daun katuk, susu, sampai makanan-makanan yang
kata orang adalah ASI booster. Sayang tak berhasil. Perasaan sedih melanda karena
banyak kudengar orang membicarakanku dan menyebutku malas memberi ASI kepada
anak-anakku. Segala rumor menakutkan tentang kondisi anak yang tidak
mendapatkan ASI diceritakan kepadaku sampai aku kesal. Kupikir tak seorang
ibupun yang tak ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya.
Saat itu
aku merasa semua orang menudingku sebagai ibu yang jahat kepada anaknya karena
tidak memberikan ASI. Mereka tak tahu betapa tertekannya diriku setiap ada
tetangga yang datang menengok bayi. Setiap orang yang datang selalu memberi
saran apa yang harus kulakukan agar ASI ku keluar. Maksud mereka sebenarnya
baik, cuma saran mereka malah membuatku tambah tertekan. Akhirnya setelah
berusaha selama seminggu, aku memutuskan untuk memberi anakku susu formula
dengan penuh.
Rasa sedih
yang kualami semakin menghebat. Mungkin bagi orang lain mengurus dua anak
adalah hal yang biasa, tapi entah kenapa saat itu aku merasa mendapatkan beban
yang amat berat. Rasanya ingin selalu menangis. Itu kualami selama seminggu,
walaupun tak ada masalah serius menimpa anak-anakku, aku selalu bersedih, dan
itu terjadi setiap hari. Kupikir karena aku merasa bersalah karena tak bisa
memberikan ASI kepada anak-anakku, tapi lama-lama kok jadi melankolis yang tak
jelas penyebabnya. Perasaan itu membuatku tersiksa.
Belakangan
setelah kucari tahu aku baru tahu bahwa apa yang kurasakan itu adalah hal wajar
yang dialami seorang ibu yang baru melahirkan. Rupanya aku terkena sindrom baby
blues. Menurut apa yang kubaca di sebuah buku, sindrom baby blues adalah kondisi
gangguan mood yang dialami ibu setelah melahirkan. Baby blues merupakan bentuk
yang lebih ringan dari depresi post natal. Katanya sih ini hal yang normal dan
banyak ibu mengalami sindrom ini setelah melahirkan.
Akhirnya,
buat ibu-ibu yang akan melahirkan jangan merasa bersalah bila kedatangan
sindrom baby blues. Nanti akan berlalu juga kok seiring waktu, apalagi jika
kita memeluk bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Juga buat yang lain,
jangan suka membandingkan ibu melahirkan satu dengan yang lainnya karena proses
yang dialami setiap ibu akan berbeda-beda. Ketika menengok orang yang habis
melahirkan, berilah semangat dan hiburlah si ibu agar ibunya tetap ceria. Bagi
yang sulit mengeluarkan ASI, dicoba terus jangan putus asa. Kalau ada indikasi medis
tak dapat menyusui, jangan membandingkan dengan orang lain, semangati diri
sendiri bahwa apapun yang kita berikan, itulah yang terbaik untuk anak kita.
Jakarta, 1
Februari 2019
Warisan
“Jon, lu ngoyo banget nyari
duit. Buat apaan? Sesekali nikmatin hidup dong…” kuteguk kopi hitam panas
kesukaanku. Kulihat Jono sedang meniup-niup kopinya yang masih panas.
“Gue ini
harus kerja keras. Gue nggak mau istri dan anak-anak gue susah nanti. Makanya
gue kerja, nabung, terus beli properti yang banyak, biar mereka hidupnya lebih
mudah nanti.”
Memang
sih, dari semua temanku, Jono ini paling banyak memiliki harta. Mungkin bila
kami berdua sudah nggak ada, Jono akan tenang karena anak-anaknya
sudah memiliki harta warisan masing-masing. Sampai setua ini, aku nggak
memiliki apa-apa selain rumah yang kutinggali saat ini.
Jono
memang kaya dari segi properti yang dimilikinya tapi kalau kami bertemu, akulah
yang selalu membayari makan atau minum. Aku merasa kualitas hidupku lebih baik
darinya. Aku masih bisa bercengkrama dengan istri dan anak-anakku selepas
pulang kerja. Aku banyak menghabiskan penghasilanku untuk membiayai
pendidikan anak-anakku dan keponakan-keponakan, bantu orang tua, piknik,
nonton, dan membeli buku. Penghasilanku juga sebagian disisihkan untuk
meningkatkan kualitas anak-anakku seperti keterampilan bahasa dan olah raga.
Kalupun aku meninggal dunia hari ini aku yakin mereka dapat mandiri dengan
keterampilan hidup yang mereka miliki. Pokoknya penghasilan seimbang dengan pengeluaran. Tidak banyak yang ditabung dan
dibelikan properti.
“Kalo gue
sih, sampe rumah udah jam sepuluh malam. Mana sempet ketemu istri dan
anak-anak. Nggak apa-apalah, yang penting mereka tahu kalau gue kerja siang
malam buat mereka juga,” ujar Jono seolah mencari pembenaran.
“Ya
memang cara hidup orang beda-beda, Jon. Kalau gue sih nggak punya apa-apa buat
diwariskan ke anak-anak gue. Gue cuma bisa bekalin mereka pendidikan aja, biar
mereka bisa mandiri. Kalaupun nanti ada harta gue yang tersisa ketika gue meninggal gue minta dibagi sesuai syariat Islam. Terus gue akan saranin ke mereka kasih aja ke orang
lain yang lebih membutuhkan.”
“Iya kalo anak-anak kita mandiri. Kalo kagak? Jaman sekarang, To, sarjana
aja susah nyari kerja. Kalau gue sih udah gue siapin mereka properti yang bisa di jadiin modal usaha. Warisan dari gue,” sanggah Jono.
“Lha,
kita kan musti yakin kalau anak-anak kita bakal mandiri dan bisa nyari duit
sendiri,” aku masih berkukuh dengan keyakinanku.
“Lu tahu
kan Jacky Chan, dia nggak mewariskan harta ke anaknya. Hartanya buat berbuat
baik ke orang. Atau yang nyiptain Honda, sama sekali nggak ngasih harta.
Anaknya bisa bertahan hidup. Mungkin malah ngikutin cara hidup orangtuanya
berbagi buat banyak orang,” kucoba memberikan pandangan lain ke Jono.
Jono
hanya diam sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin. Aku tahu di kepalanya
masih banyak yang dipikirkannya. Kekhawatiran bahwa nanti anak-anaknya akan
sulit mencari penghidupan kalau dia meninggal nanti. Kami berpisah dengan
pemikiran masing-masing.
*****
“Ketemuan
yuk!” suara Jono terdengar berat ketika berbicara di ujung telpon.
“Kapan?”
tanyaku.
“Nanti
malam.”
“Di Cafe
Melati ya, gue tunggu jam delapan, “ aku tutup telpon.
Malam
hari aku bertemu Jono di Cafe Melati. Seperti biasa Jono memesan secangkir kopi
hitam panas. Minuman itu memang kesukaannya sejak kami berteman waktu sekolah
dulu.
“Gue
bingung, To,” mata Jono seperti sedang menerawang jauh.
“Anak gue
yang paling gede minta gue jual salah satu rumah. Katanya
dia butuh buat usaha. Padahal sebelumnya udah gue kasih tanah. Dia jual,
hasilnya gue nggak tahu kemana, padahal rumah yang dia minta itu buat adiknya
yang nomor dua. Si sulung merasa gue nggak berlaku adil, warisan
yang dia dapet nggak sebanyak yang buat adik-adiknya.”
“Lha, lu
kan belum mati, Jon. Kok udah ngomongin bagi-bagi warisan aja.”
Aku
mengingat pernah berkata kepada anak-anakku, “Bapak nggak akan pernah ngasih
kalian warisan. Selain karena harta Bapak nggak banyak, Bapak lebih senang
membiayai kalian sekolah, kemanapun yang kalian inginkan. Kalau kalian
menyelesaikan sekolah dengan hasil yang baik,
sudah cukup buat kalian survive. Kalau ada harta yang tersisa ketika
Bapak, bagilah secara syariat Islam. Cuma akan lebih baik kalau harta dari
Bapak itu dikumpulkan untuk membantu pendidikan anak-anak yang tidak mampu.”
Saat itu
anak-anakku hanya mengangguk. Walaupun belum mengerti benar, setidaknya mereka memahami nanti. Mereka tidak akan mengharapkan
warisan atau mengharapkan aku cepat mati. Aku yakin mereka kan mengingat itu
sampai mereka dewasa nanti.
“Kalau
kalian ingin memiliki rumah atau kendaraan, carilah dengan cara yang benar dan
bermartabat. Bekerjalah dengan baik untuk mendapatkannya,” sambungku.
“To,
Danto!” lamunanku buyar ketika Jono menggoyangkan tanganku.
“Ya...ya,
gue denger kok.”
“Kayaknya
anak-anak gue ngarepin banget gue mati.”
Baru kali
ini kulihat wajah Jono menunjukkan rasa tidak percaya diri. Biasanya dia selalu
yakin dengan prinsip hidupnya bila berdebat denganku. Malah, dia sering
menasehatiku untuk menyisihkan sebagian penghasilanku untuk membeli properti
agar kelak hidup anak-anakku nggak sulit.
“Ya
enggaklah, Jon,” aku mencoba menghiburnya.
“Ah empat
anakku itu berkelahi terus meributkan properti-propertiku, padahal aku masih
berdiri didepan mereka.”
Aku diam
saja mendengar curahan hati Jono. Kepedihan dan sedikit keputusasaan terpancar
di matanya. Aku kasihan melihatnya. Saat itu, aku merasa menjadi orang yang
beruntung dengan cara hidupku selama ini walaupun aku nggak memiliki harta. Aku
merasa bebas dari masalah perebutan properti karena anak-anaku sibuk kuliah dan
sekolah. Tak ada seorangpun diantara anakku yang suka membicarakan tentang
properti yang kami miliki, sepertinya mereka juga nggak kepikiran sama sekali.
Mereka selalu berharap aku dan istriku selalu sehat agar bisa terus mendampingi
mereka.
Aku
dengar hanya anak bungsu Jono saja yang terus berkuliah, sedangkan ketiga
kakaknya tidak ada yang bisa menyelesaikan kuliah. Anak tertua Jono hanya bersekolah sampai tingkat SMA, kemudian
menikah. Selama pernikahannya, Jono lah yang membiayai hidup anak itu beserta
istrinya, karena dia tidak memiliki pekerjaan tetap.
Pernah
kutanyakan kepada Jono, kenapa anak sulungnya itu tidak melanjutkan sekolahnya.
Jawaban Jono membuatku berpikir bahwa memiliki banyak harta tidak selalu
membuat hidup lebih mudah.
“Nggak
apa-apa, nanti dia bisa bikin usaha sendiri. Bisa memakai jatah rumah dan tanah
miliknya.”
Seperti
biasanya saat itu aku debat pola pikir Jono, “Jon, kalau lu didik anak lu
begitu, anak lu nantinya bakalan nunggu kapan waktunya lu mati. Anak lu nggak
bakalan mau kerja keras karena lu manjain dia dengan harta benda,” keras
suaraku saat itu.
“Enggaklah,
nggak mungkin dia begitu. Malah dia bakalan berterima kasih karena gue
udah nyiapin segalanya buat bekal hidupnya.”
“Terserah
lu!” suaraku semakin meninggi.
“Gue
mesti gimana ya, To?”
“Sebagai
Sarjana Hukum, gue diajarin di kampus bagaimana pembagian
harta waris baik menurut hukum Islam, hukum adat, maupun hukum barat.
Masing-masing sistem hukum itu mengatur pembagian harta waris agar ahli waris
mendapatkan bagian secara adil.” Jono mendengarkan penjelasanku dengan serius.
“Secara
Islam, waris itu adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah
meninggal dunia. Kalau lu masih hidup namanya hibah.”
“Lha, gue
kan belum mati, masak gue udah disuruh bagi-bagi harta warisan.”
Aku
pengen bilang, “Kan gue sering bilang ke lu kalau harta yang lu kumpulin satu
demi satu itu bakalan jadi rebutan anak-anak lu, didepan mata lu yang masih
sehat. Anak-anak lu jadi ngarepin lu mati!”, tapi beraninya cuma dalam hati saja.
Sejak
saat itu, aku nggak pernah ketemu lagi sama Jono. Pertemuanku dengan Jono
adalah ketika kudengar kabar kalau Jono masuk rumah sakit. Tubuhnya penuh
selang. Ternyata itu pertemuanku terakhir kalinya dengan Jono. Dia tak kuat
lagi menanggung ganasnya penyakit yang dideritanya.
Terakhir
kudengar anak sulung Jono dilaporkan ke polisi oleh adik-adiknya karena
memalsukan surat tanah dan bangunan ketika akan menjual aset yang diwariskan
Jono. Masing-masing pihak merasa berhak atas harta itu. Tak ada yang mau
mengalah. Tak ada lagi kerekatan hubungan kekeluargaan diantara mereka. Mereka
terlanjur manja dan menggantungkan hidupnya pada harta peninggalan Jono. Kasian
Jono.
Sebagai
muslim, aku akan menggunakan hukum Islam dalam mendapatkan dan memberikan
warisan. Ada ilmu Faraid untuk menghitung porsi pembagian warisan.
“Apabila
nanti ada pembagian waris, aku akan memberikan bagianku kepada ahli waris yang
tidak beruntung hidupnya atau dalam
keadaan sulit,” berkali-kali aku katakan itu kepada seluruh keluargaku. Aku
berharap tidak ada seorangpun ahli waris yang menaruh curiga kepadaku dan
pembagian warisan berjalan damai.
Aku membayangkan anak-anakku akan hidup dengan
pola sama denganku. Modal sekolah yang cukup, berkarya, tidak kekurangan, bisa
mengongkosi hidupnya secara layak. Harapanku mereka dapat berbagi dengan orang
lain. Tidak mengharapkan harta waris dan tidak memberi warisan yang besar.
Begitu seterusnya ke cucu dan cicitku kelak.
*ditulis bersama Purnomo
Dua Peron di Stasiun
Seolah berdekatan
Tapi sebenarnya terpisahkan
Saling menyadari kehadiran
Tapi tak pernah menunjuk arah yang sama,.
Seperti itukah,
Kita waktu itu
Dik
(jurangmangu, 8 febr 2019)
Berbohong
"Pagi Mas, saya mau naik eskalator nih, tunggu di halte kecil ya" ucap seorang pria mengakhiri pembicaraan via telepon dengan pengendara ojek online. Karena posisi berdiri saya persis berada disampingnya, saya mendengar dan spontan mengernyitkan dahi, "Hei, kitakan masih di dalam komuter, baru akan tiba di stasiun tujuan beberapa menit lagi", sontak batin saya berkata demikian.
Di lain waktu, Ada pula kejadian yang sama, yaitu sewaktu komuter yang saya tumpangi baru saja tiba di stasiun Kebayoran, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berbicara di telepon genggamnya, mengabarkan kalau dia sudah tiba di stasiun Tanah Abang, padahal komuter baru berangkat dari stasiun Kebayoran Lama.
Dua peristiwa di atas menjadi pelajaran yang sangat berharga khususnya untuk saya pribadi. Jangan pernah menyepelekan perbuatan buruk seperti berbohong, selain menjadi kebiasaan buruk yang terus terulang, kelak kita akan mempertanggungjawabankannya dihadapan Allah Swt.
Semoga kita senantiasa diberi kesempatan untuk selalu memperbaiki kekurangan yang ada di dalam diri.
Di lain waktu, Ada pula kejadian yang sama, yaitu sewaktu komuter yang saya tumpangi baru saja tiba di stasiun Kebayoran, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berbicara di telepon genggamnya, mengabarkan kalau dia sudah tiba di stasiun Tanah Abang, padahal komuter baru berangkat dari stasiun Kebayoran Lama.
Dua peristiwa di atas menjadi pelajaran yang sangat berharga khususnya untuk saya pribadi. Jangan pernah menyepelekan perbuatan buruk seperti berbohong, selain menjadi kebiasaan buruk yang terus terulang, kelak kita akan mempertanggungjawabankannya dihadapan Allah Swt.
Semoga kita senantiasa diberi kesempatan untuk selalu memperbaiki kekurangan yang ada di dalam diri.
Tije ...
Naik Tije Jakarta Bekasi baru tiga kali
Setelah tau jadi tidak apriori
Ternyata naik tije itu cukup penuh arti
Meski diri harus sabar mengantri
Suasana bis nyaman dan sepi
Meski di halte masih perlu antri
Rasanya ingin selalu berganti
Antara KRL dan bis tije masa kini
Selain murah dan nyaman
Tije juga cukup ramah bagi penyandang disabilitas
Meski jam sibuk tidak berdesakan
Pengguna tetap saling jaga moralitas
Jalurnya lancar tanpa hambatan
Penumpang bisa tidur dengan pulas
Meski masih macet sekitar BNN
Namun tenaga tidak akan terkuras deras
Tije Tosari-SMB, 2 Oktober 2018
Langganan:
Postingan (Atom)