“Jon, lu ngoyo banget nyari
duit. Buat apaan? Sesekali nikmatin hidup dong…” kuteguk kopi hitam panas
kesukaanku. Kulihat Jono sedang meniup-niup kopinya yang masih panas.
“Gue ini
harus kerja keras. Gue nggak mau istri dan anak-anak gue susah nanti. Makanya
gue kerja, nabung, terus beli properti yang banyak, biar mereka hidupnya lebih
mudah nanti.”
Memang
sih, dari semua temanku, Jono ini paling banyak memiliki harta. Mungkin bila
kami berdua sudah nggak ada, Jono akan tenang karena anak-anaknya
sudah memiliki harta warisan masing-masing. Sampai setua ini, aku nggak
memiliki apa-apa selain rumah yang kutinggali saat ini.
Jono
memang kaya dari segi properti yang dimilikinya tapi kalau kami bertemu, akulah
yang selalu membayari makan atau minum. Aku merasa kualitas hidupku lebih baik
darinya. Aku masih bisa bercengkrama dengan istri dan anak-anakku selepas
pulang kerja. Aku banyak menghabiskan penghasilanku untuk membiayai
pendidikan anak-anakku dan keponakan-keponakan, bantu orang tua, piknik,
nonton, dan membeli buku. Penghasilanku juga sebagian disisihkan untuk
meningkatkan kualitas anak-anakku seperti keterampilan bahasa dan olah raga.
Kalupun aku meninggal dunia hari ini aku yakin mereka dapat mandiri dengan
keterampilan hidup yang mereka miliki. Pokoknya penghasilan seimbang dengan pengeluaran. Tidak banyak yang ditabung dan
dibelikan properti.
“Kalo gue
sih, sampe rumah udah jam sepuluh malam. Mana sempet ketemu istri dan
anak-anak. Nggak apa-apalah, yang penting mereka tahu kalau gue kerja siang
malam buat mereka juga,” ujar Jono seolah mencari pembenaran.
“Ya
memang cara hidup orang beda-beda, Jon. Kalau gue sih nggak punya apa-apa buat
diwariskan ke anak-anak gue. Gue cuma bisa bekalin mereka pendidikan aja, biar
mereka bisa mandiri. Kalaupun nanti ada harta gue yang tersisa ketika gue meninggal gue minta dibagi sesuai syariat Islam. Terus gue akan saranin ke mereka kasih aja ke orang
lain yang lebih membutuhkan.”
“Iya kalo anak-anak kita mandiri. Kalo kagak? Jaman sekarang, To, sarjana
aja susah nyari kerja. Kalau gue sih udah gue siapin mereka properti yang bisa di jadiin modal usaha. Warisan dari gue,” sanggah Jono.
“Lha,
kita kan musti yakin kalau anak-anak kita bakal mandiri dan bisa nyari duit
sendiri,” aku masih berkukuh dengan keyakinanku.
“Lu tahu
kan Jacky Chan, dia nggak mewariskan harta ke anaknya. Hartanya buat berbuat
baik ke orang. Atau yang nyiptain Honda, sama sekali nggak ngasih harta.
Anaknya bisa bertahan hidup. Mungkin malah ngikutin cara hidup orangtuanya
berbagi buat banyak orang,” kucoba memberikan pandangan lain ke Jono.
Jono
hanya diam sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin. Aku tahu di kepalanya
masih banyak yang dipikirkannya. Kekhawatiran bahwa nanti anak-anaknya akan
sulit mencari penghidupan kalau dia meninggal nanti. Kami berpisah dengan
pemikiran masing-masing.
*****
“Ketemuan
yuk!” suara Jono terdengar berat ketika berbicara di ujung telpon.
“Kapan?”
tanyaku.
“Nanti
malam.”
“Di Cafe
Melati ya, gue tunggu jam delapan, “ aku tutup telpon.
Malam
hari aku bertemu Jono di Cafe Melati. Seperti biasa Jono memesan secangkir kopi
hitam panas. Minuman itu memang kesukaannya sejak kami berteman waktu sekolah
dulu.
“Gue
bingung, To,” mata Jono seperti sedang menerawang jauh.
“Anak gue
yang paling gede minta gue jual salah satu rumah. Katanya
dia butuh buat usaha. Padahal sebelumnya udah gue kasih tanah. Dia jual,
hasilnya gue nggak tahu kemana, padahal rumah yang dia minta itu buat adiknya
yang nomor dua. Si sulung merasa gue nggak berlaku adil, warisan
yang dia dapet nggak sebanyak yang buat adik-adiknya.”
“Lha, lu
kan belum mati, Jon. Kok udah ngomongin bagi-bagi warisan aja.”
Aku
mengingat pernah berkata kepada anak-anakku, “Bapak nggak akan pernah ngasih
kalian warisan. Selain karena harta Bapak nggak banyak, Bapak lebih senang
membiayai kalian sekolah, kemanapun yang kalian inginkan. Kalau kalian
menyelesaikan sekolah dengan hasil yang baik,
sudah cukup buat kalian survive. Kalau ada harta yang tersisa ketika
Bapak, bagilah secara syariat Islam. Cuma akan lebih baik kalau harta dari
Bapak itu dikumpulkan untuk membantu pendidikan anak-anak yang tidak mampu.”
Saat itu
anak-anakku hanya mengangguk. Walaupun belum mengerti benar, setidaknya mereka memahami nanti. Mereka tidak akan mengharapkan
warisan atau mengharapkan aku cepat mati. Aku yakin mereka kan mengingat itu
sampai mereka dewasa nanti.
“Kalau
kalian ingin memiliki rumah atau kendaraan, carilah dengan cara yang benar dan
bermartabat. Bekerjalah dengan baik untuk mendapatkannya,” sambungku.
“To,
Danto!” lamunanku buyar ketika Jono menggoyangkan tanganku.
“Ya...ya,
gue denger kok.”
“Kayaknya
anak-anak gue ngarepin banget gue mati.”
Baru kali
ini kulihat wajah Jono menunjukkan rasa tidak percaya diri. Biasanya dia selalu
yakin dengan prinsip hidupnya bila berdebat denganku. Malah, dia sering
menasehatiku untuk menyisihkan sebagian penghasilanku untuk membeli properti
agar kelak hidup anak-anakku nggak sulit.
“Ya
enggaklah, Jon,” aku mencoba menghiburnya.
“Ah empat
anakku itu berkelahi terus meributkan properti-propertiku, padahal aku masih
berdiri didepan mereka.”
Aku diam
saja mendengar curahan hati Jono. Kepedihan dan sedikit keputusasaan terpancar
di matanya. Aku kasihan melihatnya. Saat itu, aku merasa menjadi orang yang
beruntung dengan cara hidupku selama ini walaupun aku nggak memiliki harta. Aku
merasa bebas dari masalah perebutan properti karena anak-anaku sibuk kuliah dan
sekolah. Tak ada seorangpun diantara anakku yang suka membicarakan tentang
properti yang kami miliki, sepertinya mereka juga nggak kepikiran sama sekali.
Mereka selalu berharap aku dan istriku selalu sehat agar bisa terus mendampingi
mereka.
Aku
dengar hanya anak bungsu Jono saja yang terus berkuliah, sedangkan ketiga
kakaknya tidak ada yang bisa menyelesaikan kuliah. Anak tertua Jono hanya bersekolah sampai tingkat SMA, kemudian
menikah. Selama pernikahannya, Jono lah yang membiayai hidup anak itu beserta
istrinya, karena dia tidak memiliki pekerjaan tetap.
Pernah
kutanyakan kepada Jono, kenapa anak sulungnya itu tidak melanjutkan sekolahnya.
Jawaban Jono membuatku berpikir bahwa memiliki banyak harta tidak selalu
membuat hidup lebih mudah.
“Nggak
apa-apa, nanti dia bisa bikin usaha sendiri. Bisa memakai jatah rumah dan tanah
miliknya.”
Seperti
biasanya saat itu aku debat pola pikir Jono, “Jon, kalau lu didik anak lu
begitu, anak lu nantinya bakalan nunggu kapan waktunya lu mati. Anak lu nggak
bakalan mau kerja keras karena lu manjain dia dengan harta benda,” keras
suaraku saat itu.
“Enggaklah,
nggak mungkin dia begitu. Malah dia bakalan berterima kasih karena gue
udah nyiapin segalanya buat bekal hidupnya.”
“Terserah
lu!” suaraku semakin meninggi.
“Gue
mesti gimana ya, To?”
“Sebagai
Sarjana Hukum, gue diajarin di kampus bagaimana pembagian
harta waris baik menurut hukum Islam, hukum adat, maupun hukum barat.
Masing-masing sistem hukum itu mengatur pembagian harta waris agar ahli waris
mendapatkan bagian secara adil.” Jono mendengarkan penjelasanku dengan serius.
“Secara
Islam, waris itu adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah
meninggal dunia. Kalau lu masih hidup namanya hibah.”
“Lha, gue
kan belum mati, masak gue udah disuruh bagi-bagi harta warisan.”
Aku
pengen bilang, “Kan gue sering bilang ke lu kalau harta yang lu kumpulin satu
demi satu itu bakalan jadi rebutan anak-anak lu, didepan mata lu yang masih
sehat. Anak-anak lu jadi ngarepin lu mati!”, tapi beraninya cuma dalam hati saja.
Sejak
saat itu, aku nggak pernah ketemu lagi sama Jono. Pertemuanku dengan Jono
adalah ketika kudengar kabar kalau Jono masuk rumah sakit. Tubuhnya penuh
selang. Ternyata itu pertemuanku terakhir kalinya dengan Jono. Dia tak kuat
lagi menanggung ganasnya penyakit yang dideritanya.
Terakhir
kudengar anak sulung Jono dilaporkan ke polisi oleh adik-adiknya karena
memalsukan surat tanah dan bangunan ketika akan menjual aset yang diwariskan
Jono. Masing-masing pihak merasa berhak atas harta itu. Tak ada yang mau
mengalah. Tak ada lagi kerekatan hubungan kekeluargaan diantara mereka. Mereka
terlanjur manja dan menggantungkan hidupnya pada harta peninggalan Jono. Kasian
Jono.
Sebagai
muslim, aku akan menggunakan hukum Islam dalam mendapatkan dan memberikan
warisan. Ada ilmu Faraid untuk menghitung porsi pembagian warisan.
“Apabila
nanti ada pembagian waris, aku akan memberikan bagianku kepada ahli waris yang
tidak beruntung hidupnya atau dalam
keadaan sulit,” berkali-kali aku katakan itu kepada seluruh keluargaku. Aku
berharap tidak ada seorangpun ahli waris yang menaruh curiga kepadaku dan
pembagian warisan berjalan damai.
Aku membayangkan anak-anakku akan hidup dengan
pola sama denganku. Modal sekolah yang cukup, berkarya, tidak kekurangan, bisa
mengongkosi hidupnya secara layak. Harapanku mereka dapat berbagi dengan orang
lain. Tidak mengharapkan harta waris dan tidak memberi warisan yang besar.
Begitu seterusnya ke cucu dan cicitku kelak.
*ditulis bersama Purnomo