Kisah Para Doa

Satu petang, ia menjumput doa di bintang paling rendah
Doa yang masih baru selalu berlendir dan basah
Lalu ia lekatkan doa itu di atas ranting muda
Doa yang menyala pertanda terkabulnya suatu asa
Dulu ibunya mengajari begitu. 

Kata Ibunya,
Doa adalah leluhur mimpi
Yang dipetik dari tangis bayi dan tawa matahari
Untuk digenangkan bersama kumpulan cahaya terang

Kata Ibunya,
Doa menjaring semua nyawa
Nafas yang membentuk irama di muka semesta
Doa adalah syair yang menggema di relung jiwa

Maka bersyukurlah mereka yang diselimuti doa
Sejak ketuban meletup hingga nyawa tiada
Barangkali tak ada kisah yang lebih spektakuler dari terciptanya doa
Melebihi terciptanya kunang-kunang dari percikan lentera
Karena Tuhan mencintai doa doa dengan sepenuh hatinya


Mendengar cerita itu, dia tersenyum sambil memanjat pundak ibunya seraya berkata lirih.... 




















"barangkali aku adalah doamu yang paling bercahaya...
bukankah begitu?"



Gelisah

Tak ku temui birunya langit pagi ini
Rupanya terhalang awan kelabu yang berarak
Seakan-akan menjadi sebuah isyarat
Bagi jiwa yang sekarat

Mimpi yang membayangi
Menggelisahkan seisi hati
Dihempaskan ia sejauh-jauhnya
Namun kembali seperti semula

Ya Rabb, perlindunganMU kurindukan
Agar terhindar dari segala keburukan
Kasih sayangMU kudambakan
Agar diri ini senantiasa mendapat ketenangan


Jakarta, 27 September 2018

Pemandu Acara



Pemandu acara
Dituntut tuk menampilkan wajah ceria
Senyum yang menghias dibibirnya
Meski beban dipundak terasa jua

Pemandu acara
Berusaha menyuguhkan ide bercerita
Menjadikan suasana hangat terasa
Agar tak bosan disimaknya

Pemandu acara
Bukanlah pekerjaan yang mudah terlaksana
Banyak terjadi hal yang tak disangka-sangka
Meski telah disusun sebuah rencana

Pemandu acara
Tidak terseret dalam emosi jiwa
Harus siap menerima kritik bahkan cela
Agar esok lebih baik dari sedianya



Jakarta,  24 September 2018

Photo by Etna Ramadhani

Rumah Kaca

Awalnya saya gak pernah terpikir bisa membuat sebuah blog atau menjadi seorang blogger. Bahkan membayangkan untuk bisa menulis saja tidak pernah. Kejadian ini berawal pada awal tahun 2007 ketika banyak blogger yang sukses sebagai penulis, penjual, travelerfood phtotograph dan itu menarik minat saya untuk mulai menulis dan memiliki sebuah blog. Saya pun tidak banyak riset saat akan memulainya dan apa yang harus dituangkan dalam sebuah blog. Ketika mulai saya pun masih kebingungan soal tema atau topik apa yang akan ditulis. Akhirnya saya menulis sesuai apa yang saya ingat, ingin dan selanjutnya ditulis. Akhirnya tulisan pertama adalah mengenai tema Pemanasan global (global warming). Saya juga gak tau kenapa tema itu menjadi pilihan saya. Mungkin memang saya menyukai sesuatu terkait dengan nature conservation atau alam beserta lingkungannya. Jika kita berbaik dan berdamai dengan alam, alam akan berbaik dan berdamai dengan manusia. Jika manusia berbuat sebaliknya, maka alam juga demikian. Sebagai contoh ketika banyak pohon dilereng bukit yang ditebang dan diganti dengan tanaman palawija, maka alam akan memberikan tuahnya berupa landslide atau longsor. Itu hanya salah satu contoh mengenai alam. Makanya saya pilih alam sebagai tema tulisan di blog saat itu.

       Setelah menentukan pilihan tema tulisan dalam sebuah blog, kemudian saya perlu memilih nama blog-nya apa. Pada awal tahun 2007 hingga 2015, nama blog saya adalah “Green Environment”. Dan saat itu saya tidak berpikir perlu tautan agar pengguna internet membaca blog saya atau terlihat menarik. Hal-hal itu tidak terpikirkan dan hal utama yang saya pikirkan adalah saya dapat menuangkan ide atau pikiran dalam blog saya. Antara tahun 2007 hingga 2015, saya baru menulis dalam blog sebanyak 9 tulisan. What ? Iya. Kenapa waktu yang begitu lama saya tidak bisa menulis banyak ide? Iya banyak faktor seperti males, kerjaan (jadi kambing hitam lagi) dan masalah lain. Hingga pada tahun 2017, saya mencoba membuka diri dan mencari tahu soal tulis menulis hingga berusaha hadir di wokshop yang diadakan oleh kantor. Kebetulan workshop-nya mengundang Jombang Santani Khairen, yang menulis buku “30 Paspor di Kelas Sang Professor” dan Muthia Zahra Feirani sebagai mentornya. Mereka adalah anak-anak muda yang punya visi dalam menulis di usia yang sangat muda dan cukup terkenal. Hal itu juga memberikan inspirasi bagi saya yang sangat malas dalam menulis. Saya juga mencoba ikut beberapa kegiatan bedah buku yang diadakan perpustakaan kantor sebagai pelengkap dan penambah inspirasi saya dalam menulis. Akhirnya di tahun 2017 pula, nama blog saya berganti nama menjadi “Rumah Kaca”

     Ada beberapa latar belakang kenapa nama blog saya berubah menjadi “Rumah Kaca. Alasan pertama adalah soal lingkungan. Adanya peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas lainnya di atmosfir menyebabkan efek rumah kaca. Peningkatan gas-gas ini berasal dari banyaknya pembakaran bahan bakar minyak, batubara dan bahan bakar organik lainnya yang melebihi kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan bumi. Dan sebagian inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Jika keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan untuk menjaga perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu jauh berbeda. Makanya ide rumah kaca saya ambil sebagai bentuk bahwa tulisan atau ide saya dapat memberikan inspirasi bagi orang lain bukan malah menghambat dan hal ini juga menegaskan bahwa saya juga cinta lingkungan.

Alasan kedua adalah kritikan dan masukan dari pembaca dapat menjadikan inspirasi dan motivasi untuk saya tetap bisa menulis. Harapannya adalah tulisan saya bisa juga menjadi inspirasi bagi pembaca. Berdasarkan pertimbangan itu maka pilihan rumah kaca itu bisa diartikan sebagai tempat saya atau kita ber-“kaca” atau seperti kita melihat kaca. Jika ada yang tidak rapih, ya kita rapihkan. Jika ada gak pas, ya kita seuaikan. Jadi dengan alasan kedua ini saya juga bisa belajar banyak dari kritikan para pembaca agar saya bisa lebih baik lagi dalam menuangkan ide-ide di sekitar kita.

Alasan ketiga adalah hal yang sedikit disambung-sambungkan seperti dejavu. Saya dari dulu tidak banyak mengenal tulisan atau karya Pramudya Ananta Toer. Saya mengetahui beliau merupakan penulis yang selalu dikaitkan dengan keberadaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), merupakan organisasi kebudayaan yang berhaluan kiri dan dikaitkan dengan gerakan 30 September atau (G 30 S PKI). Tapi kembali ke Rumah Kaca pak Pramudya. Sekilas tentang buku ini yang merupakan tetralogi dari 4 buku beliau dimana buku pertama berjudul ‘Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”. Jika 3 buku sebelumnya menceritakan soal Mingke namun di buku ke-4 ini  bercerita tentang Jacques Pangemanann yang merupakan komisaris polisi Belanda kelahiran Manado yang menyelesaikan studinya di Perancis. Latar belakang cerita buku ini pada masa kebangkitan sekitar awal 1900-an. Pada jejak langkah terakhir, Pangemanann menangkap Mingke alias RM Tas dan mengantar ke tempat pembuangan di Maluku. Kemudian Pangemanann mendapat tugas baru untuk memata-matai berbagai organisasi pada masa itu yang berasal dari Indonesia dan menyusup kedalamnya. Dan Pangemanann menamakan pekerjaannya seperti bekerja di rumah kaca. Makanya Pak Pram menulis bukunya berjudul “Rumah Kaca” yang menceritakan soal pekerjaan mata-mata Pangemanann.

Jadi berdasarkan alasan-alasan diatas, maka begitulah penamaan blog saya yang berdasarkan alasan baik yang sebenarnya maupun yang dikait-kaitkan dengan buku “Rumah Kaca” karya Parmudya Ananta Toer. 


Cerita ini juga bisa dibaca di tautan berikut :  
 https://rulyardiansyah.blogspot.com/2017/12/rumah-kaca.html

Kota besar, serupamu










Kota Besar,

Gemerlap,
Biru
Menarik inginku,
Menarik rinduku,

Tersesat,
Hilang arah,
Mana jalan datang,
Mana celah pulang,

Tersimpuh,
Hilang sapa,
Mana acuh,
Mana rengkuh

Kota besar
Gemerlap
Biru,
Serupamu
Kemarinmu


                     Ged.Sutikno Slamet, 19 Sept 2018

Tak perlu menunggu untuk bersyukur

Alkisah ada seorang PNS meninggal dunia. Jabatan terakhir beliau adalah Eselon III. Dari sisi usia, beliau tergolong masih muda, tapi toh ajal tidak ada hubungannya dengan tua-muda.

Setelah selesai ritual awal alam kubur, Malaikat membawa sang PNS berjalan-jalan ke kerajaan Allah. Di Kerajaan Allah dia diperlihatkan dua ruangan yang sangat besar. Dua ruangan tersebut dijaga masing-masing oleh satu malaikat. Bedanya adalah yang satu malaikatnya sangat sibuk mencatat dan menyimpan berkas-berkas dalam rak-rak yang menjulang tinggi, sedangkan malaikat di ruangan yang satu lagi terlihat sangat santai bahkan nyaris tidak mengerjakan apa-apa.

Terdorong rasa heran yang sangat, si PNS bertanya "wahai Malaikat, ruangan apakah ini?" "mengapa malaikat penjaganya sangat sibuk?". Dengan tersenyum sang Malaikat menjawab, "ini adalah ruangan permohonan dan permintaan. Disini semua permohonan dan permintaan semua makhluk dicatat dan disampaikan ke Allah".

"Coba kau lihat laci yang dipojok sana, itu adalah kumpulan semua permohonan dan permintaanmu sewaktu masih hidup. Tirakatmu, puasamu, doamu pada saat kamu ingin menjadi pejabat, semua tercatat disana."

"Pada saat masih staf kamu meminta dan memohon untuk jadi pejabat eselon IV, dengan alasan posisi tersebut akan memberimu kesempatan untuk berbuat lebih baik. Hari pertama kamu dilantik, kami mencatat bahwa kamu sudah langsung memohon untuk diberikan umur panjang agar dapat menjadi pejabat eselon III karena kamu berpikir bahwa jabatan eselon IV belum dapat membuat kebijakan sehingga kamu perlu dapat membuat kebijakan untuk berbuat lebih baik."

"Permohonanmu terkabul, tapi apa yang terjadi? kamu kembali sibuk bermohon agar dapat diberi kesempatan menjadi pejabat eselon II bahkan sampai ajalmu tiba."

Si PNS terdiam. "Lalu ruangan apakah yang sepi itu wahai Malaikat?"

"Itu adalah ruangan ucapan terima kasih dan rasa syukur" jawab sang Malaikat. "Kau lihat sendiri kan perbandingannya?". "Jarang sekali Malaikat yang menjaga ruangan tersebut mencatat ucapan terima kasih ataupun rasa syukur manusia. Manusia hanya sibuk meminta dan memohon tapi lupa untuk berterima kasih dan bersyukur."

Si PNS menangis, "Ya Allah, ampunilah aku, seandainya tidak KAU cabut nyawaku dan aku masih punya kesempatan jadi pejabat eselon II, niscaya aku akan lebih baik dan lebih banyak bersyukur ya Allah."

Sang Malaikat menggeleng-gelengkan kepalanya dan sambil menarik kembali si PNS ke kuburannya dia berkata "maaf, umur itu rahasia Allah. Seharusnya kamu tidak perlu menunggu jadi pejabat eselon II untuk berbuat baik dan bersyukur, lagian pangkat kamu belum cukup jadi eselon II kamu sudah minta-minta aja."


***



Jakarta, 21 September 2018

GIVE WAY

Give Way atau memberi jalan adalah istilah yang baru gue kenal ketika akan nyetir di Australia. Akibat tuntutan keadaan, saat disana gue harus beli mobil dan nyetir sendiri. Secara teknis tidak ada kendala karena mobil-mobil disana sama seperti disini, posisi setir di kanan. Kelengkapan dokumen juga tidak masalah, karena ada ketentuan bahwa Surat Ijin Mengemudi (SIM) dari Indonesia cukup diterjemahkan oleh penterjemah tersumpah untuk dapat dipakai sebagai SIM lokal di Australia. Paling gue harus memperhatikan batas kecepatan kendaraan yang berbeda-beda di tiap ruas jalan, tapi ini pun tidak masalah karena ada menu peringatan speed camera di GPS.

"eh belajar give way dulu lu!" kata temen gue yang udah lama disana. "Main nyetir aje, kena denda langsung melarat lo!" lanjutnya lagi. "hah? give way? apaan tuh?" balas gue gak ngerti. Akhirnya temen gue ngejelasin kalo di Australia itu aturan untuk mendapatkan lisensi mengemudi itu tidak mudah. Harus ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum seseorang dinyatakan cakap untuk mengemudikan kendaraan di jalan raya. "Oh...ujian SIM" jawab gue sambil garuk-garuk kepala. Maklum, seumur-umur punya SIM gue belum pernah sekalipun ikut ujian SIM, jadi sebenarnya gue tidak tahu kecakapan yang bagaimana yang harus dimiliki seorang pengemudi kendaraan bermotor he he he.

"Indonesia banget lu..!" bentak temen gue dengan kesal. "Lu itu kalo bawa kendaraan di jalan raya tanpa kecakapan mengemudi itu sama aja dengan pembunuh yang berkeliaran" lanjut temen gue. Oops, kaget juga gue ngedengernya. "So, gue harus ambil SIM sini gitu? kan cukup SIM Indonesia gue terjemahin?" balas gue. "Ya harusnya sih begitu, tapi berhubung lu gak lama disini, paling nggak lu paham aturan-aturan lalu lintas disini" jelas temen gue. Akhirnya gue dikasih laman  https://www.raa.com.au/motoring-and-road-safety/learning-to-drive/give-way-questions untuk belajar give way.

Akhirnya gue bukalah laman tersebut buat belajar. www.raa.com.au adalah sebuah laman yang memberikan jasa bantuan terhadap segala kebutuhan kendaraan bermotor. Disana ada segmen online learner's test yang terdiri dari 3 bagian yaitu give way questions, multiple choices, dan hazard perception test. Sebenarnya untuk kualifikasi L atau status belajar, kita harus mengerjakan semua bagian tes tersebut, tapi karena gue hanya butuh untuk belajar 'adab' berkendara yang 'manusiawi' maka gue cuma fokus pada give way test.

Give way test ini ternyata adalah suatu tes yang menggambarkan simulasi keadaan yang pasti akan kita temui di jalan raya, baik kita sebagai pengemudi maupun pejalan kaki. Terdiri dari 8 soal yang wajib dijawab dengan benar semuanya. Kalau ada satu jawaban yang salah, kita harus mengulang kembali.

salah satu simulasi keadaan di jalan raya.


Pertanyaan dalam give way test ditampilkan dalam bentuk animasi gambar. Dari animasi gambar tersebut kita diberi 2 pilihan jawaban. Begitu kita klik jawaban yang kita pilih, maka animasi tersebut akan bergerak dan kita akan tahu akibat dari pilihan jawaban kita tersebut. Gue sangat takjub pada saat melakukan tes tersebut lalu mengerti pernyataan temen gue tentang "pembunuh berkeliaran" tadi. Dalam tes ini, kalau kita tidak memahami dengan baik siapa yang harus memberi jalan terlebih dahulu, maka kita akan diberi tahu akibat terburuk yang akan terjadi, yaitu kecelakaan. Disini saya tersadar mengapa tingkat pendidikan suatu negara tercermin dari kondisi lalu lintasnya. Bukankah orang yang berpendidikan itu akan sangat menghargai hak asasi manusia yang paling dasar yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup tersebut dapat dengan sia-sia terenggut oleh orang-orang yang tidak mengerti etika memberi jalan di jalan raya.

Beberapa waktu lalu kakak gue membanggakan diri bahwa dia berhasil lulus ujian SIM di Polres setempat. Teringat dengan pengalaman di Australia, gue lalu bertanya tentang give way test ini. "Oh ada dong!" jawab kakak gue. Karena penasaran akhirnya gue googling "sistem ujian SIM online" dan ternyata memang benar, ada semacam give way test namun dengan format yang berbeda. Dalam laman korlantas.polri.go.id terdapat segmen latihan ujian SIM online, baik untuk SIM A maupun SIM C. Format pertanyaan adalah benar salah dan dilengkapi dengan animasi gambar. Jumlah soal latihan tersebut adalah 30 soal dan harus dikerjakan dalam waktu maksimal 16 menit. Tidak ada notifikasi apakah jawaban kita tersebut benar atau salah, tidak ada pula animasi yang menunjukkan akibat dari jawaban benar atau salah tersebut. Yang ada hanya notifikasi waktu pengerjaan ujian yang tersisa.

Secara konsep, apa yang terdapat dalam laman korlantas.polri.go.id tersebut sama dengan laman raa.com.au, yaitu mencoba menggambarkan kondisi riil yang dihadapi pengemudi di jalan raya. Yang berbeda adalah dampak yang ditimbulkan apabila kita memilih jawaban yang salah. Betul bahwa dampak tersebut bisa jadi berbeda dalam prakteknya, karena ada unsur kesigapan pengemudi dalam mengendalikan keadaan yang tiba-tiba dihadapi. Namun asumsi ini tidak dimasukkan dalam pertimbangan dalam membuat etika tersebut. Sekali lagi, ini berkaitan dengan nyawa manusia dan kerugian materil lainnya, tidak boleh ada asumsi disana. Adanya dampak yang ditimbulkan ketika kita menyalahi etika give way akan benar-benar membekas dalam ingatan ketika kita menjalankan kendaraan ataupun menjadi pengguna jalan lainnya di jalan raya. Give way juga akan meringankan atau memberatkan posisi kita ketika terjadi kecelakaan di jalan raya.

Di Indonesia, khususnya di Jakarta, terlihat sekali bahwa konsep give way ini tidak dipahami oleh sebagian besar pengguna jalan. Pokoknya, siapa yang duluan itu yang menang, siapa yang paling ngotot di jalan maka dia yang akan cepat sampai. Hal demikian dapat dipahami mengingat orang-orang seperti gue ini (punya SIM tanpa ujian) masih sangat banyak. Pengetahuan berlalu lintas di Indonesia lebih banyak didapat secara otodidak dan 'sekenanya'. Pokoknya kalo gak ditilang Pak Polisi berarti aman.

Rome was not built in a day. Membangun suatu sistem, peraturan ataupun budaya berlalu lintas tidak dapat dilakukan dalam sekejap, semudah menggosok-gosok ceret ajaib  lalu terkabul. Butuh waktu dan proses. Aturan legal formal yang telah ada pun tidak akan berarti apa-apa jika implementasinya tidak dilakukan dengan tepat. Dengan segala infrastruktur yang sudah tersedia, seharusnya pemerintah hanya perlu strategi implementasi yang baik. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah 'mempersulit' masyarakat untuk mendapatkan SIM, baik SIM pertama ataupun perpanjangan. Memahami peraturan lalu lintas serta cara berkendara dengan baik, aman dan sesuai peraturan yang dibuktikan dengan lulus ujian SIM adalah syarat wajib untuk mendapatkan/memperpanjang SIM. Akan lebih bagus jika metode ujian SIM tersebut dapat lebih disederhanakan sebagaimana contoh di Australia tadi. Berikutnya tentu penegakan peraturan yang tegas dan tidak pilih kasih sehingga benar-benar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar peraturan lalu lintas. Butuh waktu dan konsistensi memang, namun jika tidak pernah dimulai kita tidak pernah tahu kapan akan selesai.

Dari pengalaman yang gue alami, give way ini sebenarnya tidak hanya dipraktekkan masyarakat Australia ketika berkendara. Konsep tersebut ternyata berlaku dimana-mana, dan bahkan untuk hal-hal yang mungkin menurut kita sangat sepele seperti memberikan ruang untuk menyalip pada saat kita berada di eskalator. Disitu terlihat bahwa adanya kesadaran untuk tidak mempersulit orang lain, tidak menghalangi jalan orang lain telah menjadi suatu kebiasaan baik yang dibudayakan. Kebiasaan baik yang menjadi budaya tersebut kemudian 'diamankan' dalam peraturan-peraturan formal/non formal. Tidak mengetahui aturan-aturan tersebut atau melanggar aturan-aturan tersebut akan mendapatkan sanksi, baik sanksi sosial maupun sanksi hukum yang tegas.

Di Indonesia, mungkin gue yang kudet, tapi gue belum menemukan adanya suatu kebiasaan baik masyarakat yang sedemikian pentingnya sehingga masyarakat bersama-sama dengan pemerintah sepakat untuk menjadikannya sebuah aturan legal formal yang mengikat semua orang. Entahlah untuk hal lain, tapi untuk kebiasaan give way saja gue sulit menemukannya dalam keseharian, baik itu memberi jalan secara harafiah maupun memberi jalan dalam artian memberikan kesempatan bagi yang lebih berhak.

***

Jakarta, 20 September 2018
  


Terjebak Jargon

Banyak jargon berseliweran di sekitar kita. Bila tak pandai menyikapinya maka kita dapat terjebak di dalamnya. Misal jargon : ‘Pembeli Adalah Raja’.

Tulisan ini akan mengulas dari kacamata konsumen saja. Sebagai konsumen, maka reaksi tiap orang tentu saja beragam ketika ada ketidakpuasan dari barang / jasa yang diterima oleh konsumen. Ada yang biasa saja, seolah tidak mengindahkan adanya jargon tersebut. Ada pula yang menyikapinya dengan : ya sudah…. mari kita coba menanyakan ini kepada produsen atau penyedia jasa tersebut. Selain itu ada pula konsumen yang cukup reaktif menanggapi ketidakpuasan tersebut.

Untuk tipe konsumen no 3 ini, maka sebaiknya berhati-hati dan lebih mawas diri, karena bisa jadi reaksi yang ditimbulkannya malah merugikan dirinya sendiri. Bisa jadi dia menyikapinya dengan marah-marah, bisa jadi dia menyikapinya dengan gaya ‘bossy’ nya karena merasa “Pembeli adalah Raja”, merasa uangnya bisa membeli apa saja, merasa dia sedang memperjuangkan hak yang seharusnya dia terima, namun lupa bahwa cara yang dia tempuh malah menyuburkan ego pribadinya yang sebenarnya justru lebih merugikan dirinya sendiri.

Ada di posisi manakah diri kita?


Jakarta, 20 Sep 2018