“Jangan kamu melawan arus dik,
nanti kamu mati”
Entah kenapa kalimat itu keluar
dalam pikiran saya, setelah saya menuliskan judul dari tulisan ini. Belakangan
ini menjadi sama dengan dunia adalah pilihan yang paling mudah bagi kebanyakan
orang, memilih berbeda atau bahkan sekedar terlihat berbeda menjadi ketakutan
tersendiri bagi banyak orang. Sepertinya hidup ini hanya ada dua pilihan ikut
sini apa ikut sana padahal sebenarnya banyak sekali opsi-opsi yang tersedia
bagi kita. Eh, ada sih yang memilih pilihan ketiga, yaitu berdiam diri,
tersenyum dan mengangguk-angguk ketika dipojokkan dengan pilihan sini apa sana
padahal di dalam hatinya dia memilih opsi keempat atau bahkan kelima.
Lalu ada yang bermimpi memiliki
jalan hidup berbeda tetapi takut untuk melihat dunia, menghayal tentang
indahnya dunia tetapi takut melangkah keluar rumah. “Jangan dik, di luar banyak
orang jahat, nanti kamu mati", ingatnya.
Tapi ada juga yang terlalu banyak
melihat keluar, membandingkan dirinya dengan orang lain, lalu menderita di
tengah kekurangannya dan akhirnya menyerah pada keadaan sembari berharap ada
tangan terulur mengangkatnya ke puncak dunia. "Sabar dik, Tuhan tidak tidur",
gumamnya.
Tapi ada loh yang bermimpi menjadi "pionir" reformasi birokrasi dan menjadi “contoh”
bagi yang lainnya dengan dalam sunyi. Tanpa pemberitaan, tanpa hingar bingar di
media sosial. Berpuas diri dalam sunyi “kami sudah lebih baik” tapi kemudian
mengerdilkan diri di hadapan orang lain dan sekedar mengukurnya dalam berapa
banyaknya jumlah rupiah sembari berkata "ini sudah sangat murah",
pembelaan ini menjadi receh kalau kata kids zaman now. Menghindari perdebatan
dengan kata-kata sakti "murah". "Jangan di-posting dik, nanti
riya'" tegurnya.
Aduh, bukan itu konteksnya. Ini
semua soal cara bukan sekedar sampai. Menjadi sama dengan dunia memang mudah,
sedetik saja melihat, kita sudah tahu kemana arah arus mengalir.
"Dik, kamu harus jadi pemenang.
Menang untuk dirimu, keluargamu, dan bangsamu. Jangan sekedar terbawa arus dan
akhirnya mati terantuk batu".