"Klontaang!" suara mainan plastik tak sengaja terkena langkah kakiku hingga terpelanting cukup jauh.
"Tuh kan, rumah sudah berantakan banget Mas, sudah waktunya beberes," ujar istriku beberapa detik setelahnya.
"Aduh, capek ini mau ngapa-ngapain, besok-besok aja lah kalau udah gak males," jawabku sembari menyembunyikan mainan plastik tadi ke kardus di atas meja.
"Ah, kamu sih tiap hari juga males," sergah istriku.
"Hehe, lagian kita masih bisa tidur kan, jadi belum berantakan-berantakan banget lah," timpalku sambil nyengir.
Istriku hanya bisa mengakhiri percakapan saat itu dengan menghela nafas dan sedikit bersungut.
*** seminggu kemudian ***
"Mas, si Tyas nanti mau ke sini, dia mau minta diantar lihat kontrakan di sekitar sini," istriku membuka minggu pagi dengan breaking news yang cukup mengagetkan.
Tyas adalah teman kantor istriku yang berstatus calon pengantin yang sedang mencari-cari kontrakan. Sebelumnya, istriku menginfokan padanya bahwa ada kontrakan kosong di dekat tempat tinggal kami.
Bukan rencana kehadiran Tyas sebenarnya yang mebuatku terkejut, tetapi kesemrawutan rumah yang menjadi kekhawatiran.
"Waduh, rumah kita berantakan banget ini, gimana dong?" tanyaku singkat sambil garuk-garuk kepala.
Pertanyaan retoris sebenarnya, karena aku tak butuh jawabannya. Yang aku butuhkan adalah gerak cepat membereskan rumah. Maklum, sebagai orang Indonesia, pepatah 'tamu adalah raja' masih membayangiku. Akan jadi aib jika menerima tamu dalam kondisi rumah yang amburadul.
"Ya salahmu sendiri, aku kan sudah bilang untuk membereskan rumah dari minggu lalu," timpal istriku
"Kamu sih ngeyel kalau dibilangin," tambah istriku melanjutkan.
Alhasil, dengan bergegas aku bersih-bersih rumah. Langkah strategis perlu diambil agar tak memakan waktu lama. Diawali dengan memasukkan segala perintilan yang tergeletak di lantai ke dalam kardus. Prinsipnya, yang penting disembunyikan dulu dan ruangan terlihat rapi.
Setelah itu prosedur yang harus dilalui adalah menyapu, mengepel, hingga mencabuti rumput liar yang sudah gondrong di halaman depan.
Tak lupa mengatur tata letak barang di ruang tamu yang sebelumnya sungguh layaknya kapal pecah. Sekali lagi, prinsipnya yang penting terlihat tidak berantakan dan layak huni.
Setelah mencurahkan keringat dan membanting tulang selama kurang lebih dua jam, akhirnya rumah kami sudah berhasil tampak rapi dan siap menerima tamu. Lantainya sudah mengilap lengkap dengan aroma wewangian cairan pembersih lantai. Halaman rumah juga sudah plontos, bebas dari rumput-rumput liar yang mengganggu pandangan.
Tak lupa karpet kami gelar untuk menyambut tamu. Meskipun alasan utamanya karena kami memang tak punya kursi tamu.
"Wuih, bersih amat mas giliran mau ada tamu," istriku mengomentari hasil jerih payahku.
"Kalau diminta istri sendiri aja gak mau beres-beres, giliran mau ada tamu langsung pontang-panting," sindir istriku melanjutkan komentarnya.
"Yah, namanya juga mau ada tamu, kan malu kalau rumahnya kelihatan berantakan," ujarku penuh kepasrahan.
*****
Kejadian serupa dengan cerita di atas, seringkali terjadi dalam keseharian keluarga-keluarga Indonesia. Banyak orang yang tiba-tiba rajin bersih-bersih rumah karena mau ada tamu berkunjung, mau ada arisan, atau mau ada selametan. Padahal sebelumnya mereka sadar bahwa rumahnya perlu dibersihkan. Anggota keluarganya pun mungkin sudah sering mengeluhkan. Tapi baru ada pergerakan justru ketika ada orang lain yang mau datang.
Tujuannya memang terpuji, semata-mata ingin memuliakan tamu. Namun, bukankah alangkah baiknya jika beberes bukan hanya ketika hanya ada tamu saja. Toh penghuni rumah juga butuh kenyamanan.
Parahnya, kebiasaan itu juga terbawa dalam urusan mengelola apapun di negara ini. Tengok saja penyelenggaraan Asian Games sebagai contoh terkini. Menjadi tuan rumah, Indonesia bersolek menyambut tamu se-Asia. Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan bersama Palembang, tampak habis-habisan menghias diri.
Trotoar-trotoar diperluas dan disterilkan, jalan-jalan diaspal sampai mulus, sungai ditutupi dan ditaburi agar tak bau, wilayah ganjil-genap diperluas untuk mengurangi kemacetan, bahkan anak sekolah akan diliburkan agar lalu-lintas Jakarta terlihat lancar di mata para tamu. Itu belum termasuk hal-hal lain yang dikerjakan untuk memperindah penampilan Jakarta.
Tidak salah dan memang sudah seharusnya demikian. Namun, bukankah trotoar yang tak layak, jalan yang berlubang, sungai yang bau, dan kemacetan adalah masalah akut yang selalu dikeluhkan oleh warga Jakarta sejak lama. Kenapa langkah-langkah tadi tidak dijalankan sebelumnya dan baru dilakukan setelah mau ada tamu?
Fenomena ini kembali mengingatkan saya bahwa komponen negara yang paling kecil adalah keluarga. Dari komponen terkecil itu lah karakter negara dibentuk. Kebiasaan negara ini tak jauh-jauh dari kebiasaan para keluarga yang menjadi penghuninya.
Oleh karena itu marilah kita mulai sadar bahwa membuat baik dan membereskan negara ini bukan melulu tentang setiap hari lembur hingga malam menyelesaikan yang katanya 'urusan negara'. Bergegas lah pulang pada waktunya untuk membuat baik dan memperhatikan keluargamu. Jika keluarga kita sudah bisa baik, tak usah capek-capek kau urus, negara ini juga akan jadi baik. (epp)