Namaku Hana, dan ini adalah kisahku...
Siang itu, bell pulang di sekolahku baru saja berbunyi ketika hpku berdering, suara ayah disana terdengar cukup kencang,
"Hana, kamu dimana?"
"Ini baru saja mau pulang, Yah", jawabku
"Cepat pulang ya, Mama menunggu kamu di rumah, katanya ia ingin minta temani kamu jalan-jalan"
Aku mengeryitkan dahi, jalan-jalan? Pikirku. Di siang terik begini? kemana?
"Iya sebentar Yah, Hana mampir ke perpus sekolah dulu ya"
Ayah cepat menjawab, "besok saja ke perpusnya Han, kamu pulang sekarang ya, kasihan Mama sudah menunggu kamu di rumah"
"Yaa tapi Yah..."
"Hana dengar, kamu pulang sekarang juga ya, Nak"
Suara ayah terdengar tegas, tumben biasanya ayah selalu lembut pada kami, dan aku memilih patuh.
"Oke Yah" jawabku.
Sampai di rumah, mama sudah menungguku dengan pakaian rapi. Ternyata siang itu, mama mengajakku pergi jalan-jalan di Dufan. Berdua saja.
Kami menyelusuri Dufan dengan gembira. Aku suka melihat keceriaan di wajah mama. Hampir separuh wahana kami nikmati, ketika mama mengajakku ke salah satu restoran disana.
Kami menikmati makanan sambil saling bercerita hal-hal yang lucu. Sesekali mama mengusap kepalaku,
Sampai akhirnya, mama bertanya,
"Han, apa pendapatmu tentang Ayah?"
"Ayah kenapa Mah? Ayah baik-baik saja kok" Aku bingung tak mengerti arah pertanyaan mama.
Mama memandangku, ada selaput bening di mata mama, membuat mata mama tampak seperti kaca,
"Ya Han, Ayahmu sangat baik, ia tak pernah membeda-bedakan kalian meskipun kamu bukanlah anak kandungnya"
Keterkejutan memenuhi hatiku, ribuan kenangan tergambar bagai film yang sedang diputar ulang di kepalaku, ayah yang selalu menggendongku ketika aku kecil, ayah yang selalu menemaniku kemana aku ingin pergi, ayah yang selalu mengkuatirkan aku di saat aku sakit, ayah yang ada di sisiku...selalu...
ternyata tak ada darahnya mengalir di tubuhku.
Mama mengenggam tanganku, sambil berkata,
"Mama harap sikapmu tak berubah ke Ayah, Han"
Aku tak mampu bicara apa-apa, hanya airmata dan hatiku yang berkata tentu saja aku tak akan berubah, ma sambil memeluk mama.
Erat.
Rasa penasaran menemukanku pada satu nama,
Zulfikar.
Asal Muara Rimba.
Ya, itulah nama ayah kandungku.
Bermalam-malam aku tak bisa tidur, bayang-bayang ayah kandungku selalu menganggu pikiran, aku tak bisa menepis rasa keingintahuanku terhadap sosoknya, bagaimana wajahnya, cara berbicara dan berjalannya, serupa siapakah dia? Apakah ia mirip denganku? Bertanya pada mama seperti mengorek luka lama, mama enggan bercerita mengenang masa lalunya. Akhirnya aku hanya tahu bahwa nama ayahku adalah Zulfikar dan ia bekerja sebagai dosen di sebuah universitas ternama di Jakarta.
Suatu sore, aku memberanikan diri untuk mendatangi universitas itu, dan bertanya pada salah seorang satpam disana. Di ruang tunggu jantungku berdegup kencang, aku membayangkan akan seperti apa pertemuanku dengannya, apakah akan terjadi drama seperti di film-film Bollywood yang berurai airmata atau malah jangan-jangan di hadapannya aku malah akan kehilangan kata-kata.
Tak berapa lama lewat di hadapanku seorang laki-laki berusia separuh baya, langkahnya cepat menuju ke mobilnya. Aku menghampiri dan bertanya padanya,
"Maaf Pak, apakah Bapak yang bernama Zulfikar?
Dia menoleh padaku, dan berkata,
"Iya saya, ada apa ya?" suaranya tenang, tanpa emosi.
Lidahku kelu, ingin aku mencium tangannya dan memeluk laki-laki paruh baya ini, berperawakan sedang dengan kaca mata tebal, oh..inikah ayah kandungku?
Rasa haru menuntunku untuk berkata,
"Saya anak kandung Bapak.." suaraku hampir tak terdengar,
Laki-laki itu terkejut sejenak, kemudian berkata, " Maaf saya gak mengerti..."
"Saya anak Bapak dengan Ibu Farida", kuulangi lagi pernyataan itu.
Langkah laki-laki itu terhenti, ia memandangku, "Ooh..saya ingat sekarang, yang menikah dengan Ibu Farida asal Jakarta kan? Kemudian melahirkan di RS Harum, kalo enggak salah Bu Farida yang punya saudara laki-laki yang bernama Anto, ya kan?
"Iya...iya..." kataku cepat, Aku agak kaget, ia cepat sekali mengingat kehidupan masa lalunya, tanpa disergap perasaan apapun,
"Tapi saya bukan Zulfikar yang Adik maksud, memang di kampus ini ada dua orang dosen yang bernama Zulfikar, yang satu lagi benar Zulfikar asal Muara Rimba, kalau saya Zulfikar asal Damiri, maaf saya harus pergi sekarang, Dik..."
"Oh..maaf Pak" kataku, malu.
Laki-laki itu bergegas menuju mobilnya, dan segera melaju meninggalkan aku.
Aku kembali lagi ke kampus, dan kini aku bertanya pada seorang petugas TU di kampus itu, dan katanya,
"Tidak ada dua nama Zulfikar di kampus kami dari dulu, Dik. Dosen yang bernama Zulfikar cuma ada satu dan ia berasal dari Muara Rimba. Orangnya yang baru saja Adik temui tadi."
Aku termenung di halaman kampus. Sosok ayah berkelap-kelip di kepalaku, dan tiba-tiba saja aku ingin pulang memeluk ayah di rumah.
Seperti dituturkan kepada penulis.
Duren Sawit, Juli 2018