“Ketemu di stasiun ya!” suara si
Akang di ujung telepon seperti perintah majikan ke anak buahnya.
“Iya, kangmas,” balas Iteung.
Di stasiun, Iteung lihat si Akang
jalan terburu-buru menuju peron. Iteung kejar si Akang dengan lari-lari. Sekuat
tenaga Iteung berlari, walau kekuatan tetep aja nggak lebih bagus dari
kura-kura. Perasaan teriak udah kenceng tetep aja si Akang nggak noleh ke
Iteung. Ih nyebelin banget ya. Nggak lihat apa Iteung sudah berusaha memanggil
sambil berlari sampai keringetan.
Eh tanpa basa basi, si Akang
langsung masuk kedalam kereta. Ya terpaksa tenaga dalam Iteung keluarin lagi
buat masuk ke kereta. Hampir aja, badan Iteung yang kecil mungil ini kejepit
pintu kereta.
“Akang mah, bukannya nungguin
Iteung. Ngacir aja kayak lagi dikejar debt collector,” Iteung kesal bukan main
alias serius.
“Lha, daripada ketinggalan kereta,
ya mending ngacir.”
“Jadi Akang tau kalo Iteung
lari-lari ngejar Akang?”
Si Akang ngangguk. Rasanya pengen
Iteung pukul kepalanya si Akang biar dia tau penderitaan Iteung ngejar si Akang.
Di perjalanan seperti biasa,
Iteung dan Akang ngobrol ngalor ngidul. Walau sih sebenarnya banyakan Iteung
yang nyerocos seperti beo yang belum dikasih makan. Si Akang mah cuma
ngangguk-ngangguk aja atau geleng-geleng kepada. Ya sudahlah, anggap aja Iteung
lagi latihan pidato. Siapa tahu nanti Iteung kepilih jadi ketua RT, kan harus
pintar pidato.
Tiba-tiba, ketika Iteung sedang
asyik ceramah dan si Akang asyik manggut-manggut, kereta berhenti, padahal
mulut Iteung masih mangap. Semenit dua menit masih berhenti. Sekitar lima belas
menit terdengar pengumuman dari Pak Masinis.
“Mohon perhatian, para penumpang
kereta Commuter Line,”
Dengan sigap Iteung perhatikan pengumuman
apa yang akan diberikan oleh Pak Masinis. Siapa tahu ada pembagian tiket
gratis. Lumayan kan.
“Sehubungan dengan adanya kendala
pada aliran listrik di stasiun Depok, maka untuk sementara kereta belum dapat
diberangkatkan. Sekian, dan mohon maaf.”
“Aduh, ada-ada aja,” terdengar
suara penumpang yang marah-marah. Iteung juga pengen marah sih, karena di rumah
udah nunggu para asisten rumah tangga yang mau konsultasi sama Iteung. Biasa kerjaan sambilan. Lumayan hitungan
konsultasinya per menit. Apalagi kalau ada yang mau curhat putus cinta, pasti
bayarannya nambah. Lumayan buat beli semangkok bakso.
Iteung nengok ke luar jendela. Aduh mogoknya
di tengah jalan pula, bukan di stasiun tujuan. Sekitar setengah jam kereta
berhenti, Iteung mulai nggak betah.
Satu per satu penumpang mulai loncat keluar dari kereta,
terlebih laki-laki. Iteung juga jadi gelisah nggak menentu. Iteung jadi nggak
betah diam, udah mulai loncat-loncat geus plus aerobik di kereta. Sampai banyak
penumpang yang melotot ke Iteung karena merasa terganggu. Pantes aja dari tadi si Akang agak menjauh
dari Iteung, sepertinya malu melihat kelakuan Iteung yang hiperaktif.
Lama-lama, semakin banyak orang
yang loncat dari kereta karena udara di kereta mulai panas. Melihat itu, Si
akang ngajak Iteung turun dari kereta. Kepala Iteung nengok keluar pintu, ah
lumayan tinggi juga. Bisa-bisa keseleo kalau Iteung turun.
“Udah gampang nanti digendong sama
Akang. Nanti Akang turun duluan,” kata si
akang sambil loncat ke bawah.
Aduh kenapa si Akang cepet banget
ngasih aba-abanya. Iteung kan jadi rempong bawa tas dan keresek item berisi
gorengan. Sayang kan kalo dibuang, soalnya ada cireng dan comro kesukaan Iteung.
Ketika Iteung mau loncat, kenapa si Akang malah menjauh….
”Akang…Akang tunggu Iteung dong. Kenapa ninggalin Iteung,” aduh bisa abis nih suara teriak melulu.
Si akang bengong ketika menoleh ke
belakang. Aduh ternyata ada ibu-ibu bohay yang nemplok di punggung si Akang. Si
Akang mengira itu Iteung. Kulihat ibu-ibu itu malah tersenyum simpul, kayaknya
ngeledek Iteung deh.
“Dasar ibu-ibu genit, ambil kesempatan
dalam kesempitan. Si akang juga, masak nggak bisa ngebedain mana istri sendiri
sama orang lain. Hhhh atau jangan-jangan dia sengaja. Dasar….,” Iteung ngomel
panjang kali pendek.
Ketika
ada petugas kebersihan lewat membawa ember dan kain pel, Iteung langsung ngomong
sama si petugas
“Pinjem kain pelnya dong, buat
ngelap mukanya si Akang,”
“Sapu bukan buat ngebersihin muka, Bu tapi
buat ngepel lantai.” Iteung cuma bisa cemberut.
Akhirnya Iteung bisa turun sendiri
nggak usah digendong si Akang. Gubrakkk.....Iteung terjerembab di kubangan yang
berisi air kotor.
“Aduh Akang, masak sosialita bisa
kena lumpu gini,” jerit Iteung sambil nahan tangis.
“Anggap aja lagi luluran pake
lumpur,” ujar si Akang sambil nuntun Iteung yang terpincang-pincang. Pengen
nendang si Akang tapi takut ditelantarkan, jadi ya terima nasib saja.