Gladiator-gladiator “Tua”

Ini adalah kisah para gladiator “tua” di sebuah kerajaan yang namanya pernah terdengar sampai ujung-ujung dunia. Yang dahulu dikenal dengan negeri yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo” yang artinya negeri yang kekayaan alamnya berlimpah dan keadaannya tenteram. Di ibukota kerajaan terdapat sebuah graha1 megah tempat Patih Arta2 dan segenap tanda3nya bekerja. Sang patih memiliki beberapa arya4 sebagai pembantu utamanya. Setiap arya memiliki tugas masing-masing guna menyukseskan kerja sang patih. Arya-arya tersebut juga memiliki tandanya masing-masing. Sang patih mengharapkan sinergi di antara para arya dan tanda-tandanya. Prestasi dan kinerja yang baik akan dihargai tuturnya.

Cerita ini terjadi ketika beberapa tanda kepercayaan dari salah seorang arya telah mencapai usia pensiun, guna mencari penggantinya diadakanlah sebuah pertandingan untuk menentukan siapa yang paling tepat untuk menggantikan para tanda yang pensiun tadi. Gelanggangpun digelar bak sebuah arena gladiator. Banyak tanda yang sudah berpengalaman dan berilmu tinggi bersiap-siap. Waktunya telah tiba untuk berkarya lebih lagi dan menerima amanah tersebut. Pembicaraanpun terjadi sampai ke pojok-pojok graha siapakah yang akan keluar sebagai jawara5 dan ditampuk sebagai tanda kepercayaan sang arya. Ada yang berharap, ada yang pasrah, ada yang dijagokan, ada juga yang diunggulkan. Para tanda siap bertarung di arena dengan kekuatan dan senjata masing-masing, semua menantikan panggilan bertarung. Walau beberapa menyatakan bahwa mereka tidak ingin bertarung tetapi jika dipanggil maka mereka akan ikut dan bertarung dengan sungguh. Ada beberapa kriteria agar seorang tanda bisa ikut dalam pertarungan, yang pertama adalah telah mencapai tingkat keningratan tertentu, yang ditentukan melalui tingkat keilmuan dan masa bakti sang tanda. Lalu kecakapan sang tanda dalam bekerja menjadi penilaian selanjutnya apakah sang tanda kinerjanya baik, bisa mengambil keputusan yang tepat dan cepat, punya kemampuan bersinergi dengan pihak lain, dan tentu saja kemampuan memimpin karena dalam jabatannya sang tanda akan mengambil keputusan sesuai dengan bidang jabatannya, akan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan tentu saja dibantu oleh tanda-tanda di bawahnya yang akan membutuhkan bimbingan dan pimpinannya.
“Maaf arena sudah tutup”
-Askara-
Peradaban negeri ini sendiri telah mencapai tingkatan yang cukup tinggi dalam hal menggelar pertarunganpun kekuatan para “gladiator” diukur baik itu kekuatan atma6 maupun huraga7nya melalui sebuah ujian dan tentu saja untuk atma juga dinilai melalui tindak-tanduknya dalam mengabdi sesuai hal-hal yang disebutkan untuk menilai kecakapan sang tanda dalam bekerja. Semua itu akan dirangkum dalam selembar lontar8 dan dimusyawarahkan dalam pareparat9 antara sang arya dengan tanda-tanda utamanya dan tanda kepercayaannya tergantung dari tingkat jabatan yang akan dibicarakan.

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, pengumuman siapakah “gladiator” yang dinyatakan keluar sebagai jawara, ditampuk sebagai tanda kepercayaan, dan akan diangkat derajat keningratannya serta menerima amanat dari sang arya. Ternyata semua yang didapuk sebagai pemenang adalah tanda-tanda yang masih muda baik dari usia maupun pengabdian, keningratannyapun baru saja mencapai tingkatan cukup untuk menjadi seorang tanda kepercayaan. Walau semua tanda tersebut sudah menyeberangi lautan yang lebih jauh dari negeri Cina untuk mencari ilmu tetapi tanda-tanda lain yang lebih tua baik dalam usia dan pengabdiannya pun tidak kalah dalam hal jauh-jauhan mencari ilmu. Tentu saja tingkat keningratan mereka lebih tinggi dari para tanda kepercayaan yang baru ini. Ada yang kecewa, banyak yang terhenyak lalu bertanya apa yang menjadi dasar bagi kemenangan tersebut apakah ada senjata rahasia atau atma yang tidak terangkum di daun lontar? Karena semua sudah tertulis semua bisa membaca semua bisa menilai. Tinggal sejauh mana penilaian itu benar dan berharga untuk didengar.

Terdengar sayup-sayup di pojokan bahwa gladiator-gladiator “tua” tersebut bahkan tidak sempat naik ring, mereka tersingkir sebelum pertarungan karena mereka sudah “terlalu” ningrat untuk jabatan tersebut. Keningratan yang diperoleh karena pengabdian dan pendidikan ternyata menjauhkan mereka dari arena pertarungan. Masa mereka sudah habis katanya, sudah tidak punya semangat bertarung katanya, katanya.. katanya.. katanya.. dan lontar mereka kembali kepojokan berdebu menjadi kumpulan kisah-kisah pengabdian yang tidak pernah dibaca.

  1. graha: gedung, bangunan
  2. Patih Arta: menteri yang mengurusi harta
  3. tanda: pegawai
  4. arya: gelar bangsawan, ningrat
  5. jawara: juara
  6. atma: jiwa, ruh
  7. huraga: raga, badan, tubuh
  8. lontar: kertas
  9. parepatan: rapat, perundingan, musyawarah

Escalator

Gemerlap lampu berwarna-warni dan jejak langkah pengunjung yang lalu lalang selalu menjadi penggemarmu. Keberadaanmu itu selalu dinantikan ketika lift  tidak mampu lagi mengajak para pengunjung pindah dari lantai satu ke lantai yang lain. Secercah harapan muncul ketika tidak ada lagi bangunan yang menggunakan anak tangga statis kecuali di lokasi wisata alam. Suara tawa dan canda selalu menghiasi putaran sistem kami. Ada seorang ayah dengan anaknya, seorang ibu dengan anaknya, seorang pria dengan kekasihnya, seorang nenek tua yang dibantu sanak saudara serta cucunya mencoba berdiri diatas kami. Terkadang ada juga sekelompok pelajar dan olahragawan yang bersemangat menginjakkan kakinya dengan tidak memperhatikan batas-batas kewajaran dan keselamatan diri mereka. Memang sih, kami banyak digunakan di bangunan seperti hotel, stadion olahraga, mall, convention hall, gedung perkantoran, stasiun kereta api dan bandara. Pasar dan beberapa bangunan lama tidak lagi menggunakan jasa kami. Pertimbangan struktur bangunan yang menyebabkan tidak menggunakan jasa kami. Jika ingin menggunakan jasa kami, maka bangunan perlu dibangun secara keseluruhan.  

Seiring dengan perkembangan sebuah kota metropolitan, keberadaan kami pada bangunan publik semakin dirasakan manfaatnya. Etalase, lalu lalang pengunjung, manekin, selalu menghiasi sisi samping dari kami di sebuah pusat perbelanjaan. Kecepatan berputar kami sangat stabil sehingga setiap pijakan para pengunjung semakin terasa nyaman. Pada mulanya kami ditemukan pada tahun 1800-an dan masih banyak penemuan dan inovasi dan perkembangan terkait escalator ini. Banyaknya petunjuk atas penggunaan escalator menjadi terabaikan karena hal-hal kecil. Misalnya jangan menginjak garis kuning sering diabaikan karena pengunjung menganggap hal itu sepele. Mulai dari seorang anak terjatuh hingga terjepit, adalah salah satu bentuk abai terhadap aturan dalam menggunakan esecalator. Penggunaan alas kaki yang tidak tepat juga dapat menyebabkan kecelakaan kecil dalam menggunakan escalator.

Hal ini menjadi sebuah concern saya ketika melihat seorang wanita yang menggunakan pakaian muslim yang sar’i menggunakan escalator. Tidak ada yang salah dengan pakaiannya, tetapi gaya santai dan tidak melihat adanya potensi bahaya saat menggunakan escalator-nya menjadi perhatian saya. Saya juga tidak melihat potensi bahaya hingga akhirnya saya melihat hal ini terjadi tepat di depan saya. Entah bagaimana cara berjalannya tetapi ketika berjalan ada bagian pakaiannya itu langsung tersangkut dalam escalator itu. Tiba-tiba seorang ibu di depan saya langsung menahan agar pakaian itu tidak terhisap ke dalam putaran esecalator itu. Dalam sekejap juga saya akhirnya berusaha membantu untuk menarik pakaian yang tersangkut di escalator itu. Saya berusaha membantu karena sikap ibu yang membantu itu sangat spontan menahan lajunya pakaian yang terhisap escalator. Posisi duduk pun dilakoni si ibu yang baik hati. Kami berjibaku menahan pakaian itu dalam hitungan detik hingga terlepas dan sobek dibagian bawah baju muslim itu. Meski selesai semua prahara dalam escalator itu, si ibu dengan pakaian muslim itu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu yang bersusah payah menahan pakaiannya.
          
Kejadian ini membuat saya lebih sadar, dimanapun kita tetap selalu waspada agar tidak membuat orang lain repot dan khawatir. Banyak hal yang memang harus kita pikirkan namun kewaspadaan adalah salah satu cara untuk berikhtiar agar kita bisa melakukan banyak hal baik di dunia yang fana ini. Mari kita selalu aware terhadap bahaya di sekitar kita, salah satunya penggunaan escalator.


Kisah ini dapat juga dilihat pada : 

Posyandu

Iya Posyandu. Kenapa Posyandu ? Iya. Karena keberadaan posyandu itu saat ini sudah jarang terdengar. Pada jaman dulu, keberadaan posyandu sangat membantu warga di sekitar kecamatan atau kelurahan tempat tinggalnya. Posyandu juga menjadi alternatif bagi warga yang memiliki keterbatasan biaya berobat ke rumah sakit. Adanya Posyandu itu cukup meringankan biaya berobat untuk pertumbuhan anak-anak balita dimana biaya suntik cukup mahal saat itu. Apalagi saat itu, saya ditempatkan di daerah Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 1999. Saat itu, biaya berobat cukup mahal dan jumlah dokter spesialis anak sangat terbatas. Makanya ketika anak pertama lahir tahun 2002, kami memanfaatkan keberadaan Posyandu. Terlintas bagaimana penyakit Dipteri sudah menjadi Kejadian Luar Biasa di beberapa wilayah di Indonesia. Jadi dalam pikiran saya, kemana Posyandu ini? Kok bisa kejadian seperti ini terjadi? Apakah warga atau masyarakat sudah tidak lagi terlayani dengan adanya Posyandu atau memang Posyandu sudah tergantikan dengan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sejak adanya pergantian nama dari Askes ke BPJS? Apapun itu, keluarga kecil saya termasuk yang menikmati manfaat adanya Posyandu itu. Sebelum lebih jauh soal manfaat Posyandu yang saya rasakan, saya coba melakukan riset dikit asala muasal Posyandu.
          
Posyandu pertama kali diperkenalkan sejak presiden kedua Indonesia, Soeharto. Posyandu itu merupakan kepanjangan dari Pos Pelayanan Keluarga Berencana – Kesehatan Terpadu[i]. Posyandu merupakan kegiatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan. Jadi posyandu merupakan kegiatan swadaya masyarakat di bidang kesehatan dengan penanggung jawab adalah kepala desa atau lurah untuk di perkotaan. Konsep Posyandu berkaitan erat dengan keterpaduan. Keterpaduan ini menyangkut aspek sasaran, petugas penyelenggara, dana dan lainnya. Tempat Posyandu biasanya dilaksanakan di balai dusun, kelurahan, RW dan tempat yang representatif lainnya. Posyandu ini diprakarsa oleh Presiden Soeharto dan pernah menjadi kebanggan rakyat seperti juga adanya LKMD dan Siskamling. Setiap bulan, masyarakat berbondong-bondong datang ke Posyandu yang dikelola berbasiskan komunitas. Ada tenaga sukarelawan – yang telah mendapatkan pelatihan dari dinas kesehatan setempat – memberikan panduan kesehatan bagi ibu hamil dan menyusui. Posyandu juga memberikan vaksinasi dan makanan suplemen kepada bayi dan balita. Posyandu juga menjadi deteksi dini kasus-kasus malgizi pada bayi dan balita.

Banyak manfaat dari Posyandu. Mungkin orangtua yang lahir di jaman milenial tidak banyak mengetahui soal Posyandu. Mungkin juga tau tetapi tidak banyak menggunakan manfaat dari keberadaan Posyandu itu. Kembali ke pengalaman saya, bahwa ketika ada gejala aneh saat kehamilan, kami baru ke dokter spesialis kandungan yang saat itu hanya ada 2 dokter. Kebetulan salah satu dokter buka praktek malamnya di apotik dekat dengan tempat tinggal kami. Dokter yang lain agak jauh buka prakteknya dari lokasi kami tinggal. Dokter yang buka praktek ini menjadi alternatif kami memeriksakan kesehatan janin dan proses kelahiran atas anak kami yang pertama. Ketika anak pertama kami lahir pun, dokter Slamet ini pun yang menangani proses kelahiran anak pertama kami. Dalam hal konsultasi bayi dan balita, beliau juga menyarankan agar bisa memanfaatkan Posyandu di sekitar perumahan atau kelurahan setempat.

Setelah mencoba cari informasi soal Posyandu ini, akhirnya kami menemukan Posyandu yang cukup representatif dalam hal pencegahan dan pengobatan sebagai rujukan kesehatan. Kami menemukan Posyandu yang dikelola warga sekitar dengan tempat di lapangan perumahan Bank Indonesia yang diadakan setiap tanggal 11 tiap bulannya. Jika tanggal itu jatuh hari libur, maka pelaksanaan dijadikan maju ke hari sebelumnya. Segala vaksin, suplemen makanan dan nasehat atas keperluan gizi, kami lakukan sepanjang masih bisa kita jangkau. Anak saya jarang berobat ke rumah sakit kecuali terpaksa sekali. Hal ini bisa dilakukan di Posyandu. Jika sakit cukup mengkhawatirkan, kami ke rumah sakit, tidak harus menunggu hingga bulan depan. Informasi di Posyandu sangat cepat beredar, bahkan informasi yang tidak jelas pun beredar di sini. Informasi yang baik, kita ambil sebagai rujukan. Jika tidak baik, kita simpan sebagai catatan agar berhati-hati.



Saya cukup lama tinggal di Kendari. Penempatan sejak 1999 hingga 2006 sudah cukup mengenal kota itu sebagai kota yang nyaman dan bersih untuk pertumbuhan anak pertama kami. Setelah 4 tahun anak pertama kami tumbuh menjadi anak yang sehat, kami perlu banyak berterima kasih kepada Posyandu. Pilihan dokter spesialis anak dan kandungan yang terbatas, fasilitas kesehatan yang mahal dan agak jauh dari lokasi tinggal serta terbatasnya informasi tentang kesehatan di wilayah endemik demam berdarah itu, kami rasanya patut bersyukur adanya Posyandu telah memberikan nikmat dan kenyamanan kami dalam memberikan fasilitas kesehatan minimum kepada anak pertama kami. Jadi dengan setiap bulan datang ke Posyandu itu, kami jadi banyak kenal dengan orang baru, informasi kesehatan baru, cara penanganan penyakit yang baru dan banyak hal lainnya. Alhamdulillah anak kami hingga saat ini sehat meski kondisi kota Kendari, yang memiliki histori sebagai daerah endemik demam berdarah. Makanya anak kami terkenal dengan istilah “Anak Posyandu” saat itu. Ketika ada kejadian luar biasa Dipteri, saya jadi berpikir, kemana Posyandu itu?

[i] https://id.wikipedia.org/wiki/Pos_Pelayanan_Terpadu

Kisah ini dapat juga dilihat di : 

ITU TABU

Lagian juga ngapain dibahas hal yg sensi disini??? Gk pada tptnya. Kalo mau jujur ya hrsnya si sam ngerti. Semua sdh ada yg ngurus. Lihatlah jujur lagi keadaan di Indonesia. Ahhh... sudahlah....

Tabu katanya membahas hal-hal yang sensitif. Hal sensitif bagi tiap orang, kelompok masyarakat, mulai dari kampung, kota, sampai bangsa-bangsa berbeda-beda. Bahkan antar generasipun berbeda-beda. Banyak norma dipakai dalam menentukan hal sensitif atau bukan. Mulai dari norma agama, adat istiadat, kebiasaan, sampai norma kepantasan atau bekennya etis- tidak etis. Sebenarnya norma-norma yang ada bukan hanya mengatur hal-hal sensitif norma mengatur hampir semua sisi kehidupan sesuai kebutuhannya masing-masing. Banyak yang seiring perkembangan jaman tidak sesuai lagi dan yang paling jelas perubahannya adalah norma hukum yang perubahannya jelas tercatat sejarahnya. Seperti halnya dulu pemberian gratifikasi atau uang ucapan terima kasih yang dulu “dianggap” sebagai bagian dari silaturahmi, bahkan dimaklumi, dan tidak ada aturan hukumnya sekarang jelas dilarang oleh undang-undang.

Masalah tabu membahas hal-hal sensitif jelas-jelas telah menimbulkan masalah dalam berbagai jenjang kehidupan. Waktu saya SMP sempat membaca (sepertinya di koran Kompas) bahwa ada penolakan Pendidikan Seks Usia Dini untuk dimasukkan dalam kurikulum atau minimal diperkenalkan kepada anak usia sekolah. Nah, kelucuan demi mulai bergulir di situ. Alasan penolakan ternyata karena mayoritas orang tua “merasa” bahwa pendidikan seks sejak dini adalah pendidikan untuk berhubungan seksual, tanpa bertanya atau mencari tahu apa sebenarnya isi dari pendidikan tersebut atau bisa dibilang suudzon. Alhasil, memang tidak jadi itu pendidikan seks sejak dini masuk kurikulum di masa saya sekolah. Kelucuanpun berlanjut, di generasi saya ada anak-anak yang takut untuk bersentuhan dengan lawan jenis, seperti anak SD yang takut dipegang tangannya oleh pak satpam sekolah untuk menyeberang jalan karena kata mama ntar (maaf) hamil kalau dipegang tangannya oleh anak cowo, atau anak gadis yang pingsan ketika datang bulan pertama kali karena ibunya tidak pernah mempersiapkan anaknya untuk menghadapi kedewasaan, mungkin yang paling parah adalah yang hamil di luar nikah karena tidak tahu kalau berhubungan seks bisa menyebabkan kehamilan, dan tentu saja banyak cerita-cerita absurd lainnya yang membuat kita mengenyitkan mata mengenai hal ini.

Isu agama juga adalah isu sensitif di masyarakat kita (bukan sekedar katanya) banyak orang yang engan membahasnya karena malas berdebat, takut menyinggung perasaaan, dan berbagai alasan lain. Pernyataan teman saya diatas timbul setelah saya menanyakan soal penyerangan gereja di Sleman, Yogyakarta di WAG yang kebetulan menurut sepengetahuan saya banyak orang Yogyanya. Sepertinya beliau begitu ketakutan dengan “hal-hal sensitif” hingga pertanyaan saya diartikan sebuah ketidakmengertian  saya akan hal-hal sensitif dan mungkin saja menjadi pesan yang profokatif buat beliau. Menghindari membahas “hal-hal sensitif” adalah cara aman bagi banyak orang untuk menghindari sebuah diskusi atau “perdebatan” tergantung sudut pandang si pelaku. Kebanyakan karena ketidakpahaman atas topik yang dibahas atau ketakutan atas timbulnya pertanyaan lanjutan yang diluar pengetahuannya. Keenganan untuk mencari tahu lebih lanjut juga menjadi sumber masalah tersendiri. Orang-orang dengan mudahnya terbakar dengan judul yang bombastis di media-media ­online. Mereka memaki, membully, dan membagikan berita-berita tersebut dengan dibumbuhi opini-opini yang semakin menyesatkan isi berita. Ketika ditanya apa isinya atau didebat bahwa posting-annya tidak benar dan menyesatkan dengan entengnya berkilah “saya cuman share”. Bahkan saya menemukan yang sharing­ berita yang belum jelas kebenarannya dengan didahului permintaan maaf saya cuman share. Hufh, untuk yang seperti ini saya hanya bisa mengelus dada dan apesnya ternyata banyak orang yang seperti ini terlepas dari latar belakang suku, agama, pendidikan, dan profesi mereka.

“Sam, itu AXA Life dicabut ya izinnya? Gimana tuh?” Tanya junior saya beda kantor ketika papasan di kantin. Mungkin maksudnya membuka pembicaraan yang berbobot.
“Ya elah, mbaca berita tuh jangan judulnya doaaaaang! Itu AXA Life kan merger sama AXA Finance terkait aturan baru” semprotku.

“Iyah pak, tapi banyak ini yang nanyain nasib polisnya gimana” kata mbak-mbak AXA di sebuah cabang bank Mandiri sambil ketawa kecil setelah pernyataan basa-basi saya “Wah AXA makin kuat ya dah merger”. Aduh, kok jadi seperti sales AXA! Hahaha.

Jogja yang Selalu Istimewa

Buat saya, Jogja istimewa, mengapa?

Bukan hanya karena sebutan Daerah Istimewa yang diberikan padanya, 
bukan pula hanya karena almarhumah Ibu saya kebetulan berasal dari Bantul, 
salah satu Kabupaten di Selatan Jogja. 
Alasan yang lebih pas mungkin karena daerah ini buat saya memang menarik. 
Pemandangan alam yang menakjubkan, budayanya yang kental dengan aroma Jawa,
 dan keramahan penduduknya yang bikin betah berlama-lama disana. 


Setiap tahun Jogja berhasil menarik banyak wisatawan untuk berkunjung ke daerahnya.  
Sekedar menikmati keramaian Jalan Malioboro atau mencicipi kuliner khas daerah Jogja 
yang bertebaran di seluruh penjuru kota ini, dirasa sudah cukup membahagiakan. 
Film favorit Indonesia "AADC" malah menjadikan Jogja sebagai setting pengambilan gambar, sekaligus mengenalkan spot-spot wisata yang belum banyak tereksplore, 
hingga kemudian menjadi tujuan wisata yang banyak diburu.
Tempat-tempat wisata itu kemudian menjadi magnet
yang dapat menarik para wisatawan untuk kembali kesana, lagi dan lagi.

Jogja memang memiliki keraton, budaya, dan alam yang indah, 
disamping itu para penduduk Jogja juga terkenal sangat kreatif.
Cobalah ajak anak-anak berkunjung ke Taman Pintar di Jogjakarta, mereka pasti suka, 
berlibur sambil bisa menambah wawasan mereka akan ilmu pengetahuan.





Jika jenuh dengan suasana kota Jogja, bisa bergeser sedikit untuk hunting tempat wisata yang berada pada kabupaten-kabupaten sekitar Jogja, seperti Bantul. 


Berkunjung ke Bantul, mengingatkan saya pada sosok almarhumah, seakan Beliau masih hidup
dan menemani saya jalan-jalan ke tanah leluhurnya...kok jadi sentimentil ya? maaf...

Tapi Kabupaten Bantul memang punya keindahan alam tersendiri,
perpaduan keindahan antara pesona pegunungan dan lautan,
yang tersembunyi di antara lebatnya hutan pinus, yang terselip di kaki bukit-bukit hijau, 
dan tertimbun di balik lembutnya pasir pantai. 
Daerah Parang Tritis, Imogiri dan Mangunan tentu sudah tak asing lagi bagi para wisatawan.
Daerah ini dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 1,5 jam berkendara, dengan jarak sekitar 45 km dari kota Jogja.

Tempat wisata terkenal di Bantul ini antara lain:

Pantai Parang Tritis, pantai yang terkenal dengan keindahan dan legendanya yang tak pernah surut.

Pemandian Air Panas Parang Wedang, berbeda dengan pemandian air panas lainnya yang biasanya ada di kaki Gunung dan berbau belerang yang menyengat, sumber air panas ini ada di tepi pantai dan tidak berbau belerang/menyengat.



Gumuk Pasir Parangkusumo satu-satunya Gumuk Pasir yang terbentuk di Asia Tenggara, terletak ditepi pantai Parangkusumo dan dijadikan lahan untuk olah raga sandboarding.


Tiga tempat wisata ini terletak pada satu  jalur yang berdekatan, kamu dapat mengunjungi
sekaligus tiga tempat wisata ini, dalam waktu hanya satu hari saja.



Jika ada cukup waktu, mampirlah ke daerah dataran tinggi Mangunan. 
Kamu akan serasa berada di suasana yang berbeda. 
Jalan yang berliku dengan tanjakan dan turunan yang cukup ekstrim,
sepanjang sisi di kiri kanan jalan terdapat banyak spot-spot wisata alam yang menarik, 
yang saat ini sedang dikembangkan menjadi tempat wisata kekinian, diantaranya:

Kebun Buah Mangunan hamparan bukit hijau yang diselingi dengan sungai dan awan yg berarak, kamu bisa lihat sunset/sunrise yang indah dari atas bukit


Batu Songgo Langit himpunan batu besar yang diistilahkan dengan batu penyangga langit/songgo langit





Hutan Pinus Mangunan termasuk dalam kawasan RPH (Resort Pengelolaan Hutan) Mangunan yang dipenuhi pohon-pohon pinus dan populer sebagai tempat foto pre-wedding, karena katanya buat orang Korea pohon pinus yang batangnya tegak lurus (tidak bercabang-cabang) dan daunnya yang selalu hijau melambangkan cinta sejati...ini katanya lho..:D



Tiga tempat wisata ini menawarkan keindahan alam yang dapat merefresh jiwa dan raga, 
apalagi jika kamu termasuk orang yang suka bersosmed,
backgroundnya cocok bangetlah buat update status.

Dan tentu saja...masih banyak sekali tempat-tempat wisata Jogja yang menarik untuk kamu singgahi.



Karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat mengunjungi dua tempat wisata di daerah ini. 
Harga tiket masuknya sangat murah, hanya sekitar Rp. 5.000,- perorang,
Meskipun hanya dua tempat wisata, tempat wisata yang lainnya akan menjadi tujuan saya, 
untuk kesempatan saya yang akan datang, jika mengunjungi Jogja kembali.

Memang betul Jogja selalu istimewa buat saya, yang akan membawa saya kembali lagi, dan lagi.
Bagaimana buat kamu??




(foto: dari berbagai sumber)



Debat Kusir: Seratus Hari

Alkisah,  pada hari minggu ku turut ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja. Mengendarai kuda supaya baik jalannya. (boleh sambil nyanyi kok bacanya)

Ayah saat itu memilih duduk di belakang dengan posisi diagonal dengan pak kusir. Mungkin, supaya bisa menjagaku dari belakang dan gampang jika ingin ngobrol dengan pak kusir. Maklum, ayahku sedikit cerewet atau halusnya, suka ngobrol. Di manapun dan bagaimanapun, biasanya ayah akan mulai mengajak ngobrol siapa saja orang yang ada di dekatnya dengan tema apapun yang melintas di benaknya. Terutama kalau sudah sampai terdengar bunyi-bunyian alam sekitar, bunyi jangkrik misalnya.

Singkat cerita, setelah sorak sorai kegiranganku naik delman lenyap seiring "serak" nya tenggorokan, terdengar "tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk", suara sepatu kuda (yuk lanjut nyanyi lagi). Dengan sigap ayah menangkap pertanda, dan dengan cepat bertanya, "Gimana bang, kemarin baru aja seratus hari ni?"

"Innalilahi wa innailaihi rojiun...siapa yang meninggal pak?", pak kusir bertanya balik

"Ealah, bukan meninggal Pak, itu lho seratus hari Pak Manis jadi gubernur"

"Ooh, kirain...."
"Kalau yang itu mah males ngomonginnya Pak", pak kusir terlihat ogah-ogahan.

"kok gitu Pak?"

"ya gimana, ga ada yang bener Pak kebijakannya, apanya yang mau diomongin...bikin kesel aja bawaannya!" Nada bicara pak kusir mulai meninggi dan menggebu-gebu.

"ga ada yang bener gimana pak?", ayahku coba mengorek keterangan dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan pendek.

"coba bayangin Pak, pasar Tanah Mas yang dulu sama Pak Uhuk sudah ditata rapi, eh sekarang malah diobrak-abrik, pedagang malah disuruh jualan di tengah jalan!"

Pak kusir tampak mengambil nafas sejenak setelah sedikit terengah-engah akibat terlalu berapi-api.

"Sepanjang sejarah...mana ada Pak jalan tempat kendaraan bermotor ditutup, malah dipake buat orang jualan, edan gak tu?" Pak kusir melanjutkan.

"Ah, masa sih Pak?" "Bukannya tiap minggu jalan juga ditutup buat acara car free day, ada orang jualan jg tu kayanya?", Ayah mencoba mendebat.

"ehmm...tapi kan itu ga tiap hari Pak, beda lah"

"Tanah Mas juga ga ditutup sepanjang hari Pak, jam enam sore jalanan uda buat kendaraan lagi, berarti ga masalah dong?"

Sebelum pak kusir memberikan argumennya, ayah melanjutkan pertanyaannya, "Bapak juga ga pernah liat ada jalan yang ditutup untuk pasar kaget, buat kondangan, buat sunatan?"

"Ya tetep beda Pak, yang penting ga setiap hari!"

"Manfaatnya banyak lho Pak jalan ditutup itu, trotoar jadi bersih dari pedagang, pejalan kaki jadi enak deh jalannya", timpal ayahku berusaha meyakinkan.

"Tetep aja Pak melanggar fungsi jalan yang sesungguhnya!"
Pak kusir tetep keukeuh dengan pendapatnya

"Tapi Bapak tau gak, sebenernya kebijakan penutupan jalan di pasar Tanah Mas untuk PKL itu ide nya Pak Uhuk lho....cuma Pak Uhuk diganti, jadi Pak Manis deh yang eksekusi"

"haah, gitu ya? baru tau saya"

Sejenak keadaan menjadi hening, hingga akhirnya Pak Kusir berkata, "Tapi memang kalau dipikir pelan-pelan lagi, dihayati lebih dalam lagi, penutupan jalan untuk PKL di Tanah Mas itu bentuk inovasi ya Pak, terobosan baru"

Seketika ayah mengernyitkan dahi dan mencoba memperjelas, "maksudnya gimana Pak?"

"Iya Pak, ide penutupan jalan untuk PKL dari Pak Uhuk itu inovatif sekali ya Pak, kreatif idenya"

"Lho, tadi kata Bapak itu kebijakan edan?"

"Ya kan saya baru tahu kalau itu sebenarnya ide Pak Uhuk"

"ngomong-ngomong, Bapak ini tahu banyak informasi ya, emang Bapak pengamat politik ya?", pak kusir balik bertanya ke ayahku.

"Ah, Bapak bisa aja, bukan...saya sih sebenernya kusir juga kaya Bapak"

"Lah, terus kenapa ga narik Pak? malah naik delman saya?"

"kuda saya hari ini minta libur, mau belanja ke pasar Tanah Mas katanya, ini kan kita mau ke sana jemput dia"

"?!#@?"


*aku, ayah, pak kusir dan segala tokoh yang dibicarakannya adalah karangan dan fiktif belaka. Kalau ada kemiripan atau kesamaan cerita dan kejadian.....berarti anda sudah mulai sadar.









Nasibmu, Rokayah


Adun menghitung uang yang dihasilkannya dari naik ojek siang tadi. Setelah dihitung-hitung jumlahnya lumayan banyak. Dua ratus delapan puluh ribu terkumpul dari pagi sampai sore hari. Kebetulan siang ini ada orang yang minta diantar ke Blok M dari Depok. Lumayan seratus ribu sekali jalan. Orang itu juga minta Adun menunggunya untuk diantar kembali ke Depok.
"Wah Lu dapet banyak, Dun. Cepet kaya Lu. Gue baru dapet cepek sedari tadi narik," ujar Kasmin sesama tukang ojek yang biasa mangkal di jalan Kecapi sambil nyengir.                  
"Pan Lu udah Gua kasih tau, Lu daftar ojol. Biar ningkat penghasilan Lu," balas Adun.
"Males Gua, susah make hape nye. Mending Gua gini aja deh. Yang penting dapur tetep ngebul, bini Gua nggak nyap-nyap,"
"Ya udah, kalo Lu maunya gitu. Lu jangan iri kalo Gua dapet lebih gede dari Elu," Adun memasukkan uang ke dalam sakunya.
"Gua pulang dulu," ujar Adun sambil tancap gas.
Kasmin melongo melihat Adun yang ngacir tanpa memberi kesempatan kepada Kasmin untuk membalas ucapannya.
******
Sesampai di rumahnya, Adun langsung menuju dapur mencari makanan. Di meja kecil rumah kontrakan petaknya tersedia satu bakul nasi, ikan asin dan tempe goreng. Tak ketinggalan sambal terasi yang selalu terhidang setiap harinya. Adun mengambil piring dan mengambil nasi sampai piringnya penuh. Rokayah, istri Adun mengambilkan air minum dan duduk disamping Adun.
Sambil mengangkat satu kakinya, Adun makan dengan lahap. Adun belum sempat makan ketika narik tadi.
“Bang, si Pakih pengen ikut piknik di sekolah ke Sawangan,” Rokayah membuka percakapan. Adun terus makan tanpa membalas perkataan Rokayah.
“Biayanya lima puluh ribu, Bang. Duit Saya udah abis. Malu mau minjem ke Bu Nana, malu. Udah keseringan minjem. Yang bulan kemarenan aja belum dibalikin,” sambung Rokayah.
Untuk membantu suaminya, Rokayah menjadi buruh cuci di rumah tetangganya. Upah dari menjadi buruh cuci itu lumayan buat menambah belanja sehari-hari dan uang jajan Pakih, yang baru kelas tiga SD.
“Kita juga harus mikirin nih, gimana Saya lahiran nanti. Situ udah ngumpulin uang kan? Tanya Rokayah.
“Lu, bini macam apa. Suami pulang bukannya disambut malah dikasih masalah. Gua mau nyelesaiin makan dulu baru kita omongin soal itu,” ujar Adun sambil menyendok nasi ke dalam piringnya. Rokayah cemberut mendengar ucapan suaminya.
Rokayah bangkit dari duduknya dengan susah payah karena perutnya yang sudah mulai membesar. Rokayah berjalan keluar dari rumahnya.
“Jangan lupa diri, Bang. Sisain buat si Pakih,” ujar Rokayah kesal.
“Nih, hasil Gua narik hari ini,” Adun menyerahkan lima lembar uang dua puluh ribuan kepada Rokayah.
“Lu bayar uang piknik si Pakih. Besok masak ayam. Masak makannya ikan asin melulu, bosen Gua. Kalo ada sisanya lagi ditabung buat biaya Lu ngelahirin,” Adun berjalan ke kamar. Tak berapa lama, Rokayah mendengar suara suaminya ngorok.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikum salam,” balas Rokayah.
“Eh anak Emak udah pulang,” dengan sigap Rokayah mengambil tas dari punggungnya Pakih, anaknya. Rokayah mengambil sepatu Pakih dan disimpannya di belakang. Rokayah takut sepatu si Pakih ada yang ngambil. Sepatu itu sepatu bermerk, pemberian Bu Nana karena anaknya sudah bosan dengan sepatu itu.
“Mak, Pakih lapar,”
“Makanlah, Nak!” jawab Rokayah.
“Pakih bosen, Mak. Makannya ikan asin sama goreng tempe melulu,”
“Terus Pakih maunya makan apa?” tanya Rokayah lembut.
“Ayam Ka Ap Ce, kayak temen-temen Pakih,” Rokayah terdiam. Otaknya mulai menghitung-hitung uang pemberian suaminya tadi. Kayaknya nggak akan cukup kalau harus beli ayam buat Pakih.
“Kih, besok aja ya Emak masakin ayam enak,” bujuk Rokayah.
“Nggak mau, Pakih pengen sekarang, Mak. Sekali aja Pakih nyobain rasanya gimana sih ayam Ka Ep Ce itu,”
“Kalo ayamnya beli di Kang Pardi gimana? Beli ayamnya aja, nggak usah pake nasi. Nasinya dari sini. Sama aja kan Ka Ep Ce, Kang Pardi Chicken,” Rokayah mencoba membujuk Pakih.
“Iya Mak, Pakih mau. Kalo di Kang Pardi biar Pakih yang beli. Mana uangnya?”
Rokayah menyerahkan selembar dua puluh ribu kepada Pakih.
“Beli dua ya, kembaliannya buat jajan kamu besok, Nak,”
“Terima kasih Emak Pakih yang paling baik sedunia,” dengan riang Pakih berlari ke luar rumah menuju gerobak Kang Pardi yang mangkal di pinggir jalan kompleks Dahlia.
Rokayah tersenyum melihat keceriaan Pakih. Hatinya bahagia melihat Pakih tumbuh menjadi anak yang santun dan termasuk pintar di kelas. Namun, di sisi lain Rokayah merasa sedih karena kemungkinan Pakih bersekolah tinggi sesuai dengan harapannya selama ini, belum tentu terwujud. Penghasilan suaminya tak menentu menghalangi Rokayah untuk memberikan yang terbaik untuk Pakih. Upahnya dari mencuci di rumah Bu Nana sebagian besar habis buat bayar kontrakan dan listrik. Rokayah hanya berharap Pakih menjadi anak yang berprestasi sehingga bisa mendapatkan beasiswa nantinya.
*****
“Digoyang mang,” suara melengking penyanyi dangdut bergema. Sambil bergoyang kiri kanan, penyanyi dangdut terus memberi semangat kepada para lelaki yang berjoget dibawah panggung.
“Bang Adun, mana sawerannya? Neng Talitha siap kok menerima,” celoteh Anah di panggung.
Talitha adalah nama panggung Anah, tetangga Adun yang berprofesi sebagai sebagai penyanyi dangdut di kampung Salak. Bayaran sekali manggung dari bosnya di Orkes Cahaya hanya cukup untuk membeli bedaknya saja. Anah mengharapkan saweran dari para pengunjung yang datang.
Sambil menggoyangkan badannya, Adun naik ke atas panggung. Dikeluarkannya uang kertas dari sakunya dan dibentuk menjadi kipas. Satu per satu diserahkannya kepada penyanyi yang berjoget bersamanya. Si penyanyi tambah bersemangat meliuk-liukkan badannya.
“Depok digoyang. Bang Adun yang paling ganteng, jangan ragu nyawer!” suara Anah genit merayu.
Adun mengeluarkan semua uang dari sakunya celananya. Satu per satu diberikannya kepada Anah. Malam itu, Adun larut dalam goyangan dangdut Anah.
“Aduuuuun....!” tiba-tiba terdengar suara perempuan tua berteriak.
Perempuan tua itu menyingsingkan kain bawahan bajunya dan menaiki panggung. Dijewernya telinga Adun dengan keras. Adun meringis kesakitan.
“Sakit, Mak!” teriak Adun.
Suara musik dangdut langsung terhenti.
“Noh, bini Lu kesakitan di rumah. Kayaknya mau ngelahirin. Bawa ke Puskesmas. Mak Kiyoh udah nggak sanggup!”
“Mak, waktu si Pakih dilahirin juga kagak kenape-kenape,” balas Adun.
“Liat dulu bini Lu, sebelum Lu nyesel,” Adun diseret perempuan tua itu.
"Rokayah, nasib Lu sial banget ketemu si Adun," perempuan tua itu menggerutu sambil terus menyeret Adun seperti ketika dia menyeret Adun kecil dulu.
“Bang Toyib..Bang Toyib kenapa kok nggak pulang-pulang,” suara Anah ditimpali musik keras lamat-lamat terdengar.
*****
Depok, 22 Januari 2018

Bijaksana-bijaksini

Rabu, 17 januari 2018 kemarin seorang kawan, abang, dan juga senior yang sedang menyelesaikan disertasi doktornya mengatakan kepada saya dan beberapa kawan lainnya, “Sam, makanya kuliah doktor, kalau ilmunya ga banyak nambah tapi ada satu yang gue rasa gue dapet di situ. Wisdom, gw ngerasa betul gw berubah....”. Kurang-lebih begitu ujarnya, kali ini saya tidak bisa mengutip kata-perkata karena keterbatasan ingatan. Di hari Rabu seminggu sebelumnya seorang kawan, “pak dosen”, mas, dan juga senior yang pergi meninggalkan unit kerja kami untuk mengabdi menjadi Widyaiswara guna membagi ilmunya lebih luas lagi memberikan kata perpisahan di WAG bukannotadinas, begini katanya “Terimakasih semuanya, semangat tetap menulis untuk kebaikan hidup: minimal buat diri kita, atau yang paling minimalis, buat kewarasan pikiran kita. Karena dalam tulisan itu, kita bisa protes, ngedumel, bahkan 'misuh'. Ini pengalaman, bukan arahan, bukan pula pengajaran. Ojok1 dikomentari.” Sedangkan tadi pagi seorang kawan, mas, dan juga senior bercerita tentang seorang bos yang “sudah” Doktor yang mengeluhkan tingkat kedisiplinan pegawai dalam kerapihan berpakaian padahal yang bersangkutan selalu terlihat dengan kemeja yang dikeluarkan di hari-hari tertentu di setiap minggu. Yang terakhir ini mengingatkan saya akan nasihat almarhum tulang2 saya ketika liburan Natal-Tahun Baru ketika masih SD di rumah opung3 di Medan, “Kalian jangan merokok dan main kartu ya!” katanya kepada kami bere-bere4nya sambil mengebulkan asap dari rokok dua tiga empatnya dan beliau sedang istirahat ke toilet dalam permainan kartunya.

Wisdom, menurut The Oxford English Dictionary artinya "Capacity of judging rightly in matters relating to life and conduct; soundness of judgement in the choice of means and ends; sometimes, less strictly, sound sense, esp. in practical affairs: opp. to folly”. Terjemahan bebasnya kurang-lebih menjadi "Kemampuan untuk menilai dengan benar dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dan perilaku; kebijakan dalam menilai pilihan mengenai sarana dan tujuan; kadang-kadang tidak terlalu kaku, masuk akal, terutama dalam hal-hal praktis: lawan dari kebodohan”. Menurut KBBI daring maka Bijaksanaan artinya adalah “selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; 2 pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya”. Keduanya kurang lebih memberikan penjelasan yang sama mengertai kata “Wisdom” atau “Bijaksana” yaitu kemampuan menilai dengan benar dalam menghadapi sesuatu hal.

Merangkum ketiga ucapan kawan-kawan di atas, saya mencoba menuangkannya dalam satu tulisan. Pertama-tama, saya “agak” pusing menggabungkan dua informasi bahwa dengan menjadi Doktor maka saya akan menjadi lebih bijak di mana selang beberapa hari ada seorang Doktor yang menurut kawan saya (dan saya sependapat dengannya) kurang bijaksana dalam penilaiannya dan tuntutannya kepada bawahannya. Kedua, karena saya “agak” pusing maka saya menulis, karena katanya pak dosen “minimal buat kewarasan pikiran kita”. Saya pribadi masih suka terbawa emosi dalam bersikap, sepertinya juga kurang bisa menahan diri untuk tidak menegur atau tidak menjawab hal-hal yang tidak sesuai penilaian saya, walau sekarang saya sudah punya kriteria baru untuk menjawab suatu pernyataan, yaitu “tidak usah ditanggapi”. Tiba-tiba timbul pertanyaan baru di kepala “kapan saya bisa bijaksana ya?”.

Setelahnya muncul pula pertanyaan. Apakah yang sebenernya kita butuhkan untuk menjadi bijaksana? Apakah pendidikan tinggi? Apakah pengalaman yang banyak? Atau apa? Mengapa seseorang bisa dikatakan “bijaksana” dan orang lain tidak padahal sekolahnya sama tinggi dan pengalamannya kurang-lebih sama banyaknya, mungkin juga usianya sama tuanya. Keputusan atau sikap yang diambil sendiri menjadi pertanyaan lanjutan, Benar dari sisi mana? Baik buat siapa? Arti kata “kebijakan/ kebijaksanaan” dalam lingkup pekerjaan dan keseharian buat saya sendiri sepertinya sudah berubah, kalau dulu menurut pengamatan saya setiap “kebijakan” yang dikeluarkan seorang pejabat adalah untuk memecahkan permasalahan yang tidak atau belum ada aturannya, terakhir-terakhir saya malah melihatnya sebagai sebuah “pembenaran atas pelanggaran atau pembengkokan aturan”. Kalimat “mohon kebijaksanaannya” sering keluar ketika seseorang meminta dispensasi atas pelanggaran yang akan atau sudah dia lakukan.

Hufh, "banyak" banget sih pengertian dan turunan dari kata wisdom atau bijaksana dan saya kok malah makin pusing. "Hmmm, sepertinya saya butuh daftar diklat ke gadog nih buat minta penjelasan ke pak dosen sambil ditraktir di warung kopi yang katanya baru buka bersamaan dengan beliau bertugas di gadog."

  • Ojok1: jangan (Jawa Timuran)
  • Tulang2: paman dari pihak ibu (Batak);
  • Opung3: kakek/ nenek (Batak);
  • Bere-bere4: ponakan(jamak) (Batak).
  • kbbi.web.id
  • en.wikipedia.org