“Lagian juga ngapain dibahas hal yg sensi disini??? Gk pada tptnya. Kalo mau jujur ya hrsnya si sam ngerti. Semua sdh ada yg ngurus. Lihatlah jujur lagi keadaan di Indonesia. Ahhh... sudahlah....”
Tabu katanya membahas hal-hal yang sensitif. Hal sensitif bagi tiap orang,
kelompok masyarakat, mulai dari kampung, kota, sampai bangsa-bangsa
berbeda-beda. Bahkan antar generasipun berbeda-beda. Banyak norma dipakai dalam
menentukan hal sensitif atau bukan. Mulai dari norma agama, adat istiadat,
kebiasaan, sampai norma kepantasan atau bekennya etis- tidak etis. Sebenarnya norma-norma
yang ada bukan hanya mengatur hal-hal sensitif norma mengatur hampir semua sisi
kehidupan sesuai kebutuhannya masing-masing. Banyak yang seiring perkembangan
jaman tidak sesuai lagi dan yang paling jelas perubahannya adalah norma hukum
yang perubahannya jelas tercatat sejarahnya. Seperti halnya dulu pemberian
gratifikasi atau uang ucapan terima kasih yang dulu “dianggap” sebagai bagian
dari silaturahmi, bahkan dimaklumi, dan tidak ada aturan hukumnya sekarang
jelas dilarang oleh undang-undang.
Masalah tabu membahas hal-hal sensitif jelas-jelas telah menimbulkan masalah
dalam berbagai jenjang kehidupan. Waktu saya SMP sempat membaca (sepertinya di koran
Kompas) bahwa ada penolakan Pendidikan Seks Usia Dini untuk dimasukkan dalam kurikulum
atau minimal diperkenalkan kepada anak usia sekolah. Nah, kelucuan demi mulai
bergulir di situ. Alasan penolakan ternyata karena mayoritas orang tua “merasa”
bahwa pendidikan seks sejak dini adalah pendidikan untuk berhubungan seksual,
tanpa bertanya atau mencari tahu apa sebenarnya isi dari pendidikan tersebut
atau bisa dibilang suudzon. Alhasil,
memang tidak jadi itu pendidikan seks sejak dini masuk kurikulum di masa saya sekolah.
Kelucuanpun berlanjut, di generasi saya ada anak-anak yang takut untuk
bersentuhan dengan lawan jenis, seperti anak SD yang takut dipegang tangannya
oleh pak satpam sekolah untuk menyeberang jalan karena kata mama ntar (maaf) hamil
kalau dipegang tangannya oleh anak cowo, atau anak gadis yang pingsan ketika
datang bulan pertama kali karena ibunya tidak pernah mempersiapkan anaknya
untuk menghadapi kedewasaan, mungkin yang paling parah adalah yang hamil di luar
nikah karena tidak tahu kalau berhubungan seks bisa menyebabkan kehamilan, dan
tentu saja banyak cerita-cerita absurd
lainnya yang membuat kita mengenyitkan mata mengenai hal ini.
Isu agama juga adalah isu sensitif di masyarakat kita (bukan sekedar
katanya) banyak orang yang engan membahasnya karena malas berdebat, takut
menyinggung perasaaan, dan berbagai alasan lain. Pernyataan teman saya diatas
timbul setelah saya menanyakan soal penyerangan gereja di Sleman, Yogyakarta di
WAG yang kebetulan menurut sepengetahuan saya banyak orang Yogyanya. Sepertinya
beliau begitu ketakutan dengan “hal-hal sensitif” hingga pertanyaan saya
diartikan sebuah ketidakmengertian saya
akan hal-hal sensitif dan mungkin saja menjadi pesan yang profokatif buat
beliau. Menghindari membahas “hal-hal sensitif” adalah cara aman bagi banyak
orang untuk menghindari sebuah diskusi atau “perdebatan” tergantung sudut
pandang si pelaku. Kebanyakan karena ketidakpahaman atas topik yang dibahas
atau ketakutan atas timbulnya pertanyaan lanjutan yang diluar pengetahuannya. Keenganan
untuk mencari tahu lebih lanjut juga menjadi sumber masalah tersendiri. Orang-orang
dengan mudahnya terbakar dengan judul yang bombastis di media-media online. Mereka memaki, membully, dan membagikan berita-berita
tersebut dengan dibumbuhi opini-opini yang semakin menyesatkan isi berita. Ketika
ditanya apa isinya atau didebat bahwa posting-annya
tidak benar dan menyesatkan dengan entengnya berkilah “saya cuman share”. Bahkan saya menemukan yang sharing berita yang belum jelas
kebenarannya dengan didahului permintaan maaf saya cuman share. Hufh, untuk yang seperti ini saya hanya bisa mengelus dada dan
apesnya ternyata banyak orang yang seperti ini terlepas dari latar belakang suku,
agama, pendidikan, dan profesi mereka.
“Sam, itu AXA Life dicabut ya izinnya? Gimana tuh?” Tanya junior saya beda kantor ketika papasan di kantin. Mungkin maksudnya membuka pembicaraan yang berbobot.
“Ya elah, mbaca berita tuh jangan judulnya doaaaaang! Itu AXA Life kan merger sama AXA Finance terkait aturan baru” semprotku.
“Iyah pak, tapi banyak ini yang nanyain nasib polisnya gimana” kata mbak-mbak AXA di sebuah cabang bank Mandiri sambil ketawa kecil setelah pernyataan basa-basi saya “Wah AXA makin kuat ya dah merger”. Aduh, kok jadi seperti sales AXA! Hahaha.