"Kalo juara, kakak dibeliin apa ma?", sergah si kakak kepada mamanya saat dijemput pada hari terakhir UAS di sekolahnya. Percakapan yang kemudian di forward ke saya dan membuat saya ketawa-ketawa sendiri. Sejak SMP, anak saya ini memang langganan juara. Berbeda dengan saat dia masih SD. Kami pun sebagai orang tua merasa dia sangat nyaman dengan lingkungan sekolahnya saat ini, sepertinya pas dengan karakternya. Persaingan tetap ada dan ketat tapi tidak menimbulkan tekanan. Orang tua murid pun tidak banyak "ngerusuhi" urusan sekolah dan guru-guru. Saat SD, prestasinya juga tidak jelek, tapi dia tidak pernah berturut-turut jadi juara kelas, paling banter masuk 3 atau 5 besar. Meskipun suasana sekolahnya dulu juga kondusif, tapi ada hal-hal tertentu yang membuat dia merasa tertekan dengan kondisi persaingan dengan teman-temannya.
.
Saya dan istri sebenarnya tidak pernah mendoktrin anak-anak untuk menjadi juara kelas. Yang kami tekankan adalah mereka mau belajar, mengerjakan soal ulangan/ujian dengan teliti serta jujur alias tidak mencontek. Masalah hasil ya bebas-bebas saja, dapat juara syukur, tidak dapat juga tidak apa-apa. Saya juga tidak pernah memaksa mereka belajar, walaupun kadang-kadang menyuruh tapi itupun sekedarnya, karena disuruh istri hahaha.
.
Pada umumnya sistem pembelajaran di sekolah-sekolah sudah tidak mengenal istilah rangking atau peringkat. Namun tetap saja, guru-guru membuat daftar peringkat karena para orang tua murid masih sering menanyakan hal tersebut. Saya sendiri sudah sejak lama tidak peduli dengan segala macam peringkat, rangking, juara kelas atau apalah istilahnya. Pada saat anak saya berkesempatan sekolah di Australia (kindy dan primary), saya melihat sistem apresiasi yang benar-benar berdasarkan kemampuan personal si anak. Tidak ada penilaian hanya berdasarkan kumulatif nilai-nilai pelajaran formal. Semua anak diperlakukan sesuai minat dan bakatnya, sehingga setiap anak merasakan menjadi juara atau the best student. Ada yang menjadi juara karena selama 1 minggu dia dinilai paling sopan di antara teman-temannya. Ada juga yang menjadi juara karena suaranya paling keras saat disuruh tampil di depan kelas. Pokoknya ada saja kriteria untuk menjadi juara. Awalnya saya merasa ini hanya 'akal-akalan' pihak sekolah saja tapi lambat laun saya menyadari ada satu pembelajaran yang sangat baik disana. Setiap anak diberi kesempatan untuk menjadi yang terbaik sesuai dengan kondisinya bukan sesuai kondisi orang lain atau kriteria orang lain. Tidak semua anak berbakat di bidang matematika, bahasa atau sains, jadi tidak adil jika penilaian seorang anak menjadi "juara" hanya berdasarkan nilai-nilai pelajaran tersebut saja.
.
Kondisi tersebut di atas belum pernah saya temui di sini. Sekali waktu saya pernah berdiskusi dengan guru sekolah anak saya. Saya sampaikan bahwa harusnya pihak sekolah lebih bijak melihat bakat dan kemampuan anak-anak sehingga semua anak merasakan dan memiliki 'panggung'nya masing-masing. Hal tersebut saya sampaikan karena saya melihat kondisi di sekolah tersebut hanya menonjolkan si juara kelas, sehingga dalam kegiatan apapun, si juara kelas pasti menjadi pilihan pertama. Apa yang saya sampaikan ke guru tersebut akhirnya menjadi hal yang sia-sia, karena memang para guru pun tidak memiliki kemampuan untuk mengkondisikan hal tersebut.
.
Seberapa pentingkah menjadi juara dalam hidup ini?. Jawabannya pasti banyak sekali. Penting, gak penting, penting tapi dengan kondisi bla bla bla, gak penting karena bla bla bla. Banyak sekali, karena semua punya preferensi, sudut pandang, kriteria dan kondisi masing-masing. Tidak ada jawaban benar atau salah untuk pertanyaan di atas, semua kembali ke diri masing-masing.
.
Dalam sebuah kompetisi memang harus ada juara-nya, karena memang disitulah esensinya kompetisi: mencari pemenang, sang juara. Juara 1, 2 dan 3. Apakah juara 1 lebih hebat dari juara 2 dan 3?. Faktanya harus begitu, karena ada penilaian-penilaian tertentu yang membedakan antar juara. Ketika kompetisi sudah berakhir, kondisi bisa sangat berubah. Lihat saja para stand-up comedian ternama saat ini, apakah mereka dulu juara 1 stand-up comedy academy? Para juara 1 Indonesian Idol, kemana mereka sekarang? Banyak lagi contoh-contoh para non-juara 1 yang ternyata lebih berhasil dan lebih bersinar dibandingkan para juara 1 yang bahkan namanya pun sudah banyak dilupakan. Tentunya tetap ada juara 1 yang juga meneruskan keberhasilannya setelah kompetisi, tapi sepertinya tidak banyak. Lalu, faktor apa yang menciptakan kondisi demikian?. Banyak sekali tentunya, salah satunya mungkin karena sang juara telah menghabiskan semua energinya untuk menjadi juara 1, sehingga setelah kompetisi berakhir energi tersebut telah habis dan grafik performanya akhirnya menurun. Berbeda dengan non-juara 1, mereka merasa kalah, perasaan ini yang akhirnya melecut mereka untuk terus bekerja dan bekerja untuk mengisi celah yang membuat mereka kalah. Mereka tahu bahwa mereka masih mempunyai banyak sisa energi yang mungkin tidak terlihat oleh para juri tapi justru mereka perlihatkan ke media yang lebih luas daripada kompetisi yang serba terbatas.
.
Kembali ke permintaan hadiah si kakak, kami sih tidak pernah memberikan hadiah khusus untuk hal-hal seperti itu. Kalaupun ada hadiah, itu hanya sekedar 'pemenuhan kebutuhan yang tertunda'. Tanpa jadi juara pun, akan tetap diberikan, sepanjang itu memang kebutuhannya dan sepanjang dananya ada. Anak-anak menjadi juara kelas atau tidak bukanlah hal yang penting dan segalanya, karena masa depan mereka bukan ditentukan dengan deretan gelar juara, tapi lebih ditentukan oleh bagaimana mereka bisa memahami arti kehidupan dan bagaimana mereka memahami sesama dalam kehidupan ini.
Jakarta, 12 Desember 2017