The Lonely Statue

Come and visit Odaiba! Along the trip by taking Yurikamome line, you will see an artificial beach with unbelievable beauty. To get to the beach, just get off in Daiba station and feel the sensation of modernized life and its chemistry with natural scenery. 

'Liberty statue' of Odaiba
There is a unique statue stands tall there and it looks like the liberty statue in New York. Fenced by green trees in the border of the sea, it’s truly an attracting icon for tourists to keep their memorable moment by taking pictures with this statue.

However, I look at this statue as a lonely one. There’s a peaceful sea ahead with a strong lovely Rainbow bridge across it, couples hold hands with cheerful faces, children run and laugh happily, group of people talk and smile to each other, but this statue….? It can only stand there days and nights, sunny and rainy, windy or dried, with no expression, and can’t ever feel the happiness surround it. 

And the more annoying thing is, it must carry those heavy books in its left hand and uphold the torch in its right hand. Thanks God it’s just a statue, because it must be exhausting to do such thing for human for years … 😊

Well, once in your life… you might feel you’ve been carrying such a heavy burden on your shoulder. Failures, problems, challenges, conflicts, anger, sadness, and being away from your comfortable life make you feel that you are the only poor guy in the world. 

You can’t enjoy the happiness that people around you share, you can’t see how colorful the world is, you can’t hear a lovely voice of the pigeon singing, you can’t feel the worthiness of one sunny day in winter, and then, you can’t even say one good thing to expel your gratitude to your Creator. 

Oh, no! Don’t get drown too far. Look at around you; find friends and a good community. Friends who will always happily ask how your life is going, the ones who can encourage you, and always say, “Sure we can!” with their smiley faces, and people who can inspire you with their unswerving efforts without saying any complaints. Don’t forget, at least you have your beloved family who really care and support you for your goodness! 

Life is just a flat boring thing without challenges and problems. Once we try to just go through it as we can, we’ll make it as a memorable history. So, if you pass by the Daiba beach and you see the ‘liberty’ statue, you can promise to yourself that YOU are not that lonely statue!🌾

*it is also published @saungkemangiblogspotcoid.

ARTHUR CHRISTMAST

Pagi ini sebenarnya sudah janji akan lari pagi dengan istri, mumpung libur. Sudah kebayang tuh segarnya udara pagi, tanpa buru-buru dan grusa-grusu ke kantor atau nganterin anak sekolah. Sedapnya indomie rebus atau harumnya bumbu kacang ketoprak langganan juga sudah tercium, sebagai tempat finish olahraga pagi hahaha.
.
Rencana tinggal rencana, pas adzan subuh hujan turun dengan lebatnya. Kegiatan apa lagi yang menyenangkan selain kembali bergelung di bawah selimut?. Alhasil, mata pun kembali terpejam dengan nikmatnya, sampai kemudian panggilan alam mengharuskan diri ini keluar kamar.
.
Di luar kamar, ternyata si sulung sudah asyik nonton televisi. Awalnya saya pikir dia nonton serial yang biasa dia tonton, tapi ternyata bukan. Entah kenapa saya akhirnya tertarik bergabung di sofa, ikutan nonton. Film itu ternyata bertema natal, oops udah Desember ya ternyata, yang menceritakan tentang bagaimana seorang Santa Klaus membagikan hadiah natal kepada anak kecil di seluruh dunia. Di jaman modern ternyata Santa Klaus tidak lagi berkeliling naik kereta salju yang ditarik delapan ekor rusa. Sang Santa sudah menggunakan semacam pesawat yang sangat canggih.
.
Pekerjaan membagi hadiah natal tersebut ternyata dikendalikan dari sebuah tempat tersembunyi di kutub utara. Tempat itu sangat canggih, surat-surat permohonan hadiah natal yang menjadi keinginan anak-anak diproses dengan sangat baik, dari mulai menyortir surat-surat tersebut, menyiapkan hadiahnya dan kemudian membagi-baginya ke masing-masing rumah anak tersebut di seluruh dunia. Tujuannya hanya satu: semua anak kecil harus berbahagia mendapatkan hadiahnya di hari natal.
.
Komando pusat kendali tersebut dipegang oleh Steve, anak tertua Santa Klaus yang bertugas saat ini. Dia dibantu oleh ribuan peri dengan tugasnya masing-masing. Selain itu juga ada Arthur, adik Steve, yang bertugas di bagian persuratan. Arthur ini berbeda 180 derajat dengan Steve, baik dari segi perawakan maupun sifat dan karakter. Steve adalah seorang pemuda yang gagah, tinggi-besar, tegas dan sangat disiplin, sedangkan Arthur terlihat sebagai anak yang ringkih, selalu gugup dan ceroboh serta dikenal sebagai sumber masalah di pusat kendali tersebut.
.
Pembagian hadiah natal yang ditampilkan di film tersebut ternyata adalah misi ke-70 dari Santa Klaus. Misi ini sangat penting, pertama, sesuai tujuannya, tidak boleh ada satu anakpun yang terlewat untuk mendapatkan hadiahnya; kedua, misi ke-70 biasanya adalah misi terakhir Santa Klaus bertugas sebelum digantikan keturunan berikutnya. Menjalankan misi dengan sukses bukanlah hal yang susah, peralatan yang canggih, peri-peri yang terlatih dan disiplin serta ketegasan Steve sudah terbukti selama bertahun-tahun. Dan benarlah, semua hadiah terbagi tanpa ada satupun penduduk dunia yang menyadari kehadiran Santa Klaus dan rombongannya.
.
Masalah kemudian timbul ketika Arthur menemukan bahwa ada satu anak di Inggris yang belum mendapatkan hadiahnya. Gwen, nama anak tersebut, menginginkan sebuah sepeda sebagai hadiah natalnya. Keributan lalu terjadi, dan diakhiri dengan keputusan Steve bahwa 1 anak terlewat bukanlah masalah besar dibandingkan jutaan keberhasilan lainnya. "Kereta" Santa pun sudah masuk kandang. Menerbangkannya kembali akan beresiko tinggi. Sang Santa pun sudah masuk kamar untuk beristirahat, tidur dan tidak mau diganggu. Hanya satu anak kecil diantara jutaan lainnya. Masalah kecil.
.
Keputusan itu sangat mengecewakan Arthur. Baginya, tidak ada toleransi untuk kebahagiaan natal. Semua anak harus berbahagia, semua anak harus mendapatkan hadiah natalnya. Dia tidak bisa membayangkan Gwen yang bangun di pagi hari lalu tidak menemukan sepeda impiannya. Hanya anak nakal yang tidak mendapatkan hadiah natal, bagaimana mungkin Gwen mampu menerima ejekan itu dari teman-temannya.
.
Sisa film akhirnya menceritakan bagaimana Arthur, dibantu Kakeknya (Santa Klaus tua), seorang peri pembungkus kado dan kereta salju tua berusaha mengantarkan hadiah untuk Gwen di sisa waktu 2 jam sebelum matahari terbit di Inggris. Bermacam kekacauan yang kemudian timbul dan akhirnya terpaksa membuat Steve dan Santa Klaus ikut terlibat di dalamnya. Gwen akhirnya mendapatkan hadiahnya berkat kerja keras 3 generasi Santa Klaus, terutama Arthur. Akhir yang berbahagia pun terjadi di pusat kendali; Arthur dinobatkan menjadi Santa Klaus berikutnya, Steve menjadi Chief Operational Officer, Santa Klaus tua mendapatkan teman bermain ludo.
.
Perut mulai menuntut sarapan, biji-biji kopi menanti untuk digiling dan diseduh, tapi film Arthur Christmast ini berhasil membuat saya tetap di sofa sampai selesai. Film yang ringan dan tentunya sudah bisa ditebak akhir ceritanya, from zero to hero. Entah karena kurang kerjaan atau memang sedang 'beres', pikiran saya lalu mulai memikirkan lesson learnt dari Arthur Christmast.
.
Pelajaran pertama, ketika target ditetapkan,semua anak harus mendapatkan hadiah dan berbahagia, target tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin. Toleransi nol koma nol nol nol nol nol nol tidak berlaku untuk target kebahagiaan. 1 Anak tidak berbahagia dibandingkan jutaan lainnya tidak berbahagia adalah sebuah kegagalan. Saya jadi teringat ketika memberikan rekomendasi terhadap kasus meledaknya tabung gas 3kg. Saat itu saya menyampaikan bahwa secara persentase jumlah korban akibat ledakan tabung gas 3kg tidaklah material dibandingkan jutaan tabung yang tidak meledak dan orang-orang yang selamat sehat wal afiat menggunakannya. Saya ingat persis tulisan tangan Bu Dirjen saat itu "Pak Indra, tolong rekomendasinya diperbaiki, nyawa orang jangan dikuantifisir, tidak manusiawi". Film ini, dan disposisi Bu Dirjen tadi mengingatkan bahwa ketika menetapkan target kita harus tahu persis apa indikator suatu target itu bisa disebut berhasil. Kita harus sangat hati-hati ketika bagian dari target itu ada hal-hal yang sulit dikuantitatifkan, perlu pertimbangan masak-masak sebelum kita menyatakan hal tersebut telah terpenuhi.
.
Pelajaran kedua, bahkan dalam sebuah kesempurnaan pun ada celahnya. Sistem yang sedemikian canggih masih dapat melewatkan sebuah surat permintaan hadiah. Sistem adalah sistem, tetap orang-orang di dalamnya yang dapat memastikan semuanya berjalan dengan baik. Sinergi antar sub-sistem harus berjalan dengan baik. Dalam kasus Arthur, 'stempel'  sumber masalah yang sudah melekat didirinya membuat dia hanya diberikan porsi peran yang tidak terlalu penting dalam keseluruhan sistem tersebut, meskipun dia adalah salah satu keturunan Santa Klaus. Arthur memiliki karakter dan membutuhkan cara kerja sendiri yang seharusnya juga diperlakukan dan diberikan peran tersendiri. Satu baut roda lepas/kendor mungkin tidak terlalu berpengaruh dalam kinerja kendaraan dalam waktu pendek tapi dalam waktu panjang, hal ini bisa sangat membahayakan sehingga perlu dipasang kembali atau dikencangkan.
.
Pelajaran ketiga, kita suka mengabaikan orang-orang atau hal-hal yang tidak sejalan dengan kita. Meskipun mungkin orang itu atau hal itu tadinya penting untuk kita. Sama halnya seperti kita membuka lemari pakaian dan menemukan baju/celana lama yang tidak pernah kita pakai lagi, padahal dulu begitu ingin kita memilikinya. Bijaksanalah, tidak sejalan bukan berarti tidak setujuan. Ego yang dipertahankan tidak akan mendatangkan kemaslahatan. Pakaian yang tidak terpakai mungkin lebih berguna buat orang lain daripada hanya disimpan bertumpuk di lemari. 
.
Jadi panjang ya ceritanya? Ya begitulah, ternyata libur itu menyenangkan kecuali omelan istri yang menyadarkan bahwa saya harus mandi dan bergegas ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat Jumat.

Jakarta, 1 Desember 2017 

Dreaming Alive





I sit by the lake, watching
Glimmering sun rays setting
Across the woods
While winds are dancing
Above the sparkling water

Darkness and light collide
And I can feel and taste the rain
Before it falls at dawn
Beneath the sky

It is all slow and calm
It is all quiet and serene
Wishing it would never ends
Dreaming while awake, feeling alive

I sit in my cubicle
Notes are stacking
Keyboards are clicking
Telephones are ringing

People are talking
Figures are moving
Speakers are sounding
Screens are flickering

It is all of the hushes and the rushes
It is all on the dense and tenses
I said to myself, “This is unreal”
Like a bad dream, while I am awake

So what is real? What is unreal?
How could in the mysteries of nights,
I feel more alive?
Have we all been living, afterall?

Johari Window



Tulisan ini saya buat sebagai respons atas tulisan berjudul "PNS Jujur" yang dibuat oleh rekan kami, Samuel Manik (good writing, by the way 😊) ... meskipun sejujurnya respons ini saya kutip dari tulisan lama*). Mudah-mudahan tetap berguna.

Gambar di atas adalah Jendela Johari (Johari Window). Pertama kali aku mengenalnya di kelas Perilaku Organisasi. Konsep ini dicetuskan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham pada tahun 1955**), dimana Johari adalah gabungan dari nama kedua orang tersebut.

Jendela Johari adalah perangkat sederhana yang dapat menjelaskan 4 wawasan yang terjadi selama kita berinteraksi dengan orang lain:

  1. Semua wawasan mengenai diri sendiri yang juga diketahui oleh orang lain berada pada kuadran arena.
  2. Semua hal yang tidak diketahui oleh siapapun (termasuk oleh diri kita sendiri) berada pada kuadran unknown.
  3. Semua hal mengenai diri sendiri yang kita sembunyikan dari orang lain terletak pada kuadran facade atau 'tabir'.
  4. Dan terakhir, semua hal mengenai diri kita yang sudah diketahui orang namun kita sendiri tidak menyadarinya terletak pada kuadran blindspot.

Konsep Jendela Johari menarik hatiku, sebab ia mampu menjelaskan keunikan yang terjadi dalam interaksiku sendiri dengan orang lain. Ada kalanya orang ingin mengenalku namun di saat yang sama menyembunyikan dirinya sendiri dariku. Ada kalanya orang kecewa karena merasa tidak kupahami, namun di saat yang sama ia juga menyampaikan keinginannya dengan cara yang kompleks (kalau bukan rumit).

Secara interaksi yang ideal terjadi pada kaudran arena, aku tidak menyalahkan kehadiran facade dan blindspot di dalam interaksi kita sehari-hari. Umumnya yang disembunyikan adalah kekurangan (cela), jadi tabir facade terjadi untuk menjaga image kita di mata orang lain... sementara blindspot mungkin ada karena teman-temannya menjaga perasaan si empunya kekurangan tersebut.

Lebih menarik lagi apabila yang tersembunyi itu adalah suatu kelebihan. Kita bisa saja berasumsi bahwa orang menyembunyikan kelebihannya karena ia rendah hati. Di sisi lain, aku cenderung berpikir negatif tentang orang yang tidak mau memberitahu kelebihan orang lain. Dengan kata lain, ia pelit pujian. Bisa saja ia melakukannya karena takut temannya besar kepala, namun motif paling sederhana (menurutku) adalah rasa cemburu... dan ini menandakan rendahnya rasa percaya kepada kemampuan dirinya sendiri.  

Lalu apa hubungannya Johari Window dengan umpan-balik atau feedback? Sederhana saja, bisa jadi kita melihat sesuatu dengan jelas namun tidak terlihat oleh lawan bicara kita. Di sisi lain, bisa jadi orang lain melihat sesuatu secara jelas mengenai diri kita namun luput dari perhatian kita karena sudah begitu terbiasa. Di sinilah indahnya komunikasi. Dengan memahami bahwa semua orang punya "Johari Window" ... maka kita tahu bahwa ada hal-hal yang kita tidak tahu 😊 (nah bingung khan?)

Catatan:
* Sebagaimana ditulis pada blog pribadi, 12 September 2008
** Informasi lebih lanjut: http://en.wikipedia.org/wiki/Johari_Window



PNS Jujur

Beberapa hari yang lalu diselenggarakan perhelatan besar di lingkungan kantor. Budget Day namanya, melibatkan tiga unit Eselon I di Kemenkeu dan dihadiri oleh Ibu menteri tercinta, Sri Mulyani Indrawati. Saya sendiri tidak hadir karena berada di Yogyakarta menuntut ilmu dalam diklat “Evidence-Base Planning and Budgeting” (ehem, pencitraan dulu) tapi di beberapa group WA kantor bersliweran berita bahwa acara “hampir dapat di katagorikan tidak sukses”. Ribet bukan penjelasan saya? Inginnya nulis singkat “GAGAL” tapi tidak sampai hati kepada teman-teman panitia yang sudah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam mensukseskan acara ini. Di BnD sendiri sudah ada tiga tulisan yang terinspirasi dari acara tersebut. Satu membahas tentang sinergi dan yang dua lagi soal “hampir dapat di katagorikan tidak sukses” yang belum saya jelaskan tidak suksesnya di mana.

“Hampir dapat di katagorikan tidak sukses” yang saya maksud lebih fokus kepada para peserta sudah lebih dulu bubar dan meninggalkan tempat acara sebelum acara berakhir. Di sebuah WA group pembahasannya agak panjang serta agak keras, dan pada akhirnya saya berhasil menyinggung salah seorang teman karena kata-kata saya yang menyakitkan. Padahal sebelumnya sudah ada rekan yang mengingatkan “bahwa hal-hal seperti ini sebaiknya didiskusikan dengan tatap muka dari pada di WAG yang bisa menimbulkan salah pengertian”.

Pembelaan saya kali ini adalah “saya berusaha jujur walau kadang jujur menyakitkan hati”. Saya tahu betul bahwa luka di hati bekasnya lebih dalam dari pada luka fisik tetapi kadang ada hal-hal yang tidak bisa kita hindari. Buset panjang benar ya intronya, terlihat jelas gak kalau “penulis” takut jadi orang yang dibenci setelah posting tulisan ini? Hehehe.. “dari tadi muter-muter ga nyampe-nyampe ke judul”.

Kembali ke judul “PNS Jujur”, kenapa PNS? Kenapa gak semua pegawai? Karena saya PNS dan pengalaman saya ya di pemerintahan. Menurut saya semua permasalah di dunia ini ada solusinya karena tidak ada hal baru di kolong langit ini, masalah apakah kita bisa menyelesaikannya lebih terlepas apakah kita mau atau tidak. Pengalaman saya dalam perencanaan anggaran sejak tahun 2007 semua masalah anggaran pun ada penjelasan logisnya apalagi kita dimudahkan dengan peraturan yang sudah jelas hitam putihnya, saya pasti punya solusi untuk semua masalah anggaran (dan saya yakin semua penelaah/ analis anggaran di DJA pun juga). Tapi seperti halnya seorang gadis yang curhat tentang masalah percintaannya kebanyakan orang datang hanya untuk menyampaikan keluh kesahnya dan bukan mencari solusi, mereka mangut-mangut dan bilang “oh, gitu ya pak”, lalu diikuti dengan diam sejenak dan ditutup dengan kalimat “susah ya pak” setelah mendengarkan penjelasan saya yang panjang dan berbusa-busa. Terkait dengan Budget Day, ketika saya memberikan solusi “agar peserta diberikan Surat Tugas (ST) dan diberi hukuman disiplin jika meninggalkan acara” salah satu teman panitia merespon “kaya anak kecil saja”, lah sebelumnya saya bahkan bilang “pintunya dikunci saja”. Ketika saya challenge dengan “harusnya panitia mencari tahu kenapa peserta itu gak betah nunggu sampai akhir acara” dan “IMHO dan setau saya di dunia profesional. Kegagalan sebuah acara/ kegiatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab panitia kecuali ada force majeur”. Saya mendapat jawaban yang sama “harusnya peserta mengerti”. Sebenarnya hal ini tidak tertutup pada acara-acara seremonial saja, ketika masuk ke program-program yang melibatkan masyarakat mulai dari jaman pak Harto kasih rumah, ladang, dan sapi ke warga di Papua (waktu itu masih Irian Jaya namanya) dan akhirnya sapinya dipotong dan dimakan, lalu rumahnya ditinggal kosong begitu saja sampai yang terbaru mungkin para penghuni rumah susun “korban” penggusuran normalisasi kali Ciliwung yang masih bermasalah sampai sekarang bahwa setelah pindah mereka semakin tidak sejahtera dan kesulitan membayar sewa yang “sudah” sebegitu murahnya. Para penyusun “kebijakan” ini adalah para PNS dibantu dengan orang-orang pintar yang sedemikian rupanya mencurahkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang mereka butuhkan atau apa masalah mereka.

Nah di sini masuk lucunya, sering kali hampir selalu ketika programnya gagal “mereka” sibuk mencari kambing hitam dan kebanyakan kambing hitamnya adalah masyarakat/ sasaran program mereka. Alasan-alasan seperti “masyarakatnya tidak mengerti, warganya ngeyel, coba mereka sedikit saja mau mengerti” adalah alasan-alasan yang paling sering dilontarkan ketika sebuah acara/ program gagal. Coba kalian kerja di swasta dah dipecat kalau berani jawab begitu ke bos, kira-kira begini percakapannya. Bos: “Kenapa motor kita ga laku?”, sales: “ini bos, konsumen ga mau ngerti kalo motor kita tuh bagus, harusnya kan mereka beli ya”. Nah, kurangnya kemauan bercermin atau saya bilang “Jujur” menjadi salah satu masalah klasik dalam dunia birokrasi. Semua sibuk ingin dimengerti tetapi tidak pernah meluangkan waktu untuk duduk dan mendengarkan sehingga bisa mengerti apa sebenarnya masalahnya. Ketika sebuah saya memberi masukan “agar pintu dikunci saja” dan “diberikan ST dan ancaman hukuman disiplin” yang menurut saya adalah cara paling to the point saya ditertawakan, ketika saya katakan bahwa “mereka harus terlebih dahulu mencari masalahnya” dan “bahkan ketika saya menunjukkan masalahnya dan cara menyelesaikannya”, mereka terdiam lalu berkata pelan “wah, susah ya pak Samuel”. Ketika saya bilang yang salah mereka, mereka tersingung “wah, jangan begitu dong pak”.


“Jadi lo maunya apa sih? Dari tadi curhat ga ada ujungnya, tadi nanya solusi. gw bilang solusinya putus lo bilang gak mau, orang cowok lo kagak bener gitu. Udah ah buang-buang waktu gw aja lo, gw mau maen pe-es nih”, sambil menutup telpon (blom ada HP jaman itu) secuplik percakapan dengan sahabat saya Tika di masa SMA yang bolak-balik curhat tentang cowoknya si Uwi.

Aplikasi Nudge Theory: Usulan bagi yang galau pada saat kendurian kantor


Sebenarnya saya lagi males nulis karena kerjaan masih banyak, tapi begitu baca tulisan seorang tokoh feminist yang saya kagumi di forum ini, saya rasa gak ada salahnya sedikit meluangkan waktu buat ngetik-ngetik. Tokoh tersebut buat puisi (walaupun bentuk tulisan gak kaya puisi) yang bernada curcol tentang kelakuan pegawai di kantor tercinta yang datang ke acara pertemuan tapi begitu melihat bos besar angkat kaki, seakan mendapat komando untuk ‘bubar grak’. Belum lagi kelakuan para pegawai tersebut yang kalau datang ke acara selalu ngaret alias lelet alias gak pernah on time. Tentu saja, puisi tersebut mendatangkan kontroversi terutama bagi para cendikiawan WAG mengenai siapa yang salah dan berujung pada ……

Anyway, untuk masalah sederhana ini, saya jadi teringat satu teori dalam behavioural economics yang disebut ‘nudge’, kebetulan pakar teori ini baru dapat nobel bulan lalu. Nudge theory pada intinya adalah bagaimana sebuah aturan/system dapat mengubah perilaku seseorang/masyarakat tanpa menyebabkan konflik dalam diri orang/masyarakat tersebut. Sebagai contoh ketika dibuat garis antrian untuk mereka yang ingin masuk busway secara tidak langsung para penumpang telah di biasakan untuk antri tertib untuk masuk busway. Walaupun terus terang antriannya mengular, tapi lebih baik dari pada berkerubun kayak tawon kan. Contoh lain nudge adalah penggunaan nomor antrian di bank, nasabah bisa duduk nyantai sambil kepo in WAG tanpa kawatir antriannya di selak orang lain. Pun dalam hal ini, para nasabah sudah dipaksa tanpa merasa terpaksa untuk mengantri.

Untuk kantor tercinta/tersayang/terkaya (dalam hal angka nominal rupiah tanpa melihat fisiknya), nudge pun telah di praktekkan. Contohnya handkey, sudah menjadi perilaku pegawai untuk mendatangi handkey terlebih dahulu di pagi hari sebelum nongkrong di kantin atau bocipi (bobo cantik pagi hari) di sudut tertentu kantor. Uniknya lagi perilaku yang pada awalnya di paksakan melalui SE Dirjen ini sudah menjadi bagian dari rutinitas setiap pegawai tanpa ada satupun yang protes bahkan saling mengingatkan kalau ada yang kelupaan. Begitupun pada saat pulang, tanpa disuruh para pegawai memiliki inisiatif untuk mengantri di depan handkey dengan antrian yang tertib, jauh lebih tertib dari pada antrian penumpang masuk busway, padahal gak ada yang nyuruh atau ngasi komando.

Contoh lain dari nudge di kantor adalah penggunaan seragam. Cukup dengan modal tandatangan dari bos besar di selembar kertas, para pegawai sudah terprogram dalam pikiran mereka bahwa senin pakai baju putih, selasa & jumat batik, rabu & kamis seragam blue bird. Pada awalnya memang ada yang ndumel, tapi setelah berlangsung sebulan, hal tersebut berubah jadi perilaku pegawai. Entah kenapa kalau ada yang pakai seragam blue bird hari selasa, pasti merasa jadi aneh sendiri serasa saltum (lha emang iya).

Saya rasa alangkah baiknya jika nudge juga di terapkan pada acara-acara resmi di ‘great hall’ lantai dasar. Bagaimana penerapannya? Ya paling gampang pakai SE Dirjen, tapi menjadi masalah kalau sang pemberi tandatangan menganggap hal ini sebagai ‘no problemo’. Tanggung jawab otomatis turun ke tangan kanan beliau (secara structural) yaitu sekretaris (Sekditjen). Sang sekretaris dalam hal ini harus memberi komando utama pada saat acara di ‘great hall’ tentang posisi duduk berdasarkan jabatan masing-masing.

Dalam hal ini pemimpin harus berada di depan karena merekalah role model yang dipimpin, kalau pemimpin memilih berbaur sama krucil ya silakan lakukan di kantin, bukan di acara resmi. Sehingga dalam hal ini eselon 1 ya duduk sebaris sama eselon 2 diikuti eselon 3 dan 4 serta jabfung dan paling akhir krucil. Kalau krucil melihat bangku pimpinan masih kosong ya mau gimana lagi, teladannya hilang. Kecuali pimpinan mau bertukar jabatan dengan krucil ya silakan (tapi mana ada yang mau kehilangan tunjangan ya).

Eselon 4 adalah krucilnya eselon 3, pun eselon 3 merupakan krucilnya eselon 2. Nah kalau eselon 2 ya mau gak mau harus jadi teladan dengan datang ontime.

Gimana kalau ada krucil yang telat? Apabila bangku pimpinan krucil tersebut sudah penuh berarti nudge telah berhasil. Si krucil yang telat akan malu sendiri, di level apapun dia.

Tapi kalau bangku pimpinan masih kosong? Ya jangan harap nudge akan berhasil, lha wong teladannya aja gak ada. Dalam hal ini pimpinan itu ibaratnya garis antrian atau nomer antrian yang membuat orang menjadi berubah perilakunya.

Tapi bagaimana jika krucil masih gak disiplin sementara pimpinan sudah beri contoh? Ya itulah bukti statement saya bahwa tandatangan bos besar lebih sakti untuk mengubah perilaku pegawai daripada cuma puisi dari tokoh feminist kita.
Mau bukti? Silakan dilaksanakan.

Entah

Antrian orang yang menantikan pembagian tas dari panitia mengular sangat panjang. Sesekali terlihat beberapa orang yang berfoto ria dengan gembira.

Satu persatu orang-orang itu memasuki ruang pertemuan. Ruangan yang megah dan dihiasi lampu-lampu mewah dengan aksesoris yang memanjakan mata. Kudapan lezat menambah kemewahan yang didapat hari itu.

Doa yang diucapkan sangat indah. Sang pendoa berdoa agar kegiatan hari itu tidaklah menjadi kegiatan yang sia-sia. Suara sang pendoa bergetar menahan tangis yang seakan hendak keluar dari matanya.

Setelah doa yang khusyuk, nyanyian patriotik Bagimu Negeri melengkapi janji kami untuk selalu berbakti untuk negeri ini. Semua orang di ruangan itu bernyanyi dengan penuh semangat dan terselip perasaan haru.

Bergantian pembicara berpidato dengan semangat di depan audiens. Segala capaian dipaparkan. Bersahutan dengan orang-orang yang saling berbisik dan mengunyah kudapan.

Layar di depan sesekali menyoroti orang-orang didalam gedung. Warna biru laut duduk berbaris dan memanjang menyiratkan semangat bahwa hari itu pimpinan akan memberikan arahan bagaimana semua orang bekerja dengan menjunjung integritas dan selalu bersinergi satu sama lain.

Sejam kemudian, layar menampilkan gambar kembali. Warna biru berubah menjadi belang, berseling dengan putih. Tak menunggu sampai selesai akhirnya ruangan hanya menyisakan warna putih yang sepi dan dingin. Suasana yang sangat berbeda dibandingkan ketika antri pembagian souvenir.

Acara hari itu berakhir dengan sejumlah tanya, tak tahankah orang-orang duduk untuk sekedar menghargai orang lain yang sudah bekerja keras menyiapkan acara hari itu. Teringat kembali ucapan sang pendoa.
Entah....

Bogor, 24 November 2017

Jalan Sunyi

Tak banyak pemilih jalan ini
Jalan sunyi, penuh onak dan duri
Banyak kejutan di dalamnya
Hadiah dari Sang Maha Kuasa

Jalan sunyi penuh rintangan
Jalan sunyi penuh perjuangan
Untuk bisa melaluinya
Untuk bisa menapakinya

Perlu ilmu dan mujahadah
Di setiap langkahnya
Kadang melaju, kadang tersendat
Berhenti sesaat untuk mengumpulkan semangat

Berbagi dengan teman seperjalanan
Yang sudah faham makna dan tujuan
Kemana kaki melangkah
Menentukan arah kehidupan

Jalan sunyi, jalan yang sepi
Bagi mereka yang meniti
Mengikuti hati nurani
Tak akan disesali


Jakarta, 23 November 2017