Ketika Korean Wave melanda anak muda negeri ini, tak pelak, anak kami yang beranjak remaja pun terkena imbasnya. Nama grup band, personelnya, hobbynya, makanan favoritnya, jadwal manggungnya, dan hal-hal detail lainnya dia hafal di luar kepala. Bahasa Korea dan Huruf Hanggeul dipelajarinya secara otodidak dari berbagai sumber dengan gairah yang menyala. Semua yang berbau Korea tampak indah bagi dirinya. Sampai-sampai ketika dia memilih jurusan untuk studinya di Universitas, bisa ditebak : Sastra Korea. Berbagai Universitas Negeri dia coba, namun tetap dengan satu jurusan yang menjadi pilihannya.
Sebagai orang tua, kami tidak ingin mematahkan semangat anak-anak kami, apapun yang menjadi passionnya selama itu baik-baik saja. Jadi kami biarkan dia berpetualang mendaftarkan diri ke berbagai Universitas Negeri sesuai minatnya. Namun ketika pengumuman demi pengumuman tiba dan dia selalu tidak lolos saringannya, anak kami mulai menangis dan gelisah berkepanjangan.
Di titik ini, sebagai orang tua kami mulai memberikan pandangan-pandangan dan pancingan agar dia kembali merenungkan pilihannya tersebut. “Kakak, boleh jadi kakak sangaaaaattt suka dengan Sastra Korea, tetapi apakah itu pula yang menjadi kehendak Tuhan untuk kakak pelajari? Coba kakak renungkan lagi, mengapa sepertinya sulit sekali untuk diterima di jurusan tersebut? Boleh jadi apa yang kita sukai bukanlah hal terbaik bagi kita, jadi carilah iradat Allah dalam menentukan segala sesuatu dalam menjalani hidup ini”. Begitulah kira-kira wejangan-wejangan kami sebagai orang tua.
Demikianlah, dari hasil perenungannya, Alhamdulillah, kakak menemukan jawabannya. Kini dia tengah menempuh studi di FIB UNDIP jurusan : Sastra Indonesia semester lima. Berbahagia melalui hari-harinya sebagai mahasiswa dan mendapat banyak kesempatan luar biasa yang Tuhan anugerahkan kepadanya karena mengikuti IradatNya.
Jakarta, 10 November 2017