“Bu, geser dong!” kulirik seorang
ibu yang berdiri tepat didepanku sambil kupandangi wajah ibu-ibu yang usianya
sepertinya tidak terpaut jauh dariku. Kulirik kanan dan kiriku, tak ada satupun
orang yang bereaksi atas perintah ibu tersebut.
“Saya,
bu?” tanyaku sambil memandangi wajahku. Kebetulan saat itu aku mencoba
peruntungan memburu tempat duduk dengan menaiki kereta melawan arah terlebih
dahulu untuk kemudian menunggu jadwal keberangkatan menuju tempat tinggalku. Saat
itu badanku agak meriang sehingga kuputuskan untuk ikut dulu naik kereta menuju
arah sebaliknya dari Bogor.
Aku bersaing
dengan banyak orang sampai aku mendapatkan tempat duduk di bangku panjang kereta
jurusan Jakarta Kota- Bogor, ketika aku
hendak pulang dari kantor ke rumah. Bisa dibayangkan betapa panjangnya
perjalanan yang kutempuh sore itu.
“Cepetan
geser, saya capek nih berdiri!” tiba-tiba tangan ibu tersebut bergerak menggeser
pahaku padahal kondisi saat itu tidak memungkinku untuk menggeser badanku
karena bangku sangat penuh. Saat itu, kereta yang kutumpangi baru saja melewati
dua stasiun dari stasiun keberangkatan.
Tanpa
basa basi lagi, ibu tersebut langsung mendaratkan bokongnya di bangku panjang.
Sepertinya ibu ini memaksakan diri walaupun bangku sudah tidak bisa lagi
menampung orang yang duduk. Setengah pahanya menindihku.
“Aww....”
tanpa sadar aku menjerit kecil karena lumayan sakit ditindih ibu tersebut.
Badannya lumayan besar.
“Makanya
geser mbak!” ibu tersebut masih ngotot.
Aku
mencoba berdiri dari tempat duduk. Niatku mau mengalah karena tak sanggup
meladeni kecerewetan ibu tersebut. Ternyata, berdiripun sulit karena saat itu
kondisi kereta sangat padat sehingga kakipun hanya sebelah yang bisa menapak
dan kemungkinan bisa tertukar dengan kaki orang lain.
Akhirnya
aku menerima nasib untuk membiarkan ibu tersebut duduk di sampingku. Perasaanku
saat itu campur aduk antara kesal dan sakit pahaku tergencet ibu tersebut.
Sepanjang
perjalanan aku mencoba tabah dan sesekali menghalau pergelangan tangan si ibu
karena ternyata ibu tersebut bolak-balik mengambil ponsel dari tasnya.
Tangannya lincah menulis pesan yang entah ditujukan kepada siapa. Sialnya lagi
setiap selesai menuliskan pesan, dia memasukkan kembali ponsel kedalam tasnya.
Berulang kali dilakukannya. Sempat kutegur dengan agak keras, tapi tetap tak
berdaya aku dibuatnya.
“Ini
penting banget, Mbak,” ujarnya sambil menggeser badannya ke belakang. Kalau
dalam istilah para roker (rombongan kereta), seseorang yang terus menggeserkan
badannya ke belakang disebut ngebor. Aku hanya terdiam dan tak habis pikir
kenapa nggak dia pegang saja ponselnya, daripada menyenggol orang lain.
Tapi,
dibalik kekesalanku aku salut dengan kegigihan ibu tersebut. Wajahnya tak
sedikitpun menampakkan perasaan bersalah telah menyusahkan orang lain. Bukan cuma
aku yang merasakan akibat kegigihan ibu tersebut, tapi juga kulihat seorang
perempuan muda beberapa melotot ke arah ibu tersebut. Dan, tetap raut muka ibu
itu tak menampakkan ekspresi apapun selain ekspresi datar.
Penderitaanku
sore itu sepertinya nggak ada habisnya. Nasib baik hanya sebentar berpihak
kepadaku. ketika kakiku terinjak orang yang berdiri di depanku. Aku tetap tak
bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menggerutu tanpa solusi. Ingin untung
malah buntung.