Yang Utama


Suatu waktu dalam sebuah perbincangan dengan seorang teman, saya termanggu dengan ucapannya :”Suami itu nomor sekian...nomor satu adalah Allah lalu RasulNya”. Kala itu saya tidak dapat mencerna apa yang dikatakan teman saya itu, maklum kami masih terbilang “pengantin baru” masih mesra-mesranya, masih sayang-sayangnya. Dunia terasa hanya milik berdua, yang lain ngontrak, kira-kira begitulah gambarannya.


Memiliki pasangan yang baik, yang memanjakan kita, yang penuh perhatian dan pengertian adalah ujian tersendiri bila kita tidak dapat menyikapinya dengan baik, apalagi bila kita tidak tahu harus bagaimana menyikapinya, ini lebih berbahaya lagi. Kadang kenikmatan itu melenakan kita sehingga kita lupa siapa Sang Pemberi Nikmat tersebut, karena kita telah dibutakan oleh kenikmatan itu sendiri.


Rasa memiliki yang tinggi, rasa ketakutan bila nikmat itu hilang, rasa cemas yang berlebih bila yang kita sayangi berpaling dari kita tentu hal ini bisa menjadikan kita galau, sedih, uring-uringan dan menimbulkan berbagai perasaan tidak nyaman lainnya. Semua itu timpul karena kita salah meletakkan siapa atau apa yang ada di dalam hati kita, pasangankah? Jabatankah? Harta bendakah? Anakkah? Kepintarankah? Kepopulerankah? Atau segudang pernak pernik dunia lainnya.


Memang tidak mudah untuk selalu menempatkan Sang Pencipta selalu menjadi yang utama jauh di atas ciptaanNya, namun ini menjadi sesuatu yang harus kita perjuangkan sampai akhir hayat, karena tandinganNya akan selalu berupaya merebut tempat utama tersebut.



Jakarta, 9 November 2017

Sedekah "Like"

Suatu siang, ketika sedang nongkrong di warung kopi, gue iseng-iseng instagram-an. Tiba-tiba Samuel a.k.a Sam, yang sedang duduk di sebelah gue nyeletuk  "sedekah like bro?". Gue perlu sejenak loading sebelum memahami makna celetukannya, sebelum akhirnya mengangguk dan menjawab singkat "he eh".

Istilah sedekah like sebenarnya berawal dari diskusi gue dengan Sam beberapa waktu lalu. Saat itu kami mendiskusikan tentang fenomena media sosial (medsos) sekarang ini. Betapa interaksi off-line  makin tergusur oleh interaksi on-line. Kebutuhan akan interaksi on-line ini kadang-kadang "tidak masuk akal". Bagaimana tidak? seringkali kita melihat atau bahkan kita melakukan sendiri, sekelompok teman yang sepakat untuk bertemu di suatu tempat kemudian malah menghabiskan waktu pertemuan itu sibuk dengan gawai masing-masing. Ironis.

Fenomena lainnya adalah betapa eksistensi di medsos buat beberapa orang sudah menjadi suatu kebutuhan. Mereka butuh untuk selalu update status, posting foto atau media apapun yang dapat digunakan di medsos tersebut. Beberapa bahkan memasang "target" like atau comment atas posting-annya. 

Sudah banyak artikel psikologi atau kesehatan yang membahas soal kecanduan medsos ini. Umumnya menyatakan bahwa orang-orang yang kecanduan medsos memiliki kecenderungan gangguan psikologis seperti rendah diri, kesepian, sampai terganggu jiwanya. Tidak sedikit pula berita tentang efek kecanduan medsos yang berakhir dengan kematian akibat depresi atau bunuh diri.

Awal-awal kenal medsos, gue pun sempat kecanduan. Ibaratnya, gue makan indomie pun seisi dunia harus tahu. Susah, senang, kesepian, emosi dan seabrek luapan perasaan menjadi penting untuk menjawab pertanyaan "what is in your mind?". Candu itu datang dari apresiasi berupa like dan comment. Ada adrenalin tersendiri ketika sebuah postingan mampu menuai banyak tanggapan. Bungah karena berhasil menarik perhatian banyak orang. Bangga karena punya friend-list yang panjang. Layaknya hal duniawi yang melenakan, medsos pun tak terlepas dari campur tangan setan yang meniupkan rasa iri dan dengki bagi penggunanya. Rasa iri ketika ada postingan orang lain yang lebih bagus, update status yang lebih menarik, jumlah like dan comment yang lebih banyak. Friksi pun tak dapat dihindari, dari sekedar saling sindir sampai ke "perang terbuka".

Ketika akhirnya gue memutuskan untuk tidak terlalu aktif ber-medsos ria, karena belum bisa untuk totally leave it, gue berusaha lebih bijak dan mencoba memahami candu yang masih melekat ke banyak orang. Ketika melihat sebuah postingan  yang menurut gue "receh banget" dan gak penting, gue mencoba melihat dari sudut pandang lain, berpikir dengan cara lain. "Receh" buat gue toh belum tentu "receh" juga buat orang tersebut. Gak penting buat gue juga tidak berarti gak penting buat orang lain. Gue pun mengambil sikap yang sama terhadap postingan gue sendiri, meskipun terkadang masih "bablas" juga posting hal-hal yang bahkan menurut gue sendiri gak penting hahaha.

Kembali ke diskusi gue dengan Sam, gue bilang ke Sam mengenai pemahaman gue terhadap kondisi orang-orang yang masih terkena candu medsos. Menurut gue, dengan memberikan mereka sekedar like  atau comnment  basa basi, paling tidak gue telah memberikan apa yang mungkin orang itu sangat inginkan: perhatian. Kita gak pernah tahu, mungkin saja like atau comment gue di postingan pertama seseorang di pagi hari bisa membawa kebahagiaan dan keceriaan orang itu sepanjang sisa hari. It costs me nothing, but it might help them a lot. Negatifnya, mungkin saja kebiasaan "sedekah like"  ini makin menjerumuskan orang tersebut ke dalam candu medsos, namun itu mungkin tetap lebih baik daripada membiarkan orang tersebut depresi dan melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Paling tidak masih terselip sedikit kebahagiaan (meskipun semu) di dalam candu medsos, sambil berharap agar candu tersebut dapat dibuang minimal dikurangi kadarnya. "Sedekah like" ini mungkin juga konsekuensi dari etika ber-medsos, kecuali memang kita mau meninggalkan medsos selamanya.

Begitulah





Mungkin aku terlambat ... meja banquet sudah mulai kosong. Tinggal satu pojok dessert berupa 'tiang' dari gelas-gelas puding.

Aku lapar, .... dan lelah. Dan tidak percaya diri. Dan entahlah. Mengapa aku di sini?

Empat orang kedutaan Belanda yang tadi makan di satu meja bersamaku sudah beranjak 5 menit yang lalu. Sejujurnya mereka juga tidak kenal betul satu sama lain. Sekadar menghapus kecanggungan, mengobrol tentang apa saja yang bisa diobrolkan, sambil menghindari topik sensitif seperti politik dan agama. Siapa sangka di saat seperti ini topik yang 'garing' seperti sejarah bisa jadi menarik dan membuat orang tertawa? Aku mulai terlatih untuk melontarkan komentar yang sekiranya sesuai dengan lawan bicara yang ada pada saat yang berbeda. Seperti tadi, ketika di kananku ada saudara setanah air Indonesia, di kiriku ada orang Belanda, sementara kaos polo shirt hitamku bertulisan bahasa Swedia ... otakku mulai berputar mencari bahan percakapan yang mungkin menarik minat tetangga makan siang hari ini. Kukatakan bahwa ini adalah takdir bila kita bisa duduk satu meja ... karena masa lalu telah menghubungkan kita semua di sini. 

Kuceritakan kepada mereka rasa yang timbul sewaktu berjalan menyusuri kanal sepanjang zona barat Skandinavia ... suatu de ja vu bagai berjalan di wilayah Kota Tua, Jakarta. Suatu rasa yang kemudian menemukan jawabannya di suatu museum sejarah, ketika terungkap bahwa arsitek di kota tersebut memang membangunnya sesuai cetak biru Batavia, Jakarta tempo dulu. Dan sang arsitek Belanda ini memang baru saja merampungkan proyek Batavia sewaktu diminta membangun kanal sepanjang Göta Alv ... area yang kini lebih dikenal sebagai tempat lahirnya Volvo, kebanggaan Swedia.

Dan apakah takdir serupa ini pula yang kini membuat seseorang duduk di kursi kosong di mejaku ini. Tadinya, aku kira suasana garing akan berlanjut ketika rombongan Belanda telah beranjak permisi, meninggalkanku dengan 3 gelas puding kosong. Jangan katakan aku kemaruk, karena hanya ini yang tersisa dari semua bakul nasi kosong dan mangkuk-mangkuk sayur serta jejeran wadah stainless steel porsi kondangan ... yang melompong meminta diangkut ke bak cucian.

Kubuka dengan pernyataan dan pertanyaan standar, "Saya dari Indonesia. Anda dari kampus apakah dan di negara manakah?

"Venice."

"Oh. Great! Never knew Venice has a university. So, it means you are an Italian?"

"Canadian, actually."

Dan itulah saat tawaku mulai pecah. Agak sulit bagiku untuk tetap bersikap serius mendengar jawabannya yang spontan ini. Rasanya seperti menahan diri supaya tidak tersedak makanan, atau sewaktu-waktu ia akan melompat bebas melalui saluran hidung.

"Excuse me if I am curious ... may I know how come a Canadian got stranded in Venice? I thought it was only a place for couples on honeymoon!"

"Yeah, I don't blame you. And you might not believe this as well. I am a PhD actually."

What!? How!? What the heck does a PhD do in an education fair in a country faraway from one's research and university?

"I am bored. That is why."

Demikianlah tawaku pecah. Sambil berurai air mata karena terlalu geli mendengar pengakuan sang doktor ini. Sekonyong-konyong aku mendengar sahutan suara "Ssshuuushhhss!!" dari sekelompok bapak-bapak di meja sebelah, dan entah kenapa aku merasa wajib menyampaikan peringatan ini kepada teman bicara di mejaku,

"Look. I seriously think I need to move to another table, otherwise I will laugh harder listening to every word you are saying right now. Although they are all true, it is just unbelievable and I am sorry I cannot stand for not laughing."

Tak kusangka ia memprotes, "Are you kidding? We can laugh all the time as much as we want. Here. Right now. Who cares?" 

Benar juga, batinku. Toh, mereka juga bebas untuk tinggal atau pergi bila merasa terganggu dengan percakapan di meja kami. Seperti refleks untuk memastikan kelanjutan interaksi kami, ia pun menjabat tanganku, "I am Christine" dan kujawab dengan namaku sendiri ... sambil meminta maaf karena tanganku sedikit lembab karena keringat. Ia berupaya untuk menghiburku, "No worries. My armpits are also sweating all the time." Aku pun kembali tertawa terbahak-bahak.

Tak percaya rasanya bisa bertemu dengan akademisi tingkat tinggi dalam acara publik semacam ini, hingga aku pun merasa perlu bertanya, "What is you field of research?"

"Italian Renaissance. Actually I was a professor in this."

"Wow. It must a difficult subject of study."

"Yes, actually. Indeed. It is difficult, especially more difficult if you have to encounter so many people who feel they are the smartest in this world .... so they think your paper is worthless."

Hmm ... entah kenapa komentarnya yang terakhir tadi membuat khayalku melayang ke isu-isu di kantor seperti JFAA, grading, pangkat, dan sejenisnya. Indeed, it is true. Banyak sekali yang merasa dirinya lebih kompeten dari orang lain meski tidak banyak mengetahui mengenai prestasi apa saja yang telah dilakukan oleh koleganya tersebut.

Namun entah kenapa aku tak terlalu larut dalam imajinasi problematika di kantor, dan memilih kembali ke realitas percakapan kami di siang itu. Aku berusaha menghibur dan menggodanya,

"Well, of course Italians feel smarter than you. As you have said before, the study is about Italian Renaissance. Now you are conducting your research in Venice. Of course all Italians will feel they are smarter than you in this subject matter ... as you are a foreigner, because you came from Canada. Who do you think others will believe more to explain about Italian Renaissance: a native Italian or an imported docent from Canada?" candaku.

Demikianlah. Gilirannya untuk tertawa, "You are right." 

Ia pun kembali melempar bola percakapannya kepadaku, "What about you?"

Menanggapi ini, aku ceritakan bahwa aku alumni yang ikut meramaikan pameran ini dengan berbagi kisah kepada pengunjung yang rata-rata mahasiswa atau pelajar SMA. Tapi sama seperti dia, pekerjaanku sehari-hari juga tidak ada hubungannya dengan kegiatan kita di hari ini. I might be bored too.

Tapi entah kenapa ia membesarkan hatiku ... dan berkata,

"You know what, for these universities ... a person like you is actually equals to gold."

Maksudnya?

Ia menjelaskan, "Coba tengok di sekitarmu ... adakah kampus-kampus lain di sini masih mengetahui keadaan alumni mereka? Apakah mereka tetap saling berkomunikasi dengan lulusannya? Saya rasa kebanyakan mereka tidak demikian. Padahal alumni lokal akan dapat sangat membantu bilamana kampus-kampus tersebut ingin mengembangkan sayapnya ke belahan dunia yang lain. Mereka bisa menjembatani perbedaan budaya dari kedua negara.

Entahlah, jawabku.

Sejujurnya aku berada di sini karena ingin memperlihatkan banyak jalan menuju Roma. 

Aku ingin generasi setelahku tetap merasa optimis bahwa semua orang bisa mempunyai cita-cita tinggi dan mampu untuk mewujudkannya tanpa perlu terlalu banyak berkorban perasaan ... atau biaya ... atau waktu ... atau harapan mereka. Ah, "Banyak jalan menuju Roma" ... apakah ungkapan tersebut juga pertanda sehingga hari ini aku bertemu professor Italian Renaissance dari Venesia ... tempat yang terkenal dengan deretan kanal-kanalnya?

Ah, kanal ... mengapa aku jadi teringat dengan obrolan pertama tadi? Sewaktu semula kita membahas tentang Gothenburg dan Batavia. Sewaktu aku ceritakan tentang kanal Göta Alv dan sungai di Kota Tua. Adalah takdir yang mempertemukan dan memisahkan kita manusia-manusia dari segala tempat yang bebeda tersebut ... di jam makan siang yang singkat ini. 


Dan aku pun kembali lapar.

Me Rame – Becak dan Selokan

Naik becak di Jakarta merupakan hal yang biasa, karena becak banyak tersebar hampir di seluruh wilayah kota Jakarta. Meski demikian, becak juga banyak di sekitar wilayah kota Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tangerang dan Bogor. Keberadaan becak umumnya ada di sekitar perumahan, pasar tradisional dan terminal setempat. Selain itu juga, becak ada juga di hampir setiap wilayah di Indonesia. Misalnya Bandung, Medan dengan bentornya, Makassar dengan becak tingginya.
Cerita berlanjut dengan si Alfa yang sedang berlibur di daerah Sulawesi Selatan. Naik becak bagi si Alfa merupakan hal yang biasa. Namun karena naik becak di daerah Sulawesi Selatan menjadi pengalaman baru. Pertama posisi becak yang agak tinggi baik untuk penumpang dan pengemudinya, membuat pengalaman naik becak jadi berbeda. Kedua, becak di Sulawesi Selatan ini mempunyai tempat duduk yang agak sempit dibanding dengan becak di Jakarta dan pada umumnya.
Si Alfa berada di Sulawesi Selatan karena ada undangan sepupunya yang akan menikah dengan orang dari Sidrap (Sidenreng Rappang) dan kebetulan mereka bertemu saat melakukan trip bareng dari kantor sepupunya ke daerah selayar di Sulawesi Selatan. Hubungan jarak jauh dilakoni dan hingga berlanjut hingga ke pelaminan. Alfa tidak bisa datang pada acara pernikahan tetapi datang saat lamaran yang berlangsung di tempat tinggal sepupunya.
Perjalanan dari tempat penginapan dengan tempat lamaran cukup dekat dijangkau dengan becak. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Alfa dan kedua kawannya yang belum pernah ke Sulawesi untuk naik becak. Berbaju santai dan tidak terlalu resmi, mereka berangkat dengan becak yang mangkal deket tempat penginapan. Jarak yang akan ditempuh gak terlalu jauh sekitar 1 km dan cukup ditempuh dengan becak dengan kondisi jalan yang cukup rata sehingga tidak membuat lelah pengayuh becak. Mereka naik dengan 2 becak dimana 1 becak di tumpangi oleh 2 orang dengan ukuran badan yang agak lebar dengan kondisi becak cukup sempit ketika dinaiki berdua. Seharusnya memang sewa 3 becak untuk 1 orang. Penumpang sudah cukup berkeringat akibat cuaca di Sulawesi yang panas dan ditambah dengan santainya si pengayuh becak bahwa becaknya mampu berjalan normal. Jika naik ojek, mungkin gak masalah tapi ini becak dengan 2 penumpang yang cukup besar melewati sebuah tanjakan.   
Perjuangan baru dimulai bung. Perlahan becak dengan kecepatan yang lumayan cepat akan mampu melewati tanjakan agar mampu mengambil momentum untuk menanjak. Pada saat di pertengahan jalur tanjakan, pengayuh becak, si Daeng mengambil nafas cukup dalam dan menghelanya sejenak agar becaknya tetap berjalan. Namun ketika di posisi becak yang cukup tinggi dari tanjakan, si Daeng kelelahan dan turun dari becak. Maka mundurlah becak itu dengan kencang ke arah saat nanjak tadi. Si Daeng tidak sempat menahan becak dan braak….braak. Begitulah dentuman suara becak melaju mundur dan terjun bebas kedalam selokan. Si Daeng sempat menahan becaknya dan ketika tidak sanggup ditahan, maka ia menyelamatkan dirinya. Lain si Daeng, lain pula si penumpang. Kedua kawan dari si Alfa tidak sempat loncat dan bangun dari tempat duduk becak, mungkin karena memang sudah sempit dan pas atau sulit keluar dari zona tidak nyamannya dan akhirnya mereka pasrah ikut terjerembab dalam sebuah selokan yang cukup dalam sekitar 1 m dan lebar 0.6 m. Beruntunglah selokan itu tidak ada airnya, namun warga sekitar yang mendengar dan melihat langsung memberikan pertolongan. Perjuangan yang berat bagi kedua kawan si Alfa selain mereka juga tidak bisa keluar dari zona tidak nyamannya. Beberapa memar terlihat pada bagian tubuh dan sedikit wajah dari kedua kawannya itu. Setelah memeriksa bahwa tidak ada masalah persendian akibat adegan “stuntman” itu, mereka bergegas membayar jasa si Daeng dan berjalan menuju ke acara lamaran dimaksud. 
Dengan sedikit rintihan karena ada sedikit memar, mereka berdua berjalan dengan si Alfa sambil mengingat kembali kejadian itu dan akhirnya mereka tertawa bersama-sama. Kenapa kok kita berdua sangat yakin ya dengan si Daeng, kenapa kok kita gak langsung turun dari becak ya. Demikian pikiran mereka saat sebelum kejadian terjadi. Akhirnya mereka sampai dalam acara lamaran yang sudah dimulai dan dipenuhi para undangan dari kerabat terdekat. Dan para undangan pun melihat dengan penasaran. Mereka terlihat seperti dikejar-kejar alien di pagi hari yang cukup terik. Sebelum akhirnya menjadi khusyu, mereka masih tersenyum-senyum mengingat kejadian tadi.

Cerita dapat juga dibaca pada link berikut :

KRL Mania (1)



Sebagai orang yang hidup pada jaman milenial atau jaman “now”, saya sangat akrab dengan berbagai jenis transportasi publik. Mulai dari angkot, angkutan online baik roda dua maupun roda empat, segala jenis bis baik dalam maupun luar kota, dan kereta Jabodetabek maupun kereta luar kota. Kali ini saya akan menuliskan kisah mengenai pengalaman saya bersama kereta Jabodetabek atau lebih terkenal dengan nama KRL. KRL adalah kepanjangan dari kereta rel listrik.
Bukan soal teknis kelistrikannya yang ingin saya ceritakan disini, tapi pengalaman batin saya bertahun-tahun intim dengan KRL. Saya akan ajak pembaca berkelana dari mulai lobby stasiunnya. Kebetulan saya biasa naik dari stasiun Depok Baru. Stasiun Depok Baru berada diantara stasiun Depok Lama dan stasiun Pondok Cina. Dari arah Jakarta stasiun Depok Baru berada setelah stasiun Pondok Cina. Sedangkan dari arah Jakarta, berada setelah stasiun Depok.
Biasanya saya sudah berada di stasiun Depok adalah pukul 05.25 pagi (perjuangan yang lumayan keras ya). Saya biasa naik KRL jurusan Depok-Jakarta Kota dengan jadwal jam 05.30. Saya memilih jadwal perjalanan pagi karena biasanya KRL belum terlalu penuh sehingga saya masih bisa berdiri dengan nyaman tanpa bersentuhan bahu dengan penumpang lain.
Hal yang paling mudah diamati dalam perjalanan pergi pulang ke dan dari kantor adalah sikap-sikap manusia yang menggunakan moda transportasi KRL jabodetabek. Berbagai macam tingkah manusia yang kadang bisa bikin tersenyum manis, tertawa, tersenyum kecut atau pun cemberut dan kesal berkepanjangan. Saya paling senang memperhatikan tingkah laku para penumpang KRL (tapi saya tidak termasuk ya karena tidak etis juga menilai diri sendiri).
Biasanya di loket pembelian kartu yang berlaku sebagai tiket, banyak orang antri menunggu gilirannya dilayani petugas. Kebetulan di stasiun Depok Baru belum ada mesin tiket jadi masih manual. Disitulah bisa terlihat kalau sebagian penumpang KRL belum bisa mendisiplinkan diri sendiri. Struk pembelian kartu banyak berserakan di lantai padahal tempat sampah terdapat tidak jauh dari pandangan mata mereka. Mungkin mereka merasa bahwa toh nantinya ada petugas yang akan membersihkannya. Ah terlalu memang.
Beralih ke gerbang “pengetapan” (maafkan saya apabila kata yang dipakai tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Orang biasanya bergegas ketika baru memasuki gerbang stasiun tapi announcer sudah mengumumkan bahwa kereta akan masuk stasiun. Tentu saja orang yang terburu-buru mengejar kereta  akan berlari sekuat tenaga bagaikan tokoh Forrest Gump yang diperankan aktor Tom Hanks dalam film berjudul sama. Saya pun pernah melakukan hal seperti itu. Saking takutnya ketinggalan kereta yang biasa dinaikin pada jadwal yang sama setiap harinya, kadang saya lupa kalau usia saya sudah menjelang senja dan lutut sulit berbohong bahwa saya masih sekuat dulu.
Saya bisa agak lebih santai apabila datang lebih pagi dari kereta yang biasa dinaikin. Jadi saya bisa menunggu di peron stasiun. Biasanya saya duduk dengan posisi punggung-punggungan romantis dengan penumpang lainnya pada kursi yang menurut saya lebih mirip jemuran.
Pada saat menunggu biasanya ada orang yang membaca koran (walau jaman “now” sudah jarang orang yang membaca koran karena kebanyakan jadi korban gadget), ngobrol dengan teman atau pasangannya, dan bengong sendirian kalau orang itu masih jomblo (mungkin juga sambil matanya jelatatan, siapa tahu ada cewek atau cowok yang bening).
Setelah melakukan pengamatan mendalam, bisa saya pastikan kalau 9 dari 10 orang sedang memegang ponsel (betapa kurang gaulnya manusia jaman “now” ini). Kalaupun mereka berkelompok, seringkali mereka lebih sering berkomunikasi dengan ponselnya masing-masing (tentu saja termasuk saya).
Ada kebiasaan orang kalau duduk di kursi “jemuran” yang menyulitkan orang lain yang sehingga mengurangi jatah orang lain yaitu menyimpan barang bawaannya di bangku. Menyulitkan karena otomatis ketika seseorang ingin duduk, orang tersebut harus mengeluarkan bunyi dari mulutnya untuk memohon agar bisa diberikan peluang untuk duduk juga. Mungkin seharusnya orang yang sedang duduk mengerti keinginan orang lain untuk duduk tanpa diminta.
Ketika kereta datang dan kemudian pintu terbuka, orang akan berebut masuk. Padahal sebenarnya kan bisa saja antri satu persatu. Bahkan bisa saja sikut mengenai tubuh orang lain. Apalagi kalau seseorang ngintip dari jendela kereta terlihat ada bangku yang kosong, jangan harap orang itu akan tertib masuk kedalam kereta, siap-siap saja ada yang jadi korban. Setelah kaki menginjak kereta langsung orang tersebut lari ke arah bangku kosong agar tidak keduluan orang lain untuk duduk tanpa peduli ada orang kesenggol atau jatuh karena ulahnya. Untuk yang satu ini saya akui, saya juga pernah berebutan tempat duduk walau seringnya saya kalah langkah dan akhirnya menunggu belas kasihan orang lain untuk duduk. Biasanya kalau lawannya banyak saya kalah atau mengalah. Kecuali kalau lawannya cuma satu dan bapak-bapak pula saya bisa menang.

Penjual Sapu Lidi


“Salim....,” suara cempreng Emak berteriak memekakkan telingaku. Kutarik kembali selimut menutupi seluruh tubuhku. Kebiasaan Emak yang kubenci adalah teriakan khas yang selalu menggema setiap pagi.
                “Salim, bangun. Jangan tidur melulu. Cari kerja sana!” cerocos Emak sambil menarik selimutku. Emak membuka gorden jendela kamarku. Cahaya matahari menerobos dan menyilaukan pandanganku.
                “Emak, aku masih ngantuk,” Aku menutupi lagi tubuhku dengan selimut.
                “Anak nggak tau malu. Anak-anak seumur kamu sudah pada kerja semua, bahkan ada yang sudah punya anak. Ini kamu masih terus begini. Pengang......”.
                “Stop, Mak!” tukasku. Aku sudah hapal isi ceramah Emak setiap hari di waktu dan tempat yang sama.
                “Mak, aku kan udah bilang belum ada lowongan pekerjaan yang cocok sama ilmuku,” jawabku sekenanya.  Kupasang muka cemberut. Rasanya bosan setiap hari mendengar kecerewetan Emak soal statusku yang masih pengangguran.
                “Gimana mau dapat pekerjaan kalau kerjanya tidur terus,” suara Emak kembali melengking.
Kuambil bantal untuk menutupi mukaku. Tiba-tiba kakiku serasa dingin dan basah. Rupanya Emak menyiramkan air ke kakiku.
                “Emak.......” aku berteriak meluapkan kekesalan. Kali ini Emak sudah keterlaluan mengusikku. Rasanya aku ingin balas dendam tapi apa daya kehidupanku masih sangat bergantung kepadanya.
                “Jaga warung. Emak mau ke rumah mpok Sarih, suaminya jatuh di kamar mandi dan nggak bisa bangun. Dia nggak punya uang buat bawa suaminya ke rumah sakit,”
                “Emak ini, selalu ngurusin orang lain. Anak sendiri lupa diurusin,” ujarku kesal.
                Mata Emak mendelik ke arahku. Diambilnya sapu ijuk seolah mau memukul diriku. Akupun berlari ke kamar mandi menghindari kebuasan Emak.
                “Makanya setiap hari bangun pagi. Jalan-jalanlah di kampung kita. Sapa tetanggamu, lihat keadaan sekeliling. Jangan cuma ngumpet di kamar!” suara ceramah Emak membuatku pusing.
                Secepatnya kusingkirkan selimutku. Tanpa mencuci muka, aku bergegas keluar kamar untuk menghindari omelan Emak yang seakan nggak mengenal titik dan koma.
                *****

Aku duduk di kursi belakang lemari kaca tempat memajang dagangan Emak. Kuambil laptopku dan kuletakkan di atas etalase. Sambil menunggui warung Emak, aku bisa mencari informasi lowongan pekerjaan yang cocok dengan jurusan yang kuambil waktu kuliah. Sejak aku kecil Emak sudah berjualan. Apalagi ketika Bapak meninggal, Emak semakin semangat berjualan di samping rumah untuk menyambung hidup kami, karena uang pensiun Bapak tak cukup untuk membiayaiku kuliah.
                Sempat kulontarkan ide untuk berhenti kuliah kepada Emak, tapi Emak marah-marah kepadaku. Tiga hari Emak mogok menyediakan makanan buatku sehingga setiap hari pula aku makan mie instan tiada henti. Sejak itu, aku tak pernah lagi meminta putus kuliah.
                Aku adalah anak satu-satunya Emak dan Bapak. Emak sangat berharap agar aku dapat menjadi anak yang mandiri. Emak juga yang mendorongku untuk bersekolah sampai lulus menjadi sarjana. Aku tahu Emak sangat berharap agar aku dapat segera bekerja, namun sampai sekarang aku belum mendapatkan panggilan dari surat lamaran yang kukirimkan kepada perusahaan-perusahaan swasta.
                “Permisi,” kudengar suara seorang ibu yang tahu-tahu sudah berdiri di depan etalase. Aku berdiri dari kursi yang kududuki.
                “Tumben nih, Mas Salim yang jaga warung. Ibu Masnah kemana?”
                “Ibu sedang ke rumah Bu Sarih,” jawabku.
                “Minta gula pasir setengah kilo dong!” aku celingukan mencari tempat Emak menyimpan gula pasir.
                “Itu Mas, di belakangnya. Ketahuan nggak pernah bantuin Bu Masnah di warung,”
                “Ah, cerewet banget sih,” aku menggerutu dalam hati sambil menyerahkan gula pasir dalam plastik.
                Ibu-ibu itu menyerahkan uang kepadaku. Aku kebingungan berapa uang kembaliannya. Kembali Ibu itu menggodaku.
                “Makanya sekali-kali bantuin ibunya di warung, Mas,” Mukaku merah mendengar celotehan Ibu itu.  Ibu tersebut menyebutkan berapa jumlah uang yang harus kukembalikan kepadanya. Kubuka kotak kayu yang sudah sangat lusuh, kuambil beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan kuberikan kepada Ibu tersebut.
                Beda dengan Emak, yang selalu ringan tangan membantu kesulitan tetangga sekitar rumah, aku tak pernah sekalipun bersosialisasi dengan mereka. Aku bosan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama setiap harinya. Menurutku itu hanya basa basi belaka yang sama sekali nggak penting.
*****

                “Sapu lidi....sapu lidi,” suara teriakan pedagang sapu lidi terdengar dari depan rumah. Aku masih terus mencari lowongan kerja di dunia maya melalui laptopku.
                “Numpang duduk ya, Nak,”
                “Iya,” ujarku kepada Bapak penjual sapu lidi itu. Kulihat sekilas, Bapak penjual sapu lidi itu meminggirkan gerobaknya ke tembok depan rumahku. Dengan gerakan perlahan Bapak yang kuperkirakan berumur sekitar tujuh puluh tahun mencoba duduk di tembok depan rumahku. Kebetulan rumahku tidak memiliki pagar dan hanya diberi tembok yang bisa diduduki untuk membatasi halaman rumah dengan jalan.
Dengan rasa penasaran kuhampiri Bapak itu. Kuperhatikan tubuhnya sudah renta dan sesekali kudengar suara batuk yang berat. Perasaan iba menjalari hatiku. Aku duduk di tembok depan rumahku
                “Setiap hari Bapak berkeliling berjualan sapu lidi?” tanyaku pelan.
                “Enggak sih. Bapak berjualan kalau lagi banyak janur saja. Anak Bapak berjualan kulit ketupat dari janur. Kalau ada sisa Bapak bikin sapu lidi,” terangnya.
                “Bapak nggak capek?”
                “Ya gimana lagi. Bapak nggak mau nyusahin anak Bapak. Udah mah Bapak tinggal sama anak dan keluarganya, masak masih mau menyusahkan juga. Walau sebenarnya anak Bapak udah nyuruh Bapak berhenti jualan tapi sepanjang Bapak masih kuat Bapak harus terus kerja,”
                Sejenak aku tertegun mendengar penjelasan bapak tua ini. Apalagi ketika aku berpikir apa yang sudah kulakukan selama ini untuk membantu Emak. Jangankan membantu, yang ada aku malah menyusahkan Emak. Selama ini Emak kerja sendiri. Emak selalu menyiapkan makananku dan mencuci semua bajuku, padahal Emak harus ke pasar buat beli stok warung dan berjualan sendiri. Selain itu, aku masih pula merepotkan dengan selalu minta uang kepada Emak. Betapa tak bergunanya hidupku selama ini.
                “Pak, saya beli sapu lidinya, satu saja,” tiba-tiba Emak muncul di depan rumah. Emak menyodorkan uang dua puluh ribu.
                “Ini kembaliannya, bu,” ujar Bapak penjual sapu lidi sambil menyerahkan uang sepuluh ribu kepada Emak.
                “Buat Bapak saja,” ujar Emak.
                “Kalau gitu, Ibu ambil satu lagi sapu lidinya,” ujar Bapak itu. Emak menggelengkan kepala.
                “Ambil saja , bu. Saya tidak bisa menerima uang begitu saja,” Akhirnya Emak mengalah dan mengambil sapu lidi.
                Aku masih tertegun sampai Bapak tua penjual sapu lidi itu berlalu dari hadapanku. Ternyata selama ini hidupku sia-sia.

*****

Jakarta, 30 Oktober 2017             

Beasiswa



Benarkah mencari beasiswa itu sulit?
Sebelum mendapat beasiswa, saya akan menjawab: Sulit.
Setelah mendapat beasiswa, saya akan menjawab: Tergantung.

Mendapatkan beasiswa, sama seperti mencari hal lainnya di dalam hidup ini adalah kombinasi dari beberapa faktor, seperti: preferensi pribadi, kenyataan di lapangan, dan faktor X.  Ibarat ingin mencapai suatu tujuan dari lokasi tertentu pada waktu tertentu, maka pertimbangannya pun relatif dengan keadaan kita pada masa itu.  Sebagai contoh, apabila kita merencanakan perjalanan ke kantor di suatu pagi, pertimbangannya bisa bermacam-macam. Apakah hari itu hujan, apakah saat itu kondisi tubuh sedang kurang fit, apakah pagi itu jalan tol macet, apakah di waktu tersebut ada gangguan sinyal kereta api, apakah hari itu tanggal tua atau tanggal muda, apakah hari itu ada ST, apakah jatah flexy time sudah habis atau masih banyak, dan seterusnya dan seterusnya.

Begitu pula halnya dengan mencari beasiswa, tidak bisa disamakan jalan seseorang dengan orang lainnya karena situasi mereka pun belum tentu sama. Apabila beberapa sponsor mempunyai persyaratan yang berbeda, begitu pula halnya dengan kemampuan kita sendiri di dalam memenuhi persyaratan-persyaratan itu. Situasi menjadi sulit ketika kita tidak mampu mencocokkan antara keinginan dengan kenyataan hidup.

Baiklah sekarang saya membandingkan antara beasiswa yang mempersyaratkan psikotes (SPIRIT) dengan yang tidak mempersyaratkan psikotes (ADS). Kebetulan pernah merasakan kedua prosesnya. Seorang teman pernah bercerita bahwa ia tidak ingin mendaftarkan diri ke SPIRIT dan lebih suka mendaftarkan diri ke ADS. Setelah saya tanyakan mengapa, ia lalu berkata bahwa dirinya tidak pernah lulus psikotes. Tapi bukankah interview di ADS juga sulit? Temanku menjawab bahwa karena interview di ADS banyak yang berkisar dengan pekerjaan dan ia cukup paham dengan apa yang dikerjakannya selama ini maka ia lebih percaya diri dengan interview ADS daripada psikotes SPIRIT.

OK, paragraf tersebut di atas melihat beasiswa dari sudut pandang sponsor atau lembaga penyedia beasiswa. Sekarang, marilah kita melihat beasiswa dari sudut  pandang pribadi masing-masing. Mengapa kita perlu mengambil beasiswa? Apa pentingnya beasiswa? Apakah semua orang perlu mencari beasiswa? Nah ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang meskipun subjektif namun tidak kalah pentingnya untuk dipahami supaya tidak kecewa di kemudian hari.

Sebab bukan sekali atau dua kali saja saya mendengar problem yang dihadapi mahasiswa Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri. Ada yang hilang di Amerika, ada yang menderita sakit mental di Jepang, ada yang bunuh diri di Jerman, yang tidak lulus kuliah juga tidak sedikit, apalagi kalau sponsornya pemerintah dalam negeri … bukan hanya sedih karena tidak membawa pulang ijazah namun juga sedih karena harus mencicil hutang beasiswa melalui potongan gaji.

Dengan serangkaian potensi permasalahan ini, sayangnya ketakutan yang paling sering saya dengar adalah soal uang. Dan ini membuat saya merasa gatal. Tanpa menafikan pentingnya uang, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat potensi dan masalah yang lebih luas dari sekadar uang. Sebagai contoh, sudah menjadi rahasia umum bahwa tunjangan hidup dari LPDP termasuk tinggi bahkan apabila dibandingkan dengan yang diberikan oleh sponsor internasional. Tapi seperti kata orang, “high return equals to high risk” maka ini berlaku juga buat mahasiswa LPDP. Teman saya bercerita bahwa LPDP mensyaratkan tidak ada mata kuliah yang gagal. Padahal kebijakan beberapa negara tempat kuliah penerima LPDP juga tidak seragam mengenai gagal atau tidaknya seorang mahasiswa di dalam mata kuliah tertentu. Sebagai contoh, ada negara yang memperbolehkan untuk mengulang mata kuliah, ada juga yang tidak. Selain itu, ada juga negara yang mengatur bahwa apabila seseorang gagal di mata kuliah tertentu maka ia tidak diizinkan untuk mengambil mata kuliah tersebut di seluruh universitas di negara itu untuk selamanya. Masalahnya, tidak semua orang bisa mengetahui hal-hal ini sebelum ia pergi ke negara yang dituju.

(bersambung)

22 Years, still counting

Bulan Oktober 2017 ini ternyata tepat 22 tahun saya mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Suatu perjalanan waktu yang cukup panjang. Di dunia swasta, waktu 22 tahun seharusnya sudah bisa menempatkan seseorang ke pucuk pimpinan tertinggi perusahaan atau mungkin malah menjadi pemilik perusahaan. 22 tahun itu sendiri sudah melebihi separuh umur saya, yang artinya separuh hidup saya sudah saya abdikan di Kemenkeu. Hebat ya? saya aja baru noticed ketika ada notifikasi di akun Linkedin. 

Pertanyaan yang coba saya renungkan adalah apakah pengalaman saya di Kemenkeu benar-benar 'bernilai' 22 tahun? jangan-jangan hanya 1 tahun tapi saya ulang-ulang selama 22 kali, LoL. Disinilah mungkin perbedaan nilai pengalaman kerja di dunia swasta dan di dunia birokrasi. Di birokrasi, start awal masuk kerja sangat menentukan. 22 tahun masa kerja berarti saya mendapat "jatah" minimal 5 kali naik pangkat, karena kenaikan pangkat reguler adalah setiap 4 tahun. Alhamdulillah, walaupun cuma sekali tetapi saya telah melebihi "jatah" minimal tersebut. Hal tersebut memang dimungkin apabila seorang PNS melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan mendapatkan penyesuaian ijazah ke pangkat/golongan sesuai tingkat pendidikannya.

Pola kenaikan pangkat reguler dan sistem karir tersebut tentunya belum cukup untuk membuat 22 tahun masa kerja menjadikan saya seorang Eselon I. Fakta tersebut tidak terlalu mengganggu saya karena meskipun sudah ada teman-teman seangkatan yang menduduki jabatan lebih tinggi, tapi lebih banyak lagi yang bahkan belum memiliki pangkat dan golongan yang sama dengan saya. Hal lain yang membuat saya masih 'sedikit tenang' adalah karena memang time-frame untuk menjadi Eselon I masih 7 tahun lagi (untuk bagian ini nanti akan saya tuliskan tersendiri, LoL).

Selain sistem kepangkatan, banyak faktor lain yang mempengaruhi karir birokrasi sehingga sebenarnya bisa jadi ini termasuk 'bagian yang menantang' dibandingkan dunia swasta selain take home pay tentunya. 

Waktu 22 tahun seharusnya memberikan saya pengalaman yang komprehensif di semua bidang tugas Kemenkeu, minimal di unit eselon I tempat saya bekerja. Faktanya tidak seperti itu, karena manajemen SDM belum membuat career path yang memungkinkan seorang PNS menduduki berbagai posisi dan membidangi berbagai tugas sebelum menduduki jabatan yang lebih tinggi. Hal ini tidak dialami oleh saya sendiri, tetapi hampir oleh semua pegawai.

Reformasi birokrasi Kemenkeu secara spesifik belum menyentuh masalah manajemen karir pegawainya. Hal yang sebenarnya sangat penting sehingga semua tools penilaian kinerja dapat secara lengkap memetakan kinerja pegawai di level penugasan yang berbeda-beda.

Minimnya variasi tugas dan penugasan tidak saja merugikan individu pegawai tetapi juga merugikan organisasi secara keseluruhan. Secara individu, si pegawai akan menjadi 'spesialis yang tanggung'. Mengapa tanggung? ya karena spesialisasi-nya sebenarnya tidak dibutuhkan oleh organisasi. Kondisi tersebut juga menimbulkan kejenuhan dan cenderung menciptakan sudut pandang yang sempit atas suatu permasalahan yang membutuhkan pemecahan komprehensif. Untuk organisasi, kondisinya hampir sama, pimpinan-pimpinan yang tidak banyak variasi tugas dan penugasan membuat kebijakan-kebijakan yang diambil kurang (tidak) komprehensif. Hal tersebut akan semakin parah ketika pimpinan-pimpinan tersebut kehilangan percaya diri karena tidak memiliki dasar yang cukup tentang tugas utama organisasinya. Hilangnya rasa percaya diri tersebut bisa mengakibatkan organisasi yang dipimpinnya kehilangan "marwah".

Nah, kembali ke 22 tahun-nya saya, yang insyaa Allah masih berlanjut, paling tidak saya harus berhitung dengan waktu yang tersisa; apakah time-frame saya dapat terpenuhi dengan kondisi sekarang atau saya harus melakukan terobosan-terobosan yang minimal dapat membuat saya "tepat waktu", kalau tidak mungkin "lebih cepat". Semua itu adalah pilihan-pilihan yang hanya waktu mampu menjawabnya. Sekali lagi, dengan konsep "semua orang berada di ruang waktu masing-masing", 22 tahun menjadi waktu yang relatif; tidak berarti terlalu lama atau terlalu lambat, karena saya sedang menjalani "ruang waktu" saya sendiri.