“Salim....,” suara cempreng Emak berteriak memekakkan
telingaku. Kutarik kembali selimut menutupi seluruh tubuhku. Kebiasaan Emak
yang kubenci adalah teriakan khas yang selalu menggema setiap pagi.
“Salim,
bangun. Jangan tidur melulu. Cari kerja sana!” cerocos Emak sambil menarik
selimutku. Emak membuka gorden jendela kamarku. Cahaya matahari menerobos dan
menyilaukan pandanganku.
“Emak,
aku masih ngantuk,” Aku menutupi lagi tubuhku dengan selimut.
“Anak
nggak tau malu. Anak-anak seumur kamu sudah pada kerja semua, bahkan ada yang
sudah punya anak. Ini kamu masih terus begini. Pengang......”.
“Stop,
Mak!” tukasku. Aku sudah hapal isi ceramah Emak setiap hari di waktu dan tempat
yang sama.
“Mak,
aku kan udah bilang belum ada lowongan pekerjaan yang cocok sama ilmuku,”
jawabku sekenanya. Kupasang muka
cemberut. Rasanya bosan setiap hari mendengar kecerewetan Emak soal statusku
yang masih pengangguran.
“Gimana
mau dapat pekerjaan kalau kerjanya tidur terus,” suara Emak kembali melengking.
Kuambil bantal untuk menutupi mukaku. Tiba-tiba
kakiku serasa dingin dan basah. Rupanya Emak menyiramkan air ke kakiku.
“Emak.......”
aku berteriak meluapkan kekesalan. Kali ini Emak sudah keterlaluan mengusikku.
Rasanya aku ingin balas dendam tapi apa daya kehidupanku masih sangat
bergantung kepadanya.
“Jaga
warung. Emak mau ke rumah mpok Sarih, suaminya jatuh di kamar mandi dan nggak
bisa bangun. Dia nggak punya uang buat bawa suaminya ke rumah sakit,”
“Emak
ini, selalu ngurusin orang lain. Anak sendiri lupa diurusin,” ujarku kesal.
Mata
Emak mendelik ke arahku. Diambilnya sapu ijuk seolah mau memukul diriku. Akupun
berlari ke kamar mandi menghindari kebuasan Emak.
“Makanya
setiap hari bangun pagi. Jalan-jalanlah di kampung kita. Sapa tetanggamu, lihat
keadaan sekeliling. Jangan cuma ngumpet di kamar!” suara ceramah Emak membuatku
pusing.
Secepatnya
kusingkirkan selimutku. Tanpa mencuci muka, aku bergegas keluar kamar untuk
menghindari omelan Emak yang seakan nggak mengenal titik dan koma.
*****
Aku duduk di kursi belakang lemari
kaca tempat memajang dagangan Emak. Kuambil laptopku dan kuletakkan di atas
etalase. Sambil menunggui warung Emak, aku bisa mencari informasi lowongan
pekerjaan yang cocok dengan jurusan yang kuambil waktu kuliah. Sejak aku kecil
Emak sudah berjualan. Apalagi ketika Bapak meninggal, Emak semakin semangat
berjualan di samping rumah untuk menyambung hidup kami, karena uang pensiun
Bapak tak cukup untuk membiayaiku kuliah.
Sempat
kulontarkan ide untuk berhenti kuliah kepada Emak, tapi Emak marah-marah
kepadaku. Tiga hari Emak mogok menyediakan makanan buatku sehingga setiap hari
pula aku makan mie instan tiada henti. Sejak itu, aku tak pernah lagi meminta
putus kuliah.
Aku
adalah anak satu-satunya Emak dan Bapak. Emak sangat berharap agar aku dapat
menjadi anak yang mandiri. Emak juga yang mendorongku untuk bersekolah sampai
lulus menjadi sarjana. Aku tahu Emak sangat berharap agar aku dapat segera
bekerja, namun sampai sekarang aku belum mendapatkan panggilan dari surat
lamaran yang kukirimkan kepada perusahaan-perusahaan swasta.
“Permisi,”
kudengar suara seorang ibu yang tahu-tahu sudah berdiri di depan etalase. Aku
berdiri dari kursi yang kududuki.
“Tumben
nih, Mas Salim yang jaga warung. Ibu Masnah kemana?”
“Ibu
sedang ke rumah Bu Sarih,” jawabku.
“Minta
gula pasir setengah kilo dong!” aku celingukan mencari tempat Emak menyimpan
gula pasir.
“Itu
Mas, di belakangnya. Ketahuan nggak pernah bantuin Bu Masnah di warung,”
“Ah,
cerewet banget sih,” aku menggerutu dalam hati sambil menyerahkan gula pasir
dalam plastik.
Ibu-ibu
itu menyerahkan uang kepadaku. Aku kebingungan berapa uang kembaliannya.
Kembali Ibu itu menggodaku.
“Makanya
sekali-kali bantuin ibunya di warung, Mas,” Mukaku merah mendengar celotehan Ibu
itu. Ibu tersebut menyebutkan berapa
jumlah uang yang harus kukembalikan kepadanya. Kubuka kotak kayu yang sudah
sangat lusuh, kuambil beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan kuberikan kepada
Ibu tersebut.
Beda
dengan Emak, yang selalu ringan tangan membantu kesulitan tetangga sekitar
rumah, aku tak pernah sekalipun bersosialisasi dengan mereka. Aku bosan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama setiap harinya. Menurutku itu hanya
basa basi belaka yang sama sekali nggak penting.
*****
“Sapu
lidi....sapu lidi,” suara teriakan pedagang sapu lidi terdengar dari depan
rumah. Aku masih terus mencari lowongan kerja di dunia maya melalui laptopku.
“Numpang
duduk ya, Nak,”
“Iya,”
ujarku kepada Bapak penjual sapu lidi itu. Kulihat sekilas, Bapak penjual sapu
lidi itu meminggirkan gerobaknya ke tembok depan rumahku. Dengan gerakan
perlahan Bapak yang kuperkirakan berumur sekitar tujuh puluh tahun mencoba
duduk di tembok depan rumahku. Kebetulan rumahku tidak memiliki pagar dan hanya
diberi tembok yang bisa diduduki untuk membatasi halaman rumah dengan jalan.
Dengan rasa penasaran kuhampiri
Bapak itu. Kuperhatikan tubuhnya sudah renta dan sesekali kudengar suara batuk
yang berat. Perasaan iba menjalari hatiku. Aku duduk di tembok depan rumahku
“Setiap
hari Bapak berkeliling berjualan sapu lidi?” tanyaku pelan.
“Enggak
sih. Bapak berjualan kalau lagi banyak janur saja. Anak Bapak berjualan kulit
ketupat dari janur. Kalau ada sisa Bapak bikin sapu lidi,” terangnya.
“Bapak
nggak capek?”
“Ya
gimana lagi. Bapak nggak mau nyusahin anak Bapak. Udah mah Bapak tinggal sama
anak dan keluarganya, masak masih mau menyusahkan juga. Walau sebenarnya anak
Bapak udah nyuruh Bapak berhenti jualan tapi sepanjang Bapak masih kuat Bapak
harus terus kerja,”
Sejenak
aku tertegun mendengar penjelasan bapak tua ini. Apalagi ketika aku berpikir
apa yang sudah kulakukan selama ini untuk membantu Emak. Jangankan membantu,
yang ada aku malah menyusahkan Emak. Selama ini Emak kerja sendiri. Emak selalu
menyiapkan makananku dan mencuci semua bajuku, padahal Emak harus ke pasar buat
beli stok warung dan berjualan sendiri. Selain itu, aku masih pula merepotkan
dengan selalu minta uang kepada Emak. Betapa tak bergunanya hidupku selama ini.
“Pak,
saya beli sapu lidinya, satu saja,” tiba-tiba Emak muncul di depan rumah. Emak
menyodorkan uang dua puluh ribu.
“Ini
kembaliannya, bu,” ujar Bapak penjual sapu lidi sambil menyerahkan uang sepuluh
ribu kepada Emak.
“Buat
Bapak saja,” ujar Emak.
“Kalau
gitu, Ibu ambil satu lagi sapu lidinya,” ujar Bapak itu. Emak menggelengkan
kepala.
“Ambil
saja , bu. Saya tidak bisa menerima uang begitu saja,” Akhirnya Emak mengalah
dan mengambil sapu lidi.
Aku
masih tertegun sampai Bapak tua penjual sapu lidi itu berlalu dari hadapanku. Ternyata selama ini hidupku sia-sia.
*****
Jakarta, 30 Oktober 2017